Bagaimana dengan daging yang dijual di pasar, yang kita tidak tahu proses penyembelihannya dengan mengucapkan tasmiyah (basmalah) atau tidak? Karena ada orang yang menyembelih tanpa mengucapkan apapun. Bahkan ada ayam yang sudah mati (bangkai) kemudian juga dijual sebagai ayam potong di pasar.
(Hadi Prasetyo, via email)
Dijawab oleh Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari:
Alhamdulillah, wash-shalatu was-salamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala alihi washahbihi waman walah.
Tasmiyah yaitu ucapan ‘Bismillah’ pada proses penyembelihan ketika hendak menggerakkan pisau di leher binatang yang disembelih. Hukumnya wajib, bahkan merupakan syarat sahnya penyembelihan.
Apabila seseorang sengaja tidak membaca tasmiyah saat penyembelihan padahal dia telah mengetahui hukumnya, maka dia berdosa dan binatangnya menjadi bangkai yang najis dan haram.
Apabila seseorang tidak membacanya karena lupa atau kejahilan/ ketidaktahuan tentang hukum tersebut, maka dia tidak berdosa. Namun penyembelihan yang dilakukannya tidak sah sehingga binatangnya menjadi bangkai yang najis dan haram dikonsumsi. Dia tidak berdosa berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah bahwa seseorang yang meninggalkan kewajiban karena jahil (tidak tahu hukum) atau karena lupa, dia mendapatkan udzur yang dengannya dia tidak berdosa. Di antara dalil-dalil tersebut adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا
“Wahai Rabb kami, janganlah Engkau menghukum kami jika kami lupa atau melakukan kesalahan tanpa sengaja.” (Al-Baqarah: 286)
Adapun penyembelihan yang dilakukannya dianggap tidak sah karena membaca tasmiyah merupakan syarat sahnya penyembelihan, berdasarkan:
1. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَكُلُوا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللهِ عَلَيْهِ
“Maka makanlah binatang-binatang sembelihan yang dibacakan nama Allah atasnya (saat menyembelihnya).” (Al-An’am: 118)
2. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَلاَ تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ
“Dan janganlah kalian memakan binatang-binatang sembelihan yang tidak dibacakan nama Allah atasnya, karena sesungguhnya hal itu adalah kefasikan.” (Al-An’am: 121)
3. Hadits Rafi’ bin Khadij radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللهِ عَلَيْهِ فَكُلُوا مَا لَمْ يَكُنْ سِنًّا أَوْ ظُفْرًا، أَمَّا السِّنُّ فَعَظْمٌ وَأَمَّا الظُّفْرُ فَمُدَى الْحَبَشَةِ
“Alat apa saja yang mengalirkan darah (binatang sembelihan) dan dibacakan nama Allah atasnya maka makanlah (sembelihan itu), selama alat itu bukan gigi atau kuku. Adapun gigi, karena gigi adalah tulang. Sedangkan kuku adalah pisau orang Habasyah.” (HR. Al-Bukhari no. 5509 dan Muslim no. 1968)
Dalil-dalil ini menunjukkan bahwa binatang yang halal untuk dimakan adalah yang disembelih dengan membaca tasmiyah atasnya, dan bahwa binatang yang disembelih tanpa membaca tasmiyah atasnya adalah haram untuk dimakan, dan memakannya adalah kefasikan, tanpa membedakan apakah tidak membaca tasmiyah dengan sengaja atau tidak sengaja.
Ini adalah salah satu riwayat dari Al-Imam Ahmad rahimahullahu yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu, sebagaimana dalam Majmu’ Fatawa (35/239-240), Al-’Allamah Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu dalam Asy-Syarhul Mumti’ (7/481, 484-485), dan guru kami Al-’Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullahu dalam Ijabatus Sa’il (hal 668).1
Berdasarkan hal ini, jika seseorang mengetahui bahwa binatang itu adalah bangkai atau disembelih tanpa membaca tasmiyah atasnya, maka tidak boleh baginya untuk memakan daging tersebut.
