Amar ma’ruf nahi munkar adalah poros penting adalam agama, walaupun hal itu sering disalahgunakan. Terkadang untuk kepentingan politik, hawa nafsu dan lain-lain. Banyak para pemuda yang memiliki semangat untuk memperjuangkan Islam salah langkah dalam hal ini. Dengan hanya berbekal sedikit ilmu dan besar semangat, mereka menyeret umat Islam yang tidak berdosa kepada pertumpahan darah yang sia-sia. Mereka tidak mengerti adab-adab dan tingkat-tingkat beramar ma’ruf nahi munkar sehingga mereka justru mengaburkan makna amar ma’ruf nahi munkar.
Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sering digunakan dan salah ditafsirkan adalah:
عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ رضي الله عنه قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَ ذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ.
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radliyallahu ‘anhu, ia mengatakan: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Barangsiapa di antara kalian melihat sebuah kemungkaran, maka hendaklah dia merubahnya dengan tangannya. Jika ia belum sanggup, maka hendaklah ia menggunakan lisannya. Jika ia masih belum sanggup, maka hendaklah ia menggunakan hatinya. Itu adalah selemah-lemah keimanan. (HR Muslim dalam Shahihnya no. 78-79, Turmudzi dalam Sunannya no. 2172, An-Nasa`i dalam Sunannya, no. 5023-5024, Ahmad dalam Musnadnya 3/10,20,49, Abu Dawud dalam Sunannya no. 1140, Ibnu Majah dalam Sunannya no. 1275, dan Abu Ya’la Al Mushuli dalam Musnadnya no. 1005 tahqiq Irsyadul Haq Al-Atsari. (An-Nadliyah fi takhrij ‘arba’in An-Nawawiyah))
Syarah Hadits
Hadits ini adalah hadits yang sangat agung, mengandung kewajiban beramar ma’ruf nahi munkar[1] yang merupakan poros terbesar dalam agama ini. Allah mengutus para nabi dengan memikul kewajiban itu. Kalau hamparan amar ma’ruf nahi munkar digulung, akan hancurlah agama ini. Timbullah kerusakan dan hancurlah negeri-negeri.[2]
Berkenaan dengan asbabul wurud hadits ini dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa Marwan bin Al-Hakam bin Abil ‘Ash, seorang khalifah Bani Umayah di Syam, mendahulukan khutbah sebelum shalat pada hari Ied. Ketika itu seseorang berdiri seraya berkata: “Shalat dulu, kemudian khutbah.” Maka Abu Sa’id mengomentari sikap orang tadi dengan ucapannya: “Orang ini telah menunaikan kewajibannya, karena aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda… (beliau menyebutkan hadits di atas)…” dan seterusnya.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa yang melakukannya adalah Abu Sa’id sendiri. Beliau bercerita: “Kaum muslimin terus dalam keadaan yang demikian (shalat lalu khutbah), hingga aku keluar (ke lapangan) bersama Marwan yang ketika itu menjabat amir kota Madinah di hari Idul Fithri atau Adlha. Ketika kami sampai di lapangan, ternyata di sana ada mimbar yang dibuat oleh Katsir bin Ash-Shalt. Kemudian ia bermaksud naik ke mimbar, padahal belum shalat. Maka kutarik bajunya, tetapi dia membalas menarik pula. Ketika sudah berada di atas, dia berkhutbah sebelum shalat. Aku katakan kepadanya: “Demi Allah, engkau telah merubah.” Marwan mengatakan lagi: “Hai Abu Sa’id, telah hilang apa yang engkau ketahui.” Aku katakan lagi: “Apa yang aku ketahui lebih baik daripada apa yang tidak kuketahui.” Marwan menambahkan: “Demi Allah, sesungguhnya orang-orang ini tidak mau duduk mendengarkan kami setelah shalat maka aku berkhutbah sebelum shalat.”[3]
Imam An-Nawawi mengatakan: “Dimungkinkan hal ini adalah dua peristiwa yang salah satunya adalah kisah Abu Sa’id, sedang yang lainnya adalah kisah orang lain di hadapan Abu Sa’id.[4]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata tentang hukum amar ma’ruf nahi munkar dalam Majmu’ Fatawa 28/126: “Tidak wajib atas setiap person tertentu, melainkan fardlu kifayah sebagaimana yang dinyatakan oleh Al-Qur`an.” (Lihat Dlawabith Amar Ma’ruf, Ali Hasan hal. 23).
