Derajat Ibu di sisi Allah
Telah kita ketahui bersama bahwa jihad merupakan amalan tetinggi di dalam agama yang mulia ini. Mendapatkan gelar sebagai seorang syahid adalah puncak teratas dari segala titel. Dengan kedudukan syahid, Allah akan menghapuskan seluruh dosa kecuali dain. Dengan syahid seseorang bisa memberikan syafaat kepada 70 orang kerabatnya. Dengan syahid seseorang akan dinikahkan dengan 70 orang bidadari. Dan dengan syahid pula dia akan meraih 99 derajat di dalam jannah.
Tapi tunggu, izin dan dengar dulu pesan ibumu. Jika beliau mengizinkanmu maka raihlah kesempatan amalan jihad itu. Namun, jika ibumu mencegahmu maka turutilah ia. Jangan engkau berkecil hati karena Allah lebih cinta kepada sesorang yang mematuhi ibunya dibandingkan dengan amalan semulia jihad fii sabilillah, begitupula halnya dengan hijrah.
Telah dinukilkan bahwa sahabat Ibnu Mas’ud pernah bertanya kepada baginda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, “Amalan apa yang paling dicintai oleh Allah?” beliau menjawab, “Shalat tepat waktunya.” Lalu apa lagi? “Berbakti kepada kedua orang tua.” Lalu apa lagi “Jihad di jalan Allah.”
Abdullah bin Amr mengisahkan:
“ Dahulu ada seorang pemuda datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Dia hendak meminta izin kepada beliau untuk hijrah bersama rombongan ke Madinah. Namun pemuda tersebut pergi dari rumah tanpa restu dari orang tuanya. Dia pergi menemui Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam keadaan orang tuanya menangis. Maka Rosulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam berkata kepada pemuda itu: “Kembalilah engkau kepada kedua orang tuamu. Hiburlah keduanya hingga mereka tertawa sebagaimana engkau telah membuat keduanya menangis.”
Dikisahkan dari Abu Burdah bahwasanya beliau melihat seorang pria dari Yaman yang datang ke baitullah ketika musim haji. Pemuda tersebut menempuh perjalanan dari Yaman menuju Makkah dengan membawa ibunya yang sudah tua dan tidak mampu berjalan. Maka jadilah dia sebagai kendaraan tunggangan bagi ibunya. Penomena yang luar biasa dan pemandangan yang jarang terjadi. Dia berjalan melewati pegungungan pasir yang tandus dengan hitungan jarak yang sangat jauh dalam keadaan seperti itu. Keringat tubuh bercampur daki dan debu menjadi saksi atas kepatuhannya kepada sang ibu tercinta. Dia berharap agar Allah menjadikan amalan yang ia lakukan tersebut menjadi penebus atas semua jasa ibunya yang telah diberikan kepadanya.
Ketika setibanya mereka di baitullah iapun membawa ibunya thowaf di keliling ka’bah. Lalu pemuda itupun bertemu dengan sahabat Abdullah bin Umar. Diapun menghampiri Ibnu Umar kemudian berkata kepadanya: “Sesungguhnya aku bagaikan onta tunggangan bagi ibuku. Aku tidaklah pernah menjadikan khawatir ibuku sebagaimana onta. Maka menurut pendapatmu apakah aku sudah membalas semua jasa ibuku?”
Ibnu Umarpun menjawab: “Tidak. Bahkan apa yang engkau lakukan tersebut belumlah mampu menebus satu hela nafas ibumu di kala ia sedang melahirkanmu”
Maka apa yang bisa engkau simpulkan dari jawaban Abdullah ibnu Umar tersebut? Tentu angkau dapat membayangkan akan luhur dan tingginya kedudukan seorang ibu di sisi Allah Robbul ‘Izzah. Sehingga amalan yang berat dari sang pemuda itu ternyata belum sebanding dengan satu tarikan nafas ibunya yang mengejan saat melahirkannya.
Bagaimana tidak. Saat-saat melahirkan adalah perjuangan berat antara hidup dan mati. Seakan-akan maut hendak menyambar lalu merenggut nyawa. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya yang pucat pasi. Jasad terasa seakan-akan terhimpit oleh reruntuhan gunung hingga ia tak mampu lagi berucap apa-apa. Dan tidak sedikit di antara mereka yang tak sangggup lagi menahan rasa sempit di dada. Nafas yang terengah-engah itu kemudian semakin melemah dan melemah. Genggaman erat tangannyapun kemudian terlepas dan terhempas. Gugur sebagai syahidah yang mulia.
(Bersambung insya Allah…)
Sumber : abudawudalpasimiy.wordpress.com