Darussalaf
Darussalaf oleh Admin

mendulang faidah dari kitab al-qaulul mufid ‘ala kitabit tauhid

12 tahun yang lalu
baca 10 menit

Siapa yang tidak mengenal Kitabut Tauhid karya Syaikhul Islam Al-Mujaddid Muhammad bin ‘Abdil Wahhab At-Tamimi An-Najdi rahimahullah. Sangat tidak asing lagi bagi para salafiyyin terutama para thalabatul ‘ilmi.

Mengingat betapa penting isi dan kandungannya, para ‘ulama sangat besar perhatiannya terhadap kitab tersebut, baik dalam bentuk taklim, menghafal, penulisan syarh (penjelasan) terhadapnya, dll.

Di antara ‘ulama kibar Ahlus Sunnah masa ini yang tidak ketinggalan mensyarh Kitabut Tauhid adalah Faqihul ‘Ashr Al-’Allamah Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah, dengan judul Al-Qaulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid.

Alhamdulillah, di Ma’had As-Salafy Jember kitab tersebut telah selesai dipelajari beberapa tahun yang lalu di bawah bimbingan Fadhilatul Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc. Hingga kini, kitab tersebut masih senantiasa dipelajari oleh para murid baru yang dari tahun ke tahun terus berdatangan.

Kitab Al-Qaulul Mufid tersebut terkandung di dalam ribuan faidah ilmiah penting. Berikut kami sajikan kepada antum sekalian sebagian kecil dari ribuan faidah tersebut [1] :

1. Tauhid terbagi dalam 3 macam :

a. Tauhid Ar-Rububiyyah

b. Tauhid Al-Uluhiyyah

c. Tauhid Al-Asma` wa Ash-Shifat

Ketiga jenis tauhid tersebut tergabung dalam firman Allah :

] رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا فَاعْبُدْهُ وَاصْطَبِرْ لِعِبَادَتِهِ هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا (65) [ [مريم/65]

Rabb langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, maka ibadahilah Dia dan berteguhhatilah dalam beribadah kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia? [Maryam : 65] [2]

2. Makna ( وعامرهن ) yakni : para penduduknya. [3]

3. Bahwa dari makna tersurat dalil-dalil, bahwa bumi itu bertingkat-tingkat sebagaimana halnya langit. [4]

4. Wajib untuk kita ketahui, bahwa pujian Allah terhadap salah seorang makhluk-Nya tidak dimaksudkan sekadar memberitakan kepada kita tentang pujian tersebut, namun dimaksudkan dengannya dua tujuan penting :

Pertama, Agar kita mencintai makhluk yang Allah puji dengan kebaikan tersebut.

Kedua, Agar kita mentauladani sifat-sifat yang Allah puji tersebut. [5]

5. Nabi Ibrahim ‘alaihis salam takut dirinya terjatuh dalam kesyirikan, padahal beliau adalah Khalilur Rahman, Imamul Hunafa` (pimpinan orang-orang yang bertauhid). Maka bagaimana dengan kita?? Maka jangan engkau merasa aman dari Kesyirikan. Jangan engkau merasa aman dari Nifaq. Sesungguhnya tidaklah merasa aman dari nifaq kecuali seorang munafiq, dan tidaklah takut dari nifaq kecuali seorang mukmin sejati. [6]

6. Dalam Shahih Al-Bukhari, Ibnu Abi Mulaikah berkata, “Saya bertemu dengan 30 orang shahabat Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam, semua mereka mengkhawatirkan atas dirinya dari nifaq.” [7]

7. ( الأصنام ) Al-Ashnam adalah bentuk jamak dari kata ( صنم ) Shanam. Berhala yang dibentuk seperti bentuk manusia. Adapun ( الوثن ) Al-Watsan adalah berhala dalam bentuk apa saja. [8]

8. Al-Hadits adalah ucapan/perbuatan/berita yang disandarkan kepada Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam.

Al-Khabar adalah ucapan/perbuatan/berita yang disandarkan kepada Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam dan kepada selain beliau.

