Penyatuan agama atau yang populer disebut dengan “Teologi Pluralis”, merupakan upaya penyatuan antara Islam dengan agama-agama lainnya seperti Yahudi, Nashrani dan seluruh ajaran-ajaran menyimpang lainnya. Konsep penyatuan agama ini termasuk makar terbesar terhadap Islam dan muslimin, di mana seluruh musuh-musuh Islam berserikat dalam satu kalimat: “benci Islam dan muslimin.”
Allah telah menerangkan dalam kitab-Nya bahwa Yahudi dan Nashrani selalu bekerja keras untuk mengeluarkan kaum muslimin dari keislamannya, menjerumuskan mereka ke dalam kekufuran serta mengajak mereka untuk menjadi Yahudi atau Nashrani. Allah berfirman:
“Sebagian besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekufuran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Al Baqarah: 109)
“Dan mereka (Yahudi dan Nashrani) berkata: ‘Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nashrani.’ Demikian itu (hanya) angan-angan kosong mereka belaka. Katakanlah: ‘Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar.” (Al Baqarah: 111)
“Dan mereka berkata: Hendaklah kamu menjadi penganut agama Yahudi atau Nashrani, niscaya kamu mendapat petunjuk. Katakanlah: Tidak, bahkan (kami mengikuti) agama Ibrohim yang lurus. Dan dia (Ibrohim) bukanlah termasuk dari golongan orang musyrik.” (Al Baqarah: 135)
Atas dasar itulah, maka gerakan pemurtadan dan pengkafiran kaum muslimin sebenarnya telah ada pada masa Nabi , demikian pula seruan penyatuan agama yang dilakukan orang-orang musyrik Quraisy sebagaimana yang disinyalir di dalam Al Qur’an surat Al Kaafiruun. Meskipun ambisi mereka itu Allah patahkan dengan turunnya surat Al Kaafiruun tersebut.
Kemudian setelah itu, muncul kembali seruan tersebut dengan slogan-slogan baru, untuk menipu orang-orang bodoh. Kali ini pemeran utamanya adalah orang-orang Yahudi dan Nashrani, mengingat gerakan pemurtadan dan pengkafiran mereka mendapat hadangan yang luar biasa dari kaun muslimin. Slogan mereka yaitu bahwa agama-agama seperti Yahudi, Nashrani, dan Islam, ibaratnya seperti keberadaan empat madzhab fiqih di tengah-tengah kaum muslimin, semua jalan pada hakekatnya menuju Allah .
Slogan ini ternyata disambut baik oleh kelompok-kelompok Islam sempalan yang berafiliasi kepada paham tasawwuf di Mesir, di Syam, Persia dan negara-negara besar di selain jazirah Arab. Seruan dan slogan ini pun disambut baik oleh kelompok ekstrim Syiah Rafidhah dan yang lainnya, sampai-sampai sebagian mereka ada yang membolehkan untuk menjadi seorang Yahudi atau Nashrani. Bahkan ada pula di antara mereka yang cenderung lebih mengunggulkan agama Yahudi dan Nashrani daripada Islam. Hal ini menimpa sebagian mereka yang telah banyak terpengaruh filsafat.
Pada pertengahan pertama abad ke-14 hijriyah, seruan penyatuan agama semakin dipropagandakan dengan lebih profesional, setelah sekian lama mengakar di dada para penyokongnya yang menampakkan keislaman namun menyembunyikan kekufuran dan kesesatan. Maka lahirlah sebuah organisasi gerakan yang disebut dengan Freemasonry, yakni organisasi Yahudi yang mengusung slogan Liberty, Egality, dan Fraternity (kebebasan, persamaan, dan persaudaraan), dan mempropagandakan persaudaraan universal tanpa memandang etnis, bangsa, dan agama. Organisasi ini muncul di bawah “payung” seruan penyatuan tiga agama (Yahudi, Nashrani, dan Islam), mengikis belenggu “fanatik”, dan dengan menyamakan keimanan kepada Allah maka semuanya adalah mukmin.
Tercatat sebagai orang yang ikut terlibat menyebarkan seruan ini adalah Jamaluddin bin Shafdar Al Afghanii pada tahun 1314 H di Turki dan juga diikuti oleh muridnya yang sangat gigih di dalam menyuarakan seruan ini yaitu Muhammad ‘Abduh bin Hasan At-Turkumani pada tahun 1323 H di Iskandariyah (Mesir). (Lihat Shahwatur Rajulil Maridh, hal. 340, Jamaluddin Al Afghanii fil Mizan, diambil dari Al Ibthal linazhariyatil Khalath baina Dinil Islam wa Ghairihi minal Adyan, hal. 6)
Sejak permulaan abad ke-14 H itulah hingga sekarang, orang-orang Yahudi dan Nashrani di bawah naungan “undang-undang dunia baru” semakin terang-terangan dalam menyuarakan penyatuan agama baik di kalangan mereka sendiri maupun di tengah-tengah kaum muslimin dengan menyelenggarakan seminar-seminar, pertemuan-pertemuan ataupun dialog terbuka antar agama dan lain sebagainya. Yang akhirnya muncul sejumlah istilah dan slogan seperti: “pendekatan antar agama”, “menghapus fanatisme beragama”, “persaudaraan antara Islam-Kristen”, “penyatuan agama”, “persatuan agama Tuhan”, “agama-agama dunia”, atau dengan menghilangkan kata agama dan menggantikan kata agama dengan kebebasan, persaudaraan, kesamaan atau keselamatan, kasih sayang dan kemanusiaan, dan seterusnya… (Lihat Al Ibthal linazhariyatil Khalath baina Dinil Islam wa Ghairihi minal Adyan, hal. 7)
BAHAYA PENYATUAN AGAMA
Para pembaca, demikianlah seruan-seruan setan yang senantiasa digulirkan dari masa ke masa. Meskipun berbeda-beda dan berganti-ganti istilah serta slogan, namun tujuannya tetap sama, yaitu agar kaum muslimin murtad dari agamanya.
