Belajar dari Keberhasilan
Mengkaji jejak keberhasilan umat terdahulu dalam mengangkat dan menyebarkan syiar-syiar Islam adalah sesuatu yang mulia. Karena belajar dari sebuah keberhasilan dan berupaya untuk meneladaninya juga merupakan keberhasilan.
Para nabi dan rasul telah berhasil menjalankan amanat dan tugas dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Betapa banyak hati yang tertutup menjadi terbuka dengan hidayah, sirnanya kekufuran dan keingkaran kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, runtuhnya kekuasaan ajaran iblis, serta hancurnya hukum-hukum thagut yang sebelumnya bercokol.
Masa kegemilangan itupun berlalu, kejayaan itu di masa sekarang bagaikan fatamorgana dalam bayangan teriknya matahari di padang sahara, yang bila didekati hilang begitu saja. Dimanakah letak rahasia kejayaan mereka? Dan di manakah letak dan penyebab kegagalan kita?
Kedua pertanyaan ini butuh jawaban.
Ada dua rahasia dan sebab keberhasilan perjuangan di masa lampau dalam mengibarkan panji-panji tauhid, merombak kebusukan keyakinan jahiliyah terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala, penyelewengan yang sangat parah, dan bercokolnya kesesatan di benak setiap insani, keberhasilan dalam menumbangkan dan meruntuhkan tahta thagutiyyah, Fir’aunisme, Majusiyyah, Shabi’iyyah dan dinasti-dinasti jahiliyah. Keberhasilan menghidupkan hati yang sudah mati, mengetuk gendang telinga yang sudah tuli dan membuka mata yang sudah buta sebelum membuka dan menaklukkan berbagai negeri.
Pertama: Kemurnian perjuangan yang dibangun di atas keikhlasan semata-mata mencari wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Inilah rahasia pertama dan utama landasan keberhasilan perjuangan mereka. Landasan yang merupakan sumber kekuatan dan keberanian dalam menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi. Ia merupakan sumber munculnya sikap tabah dalam menghadapi segala bentuk ujian dan rintangan dalam mengemban amanat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dengan keikhlasan, semua beban hidup yang berat akan menjadi ringan, yang besar akan menjadi kecil dan yang sulit akan menjadi mudah. Intisari ikhlas itulah kalimat tauhid “Laa Ilaha illallah.” Keikhlasan merupakan landasan pengabdian para nabi dan rasul kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam banyak ayat menjelaskan:
إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّيْنَ
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Kitab kepadamu dengan benar, maka sembahlah Allah dengan mengikhlaskan agama bagi-Nya.” (Az-Zumar: 2)
قُلْ إِنِّي أُمِرْتُ أَنْ أَعْبُدَ اللهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّيْنَ. وَأُمِرْتُ لأَنْ أَكُوْنَ أَوَّلَ الْمُسْلِمِيْنَ
“Katakanlah (hai Muhammad) sesungguhnya aku diperintahkan untuk menyembah Allah dengan mengikhlaskan agama bagi-Nya. Dan aku diperintahkan untuk menjadi orang yang pertama kali menyerahkan dirinya.” (Az-Zumar: 11-12)
قُلِ اللهَ أَعْبُدُ مُخْلِصًا لَهُ دِيْنِي
“Katakanlah: Aku menyembah kepada Allah dengan mengikhlaskan baginya agamaku.” (Az-Zumar: 14)
وَمَا أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ حُنَفَاءَ
“Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan agar mereka menyembah hanya kepada Allah dengan mengikhlaskan bagi Allah agama yang lurus.” (Al-Bayyinah: 5)
وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ مُوْسَى إِنَّهُ كَانَ مُخْلَصًا وَكَانَ رَسُوْلاً نَبِيًّا
“Dan ingatlah di dalam kitab tentang nabi Musa sesungguhnya dia adalah seorang yang dipilih dan beliau adalah seorang rasul dan nabi.” (Maryam: 51)
Masih teringat dalam benak kita kekejaman dan keangkuhan Fir’aun, sebuah kekejaman yang tiada tara yaitu dengan membunuh anak laki-laki yang menurut dia akan membahayakan tahta kekufuran yang berada dalam kaki dan taring keberingasannya. Angkuh sampai menobatkan dan memproklamirkan dirinya sebagai tuhan sesembahan semesta alam.
