Tidak diragukan bahwa madzhab-madzhab fiqh para ‘ulama telah meninggalkan warisan ilmiah yang tak ternilai dalam sejarah umat. Para ‘ulama tersebut memberikan perhatian besar terhadap dalil-dalil rinci dalam syari’at, memberikan pedoman dalam metode pengambilan istinbath dan menyelami makna-makna, serta menyimpulkan hukum untuk permasalahan-permasalahan kekinian. Hanya orang-orang yang sempit cara pandang dan sempit pemahamannya sajalah yang akan merasa tidak suka dengan hal tersebut, dan menginginkan untuk menghimpun umat hanya pada satu pendapat saja dalam fiqh.
Pada kesempatan kunjungannya ke Yaman, asy-Syaikh ‘Ubaid al-Jabari menyatakan ucapan yang sangat bagus. Kata beliau, “Permasalahn yang terjadi pada kalian adalah, kalian ingin menyatukan semua orang hanya pada pendapat saja dalam fiqh. Ini mustahil!” bukankah kalian tahu bahwa Bin Baz berbeda pendapat dengan al-’Utsaimin, atau sebaliknya al-’Utsaimin berbeda pendapat dengan Bin Baz dalam beberapa permasalahan ijtihadiyyah yang memang sangat mungkin terjadi perbedaan pendapat. Demikian juga para ‘ulama lainnya, terjadi perbedaan pendapat di antara mereka. namun para ‘ulama tersebut satu sama lain tetap saling menghormati dan saling menghargai. Ini dalam permasalahan fiqhiyyah ijtihadiiyah.
Namun ingat, janganlah sikap toleran dan kelapangan dalam permasalahan ijtihadiyyah diseret dan diletakkan pada permasalahan lain. Yaitu diseret untuk permasalahan aqidah dan manhaj.
“Kenapa Ahlus Sunnah berbeda pendapat dengan Ikhwanul Muslimin, bukankah Imam Malik, asy-Syafi’i, Ahmad saling berbeda pendapat, namun mereka tetap saling memuji?! Kenapa menyalahkan orang-orang sufiyyah, bukankah mereka mengucapkan Lailaha illallah juga? Bukankah mereka adalah saudara kita??! Kalian tidak paham Fiqhul Khilaf!!”
Apa yang mereka maukan dari “Fiqhul Khilaf”? yaitu jangan membantah ahlul bid’ah!! Ini maksud mereka.
Di sini tercampur antara barang baik dengan barang jelek. Sehingga dengan cara ini mereka hendak mengelabuhi umat, terutama generasi muda para penuntut ilmu. Mereka berkata dalam memuji tokoh-tokoh bid’ah dan merendahkan para ‘ulama, “Lihatlah pada si fulan, menunjukkan sikap toleran. Lihatlah akal sempurna yang ada padanya. Sementara mereka (‘ulama ahlus sunnah) tidak ada padanya kecuali terburu-buru, kedunguan, bisanya hanya mencela dan membongkar aib orang lain”, dengan cara ini mereka menjauhkan umat dari para ‘ulama ahlus sunnah.
Demi Allah, kalau bukan karena al-Jarh wat Ta’dil, kalau bukan karena tahdzir terhadap ahlul bid’ah, kalau bukan karena tahdzir terhadap orang-orang menyimpang, tidak akan sampai kepada kita Islam yang murni dan bersih. Tidak akan sampai as-Sunnah seperti yang antum berjalan di atasnya sekarang!
Perhatikan, bahwa sikap lapang dan toleran itu dalam permasalahan ijtihadiyyah yang memungkinkan terjadinya khilaf padanya. Di sini engkau harus lapang dada. Bin Baz bersedekap setelah ruku’, sementara al-Albani tidak bersedekap setelah ruku’. Maka siapa yang bersedekap atau tidak, maka ini permasalahan yang lapang. Satu sama lain tidak boleh saling mencela.