Adab-adab Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Ibnu Qudamah dalam Mukhtashar Minhajil Qashidin hal. 123-129 secara ringkas mengatakan bahwa rukun-rukun amar ma’ruf nahi munkar ada empat:
Rukun pertama, pelaku amar ma’ruf seorang yang mukallaf[5], muslim dan sanggup. Walaupun demikian seorang anak usia tamyiz[6] juga dapat beramar ma’ruf nahi munkar dan akan mendapatkan pahala karenanya walaupun tidak wajib atasnya. Sebagian orang ada yang mengatakan bahwa syarat seseorang beramar ma’ruf nahi munkar harus memiliki sifat ‘adalah (meninggalkan maksiat) dan mengatakan bahwa orang fasik tidak boleh beramar ma’ruf berdasarkan ayat:
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ…
Apakah kalian menyeru manusia berbuat kebaikan sedangkan kalian melupakan diri kalian. (Al-Baqarah: 44).
Tapi pernyataan ini tidak bisa dijadikan hujjah.
Ada pula yang mensyaratkan si pelaku amar ma’ruf nahi munkar harus mendapatkan ijin dari imam atau penguasa sedangkan rakyat tidak boleh melakukannya. Pendapat ini keliru sebab ayat-ayat dan hadits-hadits secara umum menunjukkan bahwa setiap orang yang melihat kemungkaran, kemudian mendiamkannya berarti dia bermaksiat. Maka pengkhususan harus dengan izin sang imam akan mempersulit.
Yang mengherankan pula, Rafidlah menambah dengan tidak boleh amar ma’ruf sebelum imam yang ma’ruf keluar. Bila mereka datang kepada hakim untuk meminta hak-hak mereka, maka katakan kepada mereka: Permintaan tolong dan pengembalian hak-hak kalian berarti amar ma’ruf nahi munkar padahal masanya belum datang karena imam belum keluar.
Amar ma’ruf nahi munkar memiliki lima tingkatan:
1. Mengenalkan kebenaran.
2. Nasehat dengan ucapan yang lembut.
3. Cercaan dan makian. Yang kita maksud di sini bukan cercaan yang kotor melainkan kita katakan padanya seperti: Wahai jahil! Dungu! Apakah kamu tidak takut kepada Allah? Dan lain-lain.
4. Mencegah dengan keras, seperti menghancurkan alat-alat musik dan menumpahkan khamr.
5. Ancaman dan hukuman dengan pukulan, atau langsung dipukul sampai ia berhenti dari perbuatannya. Tingkatan yang kelima ini membutuhkan imam, berbeda dengan yang sebelumnya, sebab dikhawatirkan terseret kepada fitnah.
Jika ada yang bertanya apakah boleh seorang anak beramar ma’ruf kepada ayahnya, hamba kepada tuannya, istri kepada suaminya, atau rakyat kepada penguasa? Jawabnya: Pada asalnya hal itu boleh bagi semuanya dan sudah kita bawakan lima tingkatan tadi. Maka bagi anak tingkatannya adalah dengan mengenalkan kebenaran kemudian nasehat dengan lembut. Adapun tingkatan yang ketiga dan seterusnya selayaknya dilakukan oleh tuan kepada budak atau suami terhadap istri. Adapun rakyat kepada penguasa perkaranya lebih keras dari anak, tidak ada kewajiban bagi rakyat kecuali dengan pengenalan dan nasehat.
Disyaratkan juga si pelaku itu sanggup untuk mengingkari. Adapun yang lemah tidak ada kewajiban baginya kecuali mengingkari dengan hati. Tidak gugur kewajiban ini bagi yang lemah tubuhnya melainkan karena dikhawatirkannya dia terkena gangguan. Itulah makna kelemahan di sini.
