Yayasan Ihya’ut Turots Selalu Menjadi Musuh Salafiyyin
Demikian pula, keberadaan mereka yang selalu menjadi lawan Salafiyyin di mayoritas tempat, contohnya di Kuwait. Mereka sungguh berbeda dengan kami, bagi mereka kelompok mereka dan bagi kami para ikhwah dan pemuda Salafiyyin. Sedikitpun mereka tidak ada hubungan dengan kami, bahkan mereka mentahdzir kami dan para masyaikh sunnah. Mereka mentahdzir Syaikh Rabi’ dan senantiasa memuji Abdurrahman Abdul Khaliq.
Adapun ucapan mereka, “Kami telah meninggalkan Abdurrahman Abdul Khaliq.” Ini adalah sebuah lelucon yang nyata karena Abdurrahman Abdul Khaliq jelas berada di yayasan Ihya’ut Turots, bahkan mempunyai kedudukan di Lajnah ‘Ilmiyyah Ihya’ut Turots.
Terkadang jika engkau menelepon untuk meminta fatwa, maka mereka akan mengarahkanmu kepada Abdurrahman Abdul Khaliq sebagai penghormatan terhadapnya, dia ada dan tinggal di tengah-tengah mereka.
Tidak benar kalau mereka berkata: “kami telah meninggalkannya.”
Bahkan, ada markas cabang Ihya’ut Turots yang menyelenggarakan muhadharah dan seminar bagi Abdurrahman Abdul Khaliq. Dengan ini jelaslah bahwa omongan mereka, “kami telah meninggalkan Abdurrahman Abdul Khaliq”, ibarat melemparkan debu ke mata hingga orang tertipu dengannya.
Orang mengetahui kesesatan Abdurrahman Abdul Khaliq dan mayoritas Salafiyyin mengetahui bahwa dia telah menyimpang. Asy Syaikh Bin Baaz, Asy Syaikh Al Fauzan, Asy Syaikh Rabi’, Asy Syaikh Al Faqihi, Asy Syaikh As Suhaimi dan Asy Syaikh Al Albani telah menjarh Abdurrahman Abdul Khaliq.
Mereka tidak mempunyai tipu daya lagi kecuali dengan mengatakan bahwa kami telah mengusir Abdurrahman Abdul Khaliq, padahal dia adalah saudara mereka yang mereka dan syaikh yang utama di kalangan mereka.
Dengan pengakuan ini mereka ingin memalingkan para pemuda karena mereka tidak akan bisa masuk kepada pemuda Salafiyyin kecuali dengan menyebarkan berita dusta bahwa “Kami telah mengusir Abdurrahman Abdul Khaliq”.
Maka dengan ini kita harus bersikap tegas untuk tidak berhubungan dengan yayasan ini. Demikian pula, terhadap orang yang berhubungan dan bekerjasama dengan mereka padahal dia mengetahui keadaan mereka dan mendengar ucapan–ucapan ulama tentang mereka.
Kita tidak akan membiarkan mereka merusak saudara-saudara kita Salafiyyin dan menipu mereka dengan yayasan ini.
Sesungguhnya, kita – demi Allah – sudah merasa cukup dengan masyaikh Ahlussunnah dan buku-buku Ahlussunnah dan kita tidak membutuhkan harta yayasan ini.
Kita memohon kepada Allah ‘Azza wa Jalla agar memberi kita rezeki dengan keutamaannya dan menjadikan kita berkecukupan serta tidak memerlukan orang-orang yang ingin menyesatkan Salafiyyin dengan harta mereka.
Adapun jika mereka berdalil dengan fatwa ulama yang mendukung Ihya’ut Turots, maka kita katakan:
“Sungguh, kebenaran tidak diambil dari para tokoh, tetapi para tokoh itu yang diukur dengan kebenaran”.
Menghukumi suatu masalah dengan melihat kenyataannya. Kami mengenal baik yayasan ini dan kalian pun mengenalinya dan mengenali sikap fanatiknya dan penyimpangannya dalam melawan sunnah dan Salafiyyin. Sehingga, jika ada yang datang kepada kita dan memuji mereka, tentu kita tidak akan menerimanya hanya semata-mata rekomendasi dan pujian.
Sesungguhnya, mereka mendatangi orang ‘alim dan menampakkan diri bahwa mereka berada di jalan Ahlussunnah dan menulis manhaj dan aqidah Ahlussunnah.
