Apa hukumnya qunut subuh? Syukran.
j_syarif@….com
Dijawab oleh al-Ustadz Qomar Suaidi
Pembahasan qunut subuh yang dimaksud di sini adalah yang dilakukan secara terus-menerus, dengan doa yang khusus, seperti ( اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ )… dst.
Terjadi perbedaan pendapat para ulama dalam hal ini. Sebagian ulama mazhab Syafi’i dan Maliki berpendapat disyariatkannya
qunut subuh. Sementara itu, ulama dari mazhab yang lain berpendapat bahwa qunut tersebut tidak disyariatkan. Mereka yang berpendapat disyariatkannya qunut tersebut berdalil dengan beberapa riwayat, yang paling inti adalah hadits berikut ini.
مَا زَالَ رَسُولُ اللهِ يَقْنَتُ فِي الْفَجْرِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tetap melakukan qunut pada shalat subuh sampai berpisah dengan dunia.”
Untuk mengetahui manakah pendapat yang terkuat dalam hal ini, tentu kita harus mempelajari derajat hadits ini, apakah sahih atau dha’if. Beberapa ulama, seperti az-Zaila’i, Ibnu Hajar, dan asy-Syaikh al-Albani telah membahas hadits tersebut dalam buku-buku takhrij mereka. Demikian pula Ibnul Qayyim dalam kitab Zadul Ma’ad. Berikut ini rangkuman pembahasan mereka.
Hadits ini diriwayatkan melalui jalan Abu Ja’far ar-Razi, dari Rabi’ bin Anas, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. Rabi’ rahimahullah bercerita, “Aku duduk di sisi Anas bin Malik. Ada yang mengatakan kepada beliau, ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan qunut selama satu bulan.’ Beliau pun mengatakan seperti yang tersebut di atas.” Mari kita pelajari sanad hadits ini.
1. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu
Beliau adalah seorang sahabat yang terkenal, termasuk salah seorang sahabat yang meriwayatkan banyak hadits.
2. Rabi’ bin Anas rahimahullah
Beliau adalah seorang tabi’in. Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan dalam kitabnya, Taqribut Tahdzib, “Shaduq lahu auham (Jujur namun memiliki kekeliruankekeliruan).” Adz-Dzahabi rahimahullah dalam kitabnya, al-Kasyif, menukil ucapan Abu Hatim tentangnya, “Shaduq.”
3. Abu Ja’far ar-Razi
Namanya ialah Isa bin Abi Isa Abdullah bin Mahan. Ibnu Hajar t menilainya, “Shaduq sayyi’ul hifzh (jujur tetapi hafalannya lemah), terkhusus kalau meriwayatkan dari Mughirah.” (Taqrib at-Tahdzib 8077)
Adz-Dzahabi rahimahullah menukilkan penilaian Abu Zur’ah rahimahullah terhadapnya, “Yahimu katsiran (sering keliru).” Adapun penilaian an-Nasa’i terhadapnya, “Laisa bil qawi (tidak kuat betul).” Sementara itu, Abu Hatim rahimahullah menganggapnya tsiqah (tepercaya). (al-Kasyif 6563)
Alhasil, para ulama hadits dalam bidang jarh wa ta’dil berbeda pendapat tentang keadaannya. Nukilan penilaian para ulama terhadapnya bisa dilihat dalam kitab Tahdzibut Tahdzib pada biografi beliau. Bisa disimpulkan bahwa di antara mereka ada yang menyebutnya sebagai tsiqah, shaduq, ada kelemahan, melakukan kekeliruan, jelek hafalannya, tidak kuat, dan seputar itu. Maknanya, ada sisi kebaikan pada kepribadian dan
keagamaannya, serta punya kemampuan dalam hal hafalan, namun bukan pada derajat orang-orang yang tsiqah atau shaduq secara mutlak. Ini terbukti dengan adanya kekeliruan-kekeliruannya ketika meriwayatkan. Kesimpulan rawi yang seperti ini adalah apabila meriwayatkan sesuatu tanpa ada dukungan, riwayatnya tertolak. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Ibnu Hibban rahimahullah, “Dia bersendiri dalam meriwayatkan dari orang orang yang terkenal dengan sesuatu yang diingkari oleh para ulama. Tidak mengagumkan saya untuk berhujah dengan haditsnya kecuali apabila sesuai dengan hadits orang-orang yang tsiqah. Riwayatnya tidak boleh dianggap kecuali yang tidak menyelisihi para perawi yang tsiqah.” (al-Majruhin 2/120)
Dengan demikian, kita tidak boleh menyatakan haditsnya sahih kecuali apabila sesuai dengan riwayat perawi lain yang tsiqah, atau didukung oleh para perawi lain yang tsiqah. Dan dalam hal ini, keduanya tidak ada. Dukungan dari perawi lain, yang diistilahkan dengan mutaba’ah dan syawahid, tidak terwujud sebagaimana telah dikaji oleh Ibnu Hajar Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam kitabnya, at-Talkhishul Habir, dan asy- Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Silsilah adh- Dha’ifah. Demikian pula kesesuaiannya dengan hadits tsiqah yang lain juga tidak terwujud, justru yang terjadi adalah bertentangan dengan hadits yang lain, di antaranya:
Pertama, hadits dari sahabat Anas radhiyallahu ‘anhu sendiri.