Adapun permasalahan aqidah dan manhaj, yang padanya pembelaan terhadap dakwah yang haq dan bantahan terhadap dakwah yang batil, kemudian dikatakan kenapa tidak ada toleransi, kenapa tidak ada kelapangan, kenapa kita tidak saling memberikan udzur dalam permasalahan yang kita berbeda? maka ini semua adalah ucapan yang batil.
Apabila kalian mendengar pernyataan para ‘ulama dalam sikap lapang dan toleran, serta bagaimana mereka saling memberikan udzur dalam permasalahan fiqhiyyah, maka itu semua dalam permasalahan ijtihadiyyah yang memungkinkan terjadi perbedaan pendapat padanya. Adapun permasalahan aqidah dan manhaj, maka tidak ada toleransi dan kelapangan di sini.
Namun tidak berarti menghalangi kita dari berdakwah dengan cara yang baik. Kita sampaikan penjelasan tentang al-haq dengan cara yang baik, jelaskan kebatilannya dan sampaikan nasehat. Kalau dia seorang dari ahlus sunnah wal Jama’ah, maka kita junjung tinggi dia, namun kebatilannya tetap harus ditolak. Ibnul Qayyim berkata tentang al-Harawi yang aqidahnya tercampur dengan kotoran-kotoran shufiyyah, “al-Harawi adalah orang yang kita cintai, namun kebenaran lebih kita cintai.”
Ucapan senada juga dikatakan oleh asy-Syaikh Muhammad Aman al-Jami ketika membantah satu kesalahan yang asy-Syaikh al-Albani terjatuh padanya, “Aku katakan kepada asy-Syaikh al-Albani ketika kami dulu di al-Jami’ah al-Islamiyyah, ‘Al-Albani adalah orang yang kami cintai, namun al-Haq lebih kami cintai.” Demikian kita katakan kepada setiap salafy/ahlus sunnah yang terjatuh pada kesalahan dan menyalahi kebenaran, “Kami mencintaimu, namun al-Haq lebih kami cintai.” Dia tetap kita jaga kehormatannya, dan kita nasehati dengan cara yang terbaik.
Namun apabila seseorang itu prinsipnya adalah bid’ah, mengajak kepada bid’ah, atau menguatkan bid’ah, atau dia menisbahkan diri kepada sunnah padahal sangat banyak penyimpangannya dan sering menentang ahlul haq. Maka orang seperti ini harus ditahdzir, harus ditahdzir orangnya dan manhajnya. Bahkan bahaya orang seperti ini lebih besar, karena dia berpenampilan sunnah, berbicara dengan sunnah, padahal dia menyimpang dari sunnah. Adapun seorang yang jelas-jelas ahlul bid’ah, maka menghadapinya lebih mudah. Apabila para penuntut ilmi diperingatkan dari ahlul bid’ah tersebut akan lebih mudah menerima.
Kisah tentang niqasy (diskusi) yang terjadi antara al-Imam asy-Syafi’i dengan al-Imam al-Muzani rahimahumallah, sampai terjadi perdebatan yang cukup runcing antara kedua imam tersebut. Namun pada keesokan harinya, al-Imam asy-Syafi’i memegang tangan al-Muzani seraya mengatakan, “Tidak engkau suka bahwa kita berbeda pendapat namun kita tetap sebagai saudara?”
Tentu saja kisah ini dimanfaatkan oleh para ahlul batil untuk membenarkan kaidah mereka, “Kita saling bekerja sama dalam permasalahan yang kita bersepakat padanya, dan kita saling memberikan udzur dalam perkara yang kita saling berbeda padanya.” Padahal tidak demikian.
Perlu diketahui, bahwa yang dimaksud oleh asy-Syafi’i “bahwa kita berbeda pendapat”, bukan perbedaan pendapat dalam masalah seperti, hukum menyembelih untuk kuburan, ajakan kepada hizbiyyah, memberontak kepada pemerintah muslimin, menjatuhkan kehormatan ‘ulama umat, menjauhkan umat dari sunnah, ajakan untuk bergaul dengan ahlul bid’ah dan memperkuat barisan mereka, dst. Bukan ini yang dimaksud. Namun yang dimaksud adalah permasalahan ijtihadiyyah yang memungkinkan terjadi perbedaan pendapat padanya.