Adapun ketidaktahuan kita akan proses penyembelihan yang dilakukan oleh saudara kita sesama muslim, apakah dia membaca tasmiyah atau tidak, apakah daging itu sembelihan atau bangkai, tidak menghalangi kita untuk membeli dan memakannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata dalam Majmu’ Fatawa (35/240): “Namun jika seseorang mendapatkan daging hasil sembelihan orang lain, boleh baginya untuk memakannya dengan menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta’ala atasnya, dengan dasar membawa (menganggap) amalan kaum muslimin kepada amalan yang sah dan selamat dari kesalahan yang membatalkannya. Sebagaimana telah tsabit (tetap) dalam Ash-Shahih2:
أَنَّ قَوْمًا قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ نَاسًا حَدِيثِي عَهْدٍ بِالْإِسْلَامِ يَأْتُونَنَا بِاللَّحْمِ وَلَا نَدْرِي أَذَكَرُوا اسْمَ اللهِ عَلَيْهِ أَمْ لَمْ يَذْكُرُوا؟ فَقَالَ: سَمُّوا اللهَ عَلَيْهِ وَكُلُوهُ
“Bahwasanya suatu kaum berkata (kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam): ‘Wahai Rasul Allah, sesungguhnya orang-orang yang baru masuk Islam datang dengan membawa daging (untuk kami) sedangkan kami tidak tahu apakah mereka menyebut nama Allah atasnya atau tidak?’ Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Bacalah oleh kalian nama Allah atasnya3, kemudian makanlah’.”
Beliau juga rahimahullahu berkata (35/240): “Akan tetapi jika seseorang tidak mengetahui apakah yang menyembelih menyebut nama Allah atasnya atau tidak, maka boleh baginya untuk memakan daging sembelihan itu. Jika dia yakin (mengetahui) bahwa tidak dibacakan nama Allah atasnya, maka janganlah dia memakannya.”
Semakna dengan ini penjelasan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu dalam Asy-Syarhul Mumti’ (7/481-482) setelah menyebutkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha di atas: “Hal ini karena seseorang dituntut untuk membenarkan amalan yang dilakukannya. Bukan dituntut untuk mengurusi sah tidaknya amalan orang lain. Karena suatu amalan bila dikerjakan oleh ahlinya maka hukum asalnya adalah bahwa amalan itu sah dan selamat dari kesalahan yang membatalkannya. Jadi, kita mengatakan: ‘Janganlah kalian memakan binatang yang tidak dibacakan nama Allah atasnya’, dan jika kita memakan daging yang tidak dibacakan nama Allah atas penyembelihannya dalam keadaan lupa atau tidak tahu akan hal itu, maka kita tidak berdosa, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا
“Wahai Rabb kami, janganlah Engkau menghukum kami jika kami lupa atau melakukan kesalahan tanpa sengaja.” (Al-Baqarah: 286)
Namun jika kita mengetahui bahwa sembelihan ini tidak dibacakan nama Allah atasnya, maka tidak boleh bagi kita untuk memakannya.”
Begitu pula fatwa Al-’Allamah Muqbil Al-Wadi’i dalam Ijabatus Sa’il (hal 668) setelah menyebutkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha “Kita mengatakan bahwa maksud hadits ini adalah jika seorang muslim menyembelih binatang dan menghadiahkan dagingnya kepadamu, sedangkan engkau tidak tahu apakah dia membaca tasmiyah atas penyembelihannya atau tidak, maka hukum asal pada diri seorang muslim adalah membaca tasmiyah. Namun jika engkau yakin bahwa dia tidak membaca tasmiyah, maka yang zhahir (nampak) -dalam permasalahan ini- engkau tidak boleh memakannya. Barangsiapa meninggalkan sesuatu karena Allah Subhanahu wa Ta’ala niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberi ganti yang lebih baik, wallahul musta’an”.
Demikian pula fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah dalam Fatawa Al-Lajnah (22/367) setelah menyebutkan hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha di atas: “Hadits ini menunjukkan bahwa jika seorang muslim menyembelih binatang maka amalannya dibawa kepada penyembelihan yang dilakukan dengan menyebut nama Allah, meskipun masuk Islamnya belum lama, dalam rangka berbaik sangka kepadanya. Maka halal bagi seseorang untuk makan daging sembelihannya dan jangan membebani diri untuk menyelidiki proses penyembelihannya, apakah dia menyebut nama Allah atau tidak. Yang disyariatkan baginya hanyalah semata-mata menyebut nama Allah ketika hendak memakannya, dalam rangka melaksanakan syariat yang dibebankan ketika hendak makan. Tanpa mencari tahu tentang penyebutan nama Allah atasnya saat penyembelihan.”
Tersisa satu permasalahan terkait dengan hal ini. Yaitu apabila tersebar informasi bahwa sebagian daging yang dijual di pasar adalah bangkai atau daging yang proses penyembelihannya tidak syar’i dan tidak ada kejelasan/kepastian tentang kebenaran informasi itu sehingga tidak meyakinkan. Namun bagi sebagian orang, informasi itu kuat sehingga menjadi syubhat dan menimbulkan prasangka kuat pada diri mereka bahwa hal itu benar. Maka wajib atas mereka untuk bertanya dan meminta informasi yang jelas dan tepercaya ketika hendak membeli daging agar mendapatkan daging yang benar-benar diyakini halal. Hal ini dalam rangka mengamalkan hadits:
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ
“Tinggalkanlah apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu.” (HR. At-Tirmidzi, An-Nasa`i, Al-Hakim dan yang lainnya, dari Al-Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhu dishahihkan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa` (1/44) dan Al-Wadi’i dalam Ash-Shahihul Musnad (1/222).