Begitu pula bila dia tahu bahwa pengingkarannya diduga tidak bermanfaat, maka terbagi dalam 4 keadaan:
1. Bila dia tahu kalau kemungkaran itu bisa lenyap dengan ucapan atau perbuatannya, tanpa ia terkena bahaya, maka wajib baginya untuk melakukannya.
2. Bila dia tahu bahwa ucapannya tidak bermanfaat dan apabila dia berbicara akan dipukul, maka gugurlah kewajiban atasnya.
3. Bila dia tahu bahwa ucapannya tidak bermanfaat, tetapi dia tidak khawatir terkena bahaya, maka tidak wajib baginya karena tidak bermanfaat. Akan tetapi hal itu disukai untuk menunjukkan syiar-syiar Islam dan untuk mengingatkan manusia kepada agama.
4. Bila dia tahu bahwa dia akan terkena bahaya, tetapi kemungkaran tersebut akan hilang dengan sikapnya seperti menghancurkan alat-alat musik atau menumpahkan khamr padahal dia tahu bahwa dia akan dipukul setelah itu, maka kewajiban gugur darinya dan hukumnya tinggal mustahab, berdasarkan sabda Nabi:
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ.
Jihad yang paling utama adalah ucapan yang benar yang disampaikan di hadapan penguasa yang jahat. (HR. Abu Said, Abu Umamah, Thariq bin Syihab, Jabir bin Abdullah dan Suhri secara mursal, lebih rinci lihat Ash-Shahihah no. 491)
Tidak terjadi perselisihan tentang bolehnya seorang muslim menyerang barisan orang kafir, walau akhirnya dia harus mati. Tapi bila dia tahu dia tidak bisa mengalahkan orang kafir seperti orang buta mencampakkan dirinya ke tengah-tengah musuh, maka haram hukumnya. Begitu pula bila dia melihat seorang fasiq yang minum khamr dan di tangannya ada pedang dan dia tahu kalau dia melarang minum khamr, dia akan dibunuh, maka tidak boleh baginya untuk melakukannya. Karena hal ini tidak memberi pengaruh yang bisa memberi manfaat. Hanya disukai baginya untuk mengingkari bila dia sanggup untuk menghapuskan kemungkaran tersebut. Dan tumbuh manfaat dengan sikapnya itu seperti orang yang menyerang barisan orang-orang kafir dan lain-lain.
Jika dia tahu bila teman-temannya juga akan terkena bahaya, maka tidak boleh baginya untuk melakukannya karena dia tidak kuat untuk menolak kemungkaran itu kecuali dengan menyeret kemungkaran yang lain. Hal itu tidak dianggap mampu sedikitpun. Dan yang dimaksudkan dengan tahu di sini adalah perkiraan kuat. Siapa yang mengira dengan kuat bahwa dia akan terkena bahaya maka tidak wajib baginya untuk mengingkari. Jika kuat perkiraannya bahwa dia tidak akan terkena bahaya, maka wajib baginya melakukannya. Bukan pengecut atau pemberani yang berlebihan, tetapi dinilai dengan tabiat yang wajar. Yang dimaksud dengan bahaya di sini adalah seperti pemukulan atau pembunuhan. Begitu juga perampasan harta atau diumumkan di negeri itu sebagai orang jelek. Adapun penghinaan dan cercaan maka tidak menjadi alasan untuk diam sebab orang yang beramar ma’ruf biasanya akan menemui hal itu. (Masih dalam Mukhtashar Minhaj Al-Qashidin)
Rukun kedua, “kemungkaran itu ada ketika itu dengan jelas”. Makna mungkar adalah dilarang dilakukan menurut syariat[7]. Mungkar lebih umum daripada maksiat. Bila seseorang melihat anak kecil atau orang gila meminum khamr, maka wajib baginya untuk menumpahkan dan melarangnya. Begitu juga bila lelaki gila berzina dengan wanita gila atau dengan hewan maka wajib baginya untuk mencegah.
