Darussalaf
Darussalaf oleh Admin

hukum dan masail haid

12 tahun yang lalu
baca 33 menit

Dalam edisi terdahulu kami telah menyebutkan tujuh dari hukum-hukum yang berkaitan dengan haid. Hukum yang selanjutnya, kami sebutkan berikut ini :

Kedelapan : Cerai/Talak

Diharamkan bagi seorang suami untuk menceraikan istrinya dalam keadaan haid, berdasarkan firman Allah Ta’ala :

“Wahai Nabi, apabila kalian hendak menceraikan para istri maka ceraikanlah mereka pada saat mereka dapat (menghadapi) ‘iddah-nya… .” (At Thalaq : 1)

Al Hafidh Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya membawakan ucapan Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas tentang firman Allah Ta’ala : “Fathalliquuhunna li ‘iddatihinna”.

“Ibnu Abbas menafsirkan : ((Tidak boleh seseorang menceraikan istrinya dalam keadaan haid dan tidak boleh pula ketika si istri dalam keadaan suci namun telah disetubuhi dalam masa suci tersebut. Akan tetapi bila ia tetap ingin menceraikan istrinya maka hendaklah ia membiarkannya (menahannya) sampai datang masa haid berikutnya lalu disusul masa suci, setelah itu ia bisa menceraikannya)).” (Tafsirul Qur’anil Adhim 4/485)

Ibnu Katsir rahimahullah selanjutnya mengatakan : “Dari sini fuqaha (para ahli fikih) mengambil hukum-hukum talak. Mereka membagi talak itu kepada talak sunnah dan talak bid’ah. Talak sunnah adalah seseorang mentalak istrinya dalam keadaan suci dan belum disetubuhi (ketika suci tersebut) atau dalam keadaan istrinya telah dipastikan hamil. Sedangkan talak bid’ah adalah seseorang mentalak istrinya ketika sedang haid atau ketika suci namun telah disetubuhi, sehingga tidak diketahui apakah si istri hamil dengan sebab hubungan badan tersebut atau tidak hamil… .” (Tafsirul Qur’anil Adhim 4/485)

Apabila si istri dicerai dalam hari haidnya maka ia tidak dapat segera menghitung masa ‘iddah-nya karena haid yang sedang ia alami tidak terhitung sebagai ‘iddah. Sebagaimana kita ketahui bahwa masa ‘iddah wanita yang dicerai suaminya adalah tiga quru’ (tiga kali haid atau tiga kali suci).

Allah berfirman :

“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’… .” (Al Baqarah : 228)

Demikian pula apabila ia dicerai dalam keadaan suci setelah sebelumnya disetubuhi, maka ia juga tidak dapat menghitung ‘iddah-nya secara pasti karena belum diketahui apakah ia hamil dari hubungan itu hingga ia harus ber-’iddah dengan kehamilannya ataukah ia tidak hamil hingga ia dapat ber-’iddah dengan hitungan masa haidnya. Karena ada perbedaan antara ‘iddah-nya wanita yang hamil dengan wanita yang tidak hamil. ‘Iddah wanita yang hamil disebutkan dalam firman Allah Ta’ala :

“Dan wanita-wanita yang hamil masa ‘iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (Ath Thalaq : 4)

Dengan demikian apabila tidak terdapat keyakinan kapan masa ‘iddah dapat dihitung maka diharamkan menjatuhkan talak kecuali setelah jelas perkaranya.

Apabila seorang suami menceraikan istrinya yang sedang haid, maka si suami berdosa. Ia wajib bertaubat kepada Allah Ta’ala dan ia kembalikan si istri dalam perlindungannya (rujuk) untuk ia ceraikan dengan cerai yang syar’i sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. Setelah ia rujuk, ia biarkan istrinya sampai bersih dari haid tersebut (suci), kemudian ia tahan lagi (jangan dijatuhkan talak) sampai datang haid berikutnya lalu suci. Setelah itu, ia bisa memilih antara menceraikan atau tidak. Namun bila ia ingin menceraikan, maka tidak boleh ia gauli istri tersebut dalam masa sucinya itu (yakni dicerai sebelum digauli). (Risalah fi Dima’ith Thabi’iyyah lin Nisa’. Asy Syaikh Muhammad Shalih Al ‘Utsaimin)

Dalil dari penjelasan di atas disebutkan oleh Al Imam Al Bukhari dalam Shahih-nya dengan sanad yang beliau bawakan sampai kepada Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma bahwasannya ia menceraikan istrinya dalam keadaan haid. Maka Umar menanyakan hal tersebut kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Mendengar hal tersebut Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam marah, kemudian beliau bersabda :

“Perintahkanlah ia (yakni Ibnu Umar) agar merujuk istrinya, kemudian ia tahan hingga istrinya suci dari haid. Kemudian (dia tahan hingga) istrinya haid lagi (datang haid berikutnya) lalu suci. Setelah itu jika ia mau, ia tahan istrinya (tidak diceraikan) dan jika ia mau, ia ceraikan sebelum digauli. Itulah ‘iddah yang diperintahkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla untuk menceraikan wanita (bila ingin dicerai, pent.).” (HR. Bukhari nomor 5251 dan Muslim nomor 1, 2 Kitab Ath Thalaq)

Dalam riwayat Muslim disebutkan : “Perintahkanlah dia agar merujuk istrinya, kemudian hendaklah ia menceraikannya dalam keadaan suci atau (dipastikan) hamil.”

Al Imam Ash Shan’ani menyebutkan keharaman talak dalam masa haid ini dalam kitabnya Subulus Salam (3/267), demikian juga Al Imam Asy Syaukani dalam Nailul Authar (6/260)

Menurut Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, ada tiga keadaan yang dikecualikan dalam pengharaman talak ketika istri sedang haid (yakni dibolehkan mentalaknya walaupun dalam keadaan haid) :

Pertama : Apabila talak dijatuhkan sebelum ia berduaan dengan si istri atau sebelum ia sempat bersetubuh dengan si istri setelah atau selama nikahnya. Dalam keadaan demikian tidak ada ‘iddah bagi si wanita dan tidak haram menceraikannya dalam masa haidnya.

Kedua : Apabila haid terjadi di waktu istri sedang hamil dan telah lewat penjelasan hal ini.

Ketiga : Apabila talak dijatuhkan dengan permintaan istri dengan cara ia menebus dirinya dengan mengembalikan sesuatu yang pernah diberikan suaminya atau diistilahkan dengan khulu’.