Jangan mencela ahlul haq yang terus menjelaskan dan mentahdzir. Karena memang kebatilan itu terus menerus dilancarkan dan ditebarkan. Maka para da’i al-haq harus tampil tegak membela al-haq, tidak akan merugikan mereka orang-orang yang menghinakan mereka.
Maka jika ada yang mengatakan, “Berhentilah dari mentahdzir, jangan menyibukkan umat dengan tahdzir-tahdzir. Cara ini sudah usang, kita sudah bosan dengannya. Kalian telah menyibukkan umat dengan tahdzir. Tidak ada pada kalian kecuali tahdzir.”
Padahal demi Allah, jika diteliti tidak ada yang menegakkan durus kecuali ahlus sunnah, tidaklah memberikan pengajaran ilmu (taklim) kecuali ahlus sunnah, tidak ada yang menegakkan amar ma’ruf nahi munkar kecuali ahlus sunnah, tidak ada yang menunaikan tanggung jawab masyarakat kecuali ahlus sunnah. Bagaimana mereka bisa mengatakan kepada ahlus sunnah, “Tidak ada pada kalian kecuali tahdzir.” Sungguh mereka telah berdusta.
Benar, tahdzir ada pada kami. Tahdzir merupakan bagian dari manhaj kami (ahlus sunnah), dan manhaj kami tidak terbatas pada tahdzir saja.
Maka ucapan terhadap ahlus sunnah, “Tidak ada pada kalian kecuali tahdzir. Tidak ada pada kalian kecuali celaan.” demi Allah ini adalah cara-cara kaum hizbiyyin dalam upaya mereka menjauhkan umat dari ahlus sunnah di setiap tempat dan di setiap negeri!! Kalau ada seorang salafy mengucapkan kata-kata seperti di atas terhadap saudaranya salafy, niscaya kita meragukan kesalafiyahannya!!
Sungguh durus, taklim, fiqh, tauhid, aqidah, dst maka kalian tidak akan mendapatinya kecuali pada ahlus sunnah salafiyyin. dan kita tegaskan bahwa, Tahdzir merupakan bagian dari manhaj kita (ahlus sunnah), dan manhaj kita tidak terbatas pada tahdzir saja. Dan selama kita hidup, kita tidak akan meninggalkan tahdzir. Jika ada yang hendak menghasut, “kamu akan terus-terusan mentahdzir?” kita jawab: Ya, kita akan mentahdzir, dan akan terus mentahdzir. Dengan cara inilah agama terjaga.
Perhatikan kalimat Lailaha illallah, padanya ada nafi dan itsbat. Demikianlah agama ini tidak tegak kecuali dengan cara pembelaan terhadapnya, menjaganya, dan menghilangkan berbagai kotoran darinya. Adapun jika ada orang yang mau hanya berjalan begitu saja, maka cara ini akan memunculkan orang-orang yang mumayyi’ (lembek) tidak menegakkan sunnah dan tidak pula membantah bid’ah.
Sungguh kita sering terganggu dengan adanya orang-orang mukhadzdzil seperti ini. tidak jarang orang-orang tersebut dari barisan kita, atau dinisbahkan kepada kita. Siapa yang bergembira dan menjadi kuat dengan ucapan orang-orang tersebut? Para hizbiyyin, ahlul bid’ah, dan orang-orang menyimpang yang bergembira. Perhatikan ucapan orang-orang tersebut, “Lihat si fulan bijak, tidak seperti mereka.” atau “Perhatikan si fulan, ini baru salafy sejati.” Siapa si fulan yang ia puji tersebut? Yang ia puji itu ternyata hizbi, atau sufi, atau sekuler, atau liberalis.
(faidah yang aku catat dari pelajaran al-Muhimmat al-Awwaliyah fi al-Muqaddimat al-Fiqhiyyah bersama asy-Syaikh Hani bin Braik, Dhuha Kamis 22 Syawwal 1434 H/29 Agustus 2013 M. Semoga bermanfaat bagi semua)
Sumber : dammajhabibah