Hukum Mengangkat Pakaian Hingga di Atas Pertengahan Betis
Berkaitan dengan masalah ini, Imam Ibnu Abi Syaibah telah mengeluarkan suatu riwayat dalam kitab Mushonnaf-nya (no. 24818) dengan isnad yang shohih dari Ibnu Sirin1, beliau berkata:
كَانُوا يَكْرَهُوْنَالإزَارَ فَوْقَ نِصْفِ السَّاقِ
“Mereka membenci2 kain sarung yang [diangkat sampai] di atas pertengahan betis.”
Jadi, yang namanya memakai kain sarung ataupun celana yang diangkat terlalu tinggi hingga melampaui pertengahan betis itu tidak lain merupakan suatu tindakan yang menyelisihi Sunnah dan termasuk kategori perbuatan ghuluw (berlebih-lebihan hingga melampaui batas yang telah ditentukan oleh Syariat). Dan berkaitan dengan hal ini, Syaikh Al-Walid berkata dalam kitabnya Al-Isbal li-Ghoiril Khuyala’ (hal. 36): “Sebagimana banyak di antara kaum muslimin yang melakukan isbal dalam berpakaian, maka begitu juga akan dijumpai sebagian dari mereka yang melewati batas dalam memendekkan pakaian hingga sampai ke lutut. Dan tidak diragukan lagi bahwa perbuatan seperti itu termasuk tindakan yang ghuluw (berlebih-lebihan) serta terlarang.” [Oleh karena itu, wajib bagi setiap muslim untuk memperhatikan batasan yang telah ditetapkan dalam masalah ini oleh Syariat Islam yang adil dan mulia, serta senantiasa berusaha untuk menerapkannya dengan berlandaskan sikap wasath (pertengahan). Yaitu tidak bersikap meremehkan dengan menjulurkan pakaian hingga menutupi mata kaki atau bahkan melampauinya.
Dan tidak pula berlebih-lebihan dengan memendekkan celana atau kain sarung hingga di atas pertengahan betis.]
Kata ( أَلْكُمُّ ) dengan memberikan harokat dhommah pada huruf kaf-nya, yaitu tempat masuk dan keluarnya tangan pada pakaian. Sedangkan bentuk jama’-nya adalah ( أَكْمَامٌ ) dan ( كِمَمَةٌ). Adapun kata ( أَلْعِمَامَةُ ) dengan memberikan harokat kasroh pada huruf ‘ain-nya adalah sesuatu yang dililitkan mengelilingi kepala. Sedangkan bentuk jama’-nya adalah ( عَمَائِمُ ) dan ( عِمَامٌ ).
Demikianlah yang disebutkan dalam kitab Al-Qomus Al-Muhith.
Adapun berkaitan dengan terjadinya isbal pada lengan baju dan sorban itu telah ada haditsnya Ibnu ‘Umar, bahwasanya Rosululloh bersabda:
أَلإسْبَالُ فِى الإزَارِ وَ الْقَمِيْص ِ وَ الْعِمَامَةِ , مَنْ جَرَّ مِنْهَا شَيْئًا خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرِ اللهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Isbal itu berlaku pada kain sarung, gamis dan sorban. Siapa saja yang mengisbalkan salah satu di antaranya karena sombong, niscaya pada hari kiamat nanti Alloh tidak akan memandangnya [dengan pandangan kasih sayang].”
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Abu Dawud (no. 4094) dan Imam An-Nasai [dalam As-Sunanul Kubro (no.9720)] dengan sanad yang shohih, serta telah dishohihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam kitab Shohihul Jami’ (no. 2770).
Kemudian hadits ini dijelaskan oleh penulis kitab ‘Aunul Ma’bud (6/103): “Di dalam hadits ini terkandung dalil yang menunjukkan tentang tidak adanya pembatasan isbal hanya khusus pada kain sarung saja. Bahkan isbal itu juga bisa terjadi pada gamis dan sorban, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits tersebut.”
Selain itu, juga ada atsar [yang dikeluarkan oleh Imam Abu Dawud (no. 4095) dengan sanad yang hasan] dari perkataan Ibnu ‘Umar:
مَا قَالَ رَسُولُ اللهِ فِى الإزَارِ فَهُوَ فِى الْقَمِيْص ِ
“Segala sesuatu yang Rosululloh sabdakan berkaitan dengan sarung, maka hal itu juga berlaku pada gamis.”