قَنَتَ رَسُولُ اللهِ شَهْرًا بَعْدَ الرُّكُوعِ يَدْعُو عَلَى أَحْيَاءٍ مِنَ الْعَرَبِ
“Selama satu bulan, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan qunut setelah ruku’, mendoakan kecelakaan terhadap beberapa kabilah Arab.” (Muttafaqun alaihi)
Dalam riwayat Muslim rahimahullah terdapat tambahan, “Lalu beliau tidak melakukannya lagi.”
أَنَّ النَّبِيَّ كَانَ يَقْنُتُ إلّاَ إذَا دَعَى لِقَوْمٍ أَوْ دَعَى عَلَى قَوْمٍ
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak melakukan qunut kecuali ketika mendoakan kebaikan atau kejelekan atas suatu kaum.” (HR. al-Khathib al-Baghdadi)
Kedua, hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
كَانَ رَسُولُ اللهِ لَا يَقْنَتُ فِي صَ ةَالِ الصُّبْحِ إِلّاَ أَنْ يَدْعُوَ لِقَوْمٍ أَوْ عَلَى قَوْمٍ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak melakukan qunut pada shalat subuh kecuali ketika mendoakan kebaikan atau kejelekan atas suatu kaum.” (HR. Ibnu Hibban)
Sanad kedua hadits tersebut dinyatakan sahih oleh Ibnu Hajar al- Asqalani rahimahullah dan penulis kitab at- Tanqih, Ibnu Abdil Hadi rahimahullah. Dengan demikian, hadits yang kita bahas di atas memiliki sisi kelemahan dan bertentangan dengan kandungan hadits yang sahih. Dalam ilmu mushthalah hadits, hadits yang semacam ini disebut sebagai hadits mungkar. Di antara ulama yang menghukumi lemahnya hadits ini adalah Ibnu Hajar al- Asqalani rahimahullah. Beliau adalah salah seorang ahli hadits dari kalangan mazhab Syafi’i. Beliau mengatakan dalam kitabnya, at-Talkhishul Habir (hadits no. 370),
“Riwayat-riwayat hadits berbeda-beda dalam periwayatannya dari sahabat Anas radhiyallahu ‘anhu dan telah goncang. Maka dari itu, hujah tidak tegak dengan hadits yang semacam ini.” Sebelumnya, Ibnul Jauzi rahimahullah juga melemahkannya dalam kitab at-Tahqiq dan al-‘Ilal al-Mutanahiyah. Demikian pula asy-Syaikh al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini mungkar dalam kitab Silsilah al-Ahadits adh- Dha’ifah (no. 1238).
Setelah kita mengetahui kedudukan hadits di atas, kita bahkan mendapati adanya pengingkaran dari sebagian sahabat terhadap qunut subuh. Dalam kitab Bulughul Maram, Ibnu Hajar al- Asqalani rahimahullah menyampaikan hadits berikut.
عَنْ سَعْدِ بْنِ طَارِقٍ قَالَ: قُلْتُ لِأَبِي: يَا أَبَتِ، إِنَّكَ قَدْ صَلَّيْتَ خَلْفَ رَسُولِ اللهِ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ فَكَانُوا يَقْنُتُونَ فِى الْفَجْرِ؟ فَقَالَ: أَيْ بُنَيَّ، مُحْدَثٌ.
Dari Sa’d bin Thariq al-Asyja’i, ia mengatakan, “Aku bertanya kepada ayahku, ‘Wahai ayahku, sesungguhnya engkau telah shalat di belakang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakr, Umar, Utsman, dan Ali radhiallahu ‘anhum. Apakah mereka melakukan qunut pada shalat subuh?’ Ia menjawab, “Wahai anakku, itu sesuatu yang baru.” (HR. al-Khamsah selain Abu Dawud dan dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani) Dalam kitab Ithaful Kiram (hlm. 90), sebuah syarah ringkas terhadap Bulughul Maram, disebutkan, “Maksudnya adalah bid’ah, sesuatu yang diada-adakan, dan tidak ada di zaman mereka. Yang ada adalah qunut nazilah yang terkadang dilakukan dan tidak terus-menerus.”