Kata “ada ketika itu”, berarti bukan terhadap orang yang telah selesai meminum khamr atau sejenisnya. Dan juga bukan terhadap apa yang akan didapati dalam keadaan lain, seperti orang yang mengetahui melalui tanda-tanda bahwa ada yang ingin “minum” di malam hari. Tidak ada amar ma’ruf terhadap orang tersebut kecuali dengan nasehat.
Kata “dengan jelas”, berarti orang yang melakukan maksiat tidak dengan sembunyi-sembunyi di rumahnya dan mengunci pintunya. Orang yang bermaksiat dengan sembunyi-sembunyi tidak boleh dimata-matai, kecuali sampai diketahui oleh orang yang di luar rumah seperti suara alat-alat musik. Bagi orang yang mendengarkannya, hendaknya masuk dan menghancurkannya. Atau jika keluar bau khamr, menurut pendapat yang benar boleh diingkari.
Juga disyariatkan dalam mengingkari kemungkaran harus benar-benar diketahui bahwa hal itu mungkar, bukan termasuk perkara ijtihad. Setiap yang masih dalam hal ijtihad, tidak dikenai hal ini.
Rukun ketiga, syarat orang yang diingkari. Cukup dengan sifatnya sebagai manusia. Tidak disyaratkan orang tersebut harus mukallaf dulu, sebagaimana yang telah kita jelaskan tadi, maka seperti terhadap anak-anak dan orang-orang gila tetap diingkari.
Rukun keempat, tentang amar ma’ruf itu sendiri. Hal ini memiliki beberapa tingkat dan adab:
1. Si pelaku amar ma’ruf memang mengetahuinya, tidak boleh baginya untuk mencari pendengaran dari rumah yang lain untuk mendengar suara musik atau sengaja mengendus bau khamr. Atau menyentuh sesuatu yang telah ditutup dengan pakaian agar ia tahu apa yang ada di dalamnya. Atau mencari-cari kabar kepada para tetangganya agar diberi tahu apa yang terjadi. Tetapi apabila ia diberi tahu oleh dua orang yang adil bahwa si A meminum khamr, maka ketika itu dia boleh masuk dan mengingkari.
2. Mengenalkan kebenara karena ada orang yang dengan jahil melakukan sesuatu karena menganggap perbuatan itu tidak mungkar dan bila dia tahu dia akan meninggalkannya. Maka wajib memberitahukannya dengan lembut. Katakan kepadanya: “Memang manusia ketika lahir tidak langsung menjadi orang yang tahu. Kita tidak mengetahui tentang masalah agama sampai para ulama mengajari kita.” Karena mungkin juga temanmu itu jauh dari para ulama. Bersikap lembutlah kepadanya agar dia mengerti tanpa menyakitinya. Barangsiapa diam ketika melihat kemungkaran dengan alasan tidak mau menyakiti sesama muslim padahal dia harus berbicara, maka hal ini sama dengan mencuci darah dengan air seni.[8]
3. Melarang dengan nasehat dan menyuruhnya takut kepada Allah dengan menyampaikan kabar-kabar yang berisi ancaman. Ceritakan kepadanya kisah-kisah para salaf. Lakukan hal itu dengan rasa kasih sayang dan lembut tanpa perlu mencaci dan emosi. Di sini banyak terjadi kekeliruan yang harus dijaga, yaitu seseorang yang tahu ketika menasehati menganggap dirinya paling mulia karena dia tahu kemudian merendahkan lawan bicara karena tidak tahu. Hal itu sama dengan seseorang yang ingin menyelamatkan orang lain dengan membakar dirinya ke dalam api. Ini adalah kebodohan yang sangat, kehinaan yang hebat dan tipuan setan. Maka dibutuhkan barometer, agar seyogyanya pelaku amar ma’ruf tadi menguji dirinya. Yaitu dengan mengingkari kemungkaran terhadap dirinya sendiri. Jika ternyata dia mengikuti hawa nafsunya, bertujuan agar terkenal melalui amar ma’rufnya tadi, maka hendaklah ia takut kepada Allah dan mengintrospeksi dirinya dahulu.