Hal ini dipahami dari hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma. Disebutkan bahwasannya istrinya Tsabit bin Qais bin Syamas datang kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam lalu ia berkata : “Wahai Rasulullah, tidaklah aku mencela Tsabit bin Qais dalam hal akhlak dan agamanya. Akan tetapi, aku tidak suka kufur dalam Islam.”[1]

Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda kepada istrinya Tsabit :

[ “Apakah engkau mau mengembalikan kebunnya kepadanya [yakni kepada Tsabit, pent]?” Wanita itu menjawab : “Ya.” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda kepada Tsabit : “Terimalah kebun tersebut dan jatuhkan talak satu padanya.” (HR. Bukhari nomor 5273, 5374, 5275, 5276) ]

Dalam hadits di atas Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak menanyakan kepada wanita tersebut apakah ia dalam keadaan haid atau tidak.

Ibnu Qudamah dalam Al Mughni ketika memberikan alasan dibolehkannya khulu’ (permintaan cerai dari wanita dengan mengembalikan mahar) pada masa haid, beliau menyatakan : “Larangan dijatuhkannya talak ketika haid karena bermudlarat bagi si wanita dengan panjangnya masa ‘iddah yang harus dia hadapi. Sedangkan khulu’ dibolehkan untuk menghilangkan kemudlaratan bagi si wanita berupa buruknya pergaulan dengan suami dan hidup bersama suami yang yang tidak ia suka. Yang demikian ini lebih besar kemudlaratannya daripada kemudlaratan panjangnya ‘iddah. Maka dibolehkan menolak kemudlaratan yang lebih besar dengan kemudlaratan yang lebih kecil. Karena itulah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak menanyakan kepada istri yang mengajukan khulu’ tentang keadaannya (apakah ia haid atau suci, pent.).” (Al Mughni 7/247)

Kesembilan : Masa ‘Iddah Dihitung Dengan Haid

Sebagaimana yang telah disebutkan di atas bahwasannya ‘iddah wanita yang bercerai dengan suaminya dan keduanya sudah pernah berduaan atau berhubungan adalah tiga quru’, sedangkan wanita yang sedang hamil masa ‘iddah-nya sampai melahirkan, sama saja apakah saat melahirkan masih panjang atau pendek.

Apabila si istri tidak mengalami haid karena usianya masih kecil misalnya atau si istri telah menopause maka masa ‘iddah-nya selama tiga bulan berdasarkan firman Allah :

“Wanita-wanita yang sudah berhenti dari haid dari kalangan istri-istri kalian. Jika kalian ragu, maka ‘iddah mereka adalah tiga bulan, demikian pula wanita-wanita yang belum haid.” (Ath Thalaq : 4)

Kata Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin : “Apakah wanita tersebut masih mengalami haid namun karena penyakit atau sedang menyusui hingga haidnya berhenti, maka ‘iddah-nya seperti wanita yang mengalami haid yang normal walaupun masanya panjang untuk datangnya haid itu hingga ia mulai ber-’iddah dengannya. Apabila sebab terhentinya haid telah hilang, misalnya telah sembuh dari sakit namun haidnya belum juga datang maka ia ber-’iddah selama satu tahun penuh sejak hilangnya sebab tersebut. Ini merupakan pendapat yang shahih yang sesuai dengan kaidah-kaidah syar’iyyah. ‘Iddah setahun tersebut dengan perincian sembilan bulan darinya dalam rangka berjaga-jaga dari kemungkinan hamil dan tiga bulan darinya untuk ‘iddah.” (Risalah fid Dima’)

Adapun bila talak dijatuhkan setelah akad, sebelum berduaan dan bersetubuh maka tidak ada ‘iddah bagi wanita tersebut berdasarkan firman Allah :

“Wahai orang-orang yang beriman apabila kalian menikahi wanita-wanita Mukminah, kemudian kalian ceraikan mereka sebelum kalian sentuh maka tidak ada kewajiban atas mereka ‘iddah bagi kalian yang kalian minta menyempurnakannya.” (Al Ahzab : 49)

Kesepuluh : Bolehnya Wanita Haid Berdzikir Kepada Allah Dan Membaca Al Qur’an

Al Imam Bukhari dalam Shahih-nya (nomor 971) meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada Ummu ‘Athiyah radhiallahu ‘anha, ia berkata :

“Kami dulunya diperintah untuk keluar (ke lapangan shalat Ied, pent.) pada Hari Raya sampai-sampai kami mengeluarkan gadis dari pingitannya dan wanita-wanita haid. Mereka ini berada di belakang orang-orang (yang shalat), mereka bertakbir dan berdo’a dengan takbir dan doanya orang-orang yang hadir. Mereka mengharapkan berkah hari tersebut dan kesuciannya.” (Diriwayatkan juga oleh Muslim nomor 10 : ‘Shalat Iedain’)

‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata : “Aku datang ke Makkah dalam keadaan haid. Dan aku belum sempat Thawaf di Ka’bah dan Sa’i antara Shafa dan Marwah. Maka aku adukan hal itu kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, beliau bersabda :

“Perbuatlah sebagaimana yang dilakukan seorang yang berhaji, hanya saja jangan engkau Thawaf di Ka’bah sampai engkau suci (dari haid).” (HR. Bukhari nomor 1650 dan Muslim nomor 120/ Kitab Al Hajj)

Dua hadits di atas memberi faedah bahwa wanita haid disyariatkan untuk berdzikir kepada Allah Ta’ala, dan Al Qur’an termasuk dzikir sebagaimana Allah berfirman :

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz Dzikir (Al Qur’an) dan Kami-lah yang akan menjaganya.” (Al Hijr : 9)

Apabila seorang yang berhaji dibolehkan membaca Al Qur’an maka demikian pula bagi wanita haid, karena yang dikecualikan dalam larangan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kepada ‘Aisyah yang sedang haid hanyalah Thawaf.

Permasalahan membaca Al Qur’an bagi wanita haid ini memang ada perselisihan di kalangan ulama. Ada yang membolehkan dan ada yang tidak membolehkan.

Abu Hanifah berpendapat bolehnya wanita haid membaca Al Qur’an dan ini merupakan pendapat yang masyhur dalam madzhab Syafi’i dan Ahmad, dan pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah. Mereka mengatakan : “Asal dalam perkara ini adalah halal. Maka tidak boleh memindahkan kepada selainnya kecuali karena ada larangan yang shahih yang jelas.”

Adapun jumhur Ahli Ilmu berpendapat tidak boleh bagi wanita haid untuk membaca Al Qur’an, akan tetapi boleh baginya untuk berdzikir kepada Allah. Mereka ini mengkiaskan (atau menyamakan) haid dengan junub, padahal sebenarnya tidak ada pula dalil yang melarang orang junub untuk membaca Al Qur’an.

