Adapun di dalam hadits-hadits, diantaranya hadits dari Jabir bin Abdillah yang panjang, dimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: “Sungguh aku telah tinggalkan kepada kalian, yang apabila kalian berpegang teguh kepadanya kalian tidak akan tersesat, yaitu kitabullah (Al Qur’an)” .
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad . Dan perkara yang paling jelek (jahat) adalah mengadakan perkara baru (bid’ah dalam agama), dan seluruh bid’ah adalah sesat.”
Irbadl bin Sariyah berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya: ‘Aku wasiatkan kepada kalian untuk selalu bertaqwa kepada Allah, mendengar dan taat meskipun yang memimpin seorang budak Habsyi. Sesungguhnya siapa saja di antara kalian yang hidup sepeninggalku akan melihat perselisihan yang banyak, maka berpegang teguhlah dengan sunnahku dan sunnah Khulafa Ar-Rosyidin Al-Mahdiyyin (para khalifah yang terbimbing dan yang mendapatkan petunjuk ),gigitlah dengan gigi geraham, dan berhati-hatilah kalian
dengan perkara yang baru (dalam agama) karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.”
Dari Abdullah bin ‘Amr bin Ash berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya: “Setiap amalan mempunyai masa semangat dalam mengamalkannya, dan setiap masa semangat ada masa lelah. Barang siapa lelahnya diatas sunnahku (dalam rangka menjalankan sunnah) maka dia sesungguhnya telah mendapatkan petunjuk (terbimbing). Barang siapa lelahnya tidak di atas sunnah (dalam rangka menjalankan amal tidak di atas sunnah) maka dia sesungguhnya telah binasa” .
Dan masih banyak hadits lainnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai hal ini. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling tinggi dalam memberikan nasehat kepada manusia, orang yang paling tinggi dalam memberikan kebaikan kepada umatnya dan orang yang paling
mengetahui keadaan umatnya. Sehingga beliau memerintahkan dan mewasiatkan kepada umatnya agar senantiasa berpegang teguh kepada Al Qur’an dan mengikuti sunnahnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan mereka agar berhati-hati dengan perkara yang baru (dalam Islam). Sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhabarkan dan memperingatkan akan terjadinya perselisihan dan perpecahan serta timbulnya bid’ah-bid’ah pada umat beliau. Dan beliau juga menunjukkan jalan yang selamat dari perpecahan dan bid’ah tersebut, yaitu dengan berpegang teguh dengan sunnahnya dan sunnah para khalifah setelahnya yang terbimbing dan mendapatkan petunjuk. Mudah-mudahan Allah تعالي yang maha luas kemuliaanya memberikan balasan yang setinggi-tingginya kepada beliau atas nasehat dan bimbingan yang telah beliau berikan kepada umatnya.
Adapun atsar dari para sahabat banyak sekali, diantaranya:
Berkata Muadz bin Jabal di Syam yang artinya: “Wahai manusia tetaplah kalian di atas ilmu sebelum diangkatnya ilmu, dan ketahuilah bahwa diangkatnya ilmu itu adalah dengan meninggalnya ahli ilmu (ulama). Berhati-hatilah kalian dari bid’ah, berbuat bid’ah dan melampaui batas (dalam ibadah). Dan tetaplah kalian di atas perkara orang-orang terdahulu (generasi salaf)” .
Berkata seorang laki-laki kepada Ibnu Abbas Radhiallahu anhumaa: “Berilah wasiat kepadaku”. Berkata Ibnu Abbas kepadanya: “Tetaplah engkau bertak-
wa kepada Allah dan istiqomah,ikutilah dan jangan berbuat bid’ah” .
Berkata Abdullah bin Umar yang artinya: “Setiap perkara bid’ah adalah sesat meskipun dianggap baik oleh manusia. ”
Ini adalah perkataan sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang didasari akal yang sempurna dan pandangan yang sangat dalam mengenai agama. Mereka membaca, mempelajari dan menggali dienul Islam kemudian mengamalkannya dan berhenti (tidak berbuat bid’ah). Sesungguhnya tidak ada generasi sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lebih alim dan faqih dalam agama Islam daripada para sahabat . Mereka adalah generasi yang mempunyai sifat-sifat sebagaimana yang dikatakan Abdullah bin Mas’ud yang artinya : “Generasi terbaik dari umat ini, generasi yang paling tinggi kebaikan hatinya, generasi yang paling tinggi ilmunya dan generasi yang paling sedikit takallufnya” .
