(Al-Ustadz Abu Ibrahim ‘Abdullah al-Jakarti)
Diantara perkara yang penting untuk diketahui adalah permasalahan talak, oleh karena itu pada kesempatan ini kami bawakan sedikit penjelasan seputar talak yang di rangkum dari beberapa kitab fiqih dengan harapan semoga bermanfaat bagi diri penulis pribadi dan kaum muslimin.
Pembahasan Pertama: Pengertian talak
Talak secara bahasa : ( التخلية) Melepaskan.
Secara syar’i : ( حل قيد النكاح أو بعضه) Melepaskan ikatan pernikahan secara menyeluruh atau sebagiannya. (Taudihul Ahkam:5/476-Al-mulakhos Al-Fiqhiy, hlm. 410)
Pembahasan Kedua: Tentang Dalil disyari’atkannya talak dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma.
Dalil dari Al-Qur’an,
الطَّلاقُ مَرَّتَانِ فَإمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
“Thalak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (Al Baqarah : 229)
Dalil dari Sunnah
Diantaranya sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar rahiyallahu anhuma bahwasannya dia menalak istrinya yang sedang haidh. Umar menanyakan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ثُمَّ لْيَتْرُكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيضَ ثُمَّ تَطْهُرَ ثُمَّ إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ بَعْدُ وَإِنْ شَاءَ طَلَّقَ قَبْلَ أَنْ يَمَسَّ فَتِلْكَ الْعِدَّةُ الَّتِى أَمَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ يُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ
“Perintahkan kepadanya agar dia merujuk istrinya, kemudian membiarkan bersamanya sampai suci, kemudian haid lagi, kemudian suci lagi. Lantas setelah itu terserah kepadanya, dia bisa mempertahankannya jika mau dan dia bisa menalaknya (mencraikannya) sebelum menyentuhnya (jima’) jika mau. Itulah iddah seperti yang diperintahkan oleh Allah agar para istri yang ditalak dapat langsung menhadapinya (iddah)” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ijma
Berkata Asy-Syaikh Al-Allamah Shalih Al-Fauzan: “Sungguh telah dihikayatkan adanya ijma’ atas di syariat-kannya talak (cerai) lebih dari satu ulama.” (Al-Mulakhos Al-Fiqhiy, hlm 411)
Pembahasan Ketiga: Tentang Hukum Talak
Berkata Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan: “Adapun hukumnya berbeda-beda sesuai dengan perbedaan keadaan, terkadang hukumnya mubah, terkadang hukumnya makruh, terkadang hukumnya mustahab (sunnah), terkadang hukumnya wajib, dan terkadang hukumnya haram. Hukumnys sesuai dengan hukum yang lima.” (Al-Mulakhos Al-Fiqhiy, hlm 410)
Talak yang hukumnya makruh yaitu ketika suami menjatuhkan talak tanpa ada hajat (kebutuhan) yang menuntut terjadinya perceraian. Padahal keadaan rumah tangganya berjalan dengan baik.
Talak yang hukumnya haram yaitu ketika di jatuhkan tidak sesuai petunjuk syar’i. Yaitu suami menjatuhkan talak dalam keadaan yang dilarang dalam agama kita. dan terjadi pada dua keadaan:
Pertama : Suami menjatuhkan talak ketika istri sedang dalam keadaan haid
Kedua : Suami menjatuhkan talak kepada istri pada saat suci setelah digauli tanpa diketahui hamil/tidak.
Talak yang hukumnya mubah yaitu ketika suami berhajat atau mempunyai alasan untuk menalak istrinya. Seperti karena suami tidak mencintai istrinya, atau karena perangai dan kelakuan yang buruk yang ada pada istri sementara suami tidak sanggup bershabar kemudian menceraikannya. Namun bershabar lebih baik.
فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
“Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisa’ : 19)
Talak yang hukumnya sunnah ketika di jatuhkan oleh suami demi kemaslahatan istrinya serta mencegah kemudharatan jika tetap bersama dengan dirinya, meskipun sesungguhnya suaminya masih mencintainya. Seperti sang istri tidak mencintai suaminya, tidak bisa hidup dengannya dan merasa khawatir tidak bisa menjalankan tugasnya sebagai seorang istri. Talak yang dilakukan suami pada keadaan seperti ini terhitung sebagai kebaikan terhadap istri. Hal ini termasuk dalam keumuman firman Allah subhaanahu wata’ala :
وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللهَ يُحِبُّ المُحْسِنِينَ
“Dan berbuat baiklah, karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (Qs. Al Baqarah :195)
Talak yang hukumnya wajib yaitu bagi suami yang meng-ila’ istrinya (bersumpah tidak akan menggauli istrinya, -ed.) setelah masa penangguhannya selama empat bulan telah habis, bilamana ia enggan kembali kepada istrinya. Hakim berwenang memaksanya untuk menalak istrinya pada keadaan ini atau hakim yang menjatuhkan talak tersebut. (Silahkan lihat Taudiihul Ahkam : 5/488, Al-Mulakhos Al-Fiqhiy, hlm. 410, Fiqih Muyyasar, hlm. 306)
Pembahasan Keempat: Talak hanya Jatuh jika diucapkan adapun hanya niat semata tidak jatuh.
Talak hanya jatuh jika di ucapkan. Adapun niat semata dalam hati tanpa di ucapkan, tidak terhitung talak.
Berkata Asy-Syaikh Al-Allamah Shalih Al-Fauzan hafidzahullah : “Tidak jatuh talak darinya dan tidak juga dari yang mewakilinya kecuali dengan di ucap-kan dengannya, walaupun meniatkan dalam hatinya; tidak jatuh talak. Sampai lisannya bergerak mngucapkannya. Berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam:
إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَا لَمْ تَعْمَلْ ، أَوْ تَتَكَلَّمْ
“Sesunggunya Allah memaafkan dari ummatku apa yang dikatakan (terbesik) oleh jiwanya selama tidak di lakukan dan di ucapkan.” (HR. al-Bukhari no 5269 dan Muslim no 127) (Mulakhos Al-Fiqhy, hlm 414)
Pembahasan Kelima: Tentang yang Berwenang Menjatuhkan Talak
Talak sah jika dari suami yang baligh, berakal, mumayyiz yang mengerti dengan apa yang dipilih (mengerti makna talak –ed), atau orang yang mewakilinya. Talak tidak jatuh (tidak sah) dari selain suami, anak kecil, orang gila, orang mabuk, orang yang dipaksa, dan orang yang dalam keadaan marah yang sangat yang tidak sadar dengan apa yang di ucapkannya.” (Fiqih Muyyasar, hlm 305)
diantara dalilnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ
“diangkat pena dari tiga orang, dari orang yang tidur sampai dia bangun, dari anak kecil sampai dia baligh, dari orang gila sampai dia berakal” (HR. Abu Dawud no 4450, at-Tirmidzi no 1423 dan Ibnu Majah no 2041)
Dalam hadits yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
إن اللَّهُ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِى الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ
“Sesungguhnya Allah memaafkan dari umatnya tersalah, lupa dan apa yang mereka dipaksa atasnya.” (HR. Ibnu Majah, no 1662 dinyatakan shahih oleh syikh al-Albani di irwa’ no 42)
Pembahasan Keenam: Apakah talak jatuh dengan bercanda
Orang yang bercanda mengucapkan talak adalah seseorang yang mengucapkan talak memaksudkan untuk mengucapkannya, memahami maknanya namun tidak menginginkan untuk menjatuhkannya (tidak ingin menlak istrinya –ed), dia mengucapakannya hanya untuk bercanda atau bersendau gurau.