فَحَشَرَ فَنَادَى. فَقَالَ أَنَا رَبُّكُمُ اْلأَعْلَى
“Lalu dia mengumpulkan (bala tentaranya) lalu menyeru: Aku adalah tuhan kalian yang tinggi.” (An-Nazi’at: 23-24)
Keberingasan dan keangkuhannya tidak memberinya manfaat dalam menyebarkan manuver-manuver kufurnya. Sebagian bala tentaranya harus jujur mengakui kebenaran kerasulan Nabi Musa. Sekali lagi kemenangan, keberhasilan, kejayaan bersama orang yang ikhlas.
Kedua: Mereka tidak keluar dalam berjuang dari jalur dan garis yang telah ditetapkan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sikap ketundukan dan siap menerima titah adalah jalan keberhasilan para nabi dan rasul serta orang-orang yang mengikuti langkah mereka di setiap masa. Mereka berjalan dalam jalur Ilahi, berkata dalam batasan pengajaran-Nya, diam dan bergerak dalam bimbingan-Nya. Mereka tidak mengolah dan merancang bagaimana cara menyelamatkan umat dari segala bentuk kerusakan dan kebiadaban hidup serta kekejaman para penentang dan musuh-musuh mereka dengan keluar dari bimbingan wahyu.
Mereka yakin bahwa kemenangan akan diraih melalui jalan yang telah digariskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kegagalan karena menyelisihi perintah-Nya. Mereka meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menciptakan bagi hamba jalan yang akan mendatangkan kemaslahatan dan telah memperingatkan dari jalan yang akan memudaratkan.
Jika Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk melakukan sesuatu berarti dalam perintahnya terdapat maslahat hidup bagi mereka di dunia dan di akhirat dan bila Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang untuk melakukan sesuatu berarti dalam larangan itu kemudaratan dunia dan akhirat.
Allah Subhanahu wa Ta’ala membenci kesyirikan, karena kesyirikan tersebut akan mengantarkan kepada malapetaka hidup di dunia dan akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharamkan kebid’ahan karena mengandung kerusakan di dalam mengejar maslahat hidup dunia dan akhirat.
Allah mengharamkan khamr, judi, mencuri, berzina, membunuh tanpa alasan yang benar, memakan harta orang lain dengan cara yang tidak benar, berbuat kedzaliman, durhaka kepada kedua orang tua, berdusta, menipu, curang dalam timbangan dan sebagainya, karena perbuatan tersebut akan mengantarkan kepada kebinasaan dunia dan azab di akhirat.
Tugas perombakan yang dilakukan oleh para nabi dan Rasul serta para pengikut mereka tidak keluar dari koridor wahyu. Jalan wahyu bukanlah jalan yang penuh taburan bunga dan siraman bau yang semerbak. Akan tetapi penuh dengan duri dan sengatan yang berbisa.
Ujian datang silih berganti, rintangan datang bertubi-tubi menghunjam qalbu dan raga orang-orang yang melewatinya. Demikian dahsyatnya hingga menyesakkan dada. Allah Subhanahu wa Ta’ala berkisah tentang ucapan mereka dalam situasi yang genting tersebut dalam sebuah firman-Nya:
أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِيْنَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّى يَقُوْلَ الرَّسُوْلُ وَالَّذِيْنَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللهِ أَلاَ إِنَّ نَصْرَ اللهِ قَرِيْبٌ
“Apakah kalian mengira akan masuk ke dalam surga sementara belum datang kepada kalian (ujian) yang telah menimpa orang-orang sebelum kalian, (mereka) ditimpa oleh berbagai penyakit, marabahaya dan kegoncangan sampai-sampai Rasulullah dan orang-orang yang beriman bersamanya mengatakan: ‘Kapan pertolongan Allah datang?’ (Allah) menjawab: ‘Sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat.’” (Al-Baqarah: 214)
Al-Imam Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di menjelaskan dalam Tafsir-nya: “Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitakan bahwa Dia pasti akan menguji hamba-hamba-Nya dengan berbagai penyakit, malapetaka, dan segala yang memberatkan hidup sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala perbuat atas orang sebelum mereka. Ini merupakan ketetapan sunnah-Nya yang tidak akan berubah dan terevisi. Barangsiapa menegakkan agama-Nya dan syariat-Nya, Dia pasti akan mengujinya dan jika dia bersabar atas keputusan Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut dan tidak peduli dengan kesengsaraan yang terjadi di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala maka dia adalah orang yang jujur dan telah mendapatkan kebahagiaan yang sempurna serta kepemimpinan yang tinggi.