Dikisahkan, ada yang bertanya kepada Daud At-Tha’i: “Bagaimana pendapat anda terhadap seseorang yang menemui para umara, kemudian menyuruh mereka kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar? Daud menjawab: “Aku khawatir dia akan dicambuk.” Penanya: “Dia sanggup untuk menghadapinya.” Daud: “Aku khawatir dia akan terkena pedang.” Penanya: “Ia sanggup.” Daud: “Aku takut dia terkena penyakit yang berbahaya, yaitu ‘ujub (bangga terhadap dirinya sendiri).”
4. Cercaan dan makian dengan ucapan yang keras dan menusuk. Cara ini dipilih bila tidak bisa dicegah dengan lembut dan menunjukkan sikap mengejek peringatan dan nasehat serta terus melakukan perbuatan tersebut. Yang kita maksudkan di sini bukan dicerca dengan ucapan yang mengandung kekejian dan dusta. Tapi katakan kepadanya: “Hai fasiq, dungu, bodoh, apakah kamu tidak takut kepada Allah?” Allah berfirman tentang Nabi Ibrahim:
أُفٍّ لَكُمْ وَلِمَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَفَلاَ تَعْقِلُونَ. (الأنبياء: ٦۷)
Ah, celaka kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah. Apakah kalian tidak berakal? (Al-Anbiya`: 67)
5. Merubah dengan tangan, seperti menghancurkan alat-alat musik, menumpahkan khamr dan mengusir penghuni rumah curian dari rumah tersebut. Tingkatan ini memiliki 2 adab:
a. Jangan langsung mengadakan perubahan selama orang yang diingkari sanggup untuk memikul hal tersebut (yaitu) bila dia mau pergi dari tempat yang dirampasnya, tidak perlu sampai menyeretnya.
b. Menghancurkan alat musik itu sampai benar-benar tidak bisa dipergunakan lagi. Jangan lebih dari itu. Dan berhati-hati ketika menumpahkan khamr agar jangan sampai memecah bejana-bejana lain jika mungkin. Jika dia tidak sanggup untuk itu kecuali harus dengan melempar bejana itu dengan batu atau yang sejenis, itu boleh baginya. Dengan itu akan hilang harga bejana itu. Kalau dia menutup-nutupi khamr dengan tangannya dan hanya bisa dijalankan dengan jalan tangan si pemilik juga dipukul, maka tidak mengapa. Bila khamr berada dalam bejana yang mulutnya kecil, yang bila ditumpahkan akan memakan waktu yang lama dan dia akan ditemui pemiliknya kemudian dicegah, maka hendaklah dia memecahkannya. Ini dianggap udzur.
Jika ada pertanyaan: Apakah boleh memecahkannya dengan paksa dan menarik penghuni untuk meninggalkan rumah dengan paksa?
Jawabnya: Itu boleh untuk penguasa. Tidak untuk rakyat karena tidak adanya segi ijtihad dalam hal itu.
6. Dengan ancaman, seperti: “Tinggalkan perbuatan ini, kalau tidak saya akan buat kamu jadi begini dan begitu!” Jika perlu untuk dipukul tidak mengapa.
Adab dalam hal ini adalah jangan mengancam dengan ancaman yang tidak boleh dilakukan seperti: “Akan kuhancurkan rumahmu dan kuculik istrimu.” Jika dia mengucapkan dengan sungguh-sungguh, maka haram hukumnya. Jika tidak, berarti dusta.
7. Langsung memukul dan menendang dan lain-lain selain senjata. Itu boleh bagi perorangan dengan syarat terpaksa dan seperlunya. Jika kemungkaran itu sudah lenyap selayaknya dihentikan.
8. Dia tidak sanggup sendiri dan membutuhkan teman dengan mengangkat senjata, karena kadang-kadang si pelaku juga memiliki teman-teman yang menjurus kepada peperangan. Yang benar dalam hal ini butuh kepada ijin Imam karena menjurus kepada fitnah dan kerusakan. Dan ada juga yang menyatakan tidak perlu ijin. (Selesai ucapan Ibnu Qudamah dalam Mukhtashar Minhajul Qashidin)
Tentang Sifat si Pelaku Amar Ma’ruf
Di atas sudah disebutkan adab-adab pelaku amar ma’ruf dengan rinci. Dan kesimpulannya ada tiga sifat:
1. Ilmu tentang amar ma’ruf dan batas-batasnya agar berada dalam batas syariat[9].
2. Wara’ karena dia kadang-kadang tahu tentang sesuatu tetapi tidak mengamalkannya karena suatu hal.
3. Baik akhlak. Ini dasar agar bisa menahan akibat. Karena kemarahan bila bergejolak tidak bisa ditahan dengan semata-mata ilmu dan wara’ dalam memadamkannya selama tidak ada baik akhlak secara tabiat.