Yang kuat dalam hal ini adalah pendapat yang pertama, dan ini bisa dilihat dalam Majmu’ Fatawa 21/460 dan Syarhuz Zad 1/291. (Nukilan dari Syarh Umdatul Ahkam karya Abu Ubaidah Az Zaawii, murid senior Asy Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadhi’i)

Asy Syaikh Mushthafa Al Adhawi dalam kitabnya Jami’ Ahkamin Nisa’ (1/183-187) membawakan bantahan bagi yang berpendapat tidak bolehnya wanita haid membaca Al Qur’an dan di akhir tulisannya beliau berkata : “Maka kesimpulan permasalahan ini adalah boleh bagi wanita haid untuk berdzikir kepada Allah dan membaca Al Qur’an karena tidak ada dalil yang shahih yang jelas dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang melarang dari hal tersebut bahkan telah datang dalil yang memberi faedah bolehnya (wanita haid) membaca Al Qur’an dan berdzikir sebagaimana telah lewat penyebutannya, Wallahu A’lam.”

Kesebelas : Hukum Menyentuh Mushaf Bagi Wanita Haid

Al Hafidh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (1/502) menyatakan bolehnya wanita haid membawa Al Qur’an dan ini sesuai dengan madzhab Abu Hanifah. Berbeda dengan pendapat jumhur yang melarang hal tersebut dan mereka menyatakan bahwa membawa Al Qur’an dalam keadaan haid mengurangi pengagungan terhadap Al Qur’an.

Berkata Asy Syaikh Mushthafa Al Adawi : “Mayoritas Ahli Ilmu berpendapat wanita haid tidak boleh menyentuh mushaf Al Qur’an. Namun dalil-dalil yang mereka bawakan untuk menetapkan hal tersebut tidaklah sempurna untuk dijadikan sisi pendalilan. Dan yang kami pandang benar, Wallahu A’lam, bahwasannya boleh bagi wanita haid untuk menyentuh mushaf Al Qur’an. Berikut ini kami bawakan dalil-dalil yang digunakan oleh mereka yang melarang wanita haid menyentuh Al Qur’an. Kemudian kami ikutkan jawaban atas dalil-dalil tersebut (untuk menunjukkan bahwasanya wanita haid tidaklah terlarang untuk menyentuh mushaf, pent.) :

1) Firman Allah Ta’ala :

“Tidaklah menyentuhnya kecuali mereka yang disucikan.” (Al Waqi’ah : 79)

2) Sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :

“Tidaklah menyentuh Al Qur’an itu kecuali orang yang suci.” (HR. Ath Thabrani. Lihat Shahihul Jami’ 7880. Al Misykat 465)

Jawaban atas dalil di atas :

Pertama : Mayoritas Ahli Tafsir berpendapat bahwa yang diinginkan dengan dlamir (kata ganti) dalam firman Allah Ta’ala : ((Laa Yamassuhu)) adalah ‘Kitab Yang Tersimpan Di Langit’. Sedangkan ((Al Muthahharun)) adalah ‘Para Malaikat’. Ini dipahami dari konteks beberapa ayat yang mulia :

“Sesungguhnya dia adalah Qur’an (bacaan) yang mulia dalam kitab yang tersimpan, tidaklah menyentuhnya kecuali Al Muthahharun (mereka yang disucikan).” (Al Waqi’ah : 77-79)

Dan yang menguatkan hal ini adalah firman Allah Ta’ala :

“Dalam lembaran-lembaran yang dimuliakan, yang ditinggikan lagi disucikan, di tangan para utusan yang mulia lagi berbakti (yakni para malaikat, pent.).” (Abasa : 13-16)

Inilah pendapat mayoritas Ahli Tafsir tentang tafsir ayat ini.

Pendapat Kedua : Tentang tafsir ayat ini bahwasannya yang dimaukan dengan Al Muthahharun adalah kaum Mukminin, berdalil dengan firman Allah :

“Hanyalah orang-orang musyrik itu najis.” (At Taubah : 28)

Dan dengan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :

“Sesungguhnya orang Muslim itu tidak najis.” (HR. Bukhari nomor 283 dan Muslim nomor 116)

Dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam melarang bepergian dengan membawa mushaf ke negeri musuh, karena khawatir jatuh ke tangan mereka. (HR. Muslim dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma)

Pendapat Ketiga : Bahwasannya yang dimaukan dengan firman Allah (yang artinya) : “Tidaklah menyentuhnya kecuali mereka yang disucikan.” (Al Waqi’ah : 79) adalah tidak ada yang dapat merasakan kelezatannya dan tidak ada yang dapat mengambil manfaat dengannya kecuali orang-orang Mukmin.

Namun adapula Ahli Tafsir (walaupun sedikit) yang berpendapat dengan pendapat keempat, bahwa : “Yang dimaksudkan dengan Al Muthahharun adalah mereka yang disucikan dari dosa-dosa dan kesalahan.

Dan yang kelima : Al Muthahharun adalah mereka yang suci dari hadats besar dan kecil.

Sisi keenam : Al Muthahharun adalah mereka yang suci dari hadats besar (janabah).

Mereka yang membolehkan wanita haid menyentuh mushaf memilih sisi yang pertama, dengan begitu tidak ada dalil dalam ayat tersebut yang menunjukkan larangan bagi wanita haid untuk menyentuh Al Qur’an. Sedangkan mereka yang melarang wanita haid menyentuh Al Qur’an memilih sisi kelima dan keenam. Dan telah lewat penjelasan bahwa mayoritas ahli tafsir menafsirkan Al Muthahharun dengan malaikat.

Dalil Kedua : Tidak aku dapatkan isnad yang shahih, tidak pula yang hasan, bahkan yang mendekati shahih atau hasan untuk hadits yang dijadikan dalil oleh mereka yang melarang wanita haid menyentuh Al Qur’an. Setiap sanad hadits ini yang aku dapatkan, semuanya tidak lepas dari pembicaraan. Lantas apakah hadits ini bisa terangkat kepada derajat shahih atau hasan dengan dikumpulkannya semua sanadnya atau tidak?

Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat, Asy Syaikh Albani rahimahullah menshahihkannya dalam Al Irwa’ (91/158). Bila hadits ini dianggap shahih sekalipun, maka pengertiannya sebagaimana pengertian ayat yang mulia di atas. (Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/187-188)

Asy Syaikh Al Albani rahimahullah sendiri ketika menjabarkan hadits di atas beliau menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ‘thahir’ adalah orang Mukmin baik dalam keadaan berhadats besar atau hadats kecil ataupun dalam keadaan haid. Wallahu A’lam.

Keduabelas : Bolehkah Wanita Haid Masuk Ke Masjid?

Dalam masalah ini ada perselisihan pendapat di kalangan Ahli Ilmu, ada yang membolehkan dan ada yang tidak membolehkan.

