Darussalaf
Darussalaf oleh Admin

membungkam suara para perusak syari’at tentang hukum safar bagi wanita

12 tahun yang lalu
baca 9 menit

MEMBUNGKAM SUARA PARA PERUSAK SYARI’AT

TENTANG HUKUM SAFAR BAGI WANITA

(Bantahan Terhadap M. Shodiq Mustika)

Bagian Pertama

Oleh:

Abu Muhammad Abdurrahman bin Sarijan

Pendahuluan:

Segala puji hanya milik Allah semata, sholawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi akhir zaman, keluarga, serta para sahabatnya.

Sesungguhnya sebaik-baiknya Kalam adalah KALAMULLAH dan sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Dan sejelek-jeleknya perkara adalah perkara yang muhdats, setiap yang muhdats adalah bid’ah dan setiap yang bid’ah tempat kembalinya adalah Neraka.

Amma ba’du:

Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah berfirman:

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ (89) سورة النحل

“Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri” (QS. An-Nahl: 89).

قال ابن مسعود: قد بين لنا في هذا القرآن كل علم وكل شيء

Berkata Ibn Mas’ud radhiallahu ‘anhu:”Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan kepada kami segala ilmu (pengetahuan) dan segala sesuatunya dalam Al-Qur’an”

وقال مجاهد: كل حلال وكل حرام

Berkata Mujahid:”Setiap perkara yang halal dan yang haram”.

Berkata Ibn Katsir rahimahullah:”Dan perkataan Ibn Mas’ud radhiallahu ‘anhu lebih umum dan lebih utama. Karena Al-Qur’an memuat segala sesuatu dari ilmu yang bermanfaat dari berita-berita masa lalu maupun ilmu yang akan datang, setiap perkara yang halal dan haram, dan segala seuatu yang diperlukan oleh manusia dalam kemaslahatan agama serta dunianya” (Tafsir Ibn Katsir, 4/416. Cet. Maktabah At-Taufiqiyah, Cairo-Mesir ).

Dalam sebuah blog terdapat artikel sbb:

Ada banyak sebab yang mengharuskan wanita pada zaman sekarang untuk bepergian. Bisa lantaran pendidikan, pekerjaan, atau pun ibadah. Masalahnya, ada hadits shahih yang menunjukkan “terlarangnya” wanita bepergian jauh tanpa disertai muhrim. Jadi, haruskah wanita selalu disertai mahram setiap bepergian jauh? Marilah kita simak penjelasan Syaikh Yusuf Qardhawi dalam bukunya, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw., pasal “Memahami Hadis dengan Mempertimbangkan Latar Belakangnya, Situasi dan Kondisinya Ketika Diucapkan, serta Tujuannya”, hlm. 136-137:

Disebutkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim, dari Abdullah bin Abbas, secara marfu’:

Tidak dibolehkan seorang perempuan bepergian jauh kecuali ada seorang mahram bersamanya. (Lihat Al-Lu’Lu’ wa Al-Marjaan, hadis nomor 850 serta ketiga hadis sebelumnya.)

‘Illah (alasan) di balik larangan ini ialah kekhawatiran akan keselamatan perempuan apabila ia bepergian jauh tanpa disertai seorang suami atau mahram. Ini mengingat bahwa di masa itu, orang menggunakan kendaraan unta, baghal ataupun keledai dalam perjalanan mereka, seringkali mengarungi padang pasir yang luas atau daerah-daerah yang jauh dari hunian manusia. Dalam kondisi seperti itu, seorang perempuan yang bebpergian tanpa disertai suamii ataupun mahramnya, tentunya dikhawatirkan keselamatan dirinya, atau — paling sedikit — nama baiknya dapat tercemar.

Akan tetapi, jika kondisi seperti itu telah berubah, seperti di masa kita sekarang, ketika perjalanan jauh ditempuh dengan menggunakan pesawat terbang yang mengangkut seratus orang penumpang atau lebih; atau kereta api yang mengangkut ratusan musafir, maka tidak ada lagi alasan untuk mengkhawatirkan keselamatan wanita yang bepergian sendiri. Karena itu, tidak ada salahnya, ditinjau dari segi syariat, jika ia melakukannya. Dan ini tidak dapat dianggap sebagai tindak pelanggaran terhadap hadis tersebut. Bahkan hal seperti itu, menguatkan kandungan hadis marfu’ yang dirawikan oleh Bukhari, dari ‘Adiy bin Hatim:

Akan datang masanya ketika seorang perempuan penungga unta pergi dari [kota] Hirah (menuju Ka’bah), tanpa seorang suami bersamanya. (Shahih Bukhari, Bab ‘Alaamaat An-Nubuwwah fi Al-Islaam)

Hadis ini … menunjukkan dibolehkannya seorang perempuan bepergian tanpa suami atau mahram dalam keadaan seperti itu. Begitulah yang disimpulkan oleh Ibn Hazm dari hadis tersebut.

