1. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menegaskan bahwa terjadinya perbuatan tasyabbuh itu tidak dipersyaratkan niat. Para ‘ulama menegaskan bahwa perbuatan tasyabbuh, meskipun pelakunya tidak meniatkan demikian, tetap dinyatakan terjadi tasyabbuh dengan adanya kesamaan secara mutlak. Suatu hukum yang diiringi dengan sebab tidak dipersyaratkan padanya niat. Kapan terdapat sebabnya, maka ketika itu hukumnya pun ada.
Perbuatan tasyabbuh tetap dilarang walaupun tanpa ada niat. Namun kalau diiringi dengan niat, maka dosanya lebih besar lagi. [1]
2. Makna (الطاعة ) : adalah mencocoki perintah, yakni engkau mencocoki Allah dalam perkara yang Dia kehendaki dari-Mu jika Dia memerintahkan kamu. Jadi makna taat adalah melaksanakan perintah. Apabila Allah melarangmu, maka bentuk ketaatan (terhadap-Nya) adalah dalam bentuk engkau meninggalkan larangan tersebut. Ini makna kalimat taat jika dalam konteks tersendiri.
Adapun jika disebutkan kata “taat” dan kata “maksiat” secara bersamaan, makna makna “taat” adalah melaksanakan perintah, sedangkan “maksiat” adalah melakukan larangan. [2]
3. Banyak dari ‘ulama yang berpendapat haramnya nadzar. Dan yang tampak dari penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, beliau cenderung menyatakan haramnya nadzar. Karena Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam telah melarang dari nadzar, dan menyatakan bahwa nadzar tidak mendatangkan kebaikan.
Di antara yang menunjukkan kuatnya pendapat yang menyatakan haram, terutama nadzar mu’allaq, bahwa seorang yang bernadzar seakan-akan tidak percaya kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Seakan-akan dia meyakini bahwa Allah tidak akan memberikan kesembuhan kepadanya kecuali kalau dia memberikan kepada-Nya balasan. Oleh karena itu, ketika dia putus asa untuk bisa sembuh dia akhirnya bernadzar. Pada sikap ini terdapat sikap buruk sangka kepada Allah. Jadi pendapat yang menyatakan haramnya nadzar adalah pendapat yang kuat.
Kalau ada yang bertanya, Bagaimana engkau mengharamkan sesuatu yang Allah puji orang yang menunaikannya?
Maka jawabannya, bahwa kita tidak mengatakan bahwa yang haram adalah menunaikan nadzar, yang berarti kita melawan dalil. Namun kita katakan bahwa yang haram atau yang sangat dimakruhkan adalah membuat nadzar.
Jadi beda antara membuat nadzar dengan menunaikan nadzar. [3]
Membuat nadzar itu sifatnya memulai, adalah menunaikan adalah kondisi lanjutan yaitu merealisasikan apa yang telah ia nadzarkan.
4. Kuburan Al-Badawi dan Ad-Dasuqi berada di Mesir, sedangkan kuburan Ibnu ‘Arabi berada di Siria. Yang aneh adalah bahwa penduduk Iraq menyatakan bahwa kuburan Husain ada pada mereka, mereka menthawafi kuburannya dan meminta kepada, sementara itu penduduk Mesir mengklaim hal yang sama, demikian juga penduduk Siria juga mengklaim hal yang sama. Ini merupakan kedunguan pada akal, dan kesesatan dalam agama. [4]
5. Makna Al-’Asyirah adalah qabilah seseorang mulai dari kakek keempat terus ke bawah. [5]
6. “Quraisy” adalah Fihr bin An-Nadhar bin Malik, salah seorang kakek Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam. [6]
7. Qunut Nazilah, apabila kaum muslimin tertimpa peristiwa/musibah besar, maka semestinya didoakan untuk mereka sampai hilang peristiwa/musibah besar tersebut. Yang tampak dari bimbingan As-Sunnah, Qunut (Nazilah) dituntunkan ketika terjadi peristiwa/musibah besar dari selain Allah, seperti gangguan terhadap kaum muslimin dan kesempitan yang menimpa mereka. Adapun musibah yang terjadi dari perbuatan Allah, maka untuk menghadapinya dituntunkan sebagaimana yang terdapat dalam As-Sunnah, misalnya peristiwa gerhana, maka disyari’atkan shalat gerhana, gempa bumi maka disyari’atkan pula shalat kusuf sebagaimana dilakukan oleh shahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallah ‘anhuma, peristiwa paceklik maka disyari’atkan shalat istisqa`. [7]
8. Kemudian siapakah yang berqunut? Pimpinan negara, setiap imam masjid, ataukah setiap orang yang shalat?
Menurut madzhah hanbali, yang berqunut pimpinan negara saja, yaitu pimpinan tertinggi suatu negara.
Pendapat lain, setiap imam masjid boleh berqunut.
Pendapat lain, setiap orang yang shalat boleh berqunut. Inilah pendapat yang benar, berdasarkan keumuman sabda Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam, “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” Sabda beliau ini juga mencakup qunutnya beliau tatkala terjadi peristiwa besar (yakni qunut nazilah). [8]
9. ‘Uzair adalah nama orang shalih, yang diklaim oleh orang-orang Yahudi sebagai anak Allah. [9]
10. Ruh menurut pendapat terkuat di kalangan Ahlus Sunnah, adalah dzat halus yang masuk dalam jasad. Ruh tersebut berada dalam jasad seperti keberadaan air dalam tanah kering. Oleh karena itu, malaikat bisa memegangnya, mengkafaninya, dan membawanya naik, serta seseorang bisa melihatnya tatkala maut menjemputnya. Jadi yang benar ruh adalah dzat, meskipun sebagaian orang mengatakan ruh adalah sifat, namun itu tidak benar. memang benar “hidup” adalah sifat, namun ruh adalah dzat. [10]
(bersambung Insya Allah )
[1] Bab XI : Bab Tidak boleh Menyembelih untuk Allah di tempat yang padanya disembelih untuk selain Allah, pembahasan masalah ke-9; Bab : Tentang Hukum Gambar,
[2] Bab : Termasuk Syirik : Bernadzar untuk selain Allah.
[3] Bab : Termasuk Syirik : Bernadzar untuk selain Allah.
[4] Bab : Termasuk Syirik, beristighatsah kepada selain Allah.
[5] Bab : Firman Allah Al-A’raf : 191-192.
[6] Bab : Firman Allah Al-A’raf : 191-192.
[7] Bab : Firman Allah Al-A’raf : 191-192.
[8] Bab : Firman Allah Al-A’raf : 191-192.
[9] Bab : Tentang ucapan “Kehendak Allah dan kehendakmu.”, pembahasan hadits Ath-Thufail.
[10] Bab : Tentang ucapan “Kehendak Allah dan kehendakmu.”, pembahasan hadits Ath-Thufail.
http://www.assalafy.org/mahad/?p=327