Asy Syaikh Mushthafa Al Adawi membawakan dalil dari kedua belah pihak dan kemudian ia merajihkan/menguatkan pendapat yang membolehkan wanita haid masuk ke masjid. Berikut ini dalil-dalilnya :

Dalil Yang Membolehkan :

1) Al Bara’ah Al Ashliyyah, maknanya tidak ada larangan untuk masuk ke masjid.

2) Bermukimnya wanita hitam yang biasa membersihkan masjid, di dalam masjid, pada masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Tidak ada keterangan bahwasannya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam memerintahkan dia untuk meninggalkan masjid ketika masa haidnya, dan haditsnya terdapat dalam Shahih Bukhari.

3) Sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kepada ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang tertimpa haid sewaktu melaksanakan ibadah haji bersama beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :

“Lakukanlah apa yang diperbuat oleh seorang yang berhaji kecuali jangan engkau Thawaf di Ka’bah.” (HR. Bukhari nomor 1650)

Dalam hadits di atas Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak melarang ‘Aisyah untuk masuk ke masjid dan sebagaimana jamaah haji boleh masuk ke masjid maka demikian pula wanita haid (boleh masuk masjid).

4) Sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :

“Sesungguhnya orang Muslim itu tidak najis.” (HR. Bukhari nomor 283 dan Muslim nomor 116 Kitab Al Haid)

5) Atha bin Yasar berkata : “Aku melihat beberapa orang dari shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam duduk di masjid dalam keadaan mereka junub apabila mereka telah berwudlu seperti wudlu shalat.” (Dikeluarkan oleh Said bin Manshur dalam Sunan-nya dan isnadnya hasan)

Maka sebagian ulama mengkiaskan junub dengan haid.

Mereka yang membolehkan juga berdalil dengan keberadaan ahli shuffah yang bermalam di masjid. Di antara mereka tentunya ada yang mimpi basah dalam keadaan tidur. Demikian pula bermalamnya orang-orang yang i’tikaf di masjid, tidak menutup kemungkinan di antara mereka ada yang mimpi basah hingga terkena janabah dan di antara wanita yang i’tikaf ada yang haid.

Dalil Yang Melarang :

1) Firman Allah Ta’ala :

“Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mendekati shalat sedangkan kalian dalam keadaan mabuk hingga kalian mengetahui apa yang kalian ucapkan dan jangan pula orang yang junub kecuali sekedar lewat sampai kalian mandi.” (An Nisa’ : 43)

Mereka mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata ‘shalat’ dalam ayat di atas adalah tempat-tempat shalat, berdalil dengan firman Allah Ta’ala :

“… niscaya akan runtuh tempat-tempat ibadah ruhban Nasrani, tempat ibadah orang umum dari Nasrani, shalawat, dan masjid-masjid.” (Al Hajj : 40)

Mereka berkata : “((Akan runtuh shalawat)) maknanya ((akan runtuh tempat-tempat shalat)).”

Di sini mereka mengkiaskan haid dengan junub. Namun kata Asy Syaikh Mushthafa : “Kami tidak sepakat dengan mereka karena orang yang junub dapat segera bersuci sehingga di dalam ayat ini ada anjuran untuk bersegera dalam bersuci, sedangkan wanita yang haid tidak dapat berbuat demikian.”

2) Sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kepada para wanita ketika beliau memerintahkan mereka untuk keluar ke tanah lapangan pada saat shalat Ied. Beliau menyatakan :

“Hendaklah wanita-wanita haid menjauh dari mushalla.” (HR. Bukhari nomor 324)

Jawaban atas dalil ini adalah bahwa yang dimaksud dengan ‘mushalla’ di sini adalah ‘shalat’ itu sendiri, yang demikian itu karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan para shahabatnya shalat Ied di tanah lapang, bukan di masjid dan sungguh telah dijadikan bumi seluruhnya untuk ummat ini sebagai masjid (tempat shalat).

3) Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mendekatkan kepala beliau kepada ‘Aisyah yang berada di luar masjid ketika beliau sedang berada di dalam masjid, hingga ‘Aisyah dapat menyisir beliau dan ketika itu ‘Aisyah sedang haid.

Jawaban atas dalil ini adalah tidak ada di dalamnya larangan secara jelas bagi wanita haid untuk masuk ke dalam masjid. Sementara di masjid itu sendiri banyak kaum pria dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tentu tidak suka mereka sampai melihat istri beliau.

4) Perintah-perintah yang ada untuk membersihkan masjid dari kotoran-kotoran.

Dalam hal ini juga tidak ada larangan yang tegas bagi wanita haid. Yang jelas selama wanita haid tersebut aman dari kemungkinan darahnya mengotori masjid, maka tidak apa-apa ia duduk di dalam masjid.

5) Hadits yang lafadhnya :

“Aku tidak menghalalkan masjid bagi orang junub dan tidak pula bagi wanita haid.” (HR. Abu Daud 1/232, Baihaqi 2/442. Didlaifkan dalam Al Irwa’ 1/124)

Namun hadits ini dlaif (lemah) karena ada rawi bernama Jasrah bintu Dajaajah.

“Sebagai akhir”, kata Asy Syaikh Mushthafa, “kami memandang tidak ada dalil yang shahih yang tegas melarang wanita haid masuk ke masjid, dan berdasarkan hal itu boleh bagi wanita haid masuk masjid atau berdiam di dalamnya.” (Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/191-195, dengan sedikit ringkasan)

Ketigabelas : Wajibnya Mandi Setelah Suci Dari Haid

Apabila wanita bersih dari haidnya maka ia wajib mandi dengan membersihkan seluruh tubuhnya berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kepada Fathimah bintu Abi Hubaisy :

“Tinggalkanlah shalat sekadar hari-hari yang engkau biasa haid padanya, dan (jika telah selesai haidmu) mandilah, dan shalatlah.” (HR. Bukhari nomor 325)

Yang wajib ketika mandi ini adalah minimal meratakan air ke seluruh tubuh hingga pokok rambut. Dan yang utama melakukan mandi sebagaimana yang disebutkan dalam hasdits Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam ketika beliau ditanya oleh seorang wanita Anshar tentang tata cara mandi haid. Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam sebagaimana yang dikhabarkan oleh ‘Aisyah radhiallahu ‘anha bersabda :

[ “Ambillah secarik kain yang diberi misik lalu bersucilah dengannya”. Wanita itu bertanya : “Bagaimana cara aku bersuci dengannya?” Nabi menjawab : “Bersucilah dengannya”. Wanita itu bertanya lagi : “Bagaimana caranya?” Nabi berkata : “Subhanallah, bersucilah”. ‘Aisyah berkata : Maka aku menarik wanita tersebut ke dekatku, lalu aku katakan kepadanya : “Ikutilah bekas darah dengan kain tersebut”. (HR. Bukhari nomor 314 dan Muslim nomor 60) ]