Al-Atsar adalah ucapan/perbuatan/berita yang disandarkan kepada selain Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam. [9]

9. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا (70) [الإسراء/70]

“dan Kami lebihkan mereka (manusia) dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” [Al-Isra` : 70]

Manusia lebih utama dibanding kebanyakan ciptaan Allah. Mereka bukanlah makhluk termulia di sisi Allah. Namun Allah memuliakan mereka. [10]

10. ( وسبحان الله ) I’rab kalimat (سبحان) : maf’ul muthlaq ‘amil-nya mafhdzuf, taqdirnya : أسبح [11]

11. Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman sebagai pengajar, hakim, dan da’i. Beliau mengutus Mu’adz pada bulan Rabi’ul Awwal tahun 10 H. ini riwayat yang masyhur. Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam mengutus Mu’adz bin Jabal dan Abu Musa Al-Asy’ari Radhiyallah ‘anhu ke negeri Yaman, Mu’adz ke Shan’a dan sekitarnya, sementara Abu Musa ke ‘Adn dan sekitarnya. Beliau memerintahkan keduanya dengan sabda beliau :

( أن اجتمعا وتطاوعا ولا تفترقا، ويسرا ولا تعسرا، وبشرا وذكرا ولا تنفرا )

“Untuk bersatu dan saling bekerja sama jangan saling berpecah, hendaknya kedunya memudahkan dan jangan mempersulit, memberi kabar gembira, mengingatkan, dan jangan membuat (umat) lari.” [12]

12. ( حُمْرُ النعم ) dengan sukun pada huruf mim, maknanya jamak ahmar, ( حُمْرُ النعم ) adalah onta merah. Adapun jika diharakati dhammah pada huruf mim, maknanya jamak himar. Yang dimaksud dalam hadits adalah makna pertama. [13]

13. At-Tafsir maknanya : menyingkap dan menjelaskan. Diambil dari ungkapan mereka : فسرت الثمرة artinya saya mengupas buah. Dan diambil pula dari ungkapan : فسرت ثوبي artinya saya menyingkap pakaianku, sehingga terlihat jelaslah apa yang dibaliknya. [14]

14. ( الحَِبر ) (’alim) huruf ha’-nya bisa diharakati fathah, bisa pula diharakati kasrah. [15]

15. Setiap orang yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menjadikannya sebagai sebab, baik secara syar’i maupun secara realita, maka ia telah menjadikan dirinya sekutu bersama Allah. [16]

16. Manusia dalam menyikapi sebab ada tiga golongan,

Pertama, Kelompok yang mengingkari sebab. Yaitu setiap yang mengingkari adanya hikmah Allah, seperti sekte Jabriyyah dan sekta Asy’ariyyah.

Kedua, Kelompok yang berlebihan dalam menetapkan adanya sebab, sampai-sampai menjadikan sesuatu yang bukan sebab sebagai sebab. Mereka adalah mayoritas ahli khurafat dari kalangan sufiyyah dan yang lainnya.

Ketiga, Kelompok yang meyakini adanya sebab dan pengaruhnya. Namun mereka tidak menetapkan sebab kecuali yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, baik sebab syar’i maupun sebab alami (terbukti secara realita merupakan sebab yang berpengaruh).

Tidak diragukan lagi, kelompok ketiga ini adalah kelompok yang beriman kepada Allah dengan iman yang hakiki, dan beriman kepada hikmah-Nya. [17]

17. Seseorang yang memakai/mengenakan gelang/benang, bila ia meyakini bahwa gelang/benang tersebut berpengaruh dengan sendirinya, bukan dari Allah, maka berarti dia telah musyrik dengan syirik akbar dalam tauhid rububiyyah. Karena dia telah menyakini bahwa disamping Allah ada pencipta lainnya.

