Ada beberapa jenis harta yang diperselisihkan zakatnya oleh ulama:
Rikaz (Harta Terpendam Peninggalan Jahiliah)
Rikaz secara bahasa meliputi harta terpendam dan barang tambang. Adapun menurut istilah syariat maknanya terbatas pada harta terpendam peninggalan jahiliah dan tidak termasuk hasil tambang, menurut pendapat yang benar. Ini adalah pendapat jumhur ulama bersama Ibnu Hazm rahimahullahu dan dibenarkan oleh Al-Albani rahimahullahu. Yang menunjukkan hal ini adalah hadits Abu Hurairah rahiyallahu ‘anhu:
وَالْـمَعْدِنُ جُبَارٌ وَفِي الرِّكَازِ الْخُمُسُ
“Korban pertambangan mati sia-sia (tanpa ganti rugi)1 dan pada rikaz ada seperlima bagian yang wajib dibayarkan.” (HR. Bukhari: 1499 dan Muslim:1710)
Dalam hadits di atas, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membedakan hukum yang berlaku pada barang tambang dan rikaz. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan makna antara keduanya menurut istilah syariat.
Al-’Utsaimin rahimahullahu mengatakan dalam Asy-Syarhul Mumti’ (6/95): “Makna jahiliah adalah masa sebelum Islam. Apabila kita mendapatkan harta terpendam dalam bumi dan ada alamat/tanda jahiliah padanya, misalnya harta itu adalah mata uang yang dikenali sebelum Islam atau tertera padanya tahun berlakunya sebelum Islam, dan yang semisalnya, maka itu adalah rikaz.”
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berpendapat bahwa seperlima bagian yang wajib dikeluarkan dari rikaz adalah zakat. Namun pendapat ini lemah dengan beberapa alasan:
1. Pada rikaz tidak ada persyaratan nishab berdasarkan keumuman hadits. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan wajibnya seperlima bagian dari rikaz yang ditemukan secara umum dan tidak membatasinya pada rikaz dengan jumlah tertentu. Maka berapapun jumlah rikaz yang ditemukan wajib dibayarkan seperlimanya. Ini adalah pendapat jumhur ulama, dipilih oleh Ibnul Mundzir, Al-Albani, dan Al-’Utsaimin rahimahumullah.
2. Rikaz yang wajib dibayarkan seperlimanya tidak terbatas pada rikaz emas dan perak. Hal ini berdasarkan keumuman hadits, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan wajibnya seperlima bagian dari rikaz secara umum tanpa membatasinya dengan rikaz emas dan perak. Maka rikaz apa saja yang ditemukan wajib dibayarkan seperlimanya, meskipun bukan emas dan perak. Ini adalah pendapat jumhur ulama, dirajihkan oleh Al-Albani dan Al-’Utsaimin. Adapun hadits yang membatasinya dengan emas dan perak adalah hadits yang dha’if (lemah), yaitu hadits Abu Hurairah rahiyallahu ‘anhu:
فِي الرِّكَازِ الْـخُمُسُ. قِيْلَ: وَمَا الرِّكَازُ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: الذَّهَبُ وَالفِضَّةُ الَّذِي خَلَقَهُ اللهُ فِي الْأَرْضِ يَوْمَ خُلِقَتْ
“Pada rikaz ada seperlima bagian yang harus dibayarkan.” Ada yang bertanya: “Apa rikaz itu, wahai Rasulullah?” Beliau berkata: “Emas dan perak yang Allah ciptakan di bumi sejak hari diciptakannya.”
Hadits ini dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dan menghukuminya sebagai hadits yang dha’if jiddan (sangat lemah), beliau juga menukilkan pendha’ifan hadits ini dari Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu. Hadits ini juga didha’ifkan oleh Az-Zaila’i rahimahullahu dalam Nashbur Rayah pada Bab fi Al-Ma’adin war Rikaz dan Al-Albani rahimahullahu dalam Tamamul Minnah hal. 377, karena dalam sanadnya ada rawi yang matruk (ditinggalkan/ditolak) bernama ‘Abdullah bin Sa’id bin Abi Sa’id Al-Maqburi.
Dua hukum di atas menunjukkan bahwa seperlima bagian yang wajib dikeluarkan dari rikaz bukan zakat. Seperlima bagian tersebut salah satu dari dua kemungkinan berikut ini:
• Seperlima tersebut adalah seperlima bagian yang dikenal dalam syariat Islam sebagai harta fai’ yang disalurkan untuk mashlahat/kepentingan umum kaum muslimin. Jadi penyalurannya adalah penyaluran seperlima bagian dari harta yang dirampas dari musuh tanpa perang (dikenal dengan istilah fai’) dan penyaluran seperdua puluh lima bagian dari harta rampasan perang (dikenal dengan ghanimah). Hal ini sesuai dengan makna rikaz yang merupakan harta terpendam peninggalan orang kafir di masa jahiliah yang ditemukan oleh pemerintahan Islam. Ini adalah pendapat jumhur ulama, dirajihkan oleh Al-’Utsaimin rahimahullahu.