“Yang menjadi ibrah bukanlah ucapan dan apa yang tertulis, tetapi yang menjadi ibrah adalah perbuatan dan sepak terjang kalian. Inilah sikap kalian terhadap orang yang menyimpang. Inilah sikap kalian terhadap Ahlussunnah, maka inilah yang menjadi ibrah.
Sedangkan, jika kalian berpenampilan bukan dengan penampilan kalian yang sebenarnya dan kalian mendatangi ulama untuk mendapatkan rekomendasi dari Ahlussunnah, sungguh jika datang seseorang kepada orang ‘alim dengan pengakuan seperti itu pastilah orang ‘alim itu akan berkata: ‘Jazakallahu khairan, ini adalah manhaj yang baik,” lalu mereka akan mengambil ucapan ini dengan beranggapan bahwa orang ‘alim ini telah memberikan rekomendasi.
Kita memiliki kaidah dan para ulama salaf juga telah meletakkan kaidah. Diantara kaidah tersebut adalah:
“Kebenaran tidak dikenal dari seorang tokoh, tetapi seorang tokoh itu dikenali dengan kebenarannya.”
“Kritikan yang terperinci lebih didahulukan daripada pujian secara umum.” Jika datang seseorang kepada kita dan berkata: “Demi Allah tidaklah aku melihat keburukan mereka sedikitpun dan tidaklah aku ketahui kecuali mereka di atas kebaikan”, (maka kita katakan, pen.): “Sungguh hujjah bukanlah pada ucapanmu tetapi hujjah bagi siapa yang mengetahui hakekat yang sebenarnya,
“Orang yang mengetahui lebih didahulukan ucapannya daripada yang tidak mengetahui.”
Kemudian -jika kita melihat kenyataan-, sungguh tidak seorangpun dari ahlul bid’ah yang menyimpang, maka akan ada perselisihan tentangnya. Maksudnya bahwa mayoritas mereka (ahlul bid’ah, pen.) yang ada sekarang sungguh masih ada perselisihan tentang mereka.
Kalaulah menyikapi masalah ini dengan kaidah kalian bahwasanya, “Masih ada ulama yang memuji yayasan Ihya’ut Turots sehingga tidak boleh membicarakan keburukannya”, maka kalau begitu di sana juga ada ulama yang memuji Sayyid Quthb, bagaimana menurut kalian?
Ada juga ulama yang memuji Abdurrahman Abdul Khaliq, apa berarti tidak boleh membicarakannya?
Kalau Turotsi (orang-orang yang ikut atau membela Ihya’ut Turots, pen.) ini berkata, “tidak boleh membicarakan kejelekan Ihya’ut Turots karena ada ulama yang merekomendasinya”, niscaya akan datang kepadanya seorang Sururi menghujatnya dengan berkata: “Kalau begitu tidak boleh pula membicarakan kejelekan syaikh Salman Al-Audah dan Safar Hawali karena ada juga ulama yang merekomendasikannya” -dia membawakan rekomendasi tertulis dari sebagian ulama-. Maka bagaimana menjawab alasan ini?
Turotsi ini tidak akan mempunyai jawaban kecuali dengan berkata bahwa yang menjadi ibrah adalah kenyataan yang ada dan bahwasanya rekomendasi-rekomendasi itu tidak berguna kalau kenyataannya menyelisihi jalan Ahlussunnah, bahkan menyelisihi prinsip imam dan ‘alim yang merekomendasikannya.
Apabila dia terus berpegang dengan pendapat bahwa rekomendasi bisa mencegah untuk membicarakan seseorang, berarti kita nyatakan bahwa rekomendasi juga bisa mencegah untuk membicarakan Abdurrahman, Sayyid Quthb, Salman (al Audah, pen.), dan selain mereka dari kalangan Sururiyyin, Quthbiyyin, Takfiriyyin dan qiyaskanlah ke yang lainnya!
Penutup
Dengan ini jelaslah bahwa adanya perselisihan pada suatu masalah tidak memberi pengertian bahwa kebenaran tidak jelas pada masalah itu dan tidak pula menyebabkan kita tidak bersikap.
Janganlah ada yang menduga bahwa masalah ini adalah ijtihadiyyah karena telah nyata bukti-bukti yang menunjukkan kesesatan yayasan ini dan penyimpangannya dari jalan Ahlussunnah.
Ini bukanlah masalah ijtihadiyyah yang setiap orang boleh berkata dengan pendapatnya dan orang yang menyelisihinya dilarang untuk menentangnya. Tidak! Masalah ini adalah masalah yang jelas yang menyelisihi Ahlussunnah dan kita harus berhati-hati dari mereka.