Jika seorang yang memakainya tersebut meyakininya sebagai sebab, tidak memberikan pengaruh dengan sendirinya, maka ia terjatuh pada syirik ashghar (syirik kecil), karena dengan ia meyakini sesuatu yang bukan sebab sebagai sebab berarti telah menandingi Allah dalam menetapkan hukum atas sesuatu tersebut sebagai sebab, padahal Allah tidak menjadikan sesuatu tersebut sebagai sebab. [18]

Syaikhul Islam Muhammad bin ‘Abdil Wahhab tidak mengingkari sebab yang benar dalam menghilangkan atau menolak (bala’), namun yang beliau ingkari adalah sebab yang tidak benar. [19]

18. Jenis-jenis bergantung kepada selain Allah :

Pertama, Bergantung kepada selain Allah yang bisa menghilangkan pokok tauhid (yakni menghilangkan tauhid sama sekali). Yaitu bergantung kepada sesuatu yang tidak mungkin baginya memiliki pengaruh, dan bersandar kepadanya dengan bentuk penyandaran yang membuatnya berpaling dari Allah. Seperti bergantungnya para penyembah kubur terhadap orang yang sudah mati ketika terjadi musibah. Oleh karena itu apabila tertimpa musibah besar yang sangat genting, mereka berdo’a : “Wahai fulan, tolonglah saya!!” ini tidak diragukan merupakan syirik akbar yang mengeluarkan pelakunya dari agama.

Kedua, Bergantung kepada selain Allah yang bisa menghilangkan kesempurnaan tauhid. Yaitu bersandar kepada sebab syar’i dan benar, namun lalai kepada Sang Pembuat Sebab, yaitu Allah ‘Azza wa Jalla, dan tidak menyandarkan hati kepada-Nya. Ini merupakan salah satu bentuk kesyirikan, namun bukan syirik akbar. karena sebab tersebut memang sesuatu yang Allah jadikan sebagai sebab.

Ketiga, Bergantung kepada sebab karena itu sebagai sebab saja, dengan tetap bersandar kepada Allah. Dia yakin bahwa sebab tersebut datangnya dari Allah, dan Allah jika berkendak bisa saja menghilangkan pengaruh sebab tersebut, dan kalau Dia berkendaknya bisa saja menjadikannya tetap berpengaruh, jadi tidak ada pengaruh yang bisa dihasilkan oleh sebab kecuali berdasarkan kehendak Allah ‘Azza wa Jalla.

Maka jenis ini tidak menafikan/meniadakan tauhid, baik kesempurnaan maupun pokok tauhid. Atas dasar ini tidak ada dosa bagi orang yang berkeyakinan demikian.

Dengan adanya sebab-sebab syar’i dan benar seharusnya seseorang tidak menggantungkan dirinya kepada sebab, namun menggantungkan dirinya kepada Allah.

Seorang pegawai yang hatinya bergantung kepada gajinya dengan bentuk ketergantungan yang total, disertai ia lalai terhadap Sang Pencipta Sebab, maka dia telah terjatuh ke dalam bentuk kesyirikan.

Adapun kalau dia meyakini bahwa gaji tersebut hanya sebagai sebab, dan Pencipta Sebab adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tetap bersandar kepada Allah, dan ia merasa bahwa gaji hanya sebatas sebab, maka yang demikian tidak menafikan tauhid. [20]

19. Jika engkau meminta Al-Ghauts (penghilangan atas kesulitan/musibah genting) dari seseorang yang memiliki kemampuan untuk itu, maka wajib atasmu -dalam rangka meluruskan tauhidmu- untuk engkau tetap meyakini bahwa itu hanya sebatas sebagai sebab, yang dzatnya tidak bisa berpengaruh menghilangkan berbagai kesulitan/musibah genting. Karena bisa jadi engkau bersandar kepadanya dan lupa terhadap Dzat Pencinta Sebab. Ini tentunya mencacati kesempurnaan tauhid. [21]

20. Berita dari Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam bahwa syaithan telah berputus asa untuk bisa disembah di Jazirah ‘Arab, tidak berarti bahwa tidak akan terjadi penyembahan kepada syaithan di Jazirah ‘Arab. … hadits tersebut merupakan berita tentang apa yang terbetik pada diri syaithan pada waktu itu, namun tidak menunjukkan bahwa hal itu tidak akan terjadi. [22]

21. Hadits ( … لعن الله من آوى محدثا … ) (Laknat Allah atas orang yang melindungi orang yang mengada-ada). Mengada-ada, meliputi :

– mengada-ada dalam agama, seperti bid’ah yang dibuat oleh Jahmiyyah, Mu’tazilah, dan lainnya.