Atsar ini merupakan nash yang jelas [dari Ibnu ‘Umar] tentang adanya isbal pada gamis. [Sementara beliau termasuk sahabat yang meriwayatkan hadits tentang larangan isbal. Dan sahabat yang meriwayatkan suatu hadits tentu lebih paham tentang riwayat yang dia sampaikan itu dibandingkan orang lain.]
Masalah: Apakah Ada Batasan Tertentu yang Shohih dari Nabi tentang Ukuran Lengan Baju?
Berkaitan dengan masalah ini, telah diriwayatkan sebuah hadits dari Asma’ bintu Yazid, dia berkata:
كَانَتْ يَدُ كُمِّ رَسُولِ اللهِ إِلَى الرُّسْغِ
“Lengan bajunya Rosululloh itu sampai pergelangan tangan.”
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Abu Dawud (no. 4027), Imam At-Tirmidzi (no. 1861), Imam An-Nasai
dalam kitab As-Sunanul Kubro (no. 9666) dan Imam Al-Baghowi dalam kitab Syarhus Sunnah (no. 3072), semuanya lewat jalur periwayatan Budail bin Maisaroh Al-‘Uqoili dari Syahr bin Hausyab dari Asma’ bintu Yazid sebagaimana di atas. Sedangkan Syahr adalah seorang rowi yang Dho’if.
Masalah: Isbalnya Akmam (Lengan Baju)
Ketika sudah diketahui bahwa hadits Asma’ tentang ukuran lengan bajunya Rosululloh itu ternyata sanadnya lemah, sementara dengan adanya hadits Ibnu ‘Umar yang telah disebutkan sebelumnya itu bisa dipastikan adanya isbal pada lengan baju, maka timbullah pertanyaan: Bagaimanakah batasan isbal padanya?
Berkaitan dengan pertanyaan ini, [tidak bisa ditetapkan jawabannya secara pasti tentang ukuran tertentu pada lengan baju yang masuk kategori isbal. Namun sebagai tindakan hati-hati jelas perlu diperhatikan juga bahwasanya] ada beberapa penjelasan dari sebagian ulama yang berhubungan dengan masalah ini. Di antaranya pernyataan Imam Ibnu Baththol -yang dinukilkan dalam kitab ‘Aunul Ma’bud (6/103)-: “Memanjangkan lengan gamis dengan ukuran panjang yang melebihi batas kebiasaan yang berlaku itu termasuk isbal.” Dan Al-Qodhi ‘Iyadh telah menukilkan [dari para ulama] tentang makruhnya setiap pakaian yang panjang dan lebarnya melebihi ukuran yang biasa digunakan. Penukilan Al-Qodhi ini sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Author.3
Kemudian juga ada penjelasan serupa dari Imam Ash-Shon’ani. Beliau berkata dalam kitab Subulus Salam (4/159): “Begitu pula memanjangkan lengan gamis melebihi ukuran kebiasaan yang berlaku, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian penduduk Hijaz. Hal itu merupakan isbal yang diharamkan.” Setelah itu, Imam Ash-Shon’ani membatasi kebiasaan tersebut dengan batasan ukuran yang biasa digunakan di zaman kenabian. Namun kami tidak mendapatkan keterangan [yang shohih] tentang batas lengan baju pada zaman kenabian. Wallohu Ta’ala A’lam.
Hanya saja dapat kami katakan, bahwasanya sikap yang lebih berhati-hati dalam masalah ini adalah tidak memanjangkan lengan baju hingga ke batas pergelangan tangan.
Dan sehubungan dengan hal ini, Samahatusy Syaikh Ibnu Baz berkata –sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Fatawa Islamiyyah (4/243)-: “Lengan baju itu sunnahnya tidaklah sampai melampaui pergelangan tangan, yaitu sendi [penyambung] yang memisahkan antara lengan dengan telapak tangan.” Dan Syaikh Salim bin ‘Id Al-Hilali berkata dalam Syarah beliau terhadap kitab Riyadhush Sholihin (2/88): “Isbal itu tidaklah terbatas pada kain sarung saja. Dan tiada lain bahwasanya isbal itu juga bisa terjadi pada (lengan) gamis.
Jadi, seharusnya ukuran lengan baju itu hanyalah sampai pergelangan tangan.”
Adapun Imam Ibnul Qoyyim menyatakan dalam kitab Zadul Ma’ad (1/140): “Lengan baju yang
lebar serta panjang seperti rumbai pinggiran kain [yang terjulur panjang] itu sama sekali tidak pernah dikenakan oleh Nabi maupun salah seorang di antara sahabat beliau. Jadi, lengan baju yang seperti itu jelas menyelisihi Sunnah.