Tinjauan Makna Qunut
Apabila ditinjau dari sisi makna, hadits Anas radhiyallahu ‘anhu tentang qunut subuh di atas juga tidak secara tegas menunjukkan disyariatkannya pelaksanaan qunut subuh dengan doa seperti yang lazim dilakukan sekarang oleh orang-orang. Sebab, dalam riwayat tersebut tidak disebutkan demikian, bahkan dalam riwayat itu disebutkan, “Beliau tetap melakukan qunut pada shalat fajar….”
Di manakah keterangan bahwa maksud dari qunut tersebut adalah doa seperti yang dilakukan oleh orangorang? Doa yang biasa dibaca tersebut justru merupakan doa qunut witir yang diajarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada cucunya, al-Hasan radhiyallahu ‘anhu, bukan doa qunut subuh. Riwayat berikut ini menjelaskannya.
قَالَ الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ عَلَّمَنِي رَسُولُ اللهِ :كَلِمَاتٍ أَقُولُهُنَّ فِي الْوِتْرِ-قَالَ ابْنُ جَوَّاسٍ: فِى قُنُوتِ الْوِتْرِ-: اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ
هَدَيْتَ، وَعَافِنِي فِيمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلَّنِى فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ، وَبَارِكْ لِي فِيمَا أَعْطَيْتَ، وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيْتَ، إِنَّكَ تَقْضِي وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ، وَإِنَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ، وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ، تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ
Al-Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengajariku beberapa kalimat yang aku baca dalam shalat witir,—Ibnu Jawwas mengatakan, “Dalam qunut witir”—, ‘Allahummah-dina fiman hadait…’.” dst. (Sahih, HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad, ad-Darimi, dan Ibnu Hibban, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al- Albani)
Demikian pula kata qunut dalam ungkapan ayat ataupun hadits, terkadang memiliki makna lain selain bacaan doa, yaitu taat, berdiri, khusyuk, diam, selalu dalam ibadah, dan tasbih. Makna-makna tersebut bisa dikaji dalam ayat-ayat berikut ini, ar-Rum: 26, az-Zumar: 9, at-Tahrim: 12, al- Baqarah: 238, an-Nahl: 16, al-Ahzab: 31, dan Ali Imran: 43. Selain itu makna tersebut juga terdapat dalam hadits,
أَفْضَلُ الصَّلاَةِ طُولُ الْقُنُوتِ
“Sebaik-baik shalat adalah yang qunutnya panjang.” (Sahih, HR. Muslim)
Maksudnya, yang lama berdirinya. Inilah maknanya berdasarkan kesepakatan ulama, sebagaimana kata an-Nawawi rahimahullah dalam Syarah Shahih Muslim. (lihat Nashbur Rayah, 2/132, dan Zadul Ma’ad, 1/267—268)
Dengan demikian, bisa jadi makna hadits di atas—apabila dikatakan sahih— ialah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tetap melakukan qunut, yakni berdiri lama, dalam shalat subuh sampai beliau meninggal dunia. Sebab, memang shalat subuh yang beliau lakukan selalu panjang/lama. Ayat yang beliau baca sekitar 60—100 ayat. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan (Zadul Ma’ad, 1/262),“Di antara hal yang sangat diketahui, seandainya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan qunut setiap subuh dan berdoa dengan doa ini (Allahummah-dina fiman hadait) serta para sahabat mengaminkannya, tentu penukilan umat semuanya pada perbuatan tersebut sama dengan penukilan mereka dalam hal mengeraskan bacaan dalam shalat.”
Beliau juga mengatakan, “Selalu melakukan qunut pada shalat subuh bukan petunjuk beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam. Termasuk hal yang mustahil apabila setiap subuh, setelah i’tidal dari ruku Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membaca, ‘Allahummah-dina… dst.’, dan mengeraskan suaranya lantas para sahabat selalu mengaminkannya sampai beliau meninggal, kemudian hal tersebut kurang diketahui oleh umat, lalu mayoritas umatnya tidak melakukannya, demikian pula mayoritas para sahabatnya, bahkan semuanya. Justru sebagian sahabat menyebutnya sebagai bid’ah, seperti yang dikatakan oleh Sa’ad bin Thariq al-Asyja’i (dari ayahnya).” (Zadul Ma’ad, 1/262— 263, bisa dilihat pembahasannya secara luas pada kitab tersebut)
Telah difatwakan pula oleh al-Lajnah ad-Daimah dan Ibnu Utsaimin bahwa hal itu termasuk bid’ah. Semoga Allah Subhanahu wata’ala memberikan taufik-Nya kepada kita semua dan kaum muslimin untuk semakin menyesuaikan cara ibadah kita dengan cara ibadah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Allahu a’lam.
Sumber : asysyariah.com