– dan mengada-ada dalam urusan, yakni urusan umat. Seperti berbagai pelanggaran dan yang serupa dengannya. …

.. Maka dalam hadits ini terdapat tahdzir (peringatan keras) dari bid’ah dan membuat hal-hal baru dalam agama. [23]

(bersambung Insya Allah )

[1] Tentu saja, kami tidak menyebutkan semua faidah yang terdapat dalam kitab tersebut. di sini kami hanya menyebutkan sepercik dari lautan faidah yang dikandung dalam kitab tersebut. tentu saja dengan segala kekurangan dan keterbatasan kami.

[2] Muqaddimah Al-Qaulul Mufid.

[3] Bab I : Keutamaan Tauhid dan Dosa-dosa yang Bisa Terhapus dengannya, hadits Abu Sa’id Al-Khudri.

[4] Bab I : Keutamaan Tauhid dan Dosa-dosa yang Bisa Terhapus dengannya, pembahasan masalah ke-10.

[5] Bab II : Barangsiapa yang Benar-Benar Merealisasikan Tauhid, maka Ia Akan Masuk Al-Jannah Tanpa Hisab dan Tanpa Adzab, pembahasan Surat An-Nahl : 120.

[6] Bab IV : Takut dari Syirk, pembahasan Surat Ibrahim : 35.

[7] Bab IV : Takut dari Syirk, pembahasan Surat Ibrahim : 35.

[8] Bab IV : Takut dari Syirk, pembahasan Surat Ibrahim : 35.

[9] Bab IV : Takut dari Syirk, pembahasan hadits tentang Syirik Ashgar adalah Riya’.

[10] Bab IV : Takut dari Syirk, pembahasan tentang masalah kesembilan.

[11] Bab V : Dakwah Kepada Syahadah La ilaha illallah, pembahasan Surat Yusuf : 108

[12] Bab V : Dakwah Kepada Syahadah La ilaha illallah, pembahasan hadits Ibnu ‘Abbas tentang diutusnya Mu’adz ke Yaman.

[13] Bab V : Dakwah Kepada Syahadah La ilaha illallah, pembahasan hadits Sahl bin Sa’d

[14] Bab VI : Tafsir Tauhid

[15] Bab VI : Tafsir Tauhid, pembahasan surat At-Taubah : 31

[16] Bab VII : Termasuk Syirik mengenakan Gelang atau Benang atau semisalnya dalam rangka menghilangkan atau menolak bala’.

[17] Bab VII : Termasuk Syirik mengenakan Gelang atau Benang atau semisalnya dalam rangka menghilangkan atau menolak bala’.

[18] Bab VII : Termasuk Syirik mengenakan Gelang atau Benang atau semisalnya dalam rangka menghilangkan atau menolak bala’.

[19] Bab VII : Termasuk Syirik mengenakan Gelang atau Benang atau semisalnya dalam rangka menghilangkan atau menolak bala’.

[20] Bab VIII : Tentang Ruqyah dan Tamimah, pembahasan hadits ‘Abdullah bin ‘Ukaim.

[21] Bab XIV : Termasuk Syirik beristighatsah kepada selain Allah atau berdo’a kepada selain-Nya.

[22] Bab IX : Bab Tentang Orang yang bertabarruk dengan pohon, batu, dan semisalnya, pembahasan masalah ke-12.

[23] Bab X : Bab Tentang Menyembelih untuk selain Allah, pembahasan hadits ‘Ali bin Abi Thalib.
http://www.assalafy.org/mahad/?p=326