Darussalaf
Darussalaf oleh Admin

kedudukan sunnah rasulullah shalallahu’alaihi wassallam dalam islam (bag.2)

12 tahun yang lalu
baca 10 menit

Dewasa ini telah muncul satu kelompok yang menamakan dirinya qurainiyyin (ingkarus Sunnah) yang menafsirkan al Qur’an dengan nafsu dan akal-akal mereka tanpa mencari keterangan tafsirnya dari sunnah yang shahih. Bagi mereka as Sunnah hanyalah pengikut nafsu mereka. Jika sesuai dengan hawa nafsunya maka berpegang dengannya, namun jika tidak sesuai dengan hawa nafsunya maka Sunnah itu dibuang kebelakang punggung mereka.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengisyaratkan akan adanya orang-orang seperti ini dalam satu haditsnya yang shahih (Artinya): “Sungguh sebentar lagi kalian akan melihat seseorang yang duduk di singgasananya, kemudian datang kepadanya urusanku (Sunnahku) baik yang berisi larangan ataupun perintah, maka dia berkata: “Aku tidak tahu itu! (pokoknya, red) Semua yang kami dapatkan dalam kitab Allah itulah yang kami ikuti” (HR Tirmidzi).

Dalam riwayat lain dia berkata: “Apa yang kami dapatkan dalam kitabullah pengharamannya, akan kami haramkan, maka Rasulullah bersabda: “Ketahuilah! Sesungguhnya aku diberi al Qur’an dan yang semisal bersamanya (yakni As Sunnah, red)”.

Dalam riwayat lain, Rasulullah berkata: “Ketahuilah apa yang dilarang oleh Rasulullah itu sama dengan yang dilarang oleh Allah”.

Hadits shahih di atas menjelaskan dengan tegas bahwa syari’at Islam bukannya al Qur’an saja, melainkan al Qur’an dan as Sunnah. Barang siapa hanya berpegang dengan salah satunya berarti sama dengan tidak berpegang dengan keduanya, karena al Qur’an memerintahkan untuk berpegang dengan as Sunnah demikian pula sebaliknya. Seperti firman Allah Ta’ala (Artinya): “Barang siapa yang mentaati rasul berarti dia mentaati Allah.” (QS An Nisa: 80)

Dalam ayat lain Allah berfirman: (Artinya): “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS An Nisa: 65).

Firman Allah (Artinya): “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya Telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya Maka sungguhlah dia Telah sesat, sesat yang nyata.” (QS Al Ahzab: 36)

Firman Allah (Artinya): “Apa yang diberikan (disampaikan) Rasul kepadamu, Maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. (QS Al Hasyr: 7)

Sehubungan dengan ayat yang terakhir ini ada riwayat yang sangat menakjubkan, dalam satu riwayat yang shahih dari Ibnu Mas’ud, datang seorang wanita kepadanya kemudian berkata: “Kamukah orang yang berkata bahwa Allah melaknat namishat (wanita yang mencabut rambut alis) dan mutanamishat (wanita yang minta dicabutkan) dan wasyimat (wanita yang mentato..) “Wanita itu menjawab: “Aku telah membaca al Qur’an dari awal sampai akhir tetapi aku tidak menemukan apa yang kamu katakan. “Maka Ibnu Mas’ud menjawab: “Jika kamu betul-betul membacanya niscaya engkau menemukannya. Tidakkah engkau membaca (Artinya): “Apa yang diberikan (disampaikan) Rasul kepadamu, Maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. (QS Al Hasyr: 7). Aku telah mendengar Rasulullah bersabda (artinya): “Allah melaknat Namishat (mencabut bulu alis)… (HR Bukhari Muslim)

TIDAK CUKUP PENGERTIAN BAHASA SAJA DALAM MEMAHAMI AL QUR’AN

Dari penjelasan di atas telah jelas dan terang bahwasanya tidak mungkin seseorang walaupun dia mahir dalam bahasa Arab dan sastra-sastranya, mampu memahami al Qur’an tanpa dibantu oleh sunnah rasulullah, baik sunnah qauliyah (Sunnah yang diucapkan Rasulullah, red) ataupun sunnah fi’liyah (Sunnah yang diperbuat Rasulullah, red). Mengapa demikian ? karena dia tidak lebih mahir dalam berbahasa dari para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang mana al Qur’an turun kepada mereka yang pada waktu itu belum tercampur dengan bahasa ‘ajam, awam dan lahm (kesalahan bahasa). Meskipun demikian ada diantara para sahabat yang salah dalam memahami ayat-ayat Al Qur’an tatkala mereka hanya bersandar pada bahasa saja (lihat buletin edisi sebelumnya, red).

