Para pembaca yang berbahagia…
Sesaat lagi insya Allah kita akan merayakan hari raya Iedul Adha, suatu hari yang penuh dengan gema Takbir …Tahlil…dan Tahmid. Gema ini ini pun terus membahana di seluruh dunia ini. Dari sudut-sudut kota hingga pelosok-pelosok desa terdengar lantunan:
الله أكبر. الله أكبر. لا إله إلا الله و الله أكبر. الله أكبر و لله الحمد.
“Allah Maha Besar. Allah Maha Besar. Allah Maha Besar. Tiada ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah dan Allah Maha Besar. Allah Maha Besar dan hanya milik Allah-lah segala pujian.”
Sebuah ikrar penghambaan yang sangat tinggi… bahwa Allah Maha Besar, di tangan Allah-lah segala sesuatu. Dzat Yang sangat dahsyat azab-Nya dan sangat agung karunia-Nya, sehingga hanya Dia-lah satu-satunya yang berhak diibadahi dan hanya Dia-lah satu-satunya penyandang segala pujian.
Saudaraku yang berbahagia…
Pada hari itu pula kita disyariatkan untuk menunaikan sholat Iedul Adha.. sementara saudara-saudara kita nan jauh di sana sedang melaksanakan ibadah haji yang mulia. Mereka datang berbondong-bondong dari berbagai penjuru dunia menuju Baitullah, untuk menyambut panggilan Allah seraya menyatakan:
لَبَيْكَ اللَّهُمَّ لَبَيْكَ، لَبَيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَيْكَ، إِنَّ الحَمْدَ وَ النِّعْمَةَ لَكَ وَ المُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ
“Ku sambut panggilan-Mu ya Allah, ku sambut panggilan-Mu. Ku sambut panggilan-Mu tiada sekutu bagi-Mu, ku sambut panggilan-Mu. Sesungguhnya segala pujian, nikmat dan kerajaan hanyalah milik-Mu, tiada sekutu bagi-Mu.”
Peristiwa yang agung ini, mengingatkan kita akan seruan Nabiyullah Ibrahim ‘alaihis salam, sebagaimana yang Allah sebutkan dalam Al Qur’an:
“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rizki yang Allah telah karuniakan kepada mereka yang berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian darinya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir.” (Al Hajj: 27-28)
Pada hari itu pula hingga hari-hari tasyriq disyariatkan bagi yang mampu untuk menyembelih hewan kurban, sebagai wujud persembahan taqarrub kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Ini pun mengingatkan kita akan peristiwa yang terjadi antara Nabiyullah Ibrahim dengan putranya Isma’il ‘alaihis salam. Sebagaimana yang Allah sebutkan di dalam Al Qur’an:
“Maka tatkala anak itu (Isma’il) telah sampai kepada usia cukup, untuk berusaha bersama-sama Ibrahim, maka Ibrahim berkata: “Hai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(-nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan kami panggillah dia: “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu”, sesungguhnya demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (Ash Shoffaat: 102-106)
Dengan demikian, hari raya Iedul Adha dan segala rangkaian ibadah yang berkaitan dengannya ini tidak bisa dipisahkan dari perjalanan hidup Nabiyullah Ibrahim dan keluarganya. Perjalanan hidup yang diabadikan oleh Allah di dalam Al Qur’anul Karim sebagai pelajaran dan teladan bagi generasi setelahnya.
Saudaraku yang berbahagia…
Perjalanan hidup nabi Ibrahim mengandung pelajaran berharga bagi para da’i. Yaitu agar mereka selalu berpijak di atas ilmu dalam mengemban tugas dakwahnya, sebagaimana yang dicontohkan oleh nabi Ibrahim ketika mendakwahi ayahnya:
“Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus.” (Maryam: 43)
Di samping itu, para da’i haruslah selalu peduli terhadap kondisi umat dan negerinya. Hal ini sebagaimana yang dicontohkan nabi Ibrahim ‘alaihis salam, ketika beliau memohon kepada Allah:
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdo’a: “Wahai Rabbku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa dan berikanlah rizki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian.” (Al Baqarah: 126)
Para da’i hendaknya berupaya untuk menyampaikan kebenaran secara utuh kepada umatnya, dan memperingatkan mereka dari kebatilan dan para pengusungnya, kemudian bersabar di dalam menghadapi segala konsekuensinya. Sebagaimana firman Allah tentang nabi Ibrahim alaihissalam:
“Dan (ingatlah) Ibrahim, ketika ia berkata kepada kaumnya: “Beribadahlah kalian kepada Allah dan bertakwalah kalian kepada-Nya. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian jika kalian mau mengetahui. Sesungguhnya apa yang kalian ibadahi selain Allah itu adalah berhala, dan kalian telah membuat dusta. Sesungguhnya yang kalian ibadahi selain Allah itu, tidak mampu memberikan rizki kepada kalian, maka mintalah rizki itu dari sisi Allah dan beribadahlah hanya kepada-Nya serta bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada-Nya lah kalian akan dikembalikan. Dan jika kalian mendustakan, maka umat sebelum kalian pun juga telah mendustakan dan kewajiban rasul itu hanyalah menyampaikan (agama Allah) dengan seterang-terangnya.” (Al ‘Ankabuut: 16-18)
Nabi Ibrahim tetap bersabar dan terus melanjutkan dakwahnya walaupun kondisi umatnya sebagaimana yang Allah beritakan:
“Maka tidak ada lagi jawaban kaum Ibrahim selain mengatakan: “Bunuhlah atau bakarlah dia”, lalu Allah menyelamatkannya dari api. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang beriman.” (Al ‘Ankabuut: 24)
Perjalanan hidup Nabi Ibrahim juga mengandung pelajaran berharga bagi para orang tua, karena beliau adalah sosok orang tua yang sangat perhatian dengan pendidikan dan agama anak cucunya. Sebagaiman firman Allah:
“Dan Ibrahim telah mewasiatkan kalimat itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub. (Ibrahim berkata): “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilihkan agama ini bagi kalian, maka janganlah sekali-kali kalian mati kecuali dalam keadaan memeluk agama Islam.” (Al Baqarah: 132)
Bahkan beliau selalu berdo’a:
“Wahai Rabbku, jadikanlah negeri ini (Mekkah), negeri yang aman. Dan jauhkanlah aku berserta anak cucuku dari perbuatan menyembah berhala.” (Ibrahim: 35)
“Wahai Rabbku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang selalu mendirikan sholat. Wahai Rabb kami kabulkanlah do’aku.” (Ibrahim: 40)
Setiap orang tua mengemban amanat besar, yaitu menjaga anak-anak dan keluarganya dari adzab api neraka. Sehingga dia pun harus memperhatikan pendidikan anak-anaknya, agama mereka dan ibadah mereka. Sungguh keliru, ketika orang tua acuh tak acuh terhadap kondisi anak-anaknya. Atau yang selalu diperhatikan hanyalah kondisi fisik dan kesehatannya, sementara urusan agama dan ibadahnya diabaikan.