Seseorang yang mengatakan kepada istrinya dengan sekedar bercanda, “kamu saya talak” atau “kamu saya cerai” maka jatuh talaknya. Dia terhitung telah menjatuhkan talak kepada istrinya walaupun dia hanya bercanda/bersendau gurau. Hal ini berdasarkan sebuah hadits. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam bersabda:
ثَلاَثٌ جِدُّهُنَّ جِدٌّ وَهَزْلُهُنَّ جِدٌّ النِّكَاحُ وَالطَّلاَقُ وَالرَّجْعَةُ
“Tiga perkara yang sungguhnya mereka dianggap sebagai kesungguhan dan yang bercandanya dianggap sebagai sungguhan, nikah, talak dan rujuk” (HR. Abu Dawud no 2129, at-Tirmidzi no 1184 dan Ibnu Majah no 2039 dan dinyatakan hasan oleh syaikh al-Albani di Irwa’ no 1826)
asy-Syaikh Ibnu Baaz pernah ditanya tentang hukum seorang suami menalak istrinya dengan bercanda. Beliau berkata:
“Iya, teranggap satu kali talak, terhitung sebagai satu kali talak, diambil pernyataannya itu, talak sungguh-sungguhnya merupakan sungguhan, bercandanya dianggap sungguhan, tidak boleh baginya bermain-main dengan hal itu…” (Fatawa Nurun ‘ala ad-Darb, 22/73)
Permasalah Ketujuh: Hukum seorang istri meminta talak (cerai) tanpa alasan syar’i
Tidak boleh seorang istri meminta untuk ditalak (cerai) tanpa alasan yang dibenarkan secara syar’i. Hal ini berdasarkan hadits. Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلاَقَ فِي غَيْرِ مَا بَأْسٍ ، فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ
”Setiap isteri yang meminta cerai kepada suaminya dengan sesuatu yang tidak dibolehkan maka diharamkan baginya bau harumya surga ” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majjah)
Berkata Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baaz: Adapun apabila (seorang istri -ed) meminta talak tanpa alasan yang dibolehkan, tidak boleh baginya untuk melakukan hal itu. Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلاَقَ فِي غَيْرِ مَا بَأْسٍ ، فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ
”Setiap isteri yang meminta cerai kepada suaminya dengan sesuatu yang tidak dibolehkan maka diharamkan baginya bau harumya surga ” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majjah)
Maka meminta talaknya istri tanpa alasan syar’iyah tidak boleh, wajib baginya untuk shabar, mengharap pahala Allah dan tidak meminta talak…” (Fatawa Nurun ‘ala ad-Darbi, Syaikh Ibnu Baaz:22/26)
Pembahasan Kedelapan: Hukum seorang istri meminta pisah dengan alasan syar’i
Boleh bagi seorang istri meminta untuk pisah dengan suaminya jika disana ada alasan yang dibenarkan oleh syari’at. Hal ini sebagaimana di tunjukkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radiyallahu ‘Anhu, menuturkan:
جَاءَتِ امْرَأَةُ ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ مَا أَنْقِمُ عَلَى ثَابِتٍ فِي دِينٍ ، وَلاَ خُلُقٍ إِلاَّ أَنِّي أَخَافُ الْكُفْرَ ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ فَقَالَتْ نَعَمْ فَرَدَّتْ عَلَيْهِ وَأَمَرَهُ فَفَارَقَهَا
“Datang isteri dari Tsabit bin Qais bin Syammas kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam dan berkata: ”Wahai Rasulullah, aku tidak mencela Tsabit dalam hal agama dan akhlaknya, tetapi aku takut kekufuran.” (pada riwayat lain, “sesungguhnya aku tidak mencela Tsabit dalam hal agama dan akhlak tetapi aku tidak sanggup bersamanya.”) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya: “apakah kamu sanggup mengembalikan kebunnya?. berkata (isterinya Tsabit-penj): Iya. Ia lalu mengembalikan kebunya kepada Tsabit dan Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam memerintahkan Tsabit untuk memisahkannya. Dia pun memisahkannya.” (HR. Bukhari)
Pembahasan Kesembilan: Tentang Lafadz-lafadz talak
Talak bisa jatuh dengan setiap lafadz yang menunjukkan kepadanya yaitu :
Berkata al-Hafidz Ibnu Hajar:
لفظ الطلاق أو ما تصرف منه صريح
Para ulama sepakat bahwa lafadz talak dan pecahan dari kata itu, sharih (lafadz talak yang jelas –ed) (Fathul Bari:9/369)