Dengan demikian, maka wajib bagi kaum muslimin untuk ittiba’ (mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) dan berhenti (cukup dengan syari’at yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak melakukan perkara bid’ah). Sebagaimana para sahabat dalam menjalankan ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka memperingatkan manusia dengan peringatan yang sangat keras dari perbuatan-perbuatan bid’ah, demikian juga yang telah dilakukan generasi salaf. Mereka telah mendapatkan keutamaan dan barokah dalam mengikuti para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengambil wasiat-wasiat yang berlandaskan Al Qur’an dan As-Sunnah dalam berpegang teguh
pada sunnah dan berhati-hati dari bid’ah.
Saya akan sebutkan perkataan generasi salaf (terdahulu) setelah para sahabat , yaitu dari tabi’in dan lainnya, dalam menetapkan perkara yang pokok ini dikarenakan mempunyai kedudukan yang agung dalam agama Islam dan agar diketahui bahwa perkara ini disepakati (ijma’) oleh seluruh generasi salaf. Orang yang menyimpang darinya pasti sesat, mubtadi’(ahlul bid’ah) dan menyimpang dari dienul Islam.
Berkata Ayub As-Sikhtyani yang artinya: “Tidaklah seseorang yang berbuat bid’ah menambah kesungguhannya (dalam menjalankan bid’ah) kecuali Allah تعالي semakin menjauhkan dia dari-Nya” .
Berkata Yunus bin ‘Ubaid kepada anaknya yang duduk (bermajlis) dengan seorang tokoh mu’tazilah yang menyeru kepada kebid’ahannya yang bernama ‘Amru bin ‘Ubaid yang artinya: “Wahai anakku, aku melarangmu dari berbuat zina, mencuri, dan minum khamr. Sekiranya engkau bertemu Allah تعالي dengan membawa dosa-dosa tersebut lebih aku cintai daripada engkau membawa pemikiran sesat Amru dan para pengikutnya” .
Berkata Imam Syafi’i yang artinya: “Seseorang yang diuji oleh Allah تعالي dengan dosa-dosa yang diharamkan-Nya selain dari syirik itu lebih baik baginya dari pada dia di uji dengan Al Kalam (berbicara dan memahami ilmu agama Allah dengan
pemikiran sesat yang menyimpang dari bimbingan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam )” . Penjelasan dari Al Qur’an, As-Sunnah, dan perkataan salaful ummah (para sahabat, tabi’in dan atba’ut-tabi’in) di atas menunjukkan wajibnya mengikuti Al Qur’an dan Sunnah, serta generasi pertama dari umat ini yang telah dipersaksikan dengan segala kebaikan dan keutamaannya. Dengan demikian, seluruh bid’ah adalah haram, sesat dan binasa. Tidak ada kebaikan sedikitpun pada perbuatan bid’ah dan bahkan dicela dan dihinakan oleh para ulama, demikian pula orang-orang yang melakukannya.
(Tamat)
(Diterjemahkan oleh Al Ustad Abu ‘Isa Nur wahid dari Kitab Mauqifu Ahlussunnati wal Jama’ati min Ahlil Ahwa’i wal Bida’i)
Definisi “Sunnah”
Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali bin ‘Abdul Hamid Al-Halaby
Makna sunnah sebagai hidayah yang menyeluruh dan jalan yang sempurna adalah seluruh perkara yang datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam baik perkataan, perbuatan, ketetapan maupun sifat (baik sifat akhlak maupun jasmani/badan), dan perkara yang ditinggalkan oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Contoh perkataan adalah seperti pada hadits : ” Innamal a’malu bin niyat …“ (“Sesunguhnya setiap amalan tergantung dari niatnya …“)
Perbuatan, seperti hadits yang ternukil di dalamnya penjelasan dari Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuat atau beramal demikian dan demikian.
Ketetapan, seperti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang sahabat berbuat atau beramal satu perkara yang kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkannya (perkara tersebut).
Yang berkaitan dengan badan/jasmani, seperti hadits yang menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak tinggi dan tidak pendek. Sifat yang berkaitan dengan akhlak seperti hadits yang menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Baik dalam berbicara”, “Hidup amalan dan perkataannya“.
