Sesungguhnya Allah ta’ala telah memberikan suatu nikmat yang sangat agung dan besar dibandingkan dengan sekian banyak kenikmatan lainnya kepada kaum muslimin, yaitu kesempurnaan Syari’at Islam. Allah ta’ala tidak mewafatkan Rasul-Nya kecuali setelah menyempurnakan dan meridhoi agama Islam atas beliau dan umatnya. Allah telah menurunkan satu ayat Al-Qur’an sebelum meninggalnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan yang paling mulia pada saat Hajjatul Wadaa’ (haji terakhir yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) yaitu:
اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لـكـم الإ سلام دينا {سورة المائدة آية 3}
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama Islam untuk kalian, telah Aku cukupkan nikmat-Ku untuk kalian, dan telah Aku ridloi Islam sebagai agama kalian”. (QS. Al Maidah: 3)
Berkata Ibnu Abbas menafsirkan ayat tersebut:
“Allah telah mengkhabarkan kepada Nabi-Nya dan orang-orang beriman bahwa Dia telah menyempurnakan atas mereka Al Iman (Dienul Islam), maka mereka tidak membutuhkan tambahan selain dari Syari’at Islam. selama-lamanya. Allah telah menyempurnakan dienul Islam, maka Dia tidak akan menguranginya selama-lamanya dan sungguh Allah telah meridhainya, maka Dia tidak akan
memurkainya selama-lamanya”.(Tafsir Ibnu Katsir, Juz II,Hal.12)
Oleh sebab itulah Golongan Yahudi iri terhadap kaum muslimin dengan ayat yang mulia ini. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim yang menyebutkan seorang laki-laki Yahudi datang kepada Umar bin Khothob dan berkata: “Sekiranya turun kepada kami (golongan Yahudi) satu ayat dalam kitab kalian (Al-Qur’an) yang selalu kalian baca, maka akan kami jadikan hari turunnya ayat tersebut sebagai ‘ied (hari raya)”. Barkata Umar: ‘Ayat yang mana ?! Berkata seorang Yahudi tersebut: “Al yauma akmaltu …..” .
Sungguh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhabarkan kesempurnaan Dienul Islam. Maka, siapa pun yang keluar darinya akan binasa. Beliau bersabda yang artinya : “Sesungguhnya aku tinggalkan kalian di atas sesuatu yang putih. Keadaan malamnya seperti siangnya, tidak (seorang pun) menyimpang /menyeleweng darinya setelah sepeninggalku kecuali dia binasa”
Dengan demikian, maka tidak boleh seorang muslim menambahkan sesuatu yang tidak disyariatkan oleh-Nya dalam agama. Tidak boleh beribadah kecuali yang disyari’atkan Allah dan Rasul-Nya. Wajib atas seluruh umat muslimin untuk tunduk dan patuh kepada perintah Allah dan Rasul-Nya, dan tidak mengadakan bid’ah dalam Diinul Islam yang tidak diidzinkan Allah dan tidak disyariatkan atas Rasul-Nya. Meskipun dianggap baik bid’ah tersebut dan diberi bumbu/hiasan padanya. Karena Agama Islam telah sempurna dan selainnya adalah bid’ah dan sesat.
Sungguh banyak sekali nash di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah serta perkataan para sahabat , dan generasi salaf (generasi tabi’in dan atba’ut-tabi’in) yang menjelaskan perintah untuk berpegang teguh kepada sunnah, berjalan diatasnya, dan mencintainya serta melarang untuk tidak mengadakan bid’ah dan berhati-hati dengannya (bid’ah). Perkara tersebut telah masyhur dikalangan Ahlus Sunnah.
Pada pembahasan ini akan kami sebutkan sebagiannya, yang insya Allah cukup bagi mereka yang menginginkan kebenaran dan berakal. Allah Ta’ala berfirman :
وأن هذا صرا طي مستقيما فا تبعو ه ولا تتبعوا السبل فتفرق بكم عن سبيله ذلكم وصا كم به لعلكم تتقو ن {سورة الأ نعام آية 153}
“Dan sesungguhnya inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah jalan itu dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian itu diwasiatkan Allah agar kalian bertaqwa.” (QS. Al An’aam: 153)
Allah Ta’ala berfirman, memerintahkan untuk mengikuti kitab-Nya:
اتبعوا ما أنزل اليكم من ربكم ولا تتبعوا من دونه أولياء قليلا ما تذكرون {سورة الأ عراف آية 3}
”Ikutilah apa yang telah diturunkan kepada kalian dari Robb kalian dan janganlah kalian mengikuti wali-wali (pemimpin-pemimpin) selain-Nya, sangat sedikit dari kalian yang mengambil pelajaran (darinya).” (QS. Al A’raf: 3).
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, memerintahkan untuk mengikuti Rasulullah sebagai bentuk konsekuensi mencintai-Nya.