Barangsiapa menjadikan fitnah manusia bagaikan azab Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam bentuk dia terhalangi untuk melangsungkan usahanya dan dipalingkan oleh ujian dari tujuannya maka dia adalah orang yang berdusta dalam keimanannya. Karena bukan iman bila hanya perhiasan dan angan-angan belaka atau hanya sekedar pengakuan sehingga amalnya yang akan membenarkan atau mendustakannya… Kemudian karena kerasnya ujian dan sempitnya dada (dalam memikulnya), Rasulullah dan orang-orang yang menyertainya dalam keimanan berkata: “Kapan datang pertolongan Allah?”, maka di saat kemudahan datang setelah kesempitan dan ketika kesempitan menjadi luas Allah berfirman: “Ketahuilah sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat.” Demikianlah, setiap orang yang menegakkan kebenaran mesti akan diuji. Tatkala ujian itu dahsyat dan berbahaya dan dia bersabar dan tabah hati niscaya ujian itu akan berubah menjadi nikmat serta kesulitan menjadi kemudahan. Dan setelah itu datangnya pertolongan atas musuh-musuh dan tersembuhkannya hati dari segala yang dirasakan.” (Tafsir As-Sa’di hal. 79)
Pergolakan demi pergolakan pun terjadi dan segala kenyataan pahit harus ditelan. Perjalanan sunnatullah yang demikian tidaklah menjadikan mereka melepaskan kebenaran menuju sebuah kemenangan, kejayaan, dan keberhasilan.
Mustahil akan mendapatkan kejayaan bila dengan cara potong kompas, yaitu meninggalkan tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menguburnya. Keharusan mengikuti tuntunan syariat menuju kemuliaan, kejayaan dan kemenangan telah dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam banyak firman-Nya di antaranya:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فَاتَّبِعُوْنِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ
“Katakanlah: Jika kalian benar-benar cinta kepada Allah maka ikutilah aku niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian dan Allah Maha pengampun dan Maha Penyayang.” (Ali ‘Imran: 31)
Al-Hasan Al-Bashri berkata: “Bentuk cinta mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah ittiba’ mereka kepada tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .”
Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Hatim di dalam Tafsir beliau (2/204) dari Abu Darda` beliau berkata (dalam menafsirkan kata) ‘Ikutilah aku’: “(Ikutilah aku) dalam kebaikan, ketaqwaan, tawadhu’, dan merendah diri.”
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُوْلِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللهَ وَالْيَوْمَ اْلآخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيْرًا
“Sungguh telah ada bagi kalian pada diri Rasulullah suri tauladan yang baik (yaitu) bagi orang yang mengharapkan Allah dan hari akhir dan bagi orang yang banyak mengingat Allah.” (Al-Ahzab: 21)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengada-ada dalam urusan kami maka dia tertolak.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat Al-Imam Muslim, beliau bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang melakukan amalan yang tidak ada perintah dariku amalan tersebut tertolak.”
Memetik Buah Dua Kalimat Syahadat, Sebagai Pondasi Islam
Teramat ironis jika ada orang yang telah mengikrarkan dua kalimat syahadat sebagai pondasi bangunan agama dan keyakinannya, namun terus meneus berlumuran dan berkubang dalam kemaksiatan. Padahal nilai besar dan buah yang agung yang bakal dipetik dari kalimat ini adalah sesuatu yang tidak bisa dimungkiri.
Para dedengkot kekufuran dan kesyirikan di masa lalu, berubah menjadi orang yang paling baik di dalam agama ini setelah mereka mengikrarkan dua kalimat syahadat. Mereka telah berhasil memetik nilai-nilai keimanan yang benar dalam pengikraran mereka. Sehingga keimanan mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi kuat dan kokoh. Keimanan yang benar kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan rasul-Nya dan pengamalan yang bersih dari noda-noda yang mengotorinya, kepatuhan dan ketundukan yang sempurna menjadi amaliyah yang besar dalam kehidupan para shahabat.