Atau lebih lengkapnya disebutkan dalam riwayat Muslim (nomor 61), bahwasannya Asma bintu Syakl bertanya tentang tata cara mandi haid maka beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengajarkan :

[ “Salah seorang dari kalian mengambil air dan daun sidr (bidara), lalu ia bersuci dan membaguskan bersucinya. Kemudian ia tuangkan air ke kepalanya dan ia gosok dengan kuat hingga air tersebut sampai ke akar-akar rambutnya, kemudian ia tuangkan air ke atasnya, kemudian ia ambil secarik kain yang diberi misik (yakni sepotong kain yang diberi misik) lalu ia bersuci dengannya”. Maka bertanya Asma : “Bagaimana cara ia bersuci dengannya?” Nabi menjawab : “Subhanallah, engkau bersuci dengannya”. ‘Aisyah berkata kepada Asma dengan ucapan yang pelan yang hanya didengar oleh orang yang diajak bicara : “Engkau mengikuti bekas darah dengan kain tersebut”. (HR. Muslim nomor 61) ]

Al Imam Nawawi rahimahullah ketika men-syarah hadits di atas menyatakan : “Telah berkata Al Qadli ‘Iyadl rahimahullahu ta’ala : ((Bersuci yang pertama (yang disebutkan dalam hadits ini) adalah bersuci dari najis-najis dan apa yang terkena najis berupa darah haid)). Demikian dikatakan Al Qadli. Namun yang lebih jelas, Wallahu A’lam, bahwasannya yang dimaksud dengan bersuci yang pertama adalah wudlu sebagaimana hal ini disebutkan dalam sifat/cara mandi (janabah) Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.” (Syarah Shahih Muslim 4/15)

Hadits di atas juga menunjukkan sunnahnya mengikuti bekas darah dengan kain/kapas yang diberi misik, sementara perkara ini banyak dilalaikan oleh para wanita. Kata Al Imam Nawawi rahimahullah : “Ulama berselisih tentang hikmah menggunakan misik (ketika mandi haid). Pendapat yang shahih yang terpilih yang diucapkan oleh jumhur ashab kami (ulama dalam madzhab Syafi’i) dan selain mereka adalah maksud menggunakan misik itu untuk mengharumkan bekas tempat darah dan mencegah/menghilangkan bau yang tidak sedap.”

Dan dipahami dari hadits riwayat Muslim di atas bahwa penggunaan kain yang diberi misik tersebut dilakukan setelah selesai mandi.

Selanjutnya Al Imam Nawawi berkata : “Perkara ini disunnahkan bagi setiap wanita yang mandi dari haid atau nifas, sama saja apakah ia memiliki suami atau tidak. Ia gunakan kain bermisik tersebut setelah mandi. Apabila ia tidak mendapatkan misik maka boleh ia menggunakan wewangian apa saja yang ia dapatkan. Apabila ia juga tidak mendapatkan wewangian lain, maka disunnahkan baginya untuk menggunakan tanah atau yang semisalnya dari benda-benda yang dapat menghilangkan aroma tidak sedap. Demikian disebutkan oleh ashab kami. Apabila ia tidak mendapatkan apapun, maka air cukup baginya. Akan tetapi, jika ia meninggalkan pemakaian wewangian padahal memungkinkan bagi dirinya unutk memakainya maka hal itu dimakruhkan baginya. Namun bila tidak memungkinkan maka tidak ada kemakruhan bagi dirinya.” (Syarah Shahih Muslim 4/13-14)

Pemakaian wewangian ketika mandi haid ini sangat ditekankan, sampai-sampai wanita yang sedang ber-ihdad[2]diberi rukhshah/keringanan untuk mengoleskan wewangian pada daerah sekitar farji/kemaluan setelah selesai mandi haid, sebagaimana hal ini disebutkan dalam hadits riwayat Bukhari (nomor 313) dari Ummu ‘Athiyah radhiallahu ‘anha, ia berkata : “Kami dilarang untuk ber-ihdad atas mayat lebih dari tiga hari kecuali bila yang meninggal itu adalah suami maka ihdad-nya (istri) 4 bulan 10 hari. (Selama ber-ihdad) kami tidak boleh bercelak, tidak boleh memakai wewangian, tidak boleh memakai pakaian yang dicelup kecuali pakaian ‘ashb (dari kain Yaman, pent.). Dan kami diberi keringanan untuk menggunakan sepotong kain yang diberi wewangian ketika salah seorang dari kami mandi untuk bersuci dari haid. Dan kami juga dilarang untuk mengikuti jenasah.”

Apakah wajib bagi wanita yang mandi haid untuk melepaskan ikatan rambutnya? Al Imam Muslim dalam Shahih-nya (nomor 58) meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada Ummu Salamah radhiallahu ‘anha, bahwasannya ia bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :

[ “Aku adalah wanita yang sangat kuat ikatan rambutku, apakah aku harus melepaskannya untuk mandi janabah?” Dalam riwayat lain : “… dan mandi haid?”[3] Beliau menjawab : “Tidak, hanya saja cukup bagimu untuk menuangkan air di atas kepalamu tiga kali tuangan, kemudian engkau alirkan air ke tubuhmu, dengan begitu maka engkau suci.” (HR. Muslim nomor 58) ]

Al Imam Ash Shan’ani (dalam Subulus Salam 1/142) dan Al Imam As Syaukani (dalam Nailul Authar 1/346) keduanya menyebutkan tidak wajibnya melepas ikatan rambut bagi wanita ketika mandi wajib.

Kata Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah : “Tidak wajib melepas ikatan rambut kepala ketika mandi kecuali bila ikatannya sangat kuat sehingga tidak memungkinkan air mencapai pokok-pokok rambut, berdasarkan hadits Ummu Salamah yang diriwayatkan oleh Muslim (kemudian beliau menyebukan hadits yang tersebut di atas).” (Risalah fid Dima’)

Asy Syaikh Abdul Aziz bin Bazz rahimahullah berkata : “Yang shahih, tidaklah wajib bagi wanita untuk melepas ikatan rambutnya ketika mandi haid berdalilkan keterangan yang datang dalam sebagian riwayat Ummu Salamah yang dikeluarkan oleh Al Imam Muslim… .”

Jumhur ulama berpendapat apabila air mencapai seluruh kepala bagian luarnya maupun dalamnya tanpa harus melepas ikatan rambut maka tidak wajib melepasnya.