Sebagian para salaf berkata: “Jangan seseorang menyuruh kepada yang ma’ruf kecuali dengan lembut dan juga ketika melarang. Kasih sayang ketika menyuruh dan melarang. Paham dalam menyuruh dan melarang.”
Bersikap lembut dalam beramar ma’ruf, itu jelas. Berdasarkan ayat:
فَقُوْلاَ لَهُ قَوْلاً لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى. (طه: ٤٤)
Katakan kepadanya (Fir’aun) perkataan yang lembut. (Thaha: 44)
Pernah seorang pemuda lewat dalam keadaan menyeret pakaiannya (isbal), maka teman-teman Shilah bin Usyaim mencercanya dengan keras. Maka Shilah berkata: “Biarkanlah aku menyelesaikannya.” Kemudian Shilah berkata kepada pemuda itu: “Wahai anak saudaraku, aku ada perlu sedikit denganmu.” Pemuda itu berkata: “Apa itu?” Shilah: “Aku ingin agar engkau meninggikan sarungmu.” Pemuda: “Baiklah kalau begitu.” Maka pemuda itu pun mengangkat sarungnya. Kemudian Shilah beralih kepada rekan-rekannya dan berkata: “Bukankah ini yang kalian maukan. Jika kalian mencacinya dan menyakiti dia akan membalas kalian.”
Beberapa Tujuan dalam Beramar Ma’ruf
Ibnu Rajab dalam Iqadhul Himam hal. 465 berkata: “Ketahuilah bahwa beramar ma’ruf dan nahi munkar kadang-kadang karena mengharap pahala, dosa jika ditinggalkan, kemarahan Allah karena larangan-Nya dilanggar, menasehati kaum muslimin dan kasih sayang kepada mereka, mengharap mereka terlepas dari dosa-dosa yang akibatnya mereka akan terkena hukuman Allah di dunia dan akhirat. Dan juga karena memuliakan dan mencintai Allah, karena Dia yang paling berhak untuk ditaati, diingat dan tidak dilupakan, disyukuri dan tidak dikufuri. Dan menebus dengan jiwa dan harta terhadap kehormatan Allah yang dilanggar, sebagaimana yang diucapkan oleh sebagian salaf: ‘Aku ingin agar semua manusia taat kepada Allah walau dagingku harus digunting.'” (Iqadhul Himam)
Dalam amar ma’ruf nahi munkar ada sekelompok orang yang meninggalkannya sama sekali. Ada yang tidak mengetahui patokan dan batas-batasnya hingga bertindak melampaui batas. (Dlawabith, Ali Hasan hal. 18)
Beberapa faedah yang dapat dipetik dari pembahasan ini adalah:
1. Amar ma’ruf nahi munkar termasuk bagian dari iman. Oleh sebab itu Imam Muslim memasukkan dalam kitabul iman.
2. Siapa yang sanggup untuk melaksanakan bagian-bagian itu, lebih baik dari yang meninggalkannya karena lemah, walau diberi udzur.
3. Siapa yang khawatir terhadap dirinya akan dipukul, dibunuh atau dirampas hartanya, maka gugur kewajiban darinya dengan tangan dan lisan, tapi wajib mengingkari dengan hati. Barangsiapa yang hatinya tidak mengingkari yang mungkar berarti telah lenyap keimanan darinya.
4. Sangat perlunya kita melihat contoh dari para salaf dalam memahami hadits ini agar tidak salah paham.
5. Harus berilmu hingga tahu mana yang harus disikapi dengan keras dan lembut agar jangan terbalik. Hal ini menunjukkan pentingnya ilmu dan bimbingan para ulama.