Dan tentang diperbolehkannya hal tersebut [tidaklah benar serta] perlu ditinjau ulang. Sebab hal itu termasuk jenis kesombongan.”
Faidah:
Imam Asy-Syaukani berkata dalam kitab Nailul Author (2/108): “Di zaman kita ini, orang yang paling dikenal penyimpangan dan penyelisihannya terhadap sunnah (tidak memanjangkan lengan baju hingga melampaui pergelangan tangan) itu justru para ulamanya [baca: orang-orang yang dianggap memiliki ilmu]. Dimana terlihat salah seorang di antara mereka itu gamisnya diberi dua lengan, yang mana masing-masing lengan tersebut sebenarnya sudah bisa dijadikan sebagai bahan untuk satu jubah atau satu gamis bagi salah satu di antara anak-anaknya yang masih kecil atau untuk seorang anak yatim. Padahal perbuatan tersebut sama sekali tidak ada faidahnya yang bersifat duniawi. Yang ada hanyalah unsur permainan yang sia-sia belaka, dan justru semakin menambah beratnya beban biaya bagi dirinya sendiri. Selain itu, juga dapat menghalangi berfungsinya tangan untuk digunakan dalam banyak aktivitas yang bermanfaat. Di sisi lain juga mengantarkannya untuk cepat robek dan justru memperburuk penampilan. [Kemudian yang lebih parah lagi,] perbuatan tersebut sama sekali tidak ada faidahnya yang bersifat keagamaan. Yang ada padanya justru sikap menyelisihi Sunnah serta melakukan perbuatan isbal dan kesombongan.”
Masalah: Berapakah Ukuran ‘Imamah (Sorban) Rosululloh?
Sehubungan dengan masalah ini, Al-‘Allamah Mula ‘Ali Al-Qori berkata dalam kitab Al-Maqolatul ‘Adzbah fil ‘Imamah wal ‘Adzabah (hal. 63): “Adapun ukuran panjang dan lebarnya sorban itu tidak diketahui [keterangan batasannya] dari hadits-hadits maupun sejarah. Hal ini berdasarkan penegasan As-Sayyid Jamaluddin Al-Muhaddits dalam kitab Roudhotul Ahbab.” Dan Imam Al-Mubarokfuri menegaskan dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi (5/338): “Siapa saja yang mengklaim bahwa ukuran sorbannya Rosululloh itu sekian atau sekian hasta, maka wajib baginya untuk menunjukkan dalil yang shohih untuk menetapkan benarnya hal yang dia klaim. Adapun sekedar klaim tanpa dalil itu tidak ada nilainya sama sekali.”
Masalah: Isbalnya ‘Imamah (Sorban)
[Dari penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa masalah isbalnya sorban itu sama kasusnya dengan isbalnya lengan baju. Dimana dengan adanya hadits Ibnu ‘Umar itu bisa dipastikan tentang berlakunya isbal pada sorban, namun di sisi yang lain tidak diketahui ukuran sorban Rosululloh. Sehingga timbullah pertanyaan senada: Bagaimanakah batasan isbal pada sorban?
Maka sebagai tindakan hati-hati perlu diperhatikan beberapa penjelasan dari sebagian ulama yang berhubungan dengan masalah ini. Dimana] Imam Ibnu Baththol berkata –sebagaimana yang disebutkan dalam kitab ‘Aunul Ma’bud (6/103)-: “Yang dimaksud dengan isbalnya ‘imamah (sorban) adalah menguraikan ujungnya hingga turun melampaui batas kebiasaan yang berlaku.” Kemudian Al-Hafizh Ibnu Hajar memberikan penjelasan lebih lanjut dalam kitab Fathul Bari (10/262): ”Bahwasanya yang dimaksudkan adalah adat kebiasaan yang berlaku di kalangan orang Arab dalam hal menurunkan ujung sorban. Jadi, kapan saja ujung sorban itu lebih [rendah] dari batas kebiasaan yang berlaku di kalangan orang Arab dalam hal itu, maka perbuatan tersebut termasuk kategori isbal.”