Berkata Asy Syaikh Muhammad bin Ibrahim : “Yang kuat dalam dalil adalah tidak wajib melepas ikatan rambut ketika mandi haid sebagaimana tidak wajib melepasnya ketika mandi janabah… .” (Lihat Bulughul Maram min Adillatil Ahkam dengan catatan kaki yang dinukil dari pembahasan Asy Syaikh Albani dan Asy Syaikh Abdullah Alu Bassam serta sebagian ulama Salaf. Halaman 48-49)

Asy Syaikh Mushthafa Al Adawi menyatakan : “Termasuk perkara yang disunnahkan saja untuk wanita melepas ikatan rambutnya ketika mandi haid, dan hal ini tidaklah wajib dan ini merupakan pendapat mayoritas ahli fikih. Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah dalam Al Umm (1-227) mengatakan : ((Apabila seorang wanita memiliki rambut yang diikat maka tidak wajib baginya untuk melepas ikatan tersebut ketika mandi janabah. Dan mandinya dari haid sama dengan mandinya dari janabah, tidaklah berbeda)).” Kemudian Asy Syaikh Mushthafa menyimpulkan : “Hendaklah seorang wanita memastikan sampainya air ke pokok-pokok rambutnya tatkala ia mandi haid, sama saja apakah dia dapat memastikan dengan melepas ikatan rambut atau tanpa melepasnya. Apabila tidak dapat dipastikan sampainya air ke pokok rambut kecuali dengan melepas ikatannya maka hendaklah ia melepaskannya –tapi bukan karena melepas ikatan rambut itu hukumnya wajib– hanya saja hal itu dilakukan agar air sampai ke pokok-pokok rambut.” (Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/122)

Kesimpulan Tata Cara Mandi Haid

1. Menyiapkan air dan daun sidr atau yang bisa menggantikannya seperti sabun dan lainnya.

2. Berwudlu dengan baik.

3. Menuangkan air ke kepala lalu digosok dengan sangat hingga air sampai ke adsar/pokok rambut (atau mengenai seluruh kulit kepala).

4. Tidak wajib melepas ikatan rambut kecuali bila melepas ikatan tersebut akan membantu untuk sampainya air ke pokok rambut.

5. Menuangkan air ke seluruh tubuh.

6. Mengambil kain/kapas atau sejenisnya yang telah diberi misik atau wewangian lain (bila tidak mendapatkan misik), lalu mengoleskannya ke tempat-tempat yang tadinya dialiri darah haid. (Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/123)

Apabila wanita haid telah suci di tengah waktu shalat, wajib baginya untuk segera mandi agar ia dapat menunaikan shalat tersebut pada waktunya. Apabila ia sedang safar dan tidak ada air padanya atau ada air namun ia khawatir mudlarat (berbahaya) bila memakainya atau ia sakit yang akan berbahaya bila ia memakai air, maka cukup baginya bertayamum sebagai pengganti mandi hingga hilang darinya uzur. Maka setelah itu ia mandi.

Sebagian wanita yang mendapatkan suci di tengah waktu shalat mengakhirkan mandinya sampai waktu shalat yang lain dan ia katakan tidak mungkin dapat menyempurnakan bersuci pada waktu tersebut. Ucapan seperti ini bukanlah alasan dan bukan pula uzur karena memungkinkan bagi dia untuk mandi sekedar terpenuhi yang wajib (dengan cukup mengenakan air pada seluruh tubuh) dan ia menunaikan shalat pada waktunya. (Risalah fid Dima’ith Thabi’iyyah lin Nisa’. Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin)

Masail Haid

1) Apa yang harus diperbuat oleh seorang wanita bila ia melihat cairan berwarna kuning atau darah keluar dari farji-nya sebelum tiba masa haid?

Asy Syaikh Abdullah bin Jibrin ketika ditanya tentang masalah ini, beliau menjawab : “Apabila seorang wanita mengenali kebiasaan hari haidnya dengan hitungan atau dengan warna darah atau dengan waktu, maka ia meninggalkan shalat di waktu kebiasaan tersebut. Setelah suci ia mandi dan shalat. Adapun darah yang keluar mendahului darah haid (sebelum datang waktu kebiasaan haid), maka teranggap darah fasid (rusak/penyakit) dan ia tidak boleh meninggalkan shalat dan puasa karena keluarnya darah fasid tersebut. Tetapi hendaklah ia mencuci darah tersebut setiap waktu dan berwudlu setiap mau shalat dan ia tetap shalat walaupun darah tersebut keluar terus menerus. Wanita yang mengalami seperti ini teranggap seperti keadaannya wanita yang istihadlah.”

2) Apa yang harus diperbuat bila pakaian yang dikenakan terkena darah haid?

Asma’ berkata : [ “Datang seorang wanita menemui Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam seraya berkata : ‘Apa pendapatmu wahai Rasulullah apabila salah seorang dari kami pakaiannya terkena darah haidnya, apa yang harus dia perbuat?’ Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menjawab :

‘Hendaklah ia mengerik darah pada pakaian tersebut, kemudian ia menggosoknya dengan air dan mencucinya. (Setelah itu) ia dapat shalat dengan menggunakan pakaian tersebut.” (HR. Bukhari nomor 227 dan Muslim nomor 110/Kitab Ath Thaharah) ]

3) Wanita haid melihat dirinya telah suci sebelum fajar namun ia belum sempat mandi kecuali setelah terbit fajar, apakah ia boleh berpuasa pada hari itu?

Al Hafidh Ibnu Hajar menukilkan tentang sisi perbedaan antara puasa dan shalat bagi wanita haid. Ia berkata : “Wanita haid seandainya ia suci sebelum fajar dan ia berniat puasa maka sah puasanya tersebut menurut pendapat jumhur. Puasa tersebut tidak tergantung pada mandi berbeda dengan shalat (harus mandi terlebih dahulu apabila seseorang ingin melaksanakan shalat).” (Jami’ Ahkamin Nisa’)

4) Wanita haid mendengarkan ayat Sajadah, apakah ia boleh ikut sujud?

Apabila wanita haid mendengar ayat Sajadah maka tidak diketahui adanya larangan baginya untuk sujud tilawah. Bahkan boleh baginya sujud tilawah, sebagaimana hal ini dikatakan oleh Az Zuhri dan Qatadah. Wudlu bukanlah syarat untuk sujud tilawah. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pernah membaca surat An Najm maka beliau sujud dan ikut sujud bersama beliau kaum Muslimin yang hadir, orang-orang musyrikin, jin, dan manusia, sebagaimana hal ini disebutkan dalam riwayat Bukhari (nomor 4862) dari hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma. (Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/174)

5) Apa hukum menggunakan obat untuk menghentikan haid?

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata dalam Al Mughni (1/221) : “Telah diriwayatkan dari Imam Ahmad rahimahullah bahwasannya beliau berkata : ((Tidak apa-apa seorang wanita meminum obat untuk menghentikan haidnya, apabila obat yang dipakai itu sudah dikenal)).”