Atas dasar itu, jelaslah bahwa jika seseorang semakin ‘alim (tahu) tentang sunnah, maka dia lebih pantas untuk memahami al Qur’an dan mengambil istinbath (faidah/kesimpulan, red) hukum darinya dibandingkan orang yang bodoh (tidak tahu, red) tentang sunnah. Kalau demikian, lalu bagaimana lagi dengan orang yang tidak mau menganggap sunnah dan tidak menolehnya sama sekali…?!. Oleh karena itu sudah merupakan satu kaidah yang disepakati oleh ahlul ‘ilmi bahwasanya al Qur’an ditafsirkan dengan sunnah kemudian dengan perkataan para sahabat, dan seterusnya.

Dari sini pula kita dapat mengetahui kesesatan ahlul kalam (pemikiran filsafat, red) baik yang ada pada jaman dulu ataupun yang ada sekarang, serta jelas pula perbedaan mereka dengan salafush shalih dalam masalah keyakinan terutama dalam masalah hukum, hal ini dikarenakan ahlul kalam jauh dari sunnah dan mereka menghakimi ayat-ayat yang berisi tentang sifat Allah dan lainnya dengan akal dan hawa nafsu mereka.

Betapa indahnya perkataan dalam syarah aqidah thahawiyah: “Bagaimana mungkin berbicara tentang pokok agama (dengan orang, red) yang tidak menerima agamanya dari kitab dan sunnah, melainkan hanya menerima perkataan si fulan? Walaupun dia mengaku atau menganggap mengambil agama dari kitabullah tetapi tidak menerima penafsirannya dari hadits-hadits rasul, tidak melihat hadits-hadits, tidak pula melihat perkataan para sahabat dan pengikut mereka yang mengikuti dengan baik (tabi’in) yang disampaikan kepada kita oleh orang-orang yang terpercaya yang dipilih oleh para pakar, karena para sahabat tidak hanya meriwayatkan matan (isi, red) al Qur’an saja tetapi juga menyampaikan maknanya. Mereka tidak belajar al Qur’an seperti anak kecil, tetapi mempelajari dengan makna-maknanya. Barang siapa yang tidak menempuh jalan mereka berarti telah berjalan dengan pikirannya sendiri. Barang siapa yang berbicara dengan pikiran dan sangkaannya sendiri dalam agama Allah ini serta tidak menerimanya dari al Qur’an maka dia berdosa walaupun kebetulan benar. Barang siapa yang mengambil al Qur’an dan as Sunnah dia akan mendapatkan pahala walaupun salah (salah dalam ijtihad, pent) tapi jika benar akan dilipatgandakan pahalanya.

Kemudian berkata pula di halaman 218: “Maka wajib menyempurnakan kepatuhan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tunduk kepada perintahnya serta menerima khabarnya dengan perkataan dan keyakinan, tidak menentangnya dengan khayalan yang batil yang dinamakan ma’qul (logis/masuk akal, red) atau menganggap sebagai syubhat (samar) atau meragukannya atau mendahulukan pendapat dan pemikir manusia dari pada perkataannya. Kita harus menjadikan dia satu-satunya manusia untuk merujuk satu hukum. Patuh dan tunduk sebagaimana kita mentauhidkan Allah Ta’ala dalam ibadah, ketundukan, kehinaan, inabah dan tawakal.”

Kesimpulannya: Wajib atas semua muslim untuk tidak membedakan antara al Qur’an dan as Sunnah, dari sisi kewajiban mengambilnya dan berpegang dengan keduanya serta menegakkan syari’at di atas keduanya. Karena keduanya adalah penjamin mereka agar tidak berpaling kekiri dan kekanan dan agar mereka tidak mundur dengan kesesatan. Rasulullah menjelaskan (Artinya): “Aku tinggalkan bagi kalian dua perkara yang kalian tidak tersesat selama berpegang dengan keduanya yaitu kitabullah dan sunnahku. Keduanya tidak akan berselisih sampai keduanya mendatangiku di telaga (Al Haudh, red)” (HR Malik dan Hakim).

PERINGATAN:

Satu hal yang penting yang ingin aku (Al Albani) kemukakan adalah bahwa sunnah yang begitu penting kedudukannya dalam syari’at ini hanyalah sunnah yang shahih, setelah diteliti dengan cara-cara ilmiah dan diketahui oleh ahlul ilmi tentang hadits dan perawi-perawinya. Bukanlah maksudnya hadits yang terdapat dalam kitab-kitab mazhab yang beraneka ragam itu baik dalam masalah tafsir, fikih, targhib wattarhib, raqaiq, nasehat-nasehat dan lainnya. Karena dalam kitab-kitab tersebut banyak terdapat hadits yang dhaif (lemah) dan munkar bahkan maudhu’ (palsu), sebagian lagi ada riwayat yang tidak bisa diterima oleh Islam seperti hadits Gharanik, Harut dan Marut. Aku (Al Albani) mempunyai risalah khusus dalam menolak kisah gharanik. Dan sebagian besarnya telah aku bawakan dalam silsilah hadits dha’ifah dan maudhu’ah yang jumlahnya saat ini telah mencapai 4000 hadits. Mencakup hadits dha’if dan maudhu’.