Wahai orang tua…takutlah kepada Allah, karena kelak kalian akan dimintai pertanggungjawaban di hari kiamat tentang tugas besar yang kalian emban ini.
Perjalanan hidup nabi Ibrahim juga mengandung pelajaran berharga bagi para anak, karena beliau ‘alaihis salam adalah seorang yang sangat berbakti kepada kedua orang tuanya dan selalu berupaya menyampaikan kebenaran kepada mereka dengan cara yang terbaik. Allah berfirman:
“Ingatlah ketika ia (Ibrahim) berkata kepada bapaknya: “Wahai bapakku, mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong engkau sedikitpun? Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai bapakku, janganlah engkau menyembah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa engkau akan ditimpa adzab dari Tuhan Yang Maha Pemurah, maka engkau akan menjadi kawan bagi syaithan.” (Maryam: 42-45)
Ketika ayahnya menyikapi ajakannya dengan keras, seraya berkata:
“Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, hai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, niscaya kamu akan kurajam dan tinggalkanlah aku dalam waktu yang lama.” (Maryam: 46)
Dengan tabahnya Ibrahim menjawab:
“Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan meminta ampun bagimu kepada Tuhanku, sesungguhnya Ia sangat baik kepadaku.” (Maryam: 47)
Demikianlah sepantasnya seorang anak kepada orang tuanya. Selalu berupaya memberikan yang terbaik di masa hidupnya dan selalu mendo’akannya baik di masa hidupnya ataupun sepeninggalnya.
Perjalanan hidup nabi Ibrahim juga mengandung pelajaran berharga bagi suami-istri agar selalu membina kehidupan rumah tangganya di atas keridhaan Allah . Hal ini bisa dilihat dari dialog antara Ibrohim dengan istrinya yang bernama Hajar, ketika dibawa berserta anaknya ke Mekkah oleh Ibrahim atas perintah Allah , dalam kondisi Mekkah (ketika itu) sebagai lembah yang tandus dan tidak ada kehidupan padanya. Hajar berkata: “Apakah ini perintah dan kehendak Allah?” Ibrahim menjawab: “Ya.” Sang istri pun dengan serta merta mengatakan: “Kalau begitu Allah tidak akan menyengsarakan kita.” (lihat Shahih Al Bukhari no. 3.184)
Atas dasar itulah, seorang suami harus berupaya untuk membina istrinya dan menjaganya dari adzab Allah. Demikian pula istri, diapun harus mendukung amal shalih yang dilakukan suaminya dan selalu mengingatkan suaminya bila terjatuh ke dalam kemungkaran.
Demikianlah beberapa pelajaran berharga dari perjalanan hidup Nabi Ibrahim . Semoga kita termasuk orang-orang yang mendengarkan kata-kata yang mulia dan dapat mengambil pelajaran darinya… Amiin ya Rabbal ‘Alamin.
Oleh: Tim Redaksi
MUTIARA HADITS SHAHIH
Dari Abu Qatadah:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ سُئِلَ عَنْ صَوْم يَوْمِ عَرَفَةَ، فَقَالَ: يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ
“Sesungguhnya Rasulullah pernah ditanya tentang puasa pada hari Arafah, maka belaiu berkata: “(Puasa Arafah dapat) mengahapus (dosa-dosa) setahun yang lalu dan yang akan datang.” (H.R Muslim)
WASIAT RASULULLAH
“Aku wasiatkan kepada kalian agar selalu bertaqwa kepada Allah, dan mendengar lagi taat (pada pemerintah) walaupun kalian di pimpin oleh seorang budak, sesungguhnya siapa saja di antara kalian yang hidup (sepeninggalku nanti) maka ia akan melihat perselisihan yang cukup banyak, maka wajib bagi kalian (berpegang-teguh) dengan sunnahku dan sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidin setelahku yang terbimbing, berpegang-teguhlah kalian dengannya dan gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham kalian, serta hati-hatilah dari perkara-perkara yang diada-adakan (dalam agama) karena setiap bid’ah itu sesat.” (H.R Abu Dawud, At Tirmidzi dan Ahmad)
http://assalafy.org/al-ilmu.php?tahun3=35