Namun semua ini berputar pada maslahat dan mudlarat, karena ada di antara obat penahan haid tersebut yang memberi mudlarat bagi pemakainya. Maka dalam hal ini hendaklah si wanita menyadari bahwa haid adalah ketetapan Allah bagi anak perempuan turunan Adam hingga ia ridla dengan apa yang menimpanya. (Dinukil dari fatwa Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah)

6) Seorang wanita keluar darah dari farjinya melewati lama kebiasaan haidnya, lalu apa yang harus ia perbuat?

Misalnya kebiasaan haid seorang wanita 6 hari, lalu suatu ketika bertambah menjadi 7, 8, atau 10 hari. Maka ia melihat sifat darah yang keluar setelah 6 hari itu. Bila memang masih seperti darah haid maka ia meninggalkan shalat dan puasa. Karena memang tidak didapatkan batasan tertentu untuk hari-hari haid. Apabila darah yang keluar itu warnanya dan aroma/baunya bukan seperti darah haid, maka ia mandi dan shalat. Wallahu A’lam.

Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah ketika ditanyakan kepada beliau tentang masalah ini beliau menjawab : “Apabila kebiasaan hari haid seorang wanita itu 6 atau 7 hari kemudian suatu ketika lebih dari kebiasaannya menjadi 8, 9, 10, atau 11 hari (dan sifat darahnya seperti darah haid, pent.), maka wanita tersebut tetap tidak boleh shalat sampai ia suci. Yang demikian itu karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak menetapkan batasan tertentu dalam hari-hari haid. Dan Allah Ta’ala berfirman :

“Mereka bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah : ‘Haid itu adalah kotoran’ “ (Al Baqarah : 222)

Maka kapan saja darah itu keluar dari farji, wanita yang mengalaminya tetap dikatakan haid sampai ia suci dan mandi kemudian mengerjakan shalat. Apabila pada bulan berikutnya haidnya datang kurang dari perhitungan hari pada bulan sebelumnya maka ia mandi apabila telah suci. Yang penting kapan darah haid ada pada seorang wanita maka ia meninggalkan shalat, sama saja apakah lama hari haidnya itu sama dengan kebiasaannya yang dulu atau bertambah ataupun berkurang, dan apabila ia suci maka ia shalat. (Jami’ Ahkamun Nisa’ 1/212-213)

7) Apabila seorang wanita suci beberapa saat setelah fajar di bulan Ramadhan, apakah ia harus menahan diri dari makan dan minum pada hari itu, apakah sah puasanya atau harus mengqadlanya?

Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menjawab dalam kitabnya Sittuna Su’alan ‘an Ahkamil Haidl : “Apabila seorang wanita suci setelah terbit fajar maka dalam permasalahan menahan makan dan minum bagi si wanita, ulama terbagi dalam dua pendapat :

Pertama : Wajib baginya untuk menahan dari makan dan minum pada sisa hari itu, akan tetapi ia tidak terhitung melakukan puasa hingga ia harus mengqadlanya di lain hari. Ini pendapat yang masyhur dari madzhab Imam Ahmad.

Kedua : Tidak wajib baginya menahan makan dan minum pada sisa hari tersebut karena pada awal hari itu ia dalam keadaan haid hingga bila ia puasa maka puasanya tidak sah. Apabila puasanya tidak sah maka tidak ada faidahnya ia menahan dari makan dan minum. Hari tersebut bukanlah hari yang diharamkan baginya untuk makan dan minum karena ia diperintah untuk berbuka pada awal hari (disebabkan haidnya), bahkan haram baginya berpuasa pada awal hari tersebut. Puasa yang syar’i sebagaimana yang sama kita ketahui adalah menahan diri dari perkara-perkara yang membatalkan puasa dalam rangka beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla dari mulai terbitnya fajar sampai tenggelamnya matahari. Pendapat yang kedua ini sebagaimana yang engkau lihat lebih kuat dari pendapat pertama.” (Sittuna Su’alan ‘an Ahkamil Haidl. Halaman 9-10)

8) Apakah wanita haid harus mengganti pakaian yang dikenakannya setelah ia suci sementara ia tahu pakaian tersebut tidak terkena darah atau najis?

Tidak wajib baginya mengganti pakaian tersebut karena haid tidaklah menajisi badan. Hanyalah darah haid itu menajisi sesuatu yang bersentuhan dengannya (mengenainya). Karena itu Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam memerintahkan para wanita apabila pakaian mereka terkena darah haid untuk mencucinya dan setelah itu boleh dipakai shalat. (Sittuna Su’alan ‘an Ahkamil Haidl. Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin. Halaman 21-22)

9) Adakah kafarah bagi seseorang yang menggauli istrinya dalam keadaan haid?

Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tentang orang yang menggauli istrinya dalam keadaan haid. Beliau bersabda :

“Hendaklah orang itu bersedekah dengan satu dinar atau setengah dinar.” (Diriwayatkan oleh Ahmad, Tirmidzi, Abu Daud, Nasa’i, dan Ibnu Majah)

Namun hadits ini diperselisihkan apakah hukumnya marfu’ (sampai kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) atau mauquf (ucapan Ibnu Abbas saja, bukan ucapan Nabi).

Al Imam Baihaqi rahimahullah telah menjelaskan hal ini dengan penjelasan yang mencukupi dalam kitabnya As Sunanul Kubra (1/314-319) dan beliau menyebutkan dengan sanad yang shahih sampai kepada Syu’bah bahwasannya Syu’bah rujuk dari pendapatnya semula akan marfu’-nya hadits ini. Pada akhirnya Syu’bah menyatakan hadits ini mauquf atas Ibnu Abbas (ucapan Ibnu Abbas).

Masalah seseorang menggauli istrinya ketika haid maka ada dua keadaan :

1. Karena yakin akan kehalalannya walaupun ia tahu dalil yang melarang. Orang seperti ini berarti telah menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

2. Tahu keharamannya tapi tidak dapat menahan dirinya. Dan ini terbagi lagi dalam dua keadaan :

a. Ia lupa atau tidak tahu, maka pelakunya tidaklah berdosa.

b. Ia melakukan dengan dorongan dirinya sendiri maka jelas ia berbuat dosa besar.