Maka tidaklah mengherankan bahwa ada sebagian ulama yang membolehkan kaum wanita pergi untuk menunaikan ibadah haji, tanpa disertai suami atau mahram. Yaitu jika ia bersama sejumlah wanita lainnya yang dipercayai, atau dalam rombongan yang aman. Dan itulah yang telah dilakukan oleh Aisyah serta beberapa dari Ummahat Al-Mukminin (istri-istri Nabi saw.) di masa kekhalifahan Umar. Waktu itu, tak seorang pun mahram ada bersama mereka. Mereka pergi bersama Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin ‘Auf, seperti yang disebutkan dalam Shahih Bukhari.

Bahkan di antara para ulama ada yang menyatakan cukup satu orang perempuan tepercaya saja yang menyertainya.

Dan sebagiannya lagi berkata: “Dibolehkan baginya bepergian secara sendirian, apabila perjalanan itu cukup aman.” Pendapat seperti ini disahihkan oleh pengarang Al-Muhadz-dzab dari kalangan pengikut mazhab Syafi’i.

Ini sebetulnya berlaku bagi perjalanan untuk haji dan umrah. Namun sebagian kalangan Syafi’iyyah membolehkannya dalam semua perjalanan. (Lihat Fat-h Al-Baari 4/446 dan sesudahnya.)

Kami melihat dalam blog ini banyak menyebarkan syubhat untuk melegalkan apa yang beliau namakan dengan PACARAN ISLAMIY.

Maka sebagai realisasi dari Sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam:”Agama adalah nasehat”, berikut kami turunkan bantahan pada salah satu artikel di dalam blog beliau.

Insya Allah kami akan membuat beberapa artikel yang bersisi bantahan terhadap artikel-artikel yang beliau tulis di dalam blognya –kami memohon kepada-Nya untuk diberi kemudahan dalam menulisnya, amiin-.

= = = = = 0 0 0 = = = = =

Soal: Bolehkah wanita pergi dengan pesawat udara tanpa mahram yang menemaninya dalam kondisi yang aman baginya?

Jawab: Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تُسَافِرُ المَرْأَةُ إِلاَّ مَعَ ذِيْ مَحْرَمِ (رواه البخاري في الجهاد 3006؛ مسلم في الحج 1341).

“Janganlah seorang wanita bepergian kecuali didampingi oleh mahramnya”(HR. Bukhori dalam Al-Jihad no. 3006; Muslim dalam Al-Haj no. 1341).

Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan hal itu di atas mimbar pada hari-hari haji. Lalu ada seorang laki-laki berdiri dan bertanya:”Ya Rasulullah, istriku keluar rumah untuk berhaji, sedangkan saya harus ikut peperangan ini dan itu”. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:”Pergilah berhaji bersama istrimu”. Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan laki-laki itu untuk meninggalkan peperangan dan melaksanakan haji bersama istrinya. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak bertanya kepadanya, apakah istrimu dalam kondisi aman? Ini menunjukkan keumuman larangan bagi wanita untuk bepergian tanpa mahramnya. Juga, karena kemungkinan bahaya dapat terjadi meskipun di pesawat terbang. Hendaklah kita semua memperhatikan hal ini.

Lelaki yang menginginkan istrinya pergi dengan pesawat terbang, kapan ia pulang dari mengantar istrinya ke bandara? Ia akan pulang di saat istrinya masih menunggu pesawat. Dia akan berada dalam ruang tunggu tanpa ditemani mahramnya. Kalaupun mulanya suaminya masuk ke ruang tunggu bersamanya dan menemani istrinya hingga istrinya masuk pesawat dan take off. Apakah tidak mungkin dalam perjalanannya pesawatnya kembali? Ini nyata terjadi, bahwa pesawat kembali lagi karena adanya kerusakan teknis, atau kondisi cuaca. Jika kita anggap pesawatnya jalan terus dan sampai di kota tujuannya, akan tetapi bandaranya sedang penuh atau cuaca di sekitar bandara tidak memungkinkan bagi pesawat untuk mendarat. Kemudian pesawat tersebut pindah ke bandara lain. Ini suatu kemungkinan yang dapat terjadi. Atau kita anggap bahwa pesawatnya tiba pada waktu yang telah ditentukan dan mendarat di bandara yang dituju, akan tetapi mahram yang akan menjemputnya belum tiba karena beberapa hal yang terjadi padanya. Atau kita anggap bahwa hal itu tidak terjadi, dan mahramnya menjemputnya pada waktu yang tepat, masih ada kemungkinan lain, siapa orang yang duduk di sampingnya di dalam pesawat? Tidak mungkin seorang wanita. Kemungkinan terbesar adalah seorang laki-laki. Laki-laki itu bisa jadi adalah hamba Allah yang khianat, ia akan tertawa kepada wanita itu. Mengajaknya berbicara dan bercanda dengannya, meminta nomor telephonnya dan ia memberikan nomor telephonnya kepada wanita itu. Bukankah ini suatu kemungkinan yang dapat terjadi? Siapa yang dapat selamat dari bahaya semacam ini?