Pada hakekatnya yang memecah-belah bukanlah Ahlussunnah karena Salafiyyin adalah orang-orang yang paling bersemangat untuk tegaknya persatuan. Mereka datang seraya berkata: “Dengan tahdzir kalian terhadap Ihya’ut Turots, Salman, Quthbiyyin, dan Ikhwanul muslimin, semua itu telah menjadi sebab terpecah belahnya umat.”
Sungguh perkataan itu tidak benar karena Ahlussunnah adalah orang-orang yang sangat bersemangat untuk persatuan. Persatuan di atas Al Kitab dan As Sunnah dengan pemahaman Salafush Shalih dan bukan persatuan ala Hasan Al Banna dan yang semisalnya dengan semboyan:
“Kita bersatu di atas apa yang telah kita sepakati dan kita saling toleransi pada apa yang tidak kita sepakati”, tetapi kita bersatu di atas sunnah.
Termasuk faktor utama terwujudnya persatuan adalah memutuskan sebab-sebab perpecahan. Dan termasuk dari sebab munculnya perpecahan adalah penyimpangan, kebid’ahan dan fanatisme golongan. Dan semua ini termasuk dari sebab munculnya perpecahan.
Dengan ini barangsiapa yang datang kepada kita dengan fanatisme golongan, maka dialah yang menyebabkan perpecahan dan memecah belah Salafiyyin. Sedangkan tahdzir dari Salafiyyin dalam hal ini hukumnya wajib!! Bahkan, tahdzir adalah termasuk sebab bersatunya manusia di atas kebenaran.
Dan termasuk sebab terbentuknya persatuan adalah dengan mentahdzir orang-orang yang meyimpang dan mentahdzir ahlul bid’ah.
Oleh karena itu, Ahlussunnah sepakat untuk mentahdzir ahlul bid’ah karena engkau tidak akan mampu mempersatukan manusia di atas kebaikan kecuali engkau telah memisahkan antara yang haq dan yang bathil. Di dalam hadits telah disebutkan bahwa di antara sifat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah memecah belah di antara manusia. Maksudnya adalah beliau memisahkan antara yang haq dan yang bathil.
“Katakanlah, telah datang kebenaran dan telah sirna kebatilan, sungguh kebatilan pasti akan sirna” {Al-Israa’:81}.
Kebatilan dan kebenaran tidak akan mungkin bersatu. Jika bersatu berarti menunjukkan orang tersebut tidak berada di atas jalan Ahlussunnah, yaitu jalannya Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam. Salaf selalu membedakan antara haq dan batil dengan cara memperingatkan umat dari yang batil sehingga kebatilan tidak lagi mampu menyesatkan dan menjauhkan manusia dari jalan Salafus Shalih dan dari jalan kebenaran.
Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat garis lurus kemudian membuat garis lain di kanan dan kirinya seraya berkata: “Setiap jalan ini ada syaithan yang menyeru kepadanya”. Kalau begitu di sana ada banyak jalan yang padanya syaithan menjauhkan manusia dari jalan Ahlussunnah dan memecah belah manusia. Dengan ini apakah aku harus diam atau mentahdzir umat dari jalan-jalan itu?
Adalah wajib bagiku untuk mentahdzir umat dari jalan-jalan itu agar manusia tidak akan masuk dan menuju kepada jalan-jalan itu jika kita memperingatkan umat darinya.
Adapun kalau kita diam, niscaya akan terbentuklah jalan-jalan itu dan manusia akan berpecah belah, setiap hari berkelompok-kelompok. Sedangkan kewajiban kita semua adalah berada pada satu barisan dan memperingatkan umat dari Ahlul Bid’ah. Dan temasuk dari sebab persatuan adalah memperingatkan umat akan bahayanya Ahlul Bid’ah.
(Dikutip dari terjemahan al Ustadz Faishal Jamil Al Maidani dari muhadharah Syaikh Dr. Abu Abdillah Khalid Adh Dhahawi Al Kuwaiti pada tanggal 2 September 2006 atau 8 Sya’ban 1427 H di Mahad Al Anshar, Sleman. Beliau adalah da’i yang tinggal di Kuwait, alumnus Jami’ah Islamiyyah Madinah, webmaster situs Asy Syaikh Rabi ibn Haadi www.Rabee.net)
http://www.salafy.or.id/modules/artikel2/artikel.php?id=1168