Untuk point yang kedua ini diperbincangkan apakah pelakunya harus membayar kafarah atau tidak. Dalam hal ini ada dua pendapat :

1) Tidak ada kewajiban kafarah baginya tapi cukup minta ampun kepada Allah. Kata Al Imam Al Khathabi rahimahullah : “Berkata sebagian besar ulama : ((Tidak ada kafarah baginya dan ia minta ampun kepada Allah. Mereka menganggap hadits dalam permasalahan kafarah bagi yang menggauli istri yang sedang haid itu adalah mursal atau mauquf atas Ibnu Abbas dan tidak benar bila hadits tersebut dihukumi muttashil marfu’.” Demikian pula dinukilkan dari Ibnu Qudamah dalam Al Mughni dari mayoritas ulama bahwasannya tidak ada kafarah bagi pelakunya. Dan pendapat ini dipegangi dalam madzhab Syafi’i, Malik, Abu Hanifah dan pendapat Imam Ahmad dalam salah satu riwayat darinya. Dihikayatkan pendapat ini oleh Abu Sulaiman Al Khaththabi dari sebagian besar ulama. Ibnul Mundzir juga menghikayatkan dari Atha’, Ibnu Abi Malikah, Asy Sya’bi, An Nakha’i, Makhul, Az Zuhri, Ayyub As Sikhtiyani, Abu Zinad, Rabi’ah, Hammad bin Abi Sulaiman, Sufyan Ats Tsauri, dan Al Laits bin Sa’ad. (Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/181-182)

2) Dikenai kafarah. Namun diperselisihkan lagi dalam hal jumlah kafarah-nya :

a) Sebanyak satu dinar atau setengah dinar, menurut pendapat Ibnu Abbas, Said bin Jubair, Al Hasan Al Bashri, Qatadah, Al Auza’i, Ishaq, Ahmad bin Hambal dalam satu riwayat dan Syafi’i dalam Al Qadim. (Syarh Umdatul Ahkam. Halaman 76. Az Zaawii)

b) Bila masih keluar darah maka kafarah-nya satu dinar, kalau sudah berhenti kafarah-nya setengah dinar. Ini pendapatnya satu kelompok dari ahli hadits.

c) Kafarah-nya 1/10 dinar, menurut pendapatnya Al Auza’i. (Lihat Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid. Halaman 54. Oleh Abul Walid Ibnu Rusyd Al Qurthubi)

d) Kafarah-nya membebaskan seorang budak, menurut pendapat Said bin Jubair. (Syarh Al Umdah. Halaman 77. Az Zaawii)

e) Kafarah-nya sama dengan kafarah jima’ di siang hari Ramadlan, yaitu membebaskan budak atau puasa 2 bulan berturut-turut atau memberi makan 60 orang miskin. Ini merupakan pendapatnya Al Hasan Al Bashri. (Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/182)

Asy Syaikh Mushthafa Al Adawi berpendapat : “Yang benar adalah tidak ada kafarah bagi pelakunya, Wallahu A’lam” (karena hadits Ibnu Abbas mauquf). Kemudian beliau menukilkan ucapan Ibnu Hazm dalam Al Muhalla : “Masalah ((siapa yang menggauli istrinya ketika haid)), maka sungguh ia telah bermaksiat kepada Allah Ta’ala dan wajib baginya untuk bertaubat dan minta ampun kepada-Nya. Dan tidak ada kafarah baginya dalam hal ini.” (Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/182)

Wallahu A’lam Bishawwab.

Daftar Pustaka

1. Tafsirul Qur’anil Adhim. Al Hafidh Ibnu Katsir. Penerbit Darul Faiha dan Darus Salam.

2. Risalah fid Dima’ith Thabi’iyyah lin Nisa’. Asy Syaikh Muhammad Shalih Al ‘Utsaimin.

3. Subulus Salam. Al Imam Ash Shan’ani. Penerbit Maktabah Al Irsyad. Shan’a.

4. Nailul Authar. Al Imam Asy Syaukani. Penerbit Maktabah Al Imam.

5. Fathul Bari. Al Hafidh Ibnu Hajar Al Asqalani. Penerbit Darul Haramain.

6. Al Mughni. Ibnu Qudamah Al Maqdisi. Penerbit Darul Fikr.

7. Syarah Shahih Muslim. Al Imam An Nawawi. Maktabah Al Ma’arif.

8. Bulughul Maram min Adillatil Ahkam. Al Hafidh Ibnu Hajar Al Asqalani. Maktabah Nazar Mushthafa Al Baz.

9. Sittuna Su’alan ‘an Ahkamil Haidl. Asy Syaikh Shalih Al ‘Utsaimin. Penerbit Dar Ibnu Khuzaimah.

10. As Sunanul Kubra. Al Imam Al Baihaqi. Penerbit Darul Fikr.

11. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid. Abul Walid Ibnu Rusyd Al Qurthubi. Penerbit Dar Ibnu Hazm.

12. Jami’ Ahkamin Nisa’. Asy Syaikh Mushthafa Al Adawi.

13. Syarh Umdatul Ahkam. Asy Syaikh Abu Ubaidah Az Zaawii.

14. Shahih Bukhari. Al Imam Al Bukhari.

15. Shahih Muslim. Al Imam Muslim.

——————————————————————————–

[1] Al Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah : “(Maksud) ucapan istrinya Tsabit : ((Akan tetapi, aku tidak suka kufur dalam Islam)), yakni aku tidak suka apabila aku tetap hidup bersamanya, aku akan jatuh dalam perkara yang berkonsekuensi kekufuran.” Al Hafidh selanjutnya menukil ucapan Al Imam Ath Thibi tentang ucapan istrinya Tsabit : “Makna : ((Aku mengkhawatirkan diriku dalam Islam)), untuk terjatuh pada perkara yang menafikan/menyelisihi hukumnya seperti perkara nusyuz, benci terhadap suami dan selainnya, yang semuanya ini mungkin menimpa seorang wanita yang masih muda lagi cantik dan ia benci dengan suaminya bila bertentangan/tidak sama dengan dirinya. Di sini istrinya Tsabit memutlakkan perkara yang menafikan konsekuensi Islam dengan kekufuran.” (Fathul Bari 9/483)

[2] Meninggalkan perhiasan dan wewangian karena meninggalnya suami atau kerabat. Lihat pembahasan hal ini dalam lembar Muslimah edisi sebelum ini.

[3] Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah tentang sebagian riwayat Ummu Salamah : “Yang shahih dalam hadits Ummu Salamah adalah sebatas penyebutan mandi janabah tanpa menyertakan mandi haid… .” Asy Syaikh Albani rahimahullah : “Penyebutan haid dalam hadits ini adalah syadz (artinya ganjil. Hadits yang syadz termasuk hadits yang lemah, pent.) tidaklah tsabit. (Lihat Bulughul Maram min Adillatil Ahkam dengan catatan kaki yang dinukil dari pembahasan Asy Syaikh Albani dan Asy Syaikh Abdullah Alu Bassam serta sebagian ulama Salaf. Halaman 48-49. Maktabah Nazar Mushthafa Al Baz)

( MUSLIMAH Edisi 39/1422 H/2001 M Rubrik Kajian Kita )

Oleh:
Admin
Sumber Tulisan:
Hukum Dan Masail Haid