Dan berdasarkan penjelasan para ulama ini dapat diambil kesimpulan bahwa memanjangkan ujung sorban hingga melampaui batas yang menjadi adat kebiasaan [orang Arab] itu termasuk isbal. Jadi, tidak sepantasnya bagi seorang laki-laki untuk memanjangkan ujung-ujung sorbannya sampai menyentuh pantat, sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Syaikh Salim bin ‘Id Al-Hilali dalam kitab Bahjatun Nazhirin (2/89). Kemudian Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin memberikan keterangan lebih lanjut dalam Syarah Bulughul Marom (hal. 39): “Pada sorban itu juga mungkin saja terjadi kesombongan. Yaitu dengan cara membesarkan ukurannya, dimana pemakainya menjadikan sorban tersebut sebanyak sepuluh putaran atau duapuluh putaran [sehingga nampak besar dan tebal]. Atau dengan memanjangkan ujung sorbannya sampai hampir menyentuh tanah.”
Peringatan Penting
Siapa saja yang sengaja memanjangkan ukuran pakaiannya sampai isbal (baik disertai dengan kesombongan maupun tidak), lalu dia menggulung [bagian ujung] pakaiannya tersebut4 [dan sholat dalam keadaan seperti itu], maka dia telah terjatuh dalam suatu perbuatan yang dilarang oleh Rosululloh. Dimana [Imam Al-Bukhori (no. 809, 810, 812, 815, 816)] dan Imam Muslim (no. 490) telah mengeluarkan sebuah hadits dari Ibnu ‘Abbas, bahwasanya Rosululloh bersabda:
أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةٍ وَ لاَ أَكُفَّ شَعَرًا وَ لاَ ثَوْبًا
“Saya telah diperintah (oleh Alloh) untuk sujud pada tujuh anggota tubuh.5 Dan (saya diperintah) untuk tidak mengikat rambut serta tidak mengumpulkan pakaian6 [ketika sholat]7.”
Ketika menjelaskan hadits ini, Imam An-Nawawi berkata: “Mayoritas ulama berpendapat bahwa larangan [menyingsingkan pakaian ketika sholat] itu bersifat mutlak, berlaku bagi siapa saja yang sholat dalam keadaan seperti itu. Baik dia sengaja menyingsingkannya untuk sholat8, atau sebelum sholat memang dia sudah seperti itu karena adanya urusan yang lainnya (bukan karena sholat). Adapun Imam Ad-Dawudi berpendapat bahwa larangan tersebut berlaku khusus bagi seseorang yang memang melakukannya untuk sholat.9 Namun yang benar serta terpilih adalah pendapat pertama. Dan itulah zhohir dari pendapat yang dinukilkan dari para sahabat dan yang lainnya.”
Dan memang pendapat yang dipegang oleh mayoritas ulama itulah yang rojih dalam masalah ini. Wallohu Ta’ala A‘lam. Pendapat tersebut juga dirojihkan oleh Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman yang telah menegaskan dalam kitab Al-Qoulul Mubin fi Akhthoil Mushollin (hal. 43): “Zhohir dari larangan tersebut adalah berlaku secara mutlak. Baik seseorang itu menyingsingkan pakaiannya untuk
sholat, ataupun sebelum sholat dia memang sudah menyingsingkannya lalu dia melaksanakan sholat masih dalam keadaan seperti itu.”
[Dan berdasarkan penjelasan para ulama di atas, bisa disimpulkan bahwa seseorang yang pakaiannya isbal lalu dia sholat dalam keadaan pakaiannya dilipat itu telah melakukan dua pelanggaran sekaligus. Yang pertama, dia telah mengenakan pakaian yang isbal. Yang kedua, dia menggulungnya ketika sholat. Dan kesalahan ini akan semakin bertambah parah kalau dia beralasan dengan hadits Abu Huroiroh yang menuturkan bahwasanya pernah ada seorang lelaki yang melaksanakan sholat dengan pakaian yang isbal. Maka Rosululloh bersabda kepadanya: “Pergilah lalu laksanakan wudhu’.” Lalu lelaki itupun pergi dan berwudhu’. Setelah itu, dia datang lagi dan ternyata Rosululloh tetap bersabda: “Pergilah lalu laksanakan wudhu’.” Maka ada laki-laki lain yang bertanya: “Wahai Rosululloh, mengapa engkau menyuruhnya untuk berwudhu’?”
Rosulullohpun terdiam sejenak lalu bersabda:
إِنَّهُ كَانَ يُصَلِّى وَ هُوَ مُسْبِلٌ إِزَارَهُ , وَ إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبَلُ صَلاَةَ رَجُلٍ مُسْبِلٍ
“Sesungguhnya dia melaksanakan sholat dalam keadaan pakaiannya isbal. Dan Alloh tidak akan menerima sholatnya seseorang yang musbil.”