Dalil lafadz talak dengan kinayah (kiasan) jatuh sebagai talak jika diniatkan talak, adalah dalam sebuah hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu anha
أَنَّ ابْنَةَ الْجَوْنِ لَمَّا أُدْخِلَتْ عَلَى رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَدَنَا مِنْهَا قَالَتْ أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْكَ فَقَالَ لَهَا لَقَدْ عُذْتِ بِعَظِيمٍ الْحَقِي بِأَهْلِكِ
“Saat Ibnatul Jaun Hendak dipertemukan dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan beliau mendekatinya, ia (ibnatul jaun) berkata: Aku berlindung kepada Allah darimu. “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, sungguh, engkau telah berlindung kepada Dzat Yang Maha Agung. Kembalilah kepada keluargamu.” (HR. Bukhari no 5254)
Adapun dalil bahwa talak tidak jatuh dengan lafadz kinayah jika tidak diniatkan talak adalah hadits Ka’b bin Malik yang panjang yang mengisahkan tentang dirinya yang tertinggal tidak ikut perang Tabuk sehingga ia di hajr (boikot) oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersama kaum muslimin, ia bercerita di tengah-tengah berlangsungnya boikot itu, atang utusan Rasulullah membawa perintah beliau untuk nya agar mengasingkan diri dari istrinya tanpa menalaknya, maka Ka’ab berkata kepada isterinya,
الْحَقِي بِأَهْلِكِ فَتَكُونِي عِنْدَهُمْ حَتَّى يَقْضِيَ اللَّهُ فِي هَذَا الأَمْرِ
“Kembalilah kerumah keluargamu dan tinggalah bersama mereka sampai Allah memberi keputusan atas urusan ini.” (Mutafaqun alaih)
Pembahasan Kesepuluh: Tentang Talak di tinjau dari Ta’liq dan Tanjiz
Talak bisa jatuh dengan
Catatan:
Yang penting untuk diperhatikan, jika yang diinginkan oleh seorang suami dengan mengucapkan kalimat talak mu’alaq (terikat syarat) adalah untuk menganjurkan agar sang istri melakukan sesuatu atau meninggalkan sesuatu, bukan dalam rangka untuk menjatuhkan talak maka ucapan itu adalah sumpah. Jika tidak terjadi apa yang dijadikan objek sumpah maka sang suami tidak ada kewajiban apa-apa; dan jika terjadi, maka ia wajib membayar kafarah sumpah.
Pembahasan Kesebelas: Tentang apakah jatuh talak dengan tulisan
Tulisan adalah sarana untuk mengungkapkan/menerangkan apa yang ada didalam hati sebagaimana diungkapkan/diucapkan dengan lisan. Ketika seseorang berniat menalak istrinya kemudian dia ungkapan dengan tulisan, seperti dengan menulis di kertas bahwa dia menalak istrinya maka talak dianggap jatuh (sah/terhitung) dengan tulisan walaupun dilakukan oleh orang yang bisa berbicara, ini pendapatnya jumhur (mayoritas) ulama dan difatwakan oleh Ibnu Baaz dan Ibnu Utsaimin merajihkan pendapat ini.
Pembahasan Keduabelas: Tentang seseorang yang ragu-ragu apakah dirinya sudah menalak istrinya
Berkata Asy-Syaikh al-Allamah Shalih Al-Fauzan: “Apabila ragu-ragu telah terjadi talak, dan yang di inginkan dari ragu-ragu apakah telah terjadi talak darinya, atau ragu-ragu bilangan talak, atau ragu-ragu apakah telah terjadi syaratnya :
Pembahasan Ketigabelas: Tentang talak sunnah dan talak bid’ah
Pengertian talak sunnah dan talak bid’ah
Pembahasan Keempatbelas: Hukum talak dalam keadaan haid atau dalam keadaan suci namun setelah digauli yang tidak diketahui hamil atau tidaknya, apakah jatuh sebagai talak?
Tentang hal ini para ulama berselisih pendapat, kebanyakkan para ulama berpendapat talak seperti ini jatuh, dan berdosa orang yang melakukannya. Dan ini pendapat yang benar, berdalil dikarenakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan Ibnu Umar yang menalak istrinya ketika haid untuk merujuknya. Tidaklah rujuk kecuali setelah terjadinya talak. Syaikh al-Albani dan Syaikh Muqbil merajihkan pendapat yang mengatakan talak jatuh.
Pembahasan Kelimabelas: Hukum talak dengan lafadz tiga sekaligus apakah jatuh talak tiga atau talak satu.