Nilai-nilai keimanan yang akan dipetik melalui dua kalimat syahadat adalah:
1. Membentuk kepribadian yang ikhlas atau bertauhid.
2. Pengabdian yang murni kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
3. Ibadah yang tidak keluar dari garis syariat.
4. Ketundukan, kepatuhan dalam mentaati Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.
5. Kecintaan yang hakiki kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan rasul-Nya.
6. Mensyukuri segala yang terkait dengan pengutusan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (lihat Syarah Ushul Iman hal. 19 dan 28)
Memetik nilai-nilai yang mulia dalam kedua kalimat ini sangat ditopang dengan kebagusan pemahaman dan pengamalan terhadap Islam secara menyeluruh. Para shahabat terdahulu mereka bisa memetik nilai-nilai mulia dengan begitu mudah dan tepat dikarenakan kebersihan dan kemurnian ilmu yang mereka timba dari lisan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Berarti bila seseorang ingin memetik nilai-nilai kemuliaan dari dua kalimat ini maka harus pula menempuh jalan yang telah mereka tempuh dalam memahami dan mengamalkan Islam secara menyeluruh. Itulah jalan Salafus shalih umat ini.
Kesempurnaan Islam dengan Menyempurnakan Landasannya
Segenap kaum muslimin telah memaklumi bahwa sebuah bangunan bila tidak didirikan di atas pondasi yang kuat akan cepat runtuh dan hancur. Begitu juga bangunan Islam bila tidak dibangun di atas landasan yang kokoh dan kuat akan cepat runtuh. Namun keruntuhan yang bersifat duniawi tidak sama dengan keruntuhan yang bersifat ukhrawi karena keruntuhan yang bersifat duniawi adalah sementara sedangkan keruntuhan yang bersifat ukhrawi adalah abadi yang akan berakhir dengan ancaman dan murka dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika keruntuhan bangunan duniawi saja akan mengakibatkan kerugian yang besar, maka keruntuhan ukhrawi jauh lebih besar lagi kerugiannya.
أَفَمَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى تَقْوَى مِنَ اللهِ وَرِضْوَانٍ خَيْرٌ أَمْ مَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى شَفَا جُرُفٍ هَارٍ فَانْهَارَ بِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ وَاللهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِيْنَ
“Apakah orang-orang yang mendirikan bangunannya di atas dasar takwa kepada Allah dan keridhaan-Nya itu yang baik ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengannya ke dalam neraka Jahannam? Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim.” (At-Taubah: 109)
Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلىَ خَمْسٍ، شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ وَحَجِّ الْبَيْتِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ
“Islam dibangun di atas lima landasan (yaitu) bersyahadat Laa ilaha illallah dan Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji ke Baitullah dan puasa pada bulan Ramadhan.”
Ibnu Rajab menjelaskan: “Yang dimaksud dengan permisalan bahwa Islam dibangun di atas tiang-tiang ini adalah tidak akan kokoh (bangunan Islam) melainkan dengannya. Adapun bagian-bagian Islam yang lain bagaikan penyempurna suatu bangunan. Jika salah satu dari penyempurna tersebut kurang niscaya bangunannya akan kurang pula namun bangunan tersebut tetap berdiri dan tidak akan runtuh. Berbeda halnya jika landasan yang lima ini runtuh, Islam akan sirna apabila kelima landasan ini hilang dengan tidak ada keraguan lagi. Demikian juga akan hilang bila hilang dua kalimat syahadat. Yang dimaksud dengan dua kalimat syahadat adalah iman kepada Allah dan Rasul-Nya.” (Jami’ul Ulum wal Hikam hal. 62)
Syarat-syarat Kekokohan Pondasi
Dari sini kita mengetahui bahwa kesempurnaan agama seseorang dan segala bangunan yang berdiri di atasnya sangat tergantung pada kekokohan pondasi bangunan tersebut. Syarat agar landasan itu kokoh terlalu banyak dan landasan bangunan Islam adalah dua kalimat syahadat dan kekokohan bangunan ada pada kesanggupan untuk menyempurnakan syarat-syaratnya.
Wahb bin Munabbih menggambarkan sebagaimana dalam riwayat Al-Imam Al-Bukhari: “Setiap kunci memiliki gigi-gigi, dan kunci surga adalah Laa Ilaha illallah.”