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Abu Dawud (no. 4086) lewat jalur periwayatan Yahya bin Abi Katsir dari Abu Ja’far dari ‘Atho’ bin Yasar dari Abu Huroiroh sebagaimana di atas. Dan ini merupakan sanad yang lemah, sebab di dalamnya ada Abu Ja’far. Asy-Syaikh Al-Albani berkata mengenai rowi ini: “Dia adalah Al-Anshori, seorang muadzdzin. Sedangkan statusnya adalah Majhul,
sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ibnul Qoththon. Adapun dalam kitab At-Taqrib disebutkan bahwasanya dia adalah Layyinul hadits (lembek haditsnya). Jadi, siapa saja yang menyatakan bahwa hadits ini adalah shohih, berarti dia telah keliru.” Demikian penjelasan Asy-Syaikh Al-Albani dalam kitab
Al-Misykat (1/238), sebagaimana yang dinukil oleh penulis kitab Al-Isbal li-Ghoiril Khuyala’.
Jadi, seseorang yang berhujjah dengan hadits Abu Huroiroh di atas untuk mendukung perbuatannya yang menggulung pakaian ketika sholat supaya tidak isbal, berarti dia telah beramal dengan hadits yang lemah dalam masalah hukum. Padahal para ulama telah sepakat tentang tidak diperbolehkannya perbuatan tersebut.
Dengan demikian, sikap yang harus segera diambil adalah memotong pakaiannya sampai pada batas ukuran yang tidak isbal. Hal ini dalam rangka melaksanakan perintah Nabi, yang mana hukum asal dari perintah adalah menunjukkan wajibnya sesuatu tersebut. Dimana Alloh berfirman:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِيْنَ يُخَالِفُوْنَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيْبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيْبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ
“Maka hendaklah orang-orang yang menyelisihi perintah Rosululloh itu takut akan ditimpa fitnah cobaan [berupa kesyirikan dan keburukan di dunia] atau ditimpa adzab yang pedih [di akhirat nanti].” (QS An-Nur:63)
Selain itu, juga sebagai wujud rasa cinta kepada Rosululloh dengan cara mengikuti contoh teladan yang beliau laksanakan dalam segala hal, termasuk meneladani beliau dalam cara berpakaian. Alloh berfirman:
لَقَدْ كَانَ فِى رَسُوْلِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللهَ وَ الْيَوْمَ الأَخِرَ
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rosululloh itu suri tauladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Alloh dan (kedatangan) hari kiamat.” (QS Al-Ahzab:21)]
Faidah:
Dalam sebagian riwayat Imam Al-Bukhori (no. 812), hadits Ibnu ‘Abbas di atas tercantum dengan lafazh:
وَ لاَ نَكْفِتُ الثِّيَابَ وََ الشَّعَرَ10
“Kami tidaklah mengumpulkan pakaian maupun rambut.11″
Imam Ibnul Atsir berkata dalam kitab An-Nihayah (4/184): “(كَفْتُ الثِّيَابِ ) adalah menggabungkan satu pakaian dan mengumpulkannya agar tidak tersebar.”
Penutup
Sebagai penutup, kami memohon kepada Alloh Yang Maha Tinggi dan Maha Kuasa, supaya
dengan sebab risalah ini Dia memberikan manfaat kepada setiap orang yang membacanya, sesungguhnya Alloh adalah Dzat Yang Maha Dermawan lagi Maha Mulia.
Dan kami juga memohon kepada Alloh supaya ilmu yang telah Dia anugerahkan kepada kami itu tidaklah Dia jadikan sebagai musibah bagi kami12, sehingga justru menjadi hujjah untuk mengadzab kami di sisi-Nya pada hari kiamat.
Imam Al-Bukhori telah mengeluarkan sebuah hadits dari Abu Huroiroh, bahwasanya Rosululloh bersabda:
أَوَّلُ مَنْ تُسْعَرُ عَنْهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَالِمٌ لَمْ يَعْمَلْ بِعِلْمِهِ
“Pada hari kiamat nanti, orang yang pertama kali dibakar adalah seorang alim yang tidak mengamalkan ilmunya.”