Seorang suami menjatuhkan talak kepada istrinya dengan berkata “kamu saya talak (cerai) tiga sekaligus” atau “kamu saya talak, kamu saya talak, kamu saya talak” apakah jatuh/terhitung sebagai talak tiga atau jatuh/terhitung satu kali talak. Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini, pendapat yang benar insya Allah pendapat yang mengatakan hal ini adalah talak yang haram dan jatuh/teranggap sebagai satu kali talak. Pendapat ini dinukilkan dari sekelompok salaf dan khalaf dari kalangan shahabat, dan ini pendapat kebanyakkan dari tabi’in dan yang setelah mereka dan ini pendapatnya sebagian shahabatnya Abu Hanifah, Malik dan Ahmad. Pendapat inilah yang dirajihkan oleh Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, ash-Shan’ani, Ibnu Baaz, Al-Albani, Ibnu Utsiamin dan Syaikh Muqbil rahimahullah. Diantara dalil mereka adalah hadits Ibnu Abbas berkata:
كَانَ الطَّلاَقُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَبِى بَكْرٍ وَسَنَتَيْنِ مِنْ خِلاَفَةِ عُمَرَ طَلاَقُ الثَّلاَثِ وَاحِدَةً فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ إِنَّ النَّاسَ قَدِ اسْتَعْجَلُوا فِى أَمْرٍ قَدْ كَانَتْ لَهُمْ فِيهِ أَنَاةٌ فَلَوْ أَمْضَيْنَاهُ عَلَيْهِمْ. فَأَمْضَاهُ عَلَيْهِمْ
“Dahulu pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kekhalifahan Abu Bakr dan dua tahun pertama dari kekhalifahan ‘Umar , talak yang dijatuhkan tiga kali sekaligus dihitung satu kali talak. Lantas umar mnyampaikan: ‘ssungguhnya orang telah tergesa-gesa pada urusan talak mreka yang mengandung tahapan (ingin menjatuhkan sbagai talak tiga sekaligus), maka bagaimana jika kami berlakukan saja bagi mereka hal itu? Umarpun mmberlakukannya bagi mereka.” (HR. Muslim no 3746) (Silahkan lihat Taudihul Ahkam: 5/496 )
Pembahasan Keenambelas: Tentang Talak Raj’i dan Talak Ba’in
Talak bain ada dua macam :
Pertama : Talak ba’inunah shugra (perpisahan yang kecil) adalah talak yang setelah dijatuhkan oleh suami tidak memiliki peluang untuk rujuk kembali kepada istrinya, kecuali dengan persetujuan istrinya dan dengan akad yang baru, dan tidak harus dinikahi dulu oleh laki-laki lain. Yaitu terjadi ketika masa iddah istri dalam talak raj’i (talak satu dan dua) telah selesai, dan sang suami belum merujuknya. Atau contoh yang lain yaitu talak yang dijatuhkan kepada istrinya yang belum pernah digauli (berhubungan suami istri) maka hukum perceraiannya adalah ba’inunah sughra. Tidak halal baginya untuk merujuknya, jika ingin kembali kepada istrinya itu (baca : mantan istri) harus dengan akad nikah yang baru. Karena hak rujuk ada pada masa iddah sedangkan ini (wanita yang dicerai yang belum pernah digauli) tidak ada masa iddahnya.
Kedua : Talak ba’inunah kubra (perpisahan yang besar) adalah talak yang setelah dijatuhkan oleh suami yang tidak ada kesempatan/peluang untuk rujuk (kembali) kepada istrinya. Kecuali dengan persetujuan istri, dengan akad yang baru. dan setelah mantan istrinya menikah dengan laki-laki lain dan telah melakukan hubungan suami istri (jima’), lalu mantan istrinya itu dicerai atau suaminya meninggal dan masa iddahnya telah selesai. Contohnya seorang suami mentalak istrinya, kemudian merujuknya dalam masa iddah atau menikahinya setelah habis masa iddahnya. Lalu mentalak lagi, kemudian merujuknya dalam masa iddah atau menikahinya setelah habis masa iddahnya, lalu dia mentalaknya lagi yang ketiga kalinya. Inilah talak ba’inah Qubra yang menjadikan istrinya tidak bisa dirujuk lagi.