Wallahu a’lam bish shawab.
Maraji’:
Shahih Muslim, Muslim bin Al-Hajjaj An-Naisaburi (206-261 H), Dahlan, tanpa tahun.
Sunan Turmudzi, Abu Isa Muhammad bin Isa (209-279 H), Darul Kutub ‘Ilmiyah, tahqiq Ahmad Syakir, tanpa tahun.
Sunan Nasa`i, Ahmad bin Syu’aib (215-303 H), Darul Ma’rifah, cet. II, 1412 H-1992 M.
Musnad Ahmad, Ahmad bin Hambal (164-241 H), Darul Kutub Ilmiyah, cet. I, 1413 H-1993 M. Adapun naskah keduanya tanpa tahun dan tidak jelas penerbitnya.
Sunan Abu Daud, Sulaiman bin Al-Asy’ats As-Sijistani (202-275 H), Darul Fikr, Tahqiq Shidqi M. Jamil. 1414 H – 1994 M.
Sunan Ibnu Majah, Muhammad bin Yazid bin Majah (207-273/275 H), Darul Rayyan Lit Turats, tahqiq M. Fuad Abdul Baqi, tanpa tahun.
Musnad Abu Ya’la, Ahmad bin Ali At-Tamimi (210-307 H), Darul Qiblat, tahqiq Irsyadul Haq Al-Atsari, cet. I, 1408 H – 1988 M.
Qawa’id wal Fawa’id, Nadhim Sulthan, Darul Hijrah, cet. II, 1410 H.
Mukhtashar Minhajul Qashidin, Imam Ibnu Qudamah (wafat 742 H), Al-Maktab Al-Islami, cet. VII, tahqiq Zuhair Syawais.
Fathul Bari, Imam Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani (773-852 H), Darud Diyan Lit Turats, Isyraf Syaikh Muhibbuddin Al-Khathib, Muhammad Fu’ad Abdul Baqi dan Qushay Muhibbuddin Al-Khatib, cet. II.
Syarh An-Nawawi, Yahya bin Syaraf An-Nawawi (631-676 H), I’dad Ali Abdul Hamid, Darul Khair, cet. II, 1414 H – 1994 M.
Majmu’ Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (661-728 H), Jam’u wat Tartib Abdurrahman bin Muhammad, Isyraf Ar-Riyasatul Ammah Li Syu’inil Haramain, tanpa tahun.
Dhawabith, Ali Hasan, Al-Ashalah, cet. I, 1414 H – 1994 M.
Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, M. Nashiruddin Al-Albani, Al-Maktabah Al-Ma’arif, 1415 H – 1995 M.
Iqadhul Himam, Salim Al-Hilali, Darul Ibnul Jauzi, 1414 H – 1993 M.
Sumber: Majalah Salafy edisi XXV/1418 H/1998 M, Rubrik Nasehati
[1] Qawaid wa Fawaid, Nadhim Sulthan hal. 285
[2] Mukhtashar Minhajul Qashidin, Ibnu Qudamah hal. 131
[3] Fathul Bari 3/102
[4] Syarah An-Nawawi 1/217
[5] Mukallaf adalah seorang dewasa yang sudah dikenai beban syari’at
[6] Tamyiz adalah seorang anak yang sudah mulai dapat membedakan dan berpikir benar
[7] Makna ini sebagai bantahan terhadap pernyataan Syafi’i Ma’arif dalam majalah Suara Muhammadiyah no. 01/02 th ke 83 hal. 20, sebagai berikut: “Definisi ma’ruf adalah sesuatu yang dikenal baik dan diterima oleh akal maupun masyarakat. Sedangkan munkar adalah sesuatu yang ditolak oleh akal sehat.”
[8] Yakni maunya membersihkan tetapi dengan sesuatu yang lebih jelek dan lebih najis.
[9] Hal ini sangat penting, karena jika tanpa ilmu niatnya yang baik tidak akan tercapai karena salah dalam penerapan. Yang seharusnya disikapi dengan keras, dia sikapi dengan lembut atau sebaliknya. (pen)