• Seperlima tersebut penyalurannya kembali kepada kebijakan imam kaum muslimin (pemerintah), disalurkan untuk maslahat yang dipandang oleh pemerintah. Pendapat ini beralasan tidak ada dalam As-Sunnah yang menunjukkan bahwa seperlima itu adalah zakat atau sebagai fai’. Ini adalah pendapat Abu ‘Ubaid rahimahullahu dan dipilih oleh Al-Albani rahimahullahu.
Sepertinya yang rajih (kuat) adalah pendapat jumhur ulama bahwa seperlima tersebut adalah fai’. Wallahu a’lam.
Madu
Al-Imam Abu Hanifah dan Ahmad rahimahumallah berpendapat bahwa madu terkena kewajiban zakat. Namun pendapat ini lemah. Sebab pada asalnya tidak ada kewajiban zakat pada suatu jenis harta hingga ada dalil yang menunjukkannya. Sementara dalam hal ini tidak ada dalil yang menunjukkannya, baik dari sisi nash, keumuman dalil maupun qiyas. Hadits-hadits yang diriwayatkan dalam hal ini tidak ada yang tsabit (tetap) dan semuanya dha’if (lemah). Tidak pula masuk dalam keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ
“Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kalian berinfaq/berzakat dengan harta yang baik-baik dari hasil usaha kalian dan apa-apa yang kami keluarkan untuk kalian dari bumi.” (Al-Baqarah: 267)
Sebab madu bukan hasil bumi yang keluar dari bumi. Secara qiyas pun tidak tepat untuk disamakan dengan hasil bumi, karena madu adalah cairan yang keluar dari binatang yang bernama lebah, sehingga tepatnya disamakan dengan susu yang diperah dari binatang di mana susu perah sendiri tidak ada zakatnya.
Ada suatu hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan atsar dari Umar bin Al-Khaththab rahiyallahu ‘anhu yang sanadnya hasan, namun tidak menunjukkan wajibnya zakat pada madu dan justru menunjukkan tidak adanya zakat. Abu Dawud dan An-Nasa’i meriwayatkan dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, yaitu ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash rahiyallahu ‘anhuma:
جَاءَ هِلَالٌ أَحَدُ بَنِي مُتْعَانَ إِلَى رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم بِعُشُورِ نَحْلٍ لَهُ, وَكَانَ سَأَلَهُ أَنْ يُحْمِيَ لَهُ وَادِيًا يُقَالُ لَهُ: سَلَبَةَ, فَحَمَى لَهُ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم ذَلِكَ الْوَادِي, فَلَمَّا وُلِّيَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ كَتَبَ سَفْيَانُ بْنُ وَهْبٍ إِلَى عُمَرَ يَسْأَلُهُ عَنْ ذَلِكَ, فَكَتَبَ عُمَرُ: إِنْ أَدَّى إِلَيْكَ مَا كَانَ يُؤَدِّي إِلَى رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم مِنْ عُشُوْرِ نَحْلِهِ فَاحْمِ لَهُ سَلَبَةَ, وَإِلاَّ فَإِنَّماَ هُوَ ذُباَبُ غَيْثٍ يَأْكُلُهُ مَنْ يَشَاءُ
Salah seorang Bani Mut’an bernama Hilal datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerahkan sepersepuluh madu hasil lebahnya dan adalah dia meminta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memberi perlindungan hukum negara atas lembah yang bernama Salabah. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi perlindungan hukum atas lembah itu untuknya. Tatkala ‘Umar bin Al-Khaththab rahiyallahu ‘anhu diangkat menjadi khalifah, Sufyan bin Wahab menulis kepadanya bertanya tentang hal itu, maka ‘Umar menulis jawabannya: “Jika dia membayarkan kepadamu apa yang dulu dia bayarkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebesar sepersepuluh hasil lebahnya, maka berilah perlindungan hukum negara kepadanya. Jika tidak, maka sesungguhnya madu itu adalah hasil dari lebah yang akan dimakan oleh siapa saja yang mau.” (Dihasankan sanadnya oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu dalam Fathul Bari [3/408]/Bab Al-’Usyru Fi Ma Yusqa Min Ma’ As-Sama’ dan Al-Albani rahimahullahu dalam Irwa’ Al-Ghalil no. 810, Tamamul Minnah hal. 374, dan Shahih Abi Dawud no. 1600)
Hadits ini menunjukkan bahwa sepersepuluh yang diambil oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bayaran atas perlindungan hukum yang diberikan olehnya selaku pemerintah. Jika tidak ada perlindungan hukum dari pemerintah, maka sesungguhnya lebah yang ada di lembah/hutan bukan milik perseorangan dan siapa saja yang ingin mengambil, halal baginya. Sebagaimana ditunjukkan oleh kitab yang ditulis ‘Umar bin Al-Khaththab rahiyallahu ‘anhu kepada Sufyan bin Wahab. Pemahaman ini dinyatakan oleh Ibnu Zanjawaih rahimahullahu dalam Al-Amwal, Al-Khaththabi rahimahullahu dalam Ma’alim As-Sunan, Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu dalam Fathul Bari (3/408), dan Al-Albani rahimahullahu dalam Tamamul Minnah hal. (374).