RUJUK
Pembahasan Pertama: Pengertian rujuk dan dalil disyariatkannya
Rujuk adalah
إعادة زوجته المطلقة طلاقاً غير بائن إلى ما كانت عليه قبل الطلاق بدون عقد
Rujuk adalah mengembalikan istrinya yang tertalak yang bukan pada talak bain kepada keadaan sebelum terjadinya talak tanpa adanya akad. (al-Fiqih al-Muyyasar hlm 308)
Pembahasan Kedua: Dalil dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma
Dari Al-Qur’an
أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلاحًا
“…dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah.” (Al-Baqarah : 228)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda :
مره فيراجعها ثم ليطلقها طاهرا أو حاملا
“Suruh dia merujuk kembali istrinya, kemudian silahkan dia menalaknya dalam keaadaan suci atau sedang hamil.” (HR. Tirmidzi, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)
Ijma
Berkata Asy-Syaikh al-Allamah Shalih Al-Fauzan hafidzahullah:
وأما الإجماع؛ فقال ابن المنذر: “أجمع أهل العلم على أن الحر إذا طلق دون الثلاث والعبد إن طلق دون أثنتين،أن لهما الرجعة في العدة”
“Adapun Ijma’ berkata Ibnul Mundzir “Para ulama sepakat bahwa seorang suami yang merdeka apabila mentalak yang bukan talak tiga dan seorang budak apabila mentalak yang bukan talak dua maka baginya ada hak untuk rujuk pada masa iddah.” (Al-Mulakhos Al-Fiqhiy hlm 416)
Pembahasan Ketiga: Talak yang bisa dirujuk dan beberapa macam keadaan wanita yang tertalak
Pembahasan Keempat: Tata cara rujuk
Rujuk adalah hak mutlak suami di masa iddah wanita yang ditalak raj’i. Hak mutlak ini tanpa ada syarat kerelaan istri.
Tatacara merujuk harus sesuai syar’i
Contohnya: aku telah merujuk (mengembalikan) isteriku, atau aku telah mengembalikan isteriku kesisiku. Aku telah menginginkan isteriku lagi.
Pembahasan Kelima: Mempersaksiakan talak dan rujuk
Berkata asy-Syaikh Al-Allamah Abdurrahman Nashir as-Sa’di rahimahullah: “Dan disyariatkan mengumumkan nikah, talak dan rujuk dan mempersaksikan hal itu, berdasarkan firman Allah Ta’aala
{وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ} [الطلاق: 2]
“Serta persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil (istiqamah, bukan orang fasik –ed) di antara kalian.” (ath-Thalaq : 2) (Manhajus Saalikin, hlm 184)
IDDAH
Pembahasan Pertama: Pegertian iddah dan dalil disyariatkannya
Iddah adalah sebuah nama untuk waktu tertentu seorang wanita menunggu dalam rangka beribadah (menjalankan perintah Allah –ed), bersedih atas suami, atau memastikan kosongnya rahim.” (al-Fiqh al-Al-Muyasar, hlm 317)
Atau iddah adalah sebuah nama untuk jangka waktu tertentu seorang istri menunggu dari menikah lagi setelah ditinggal mati oleh suaminya atau setelah dirinya ditalak. Dengan menunggu tiga kali haid, atau dengan tiga bulan atau dengan empat bulan sepuluh hari
Pembahasan Kedua: Dalil disyariatkanya iddah
Dalil dari Al-Qur’an
Allah Ta’aala berfirman :
وَالمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’” (Al-Baqarah :228)
Dalil dari Sunnah
عَنِ الْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ أَنَّ سُبَيْعَةَ الأَسْلَمِيَّةَ نُفِسَتْ بَعْدَ وَفَاةِ زَوْجِهَا بِلَيَالٍ فَجَاءَتِ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَاسْتَأْذَنَتْهُ أَنْ تَنْكِحَ فَأَذِنَ لَهَا فَنَكَحَتْ
Dari Miswar bin Makhramah, bahwasannya Subai’ah Al-Aslamiyyah radhiyallahu ‘anha mengalami nifas setelah di tinggal wafat oleh suaminya beberapa hari, maka dia datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk minta ijin menikah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengijinkannya. Maka menikahlah dia.” (HR. Bukhari no 5320)
Pembahasan Ketiga: Hikmah di Syariatkan iddah
Banyak hikmah disyariatkannya iddah, diantaranya:
– Untuk memsatikan kosongnya rahim dari janin, sehingga tidak tercampurnya nasab
– Untuk memberikan waktu bagi suami yang mencerai istrinya untuk rujuk apabila dia menyesal jika pada talak raj’i
– Menjaga hak seorang wanita/istri yang hamil apabila terjadi talak pada saat hamil.