وَمَا آتَاكُمُ الرسول فخذوه وما نهاكم عـنه فانتهوا {سورة الحشر آية 7}
”Dan apa yang diberikan (diperintahkan) Rasul kepada kalian, maka terimalah (jalankanlah) dan apa yang dilarangnya atas kalian, maka tinggalkanlah; dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya”. (QS. Al Hasyr: 7).
يا أيها الذين آمنوا أطيعوا الله ورسوله ولا تولوا عنه وأنتم تسمعون {سورة الأ نفال آية 20}
“Hai orang-orang yang beriman taatlah kalian kepada Allah dan rasul-Nya dan janganlah kalian berpaling dari-Nya, sedangkan kalian mendengar (apa yang diserukan atas kalian)”. (QS. Al Anfaal: 20).
Allah Ta’ala berfirman, memerintahkan untuk mengikuti Rasulullah sebagai bentuk konsekuensi mencintai-Nya.
قل إنكنتم تحبون الله فاتبعوني يحببكم الله و يغفرلكم ذنوبكم
{سورة آل عمرن آية 31}
Katakanlah (Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ): ‘Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (QS. Ali Imron: 31).
Sebaliknya, Allah mengkhabarkan bahwa menyelisihi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan sebab awal datangnya fitnah dan adzab. Allah berfirman :
فليحذر الذين يخا لفون عن أمره أن تصيـبهم فتنة أو يصيـبهم عذاب أليم {سورة النورآية 63}
“Maka peringatkanlah orang-orang yang menyelisihi perintahnya untuk takut akan terkena fitnah atau adzab yang pedih.” (QS. An Nuur: 63).
Allah Ta’ala juga mewasiatkan setelah mengikuti Rasul-Nya , agar mengikuti jalan yang ditempuh oleh orang-orang beriman. Karena mereka telah menyandarkan jalannya kepada jalan yang ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan Dia menjanjikan kepada orang-orang yang tidak mengikuti jalan tersebut dengan neraka Jahannam. Allah berfirman :
ومن يشاقق الرسول من بعد ما تبين له الهدى ويتبع غير سبيل المؤمنين نوله ما تولى ونصله جهنم وساءت مصيرا {سورة النساء آية 115}
“Barangsiapa yang menentang Rasul (Muhammad ) sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan selain jalannya orang-orang mukmin, Kami biarkan ia dalam kesesatan yang telah dikuasainya, dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam. Dan Jahannam itu seburuk-seburuk tempat kembali”. (QS. An Nisaa’: 115).
Selain memerintahkan untuk mengikuti perintah-Nya dan perintah Rasul-Nya, yang hal itu merupakan sebab seseorang mendapatkan hidayah dan kebahagiaan, Allah Ta’ala juga telah memperingatkan dari perkara-perkara yang memalingkan pe rintah-Nya, yaitu mengikuti hawa nafsu, berbuat bid’ah dan selainnya yang menjadi penyebab kebinasaan. Allah Ta’ala berfirman:
ومن أضل ممن اتبع هواه بغير هدى من الله إن الله لا يهدى القوم الظالمين {سورة القصص آية 50}
“Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tanpa petunjuk dari Allah sedikitpun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dholim.” (QS. Al Qashash: 50)
Demikianlah, banyak sekali kita temukan ayat-ayat Al Qur’an yang memerintahkan untuk ittiba’ (mengikuti perintah-Nya dan perintah Rasul-Nya) dan melarang mengikuti hawa nafsu serta berbuat bid’ah. Terkadang kita jumpai di sebagian ayat-ayat Al Qur’an perintah untuk mengikuti Allah dan Rasul-Nya saja.
Di sebagian lainnya, perintah untuk mengikuti kitab-Nya (Al Qur’an) .Penyebutan pahala, hidayah, kemenangan, kebahagiaan, dan rahmat dari Allah pada mereka yang ittiba’ , serta penyebutan adzab dan siksa kepada mereka yang menyelisihi perintah-Nya dan perintah Rasul-Nya sehingga dengannya mendapatkan fitnah dan dimasukkan neraka Jahannam. Itu semua menunjukkan pentingnya hal tersebut sebagai perkara yang ushul (pokok) dan mempunyai kedudukan yang tinggi di dalam Dinul Islam. (bersambung…Insya Allah)
(Diterjemahkan oleh Al Ustad Abu ‘Isa Nurwahid dari Kitab Mauqifu Ahlussunnati wal Jama’ati min Ahlil Ahwa’i wal Bida’i)
Footnote :
1 (Shahih Bukhori [Kitab Al Iman, Bab Ziyaadatu Al Iman wa Nuqshonih], dan Fathu Al-Baari, Juz I, Hal. 105, No. hadits: 45; Shahih Muslim [Kitab At-tafsir] Juz IV, Hal. 2313, No. hadits: 3617).
2 (Musnad Imam Ahmad, Juz XI, Hal. 126; Sunan Ibnu Majah, Juz I, Hal. 16. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Dzilal Al-Jannah dari Kitab As-Sunan Ibnu Abi ‘Aashim, Hal. 26, hadits No. 37-38, 39).
Referensi : Buletin Da’wah Islami Al Atsary, Semarang Edisi III/Thn.I/ 1427 H