Perkara yang ditinggalkan, yaitu seluruh perkara yang tidak dikerjakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan adanya sebab. Ini juga sunnah. Seperti hadits yang menceritakan tiga orang sahabat yang datang ke rumah istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menanyakan ibadah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah itu salah seorang dari mereka berkata: “Aku akan shalat lail (tahajud) selamanya”. Yang kedua berkata: “Aku akan puasa terus dan tidak berbuka”. Yang ketiga berkata: “Aku akan menjauhi wanita dan tidak menikah”. Maka, setelah sampai khabar tersebut kepadanya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Demi Allah sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut dan paling bertaqwa kepada Allah diantara kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan berbuka, aku shalat dan tidur ,dan aku menikahi wanita. Maka, barangsiapa yang membenci sunnahku maka dia bukan dari golonganku.” (HR. Bukhari, No. 5063; Muslim, No. 1401).
Maka perkara ibadah yang ditinggalkan Rasullullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak boleh dikerjakan oleh seorang muslim meskipun dihiasi dengan dalil yang batil atau dengan syubhat. Seperti perkataan: “Kami mengerjakan yang demikian atas dasar maslahat”, atau “Demi menyatukan hati kaum muslimin.”
Demikian makna sunnah Rasullullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
(Diterjemahkan oleh Al Ustadz Abu ‘Isa Nurwahid dari Syarah Hadits Irbadl bin Sariyyah {HR.Imam Ahmad, dan lainnya})
1)(Shohih Musllim, Juz II, Hal. 890 No. 1218; Shohih Sunan Abu Dawud, Juz II, Hal. 462, No. 1905; Ibnu Majah, Juz II, Hal. 1205, No. 3074).
2)(Shohih Muslim, Juz II, Hal. 592, No. 867. Dari jalan Jabir bin Abdillah ).
3)(HR. Ahmad, Juz IV, Hal. 126; Abu Dawud, Juz V, Hal. 13; Tirmidzi, Juz VII, Hal. 438; Ibnu Majah, Juz I, Hal.15, hadits No.42; Ad-Darimi, Juz I, Hal. 57; dan yang lainnya seperti Al-Hakim, Ibnu Abi ‘Aashim, Ibnu Baththah, Al-Ajury, Al-Lalikaiy. Berkata Syaikh Nashiruddin Al-Albany: “Sanadnya shahih.” Lihat Misykat Al-Mashobikh, Juz I, Hal. 58, No.165).
4)(HR. Ibnu Hibban, Juz I, hal. 110; Imam Ahmad, Juz II, hal. 188, 210, 158, 165; Ibnu Abi ‘Ashim dalam Sunnah-nya, hal.28, no. 51). Berkata Syaikh Al Albani mengenai hadist ini: Hadits Shahih di atas syarat Bukhori dan Muslim. (Lihat Dzilalu Al Jannah dengan Kitab As-Sunnah, hal. 28 dan Shahih At Targhib Wa At-Tarhib, Juz I, hal. 98).
5) (Al Bida’u wa An-Nahyu anha, hal. 25).
6)(Riwayat Al Marwadzi dalam As-Sunnah, hal. 24; Ad-Darimi dalam Sunnah-nya, juz I, hal. 66; Ibnu Baththoh dalam Al Ibanatu Al Kubro, juz I, hal 319 dan 337; Al Baghawi dalam Syarh As-Sunnah, juz I, hal. 214).
7)(Riwayat Al Marwadzi dalam As-Sunnah, hal. 24; Ibnu Baththoh dalam Al Ibanatu Al Kubro, juz I, hal 339; Al Lalika’i dalam
Syarah Ushul I’tiqod Ahlussunnah, juz I, hal. 92).
8) (Bagian dari atsar yang diriwayatkan oleh Al Baghawi dari Abdullah bin Mas’ud ra dalam kitab Syarh As-Sunnah, juz I, hal 214).
9)(Riwayat Ibnu Al Jauzy dalam Talbis Iblis; As-Suyuthi dalam Al Amru bil Al Ittiba’, hal. 81).
10)(Riwayat Abu Nu’aim dalam Al Khilyah, juz III, hal. 20-21; Al Lalika’i dalam Syarah Ushul I’tiqod Ahlussunnah, juz IV, hal.
741).
11)(Riwayat Al Lalika’i dalam Syarah Ushul I’tiqod Ahlussunnah, juz I, hal. 146; Abu Nu’aim dalam Al Khilyah, juz XI, hal. 111; Nashru Al Maqdisi dalam mukhtasar Kitab Al Hujjah ‘Ala Taariki Al Mahajjah, hal. 455; Al Baghawi dalam Syarh As-Sunnah, juz I, hal 217).
Referensi : Buletin Da’wah Al Atsary, Semarang Edisi 04/1427H