– Untuk memperlihatkan betapa besarnya dan terhormatnya permasalahan pernikahan dan memberikan pemahaman bahwa akad nikah mengungguli akad-akad yang lainnya.
– Memperlihatkan rasa sedih karena baru kehilangan suami/ditinggal mati suami. Jadi kalau wanita menahan diri untuk tidak berdandan, hal itu membuktikan kesetiaannya kepada suaminya yang telah meninggal. (silahkan lihat Mulakhos Fiqhiy, Syaikh Al-Fauzan, hlm 419-420, Fiqih Muyasar, hlm 317)
Pembahasan Keempat: Macam-macam wanita dengan iddahnya
Berkata asy-Syaikh Sa’di rahimahullah:
Apabila masih mengalami haid maka iddahnya tiga kali haid sempurna, berdasarkan firman Allah Ta’aala
وَالمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’” (Qs. Al-Baqarah :228) (Manhajus Saalikin, hlm 188)
Apakah yang dimaksud quru’ pada ayat ini haid atau suci?
Para ulama berselisih pendapat tentang makna quru’ (menurut syar’i).
Pendapat pertama: Quru’ adalah haid ini pendapatnya Umar bin Khatab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud dan sekelompok shahabat.
Pendapat kedua: yang dimaksud quru’ adalah suci, bukan haidh. Ini pendapatnya ‘Aisyah, Ibnu Umar , Ibnu Abbas, Zaid bin Tsabit dan yang lainnya.
Wallahu a’lam bish shawwab insya Allah yang rajih tentang makna quru’ adalah haid.
Diantara dalilnya adalah berdasarkan firman Allah Ta’aala:
وَاللائِي يَئِسْنَ مِنَ المَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللائِي
لَمْ يَحِضْنَ
“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid.” (Ath-Thalaq : 4)
Ayai ini menujukkan ketika seseorang sudah tidak haid lagi atau belum mengalami haid maka iddahnya tiga bulan, hal ini menunjukkan asal iddah adalah haid. Wallahu a’alam bish shawwab. Pendapat ini yang dirajihkan oleh Ibnul Qayyim.
Berkata asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah: “Dan bagi wanita yang belum haid seperti anak kecil dan yang wanita yang sudah tidak haid lagi seperti wanita yang sudah tua (moneupouse) maka iddahnya tiga bulan, berdasarkan firman Allah:
وَاللائِي يَئِسْنَ مِنَ المَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللائِي
لَمْ يَحِضْنَ
“dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid.” (Ath-Thalaq : 4) (Manhajus Saalikin, hlm 188)
Berkata asy-Syaikh As-Sa’di: “Apabila dalam keadaan hamil maka iddahnya sampai melahirkan semua apa yang ada di perutnya, berdasarkan firman Allah Ta’aala:
وَأُولاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Sedangkan permpuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu sampai mereka melahirkan kandungannya” (ath-Thalaq:4)
Dan ini umum pada perpisahan dengan kematian atau dalam keadaan hidup (talak –ed).” (Manhajus Saalikiin, hlm 188)
Berdasarkan, firman Allah Ta’aala:
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari.” (al-Baqarah:234)
Seorang istri yang ditalak dalam keadaan belum pernah digauli sama sekali tidak ada iddah baginya. Berdasarkan firman Allah Ta’aala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ المُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu menikahi perempuan-perempuan mukmin, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka tidak ada masa iddah atas mereka yang perlu kamu perhitungkan.” (al-Ahdzab: 49). Wallahu ‘alam bish shawwab
ditulis oleh: Abdullah al-Jakarty
Sumber bacaan
Manhajus Saalikiin Syaikh ‘Aburrahman As-Sa’di
Mulakhos Al-Fiqhy Syaikh Shalih Al-Fauzan
Fiqih Muyyasar kumpulan para ulama
Dan yang lainnya
Sumber : nikahmudayuk.wordpress.com