Kesimpulannya, yang rajih (kuat) adalah pendapat Asy-Syafi’i, Malik, dan jumhur ulama rahimahumullah bahwa tidak ada kewajiban zakat pada madu. Pendapat ini yang dirajihkan oleh Ibnul Mundzir, Al-Albani, Al-Wadi’i, dan Al-’Utsaimin rahimahumullah.
Barang tambang selain emas dan perak
Al-Imam Ahmad rahimahullahu berpendapat bahwa seluruh hasil tambang yang beraneka ragam terkena zakat berdalilkan dengan keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ
“Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kalian berinfaq/berzakat dengan harta yang baik-baik dari hasil usaha kalian dan apa-apa yang kami keluarkan untuk kalian dari bumi.” (Al-Baqarah: 267)
Namun pendalilan ini tidak tepat dan berkonsekuensi bahwa segala sesuatu yang keluar dari bumi sebagai hasil bumi -di daratan maupun di lautan- ada zakatnya, padahal tidak demikian dan tidak ada ulama yang berpendapat demikian.
Dalam hal ini sebenarnya ada hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun dha’if (lemah), yaitu hadits Bilal bin Al-Harits rahiyallahu ‘anhu:
أَنَّ النّبِيَّ صلى الله عليه وسلم أَخَذَ مِنَ الْمَعَادِنِ الْقَبَلِيَّةِ الصَّدَقَةَ
“Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memungut zakat dari pertambangan Qabaliyyah.” (HR. Abu Dawud, Malik, dan Al-Hakim)
Hadits ini dishahihkan oleh Al-Hakim dan disetujui oleh Adz-Dzahabi, namun ijtihad keduanya keliru. Hadits ini didha’ifkan oleh Al-Imam Asy-Syafi’i, Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla pada permasalahan no. 700, dan Al-Albani dalam Irwa’ Al-Ghalil (no. 830), karena sanadnya mursal (terputus).
Oleh karena itu yang benar adalah pendapat yang mengatakan bahwa barang-barang tambang selain emas dan perak tidak ada zakatnya. Karena pada asalnya suatu harta tidak terkena kewajiban zakat hingga ada dalil yang menunjukkannya, sedangkan dalam hal ini tidak ada dalil yang menunjukkan wajibnya zakat barang-barang tambang. Maka kita berjalan di atas hukum asal tersebut dan menyatakan tidak ada zakatnya. Ini adalah madzhab Malik, Asy-Syafi’i, dan Ibnu Hazm rahimahumullah.
Adapun barang tambang berupa emas dan perak, maka keumuman dalil-dalil wajibnya zakat emas dan perak meliputinya. Maka barang tambang emas dan perak wajib dibayarkan zakatnya sebesar seperempat puluh (2,5 %), jika mencapai nishab dinar (emas) dan dirham (perak) serta telah sempurna haulnya. Hal ini telah kami terangkan pada pembahasan zakat emas dan perak, walhamdulillah.
Barang permata selain emas & perak, minyak ambar & misk (kesturi), serta ikan
Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa barang-barang permata selain emas dan perak, seperti berlian, mutiara, zamrud, dan permata lainnya terkena kewajiban zakat. Namun tidak diragukan lagi lemahnya pendapat ini, karena pada asalnya setiap harta terbebas dari zakat hingga ada dalil yang menetapkannya, sedangkan dalam hal ini tidak ada dalil yang menetapkan dan menunjukkan adanya zakat pada permata-permata tersebut. Maka wajib untuk berjalan di atas hukum asal tersebut bahwa permata dengan berbagai ragamnya selain emas dan perak tidak ada zakatnya dan ini adalah pendapat jumhur ulama bersama Ibnu Hazm rahimahullahu.
Demikian pula hukumnya minyak ambar dan kesturi, serta ikan, pendapat yang benar adalah pendapat jumhur bersama Ibnu Hazm rahimahullahu yang mengatakan tidak ada zakatnya, karena tidak ada dalil yang menetapkan dan menunjukkannya.
Wallahu a’lam bish-shawab.
1 Artinya jika ada seseorang menyewa pekerja di suatu pertambangan, lalu pekerja tersebut mendapat musibah pertambangan dan meninggal, maka yang menyewa tidak bertanggung jawab untuk membayar ganti rugi atas kematiannya.
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=882