Beliau juga berkata: “Gigi-gigi kunci tersebut adalah syaratnya, jika engkau membawa kunci yang memiliki gigi niscaya akan terbuka pintunya dan jika tidak memiliki gigi tidak akan dibuka bagimu.” (lihat Tuhfatul Murid hal. 2)
Laa Ilaha illallah memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi setiap pengikrarnya. Semua syarat tersebut tidak diharuskan untuk dihafal akan tetapi cukup untuk diamalkan kandungannya walaupun tidak dihafal. (lihat Tuhfatul Murid hal. 3)
Syarat-syaratnya terhimpun dalam bait syair dibawah ini:
عِلْمٌ يَقِيْنٌ وَإِخْلاَصٌ وَصِدْقُكَ مَعَ
مَحَبَّةٍ وَانْقِيَادٍ وَالْقَبُوْلِ لَهَا
Ilmu, yakin dan ikhlas berikut kejujuranmu bersama.
Cinta, ketundukan dan kepasrahan menerimanya.
Syarat pertama: Mengilmui makna kalimat Laa Ilaha illallah
Maknanya adalah mengilmui dan mewujudkan di dalam amal karena tidak cukup hanya mengilmui maknanya lalu tidak mengamalkannya. Bukankah orang kafir Quraisy di masa silam lebih mengetahui maknanya dibanding kaum muslimin di masa sekarang? Namun pengetahuan mereka tentang kalimat yang agung ini tidak menjadikan mereka beriman disebabkan mereka tidak mau mengamalkan apa yang mereka ketahui. Hal tersebut nampak ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyeru mereka agar mengucapkan Laa Ilaha illallah sembari mereka menyangkal.
أَجَعَلَ اْلآلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ
“Apakah dia (Rasulullah) akan menjadikan tuhan-tuhan (ini) menjadi satu tuhan? Sesungguhnya ini perkara yang sangat mengherankan.” (Shad: 5)
Tentang syarat ini telah disebutkan Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam firman-Nya:
إِلاَّ مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُوْنَ
“Kecuali bagi orang yang mempersaksikan kebenaran dan mereka mengetahuinya.” (Az-Zukhruf: 86)
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
“Maka ketahuilah bahwa tidak ada sesembahan yang benar melainkan Allah.” (Muhammad: 19)
Diriwayatkan dari Utsman bin ‘Affan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Barangsiapa yang meninggal dan dia mengetahui kalimat La ilaha illallah akan masuk ke dalam surga .”
Syarat kedua: Yakin terhadap makna yang dikandungnya.
Keyakinan yang akan menghilangkan keraguan pada diri seorang muslim. Artinya, yang mengucapkannya meyakini kebenaran, kandungan, dan konsekuensi kalimat tersebut, dengan keyakinan yang pasti dan bukan dengan zhan (praduga) belaka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ آمَنُوا بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيْلِ اللهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُوْنَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu padanya dan mereka berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa-jiwa mereka, merekalah orang-orang yang jujur.” (Al-Hujurat: 15)
Di dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala mensyaratkan kejujuran iman orang-orang yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan tidak ada keraguan padanya. Karena ragu dalam keimanan merupakan sifatnya orang-orang munafiq.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ لَقِيْتَ مِنْ وَرَاءِ هَذَا الْحَائِطِ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ مُسْتَيْقِنًا بِهَا قَلْبُهُ فَبَشِّرْهُ بِالْجَنَّةِ
“Barangsiapa yang engkau jumpai di belakang tembok ini, yang mempersaksikan bahwa tidak ada sesembahan yang benar melainkan Allah, dengan penuh keyakinan dalam hati maka berikanlah kabar gembira dengan surga .”
Sٍyarat Ketiga: Ikhlas
Keikhlasan yang akan memadamkan segala gejolak kesyirikan, kemunafikan, riya’ (ingin dilihat) dan sum’ah (ingin didengar/populer). Karena ikhlas dalam pandangan agama adalah membersihkan amalan dengan niat yang baik dari segala noda-noda kesyirikan.
فَاعْبُدِ اللهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّيْنَ
“Maka sembahlah Allah dengan mengikhlaskan agama bagi-Nya.” (Az-Zumar: 2)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata: Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ
“Orang yang paling berbahagia dengan syafaatku kelak pada hari kiamat adalah orang yang mengucapkan Lailahaillallah dengan penuh keikhlasan dari hatinya .”
Dari ‘Itban bin Malik ia berkata: Telah bersabda Rasulullah:
إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلىَ النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ يَبْتَغِي بِذَلِكَ وَجْهَ اللهِ
“Sesungguhnya Allah telah mengharamkan neraka bagi orang yang megucapkan Lailahaillallah semata-mata mencari wajah Allah .”