Wajib atas ahlul ‘ilmi terutama yang sudah berdakwah dan menyebarkan fatwa-fatwanya agar jangan berhujjah dengan hadits kecuali setelah meyakini shahihnya hadits tersebut. Karena biasanya kitab-kitab fikih yang dijadikan rujukan penuh dengan hadits yang lemah, mungkar dan tidak ada sanadnya sebagaimana telah diketahui oleh para ulama.

KELEMAHAN HADITS MUADZ TENTANG RA’YU (AKAL)

Sebelum mengakhiri uraian ini aku (Albani) memandang perlu memalingkan perhatian ikhwan semua kepada satu hadits masyhur yang sering dibawakan dalam kitab-kitab ushul fikih, akan kita jelaskan bahwa hadits tersebut dha’if (lemah) baik sanad maupun matannya, karena bertentangan dengan adanya larangan membedakan al Qur’an dengan as Sunnah dan kewajiban berpegang dengan keduanya.

Isi hadits tersebut adalah: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Muadz ketika mengutusnya ke Yaman (Artinya): “Dengan apa kamu akan berhukum? Muadz berkata: “dengan kitabullah, jika engkau tidak dapati, dijawab dengan sunnah, jika tidak engkau dapati dalam sunnah (hadits) Rasulullah, Muadz menjawab:”Aku akan berijtihad dengan ra’yu (akal) dan aku akan berusaha keras. Maka Rasulullah berkata: “Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah membimbing utusan Rasulullah kepada perkara yang dicintainya”.

Tentang kelemahan sanadnya, tidak layak untuk dibahas sekarang. Aku (Al Albani) telah membahasnya dengan penjelasan yang memadai dan aku kira belum ada yang mendahuluiku dalam hal tersebut. Anda bisa melihatnya dalam silsilah hadits dhaif: 885. Cukup bagiku dalam kesempatan ini dengan menyebutkan perkataan amirul mukminin dalam masalah hadits yaitu Imam Bukhari rahimahullah, beliau berkata tentang hadits ini: “Hadits mungkar”.

Setelah itu layak bagiku untuk menjelaskan pertentangan yang telah aku isyaratkan diatas. Aku katakan: “Hadits Muadz memberikan manhaj (metode, red) bagi seorang hakim dalam mengambil hukum dengan tiga marhalah (al Qur’an, as Sunnah dan ra’yu) tidak boleh mencari hukum dengan ra’yu kecuali hukum tersebut tidak ditemukan di dalam as Sunnah. Dan tidak boleh berhukum dengan as Sunnah kecuali tidak ditemukan dalam al Qur’an.

Manhaj seperti ini jika dilihat dari masalah ra’yu adalah benar menurut seluruh para ulama. Mereka berkata: “Jika telah ada atsar, batallah nazhar (penyelidikan)”. Tetapi manhaj ini jika dilihat dari sisi sunnah tidaklah benar karena sunnah adalah hakim atas al Qur’an. Maka wajib membahas dan mencari hukum dalam as Sunnah walaupun disangka hukum tersebut terdapat dalam al Qur’an. Kedudukan as Sunnah dengan al Qur’an berbeda dengan kedudukan ra’yu dan as Sunnah, tidak sekali lagi tidak! Tetapi wajib menganggap al Qur’an dan as Sunnah sebagai satu sumber yang tidak bisa dipisahkan selamanya, sebagaimana telah diisyaratkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (artinya): “Ketahuilah aku diberi al Qur’an dan yang semisalnya (yakni as Sunnah).” Dan sabdanya: “Kedudukannya tidak akan berpisah sampai keduanya menemuiku di telaga”.

Pengelompokkan antara al Qur’an dan as Sunnah tidaklah benar karena mengharuskan pemisahan keduanya, dan ini batil. Seperti telah dijabarkan penjelasannya. Inilah yang ingin aku ingatkan. Jika benar, semua ini datangnya dari Allah dan jika salah itu dari diriku sendiri. Kepada Allahlah aku meminta agar menjagaku dan anda sekalian dari kesalahan-kesalahan dan segala sesuatu yang tidak diridhai-Nya. Dan penutup do’a kita: Alhamdulillah. (Disadur dari kutaib “Manzilatus Sunnah fil Islam” karya Asy Syaikh Al Albani oleh Ust. Abdurrahman Mubarak dengan beberapa sedikit perubahan oleh redaksi)

Buletin Al Atsary Diterbitkan Oleh: Yayasan Riyadhul Jannah Cileungsi Pembina: Al Ustadz Abu Abdillah Abdurrahman Mubarak   Pemimpin Redaksi: Abu Umair Qomar Sirkulasi Umum: AbuSufyan Hamzah Alamat Redaksi: Yayasan Riyadhul Jannah Jln.Raya Narogong Kp.Cikalagan RT 02/01 (Depan Pasar Baru Cileungsi)  Berlangganan dan Info Kajian Umum Ahlussunnah Wal Jama’ah  Hubungi 08 567 133 567