Selain itu, Imam Al-Bukhori (no. 3267) dan Imam Muslim (no. 2989) mengeluarkan sebuah hadits dari Usamah bin Zaid, bahwasanya Rosululloh bersabda:
يُؤْتَى بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِىالنَّارِ فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُ بَطْنِهِ فَيَدُوْرُ بِهَا كَمَا يَدُوْرُ الْحِمَارُ فِى الرَّحَى فَيَجْتَمِعُ إِلَيْهِ أَهْلُ النَّارِ فَيَقُوْلُوْنَ : ” يَا فُلاَنُ مَا لَكَ ؟ أَلَمْ تَكُ تَأْمُرُ بِالْمَعْرُوْفِ وَ تَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ ؟ ” فَيَقُوْلُ : ” بَلَى قَدْ كُنْتُ آمُرُ بِالْمَعْرُوْفِ وَ لاَ آتِيْهِ , وَ أَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ وَ آتِيْهِ “
“Pada hari kiamat nanti akan didatangkan seorang laki-laki, lalu dia dilemparkan ke dalam neraka sehingga terburailah usus-usus yang ada di perutnya. Lalu dia berputar-putar [di dalam neraka] dengan [menyeret] ususnya itu, sebagaimana seekor keledai berputar-putar di dalam penggilingannya. Maka penduduk nerakapun berkumpul mengerumuninya, lalu mereka bertanya: ‘Wahai Fulan, kenapa kamu? Bukankah kamu dahulu menyuruh untuk melakukan kebaikan dan melarang dari berbuat keburukan?’ Maka laki-laki itu menjawab: ‘Memang saya dahulu menyuruh berbuat baik, tapi saya sendiri tidak melaksanakannya. Dan saya dulu melarang dari keburukan, tapi saya sendiri melanggarnya.’”
وَ صَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ وَ بَارَكَ وَ سَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا , سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَ بِحَمْدِكَ أَسْتَغْفِرُكَ وَ أَتُوْبُ إِلَيْكَ , لآ إِلَهَ الاَّ أَنْتَ .
Pembahasan ini diselesaikan pada hari Kamis tanggal 7 Jumadil Ula 1428 Hijriyyah (bertepatan dengan 24 Mei 2007).
1.Beliau adalah Muhammad bin Sirin Al-Anshori, seorang imam dari kalangan tabi’in generasi pertengahan. Dan Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam kitab At-Taqrib (no. 5947) menetapkannya sebagai seorang yang Tsiqotun Tsabtun ‘Abidun Kabirul Qodri. Beliau wafat tahun 110 Hijriyyah.
2 Imam Al-‘Aini berkata dalam kitab ‘Umdatul Qori (3/387): “Para ulama Mutaqoddimin biasa menyebutkan kata makruh
padahal maksud mereka adalah makruh tahrim.” Lihat Muqoddimah Tuhfatul Ahwadzi (hal. 324-328) dan penjelasan Imam Ibnul Qoyyim dalam kitab I’lamul Muwaqqi’in.
3 Asal penukilan Al-Qodhi ‘Iyadh ini terdapat dalam Syarah Shohih Muslim (14/253).
4 Seperti menggulung bagian ujung celana yang menutupi mata kaki, melipat lengan baju yang melebihi pergelangan tangan atau menyingsingkannya, dan lain sebagainya.
5 Yaitu kening (sekaligus hidung), dua telapak tangan, dua lutut dan dua ujung telapak kaki, sebagaimana yang disebutkan dalam sebagian riwayat dari haditsnya Ibnu ‘Abbas ini.
6 Baik dengan menggulung ujungnya maupun dengan menggabungkannya dalam satu ikatan.
7 Tentang konteks hadits ini, lihat Fathul Bari dan Syarah Shohih Muslim pada nomor hadits di atas.
8 Contohnya seperti orang yang celananya isbal lalu ketika hendak sholat dia melipatnya terlebih dahulu, kemudian sholat dalam keadaan seperti itu.
9 Jadi, seseorang yang sebelum sholat memang sudah menyingsingkan bajunya karena suatu urusan, lalu dia sholat dengan tetap seperti itu keadaannya, orang tersebut tidak masuk dalam larangan menurut Imam Ad-Dawudi. Adapun kalau dia menyingsingkannya di luar sholat tapi setelah itu melepaskannya ketika sholat, maka hal ini membutuhkan pembahasan tersendiri. Wallohu A’lam.
10 Adapun lafazh Imam Muslim dalam sebagian riwayat: ( وَ لاَ نَكْفِتُ الثِّيَابَ وََ لاَ الشَّعَرَ )
11 Baik dengan cara melipatnya ataupun sekedar menyatukannya dalam satu ikatan.
12 Yakni karena tidak diamalkannya ilmu tersebut. Jadi, penulis memohon kepada Alloh supaya Dia memberikan hidayah taufiq dan kekuatan untuk mengamalkan ilmu yang telah Dia anugerahkan.