Syarat Keempat: Jujur
Kejujuran yang akan menghilangkan sifat dusta. Artinya, orang yang mengucapkan kalimat Laa Ilaha illallah harus dibenarkan oleh hatinya, karena jika dia mengucapkannya dengan lisan lalu hatinya tidak membenarkan apa yang diucapkan maka dia adalah orang munafiq dan pendusta.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ألم, أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُوْلُوا آمَنَّا وَهُمْ لاَ يُفْتَنُوْنَ. وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللهُ الَّذِيْنَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِيْنَ
“Alif Lam Mim. Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan mengucapkan kami beriman lalu tidak diuji. Dan sungguh Kami telah menguji orangorang sebelum mereka, agar Allah benarbenar mengetahui siapa di antara mereka yang jujur dan siapa yang berdusta.” (Al-’Ankabut: 1-2)
Diriwayatkan dari Anas, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ أَحَدٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ صَادِقًا مِنْ قَلْبِهِ إِلاَّ حَرَّمَهُ اللهُ عَلىَ النَّارِ
“Tidaklah seseorang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar melainkan Allah dan Muhammad adalah rasul Allah dengan penuh kejujuran dalam hatinya, melainkan Allah akan mengharamkan neraka atasnya .”
Syarat Kelima: Cinta
Artinya cinta terhadap kalimat yang besar ini dengan segala konsekuensinya dan mencintai pula orang yang mengamalkan maknanya beserta syarat-syaratnya, juga membenci para penentangnya.
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُوْنِ اللهِ أَنْدَادًا يُحِبُّوْنَهُمْ كَحُبِّ اللهِ وَالَّذِيْنَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا للهِ
“Dan di antara manusia ada orang yang menjadikan selain Allah sebagai tandingan-tandingan (di mana) mereka cinta kepadanya sebagaimana cintanya kepada Allah, sedangkan orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah.” (Al-Baqarah: 165)
Orang yang bertauhid akan mencintai Allah dengan kecintaan yang murni. Sebaliknya, orang yang menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala namun bersamaan dengan itu juga mencintai selain Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana cintanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan tentu hal ini akan menafikan ketauhidannya.
Syarat Keenam: Ketundukan
Ketundukan dan pasrah diri dalam melaksanakan segala konsekuensi kalimat tersebut dengan cara menolak semua jenis kesyirikan yang akan membatalkan ketauhidan.
وَمَنْ يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى
“Dan barangsiapa yang memasrahkan wajahnya kepada Allah dan dia dalam berbuat baik, maka sugguh dia telah berpegang dengan tali yang kokoh.” (Luqman: 22)
Syarat Ketujuh: Menerima
Artinya menerima kalimat tersebut dan kandungannya, dengan lisan dan hatinya, beserta segala konsekuensinya dengan menghilangkan sikap penolakan apa yang dituntut oleh kalimat tauhid tersebut.
إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيْلَ لَهُمْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ يَسْتَكْبِرُوْنَ وَيَقُوْلُوْنَ أَئِنَّا لَتَارِكُوا آلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُوْنٍ
“Sesungguhnya mereka jika diserukan untuk mengucapkan kalimat Laa ilaha illallah mereka menyombongkan diri. Dan mereka seraya berkata: Bagaimana kami akan meninggalkan tuhan-tuhan kami karena (seruan) seorang yang gila.” (Ash-Shaffat: 35-36) [lihat ‘Aqidah Tauhid hal. 53-57 karya Asy-Syaikh Shalih Fauzan, Al-Qaulul Mufid fi Adillati At-Tauhid hal. 28-33 karya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Yamani, Laa Ilaha illallah Ma’naha wa Makanaha wa Muqtadhaha hal. 14-15, karya Asy-Syaikh Shalih Fauzan, Tuhfatul Murid Syarh Al-Qaulil Mufid hal. 2, karya Nu’man Al-Watr]
Pembaca yang budiman, demikianlah gambaran kecil tentang syarat kalimat tauhid yang merupakan intisari dakwah para nabi dan karenanya diturunkan kitab-kitab. Maka jika kita menginginkan kekokohan dalam agama, sempurnakanlah pondasi bangunan Islam tersebut. Demikianlah makna ucapan Ibnu Rajab Al-Hambali sebagaimana di atas.
Wallahu a’lam.
http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=428