Karena itu kita dapati hikmah yang besar dari larangan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bagi wanita untuk bepergian tapa mahram yang menemaninya, tanpa merincinya dan tanpa mensyaratkan dengan sesuatu. Atau kita mungkin berkata, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui hal yang ghaib dan tidak mengerti tentang pesawat terbang. Sabda beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam kita artikan bepergian dengan unta, bukan dengan pesawat, jadi wanita tidak diperbolehkan bepergian dengan unta kecuali dengan mahramnya, karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak tahu tentang pesawat yang mampu menempuh jarak antara Tho’if sampai Riyadl hanya dalam waktu satu jam setengah, sedangkan unta melampauinya dalam waktu satu bulan. Jawabannya, apabila Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui hal itu, maka sesungguhnya Rabb beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam yang Maha Suci mengetahuinya. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ (89) سورة النحل

“Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu..” (QS. An-Nahl: 89).

Saya memperingatkan saudara-saudaraku dari kenyataan yang berbahaya ini. Yaitu meremehkan perkara perginya wanita tanpa ditemani mahramnya. Saya juga memperingatkan bahayanya berduaan dengan sopir dalam satu mobil, meski masih dalam satu kota, karena itu adalah perkara yang berbahaya. Saya juga memperingatkan bahayanya berduaan dengan saudara suami di dalam rumah, karena Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إياكم والدخول على النساء قالوا يا رسول الله أفرأيت الحمو: قال: الحمو الموت (رواه البخاري في النكاح 5231؛ مسلم في السلام 2172).

“Hindarilah berkumpul dengan wanita.Mereka bertanya:’Bagaimana halnya dengan saudara ipar?’. Beliau menjawab:”Saudara ipar adalah Al-Maut” (HR. Bukhori dalam An-Nikah no. 5231; Muslim As-Salam no. 2172).

Maksudnya, hati-hatilah terhadapnya dengan sepenuh kehati-hatian.

Yang mengherankan bahwa sebagian ulama –semoga Allah memberi maaf kepada mereka- manafsirkan الحمو الموت dengan “bahwa saudara ipar” -pasti dan tidak dapat dihindari- akan berkumpul dengan istri saudaranya sebagaimana kematian yang pasti akan menjumpainya”.1)

Syaikh Sholih Al-Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan hafizahullah Ta’ala ditanya tentang hukum wanita yang bepergian tanpa ditemani mahramnya.

Jawab: Wanita dilarang bepergian kecuali apabila ditemani oleh mahramnya yang menjaganya dari gangguan orang-orang jahat dan orang-orang fasiq. Telah diriwayatkan hadits-hadits shahih yang melarang wanita bepergian tanpa (ditemani, pent) mahramnya, diantaranya yang diriwayatkan oelh Ibn ‘Umar radhiallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تُسَافِرُ المَرْأَةُ إِلاَّ مَعَ ذِيْ مَحْرَمِ (رواه البخاري في الجهاد 3006؛ مسلم في الحج 1341).

“Janganlah seorang wanita bepergian kecuali didampingi oleh mahramnya”(HR. Bukhori dalam Al-Jihad no. 3006; Muslim dalam Al-Haj no. 1341).

Diriwayatkan dari Abu Sa’id radhialahu ‘anhu bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam melarang wanita untuk bepergian sejauh perjalanan dua hari atau dua malam kecuali bersama suami atau mahramnya.

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لا يحل لإمرأة تسافر مسيرة يوم و ليلة إلا مع ذي محرم عليها (رواه البخاري؛ مسلم).

“Tidak halal bagi wanita untuk bepergian sejauh perjalanan sehari semalam kecuali bersama mahramnya” (HR. Bukhori; Muslim).2)

Catatan Kaki:

1) Fatawa wa Rosail Syaikh Muhammad Sholih Al-‘Utsaimin, 2/852-853.

2) At-Tanbihat.Syaikh Sholih Fauzan Al-Fauzan, hal: 62.

Ditulis Oleh Seorang Hamba yang Selalu Mengharap Ampunan-Nya

Abu Muhammad Abdurrahman bin Sarijan

Jahra, Kuwait: Ahad, 10 Syawal 1428 H – 21 Oktober 2007