Allah berfirman:
“Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran) seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni an naar (neraka), mereka kekal di dalamnya.” (Al Baqarah: 217)
“Orang-orang kafir dari ahli kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya suatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu.” (Al Baqarah: 105)
“Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka).” (An-Nisa: 89)
“Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (An-Nisa: 101)
Oleh karena itu, penyatuan agama dengan segala bentuknya merupakan musibah terbesar yang menimpa kaum muslimin dewasa ini. Memandang sama antara Islam dan kafir, haq dan bathil, hidayah dan kesesatan, kebaikan dan kemungkaran, adalah kekufuran nomor wahid. Karena Allah berfirman:
“Apakah (orang-orang kafir itu sama dengan) orang-orang yang mempunyai bukti yang nyata (Al Qur’an) dari Tuhannya, dan diikuti pula oleh seorang saksi (Muhammad) dari Allah dan sebelum Al Qur’an itu telah ada kitab Musa yang menjadi pedoman dan rahmat? Mereka itu beriman kepada Al Qur’an. Dan barangsiapa di antara mereka (orang-orang Quraisy) dan sekutu-sekutunya yang kafir kepada Al Qur’an, maka an naar (neraka)lah tempat yang diancamkan baginya.” (Hud: 17)
“Orang-orang Yahudi berkata: ‘Uzair itu putera Allah’, dan orang Nashrani berkata: ‘Al Masih itu putera Allah’. Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Allah melaknati mereka. Bagaimana mereka sampai berpaling? Mereka menjadikan orang-orang alim mereka, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (At-Taubah: 30-31)
Allah berfirman:
“Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrohim dan orang-orang yang bersamanya; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) mu dan telah nyata permusuhan dan kebencian antara kami dan kamu, untuk selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” (Al Mumtahanah: 4)
SIKAP MUSLIM SEJATI
Oleh karena itu, seorang muslim yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Rabbnya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Rasulnya, tidak boleh menyambut seruan ini, tidak boleh pula terlibat dalam perkumpulan-perkumpulannya atau seminar-seminarnya.
Bahkan harus menolaknya, memperingatkan dari bahayanya, mencelanya dan mengusirnya dari lingkungan-lingkungan muslimin. Sebab seruan ini adalah seruan yang bid’ah, sesat, dan kufur, mengajak untuk murtad secara sempurna dari Islam, bertolak belakang dengan prinsip-prinsip aqidah, melanggar kehormatan para rasul dan risalahnya, menolak kebenaran Al Qur’an, menolak bahwa Islam sebagai penghapus syariat-syariat sebelumnya.
Seruan ini adalah seruan yang tertolak secara syariat, tidak sesuai dengan fitrah yang suci, diharamkan secara pasti dengan seluruh dalil-dalil dari AlKitab dan As Sunnah serta ijma’ (kesepakatan ulama). Oleh karena itu, bila seruan ini muncul dari seorang muslim, maka ini adalah kemurtadan yang nampak dan kekufuran yang terang-terangan.” (Lihat Al Ibthal li nazhariyatil Khalath, hal. 15).
UNTAIAN FATWA
Mengingat bahayanya seruan ini terhadap Islam dan muslimin, maka para ulama dari Al Lajnah Ad Daimah lil Iftaa’ yang diketuai ketika itu oleh Asy Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah mengeluarkan fatwa yang berkenaan dengan hal tersebut. Inilah (terjemahan) naskah fatwanya:
“Sesungguhnya seruan kepada penyatuan agama, jika dilakukan oleh seorang muslim maka hal itu berarti kemurtadan yang nyata dari Islam, karena bertentangan dengan prinsip-prinsip aqidah, meridhai kekufuran kepada Allah, menolak kebenaran Al Qur’an dan menolak fungsinya sebagai penghapus seluruh kitab sebelumnya, dan menolak Islam sebagai penghapus seluruh syariat dan agama sebelumnya. Berdasarkan hal itu, maka pemikiran tersebut tertolak secara syariat, dan haram secara pasti dengan seluruh dalil-dalil syar’i dari Al Qur’an, As Sunnah, dan ijma’.” (Raf’ul Litsam, hal. 76)
Wallahu A’lam Bish Showab
MUTIARA HADITS SHAHIH
Dari shahabat Abu Hurairah , Rasulullah bersabda:
وَ الَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ ! لاَ يَسْمَعُ بِيْ أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الأُمَّةِ يَهُوْدِيٌّ وَلاَ نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوْتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
“Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya. Tidaklah seorangpun, baik dari Yahudi maupun Nashrani, yang mendengar tentang diutusnya aku (Muhammad ), kemudian mati dan tidak beriman dengan sesuatu yang aku diutus dengannya, kecuali dia termasuk penghuni an naar.” (Muttafaqun ‘alaihi)