Pembahasan masalah ini perlu dilakukan sebab tidak sedikit orang-orang yang terdorong oleh ghirah dan semangat keagamaan yang tinggi namun tidak terdidik di atas ilmu yang mapan dan di bawah bimbingan Ahlus-Sunnah, menyangsikan fatwa para ulama dan pengarahannya di saat tidak sesuai dengan keinginan mereka. Dalam pandangan mereka bahwa para ulama tidak mengetahui realita, tidak mengerti makar-makar musuh, ilmu mereka hanya sebatas haid dan nifas atau masalah thaharah (bersuci). Sedang mereka merasa lebih tahu realita sehingga merasa lebih berhak berfatwa dan dianggap ucapannya.
Komentar orang-orang semacam ini disamping mengandung celaan terhadap para ulama yang jelas terlarang dalam agama, apapun alasannya, juga menyelisihi aturan agama. Karena ayat, hadits dan uraian para ulama yang lalu dalam hal perintah atau anjuran rujuk kepada para ulama menyirat makna kepercayaan kepada mereka dalam urusan-urusan ini. Sangat naif kalau tidak percaya kepada orang yang telah dipercaya oleh Allah ta’ala serta Rasul-Nya.
Ada sebuah kejadian di zaman Nabi yang barang kali dari situ kita bisa mengambil ibrah. Saat terjadi perjanjian Hudaibiyyah yang menghasilkan kesepakatan-kesepakatan antara kaum muslimin dengan orang-orang musyrikin Quraisy diantaranya kaum muslimin harus menangguhkan keinginan umrah pada tahun itu, tidak sedikit dari shahabat merasa keberatan dengan perjanjian itu dan menampakkan ketidaksetujuannya. Padahal Rasulullah sendiri telah menyepakati perjanjian tersebut.
Para shahabat itu menilai ada diskriminasi dari pihak musuh sehingga merasa keberatan meski akhirnya mau menerima. Diantara shahabat itu adalah Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu, orang terbaik setelah Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu. Dan ternyata keputusan Nabi itu membawa manfaat sangat banyak di kemudian hari dan membawa kerugian besar bagi musyrikin, sehingga mereka sendirilah yang mengkhianatinya.
Kenyataan itu menyampaikan Umar bin Khatab – setelah taufiq dari Allah- untuk menyesali perbuatanya dan mengatakan:
“Wahai manusia, ragulah terhadap pendapat akal dalam masalah agama , sungguh aku telah melihat diriku pernah membantah keputusan Nabi dengan pendapatku karena ijtihad. Demi Allah saya tidak akan pergi dari kebenaran, dan kejadian itu pada pagi hari Abi jandal, yakni perjanjian Hudaibiyyah”. (Marwiyah Ghazwah Hudaibiyyah hal. 301).
Perhatikan kisah ini, bagaimana Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu mesti menundukkan penilaian-penilaian pribadi di hadapan keputusan agama. Tidak heran bila seorang ulama bernama Abu Bakar Turthusyi setelah menyebutkan hadist:
Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan dicabut dari hati-hati manusia akan tetapi Allah mencabutnya dengan meninggalnya para ulama sehingga tidak tersisa lagi seorang ulama, manusia akan menjadikan pimpinan-pimpinan yang bodoh, maka mereka akan ditanya sehingga berfatwa tanpa ilmu akhirnya sesat dan menyesatkan.
Menyatakan: “Perhatian hadits ini! hadits ini menunjukkan bahwa manusia tidak akan tertimpa musibah disebabkan ulama mereka sama sekali, akan tetapi sebabnya jika ulama mereka meninggal, akhirnya yang bukan ulama berfatwa. Dari situlah musibah. (Al-Ba’its:179 lewat Madarikun- Nadhar :160).
Rabi’ah bin Abdurrahman, guru Imam Malik, ketika melihat tanda-tanda itu di masanya beliau menangis tersedu-sedu. Maka Imam Malik bertanya: “Apa yang menjadikanmu menangis. Apakah ada musibah yang menimpamu?” Beliau menjawab: “Tidak. Tapi karena orang-orang yang tidak berilmu telah dimintai fatwa dan muncullah perkara besar dalam Islam”. (Al-Ba’its:179 lewat Madarik Nadhar :160).
http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=5