Yang serupa dengan ini adalah fatwa Al-’Allamah Al-Albani rahimahullahu ketika ditanya tentang suatu negeri yang dikenal mengimpor daging-daging sembelihan dari Eropa4, yang diduga kuat bahwa proses penyembelihannya tidak syar’i, sedangkan daging-daging itu dijual di pasar bercampur dengan daging-daging sembelihan lokal yang syar’i, tanpa bisa dibedakan antara yang satu dengan yang lain. Apakah wajib atas seorang muslim untuk menanyakan sumber pengambilan daging yang hendak dibelinya kepada pihak yang tepercaya?
Beliau rahimahullahu menjawab: “Selama ada prasangka kuat –sebagaimana disebutkan dalam pertanyaan– bahwa daging-daging itu tidak disembelih dengan proses penyembelihan yang syar’i, maka wajib atasnya untuk bertanya. Demikian pula, dibangun atasnya hukum tidak memenuhi undangan makan apabila diundang untuk menghadiri jamuan yang menyajikan daging seperti ini. Bahkan tidak boleh menghadirinya. Bertanya yang tidak disyariatkan sehingga tidak disukai –sebagaimana ditunjukkan oleh sebagian atsar– adalah yang dipicu oleh rasa was-was5. Adapun bertanya yang didasari oleh prasangka kuat bahwa daging itu bukan sembelihan yang halal menurut syariat, karena bukan sembelihan kaum muslimin, maka tidak termasuk was-was. Melainkan termasuk dalam bab pengamalan hadits:
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ
“Tinggalkanlah apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu.”
Lihat Al-Hawi min Fatawa Al-Albani (hal. 370-371).
Al-Lajnah Ad-Da`imah juga dimintai fatwa tentang daging-daging sembelihan yang diimpor oleh negara Arab Saudi dari negara-negara kafir dari jenis Ahli Kitab, karena tersebar isu bahwa proses penyembelihannya tidak syar’i.
Al-Lajnah Ad-Da`imah menjelaskan bahwa hukum asal sembelihan kaum muslimin dan ahli kitab (Yahudi dan Nashara) adalah halal, kecuali jika ada alasan yang tsabit (tetap) yang menggesernya dari hukum asal menjadi haram. Sedangkan informasi yang tersiar mengenai status daging-daging sembelihan itu masih tetap saja simpang siur tanpa ada kejelasan yang meyakinkan. Sehingga pihak Kementerian Perdagangan Kerajaan Arab Saudi masih tetap mengingkari dengan keras isu yang tersiar bahwa daging-daging itu adalah hasil penyembelihan yang tidak syar’i.
Kemudian Al-Lajnah Da’imah berkata: “Berdasarkan hal ini, isu yang tersiar itu tidak cukup sebagai alasan untuk mengubah hukum makanan-makanan impor tersebut dari hukum asalnya, yaitu halal menjadi haram. Adapun daging-daging yang diimpor dari negara-negara komunis dan semacamnya dari kalangan bangsa-bangsa kafir selain kaum muslimin dan ahli kitab, maka hukumnya adalah haram. Karena sembelihan-sembelihan mereka statusnya bangkai.
Meskipun demikian, barangsiapa meragukan kehalalan makanan-makanan impor tersebut hendaklah dia meninggalkannya (tidak mengonsumsinya) dalam rangka berhati-hati dan mengamalkan hadits:
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ
“Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu.”
Lihat Fatawa Al-Lajnah (22/400-402).
Wallahu a’lam.
1 Pendapat yang lain mengatakan apabila lupa membaca tasmiyah maka sembelihannya sah dan halal untuk dimakan -pen.
2 Yaitu Shahih Al-Bukhari no. 2057 dan 5507.
3 Yaitu membaca ‘Bismillah’ -pen.
4 Mayoritas mereka adalah kaum kafir dari kalangan ahli kitab. Apabila proses penyembelihan yang mereka lakukan sesuai dengan syarat-syarat syar’i penyembelihan, maka sembelihan mereka halal berdasarkan keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ
“Dan sembelihan orang-orang yang diberi kitab (Ahli Kitab) halal bagi kalian.” (Al-Ma`idah: 5)
Hukum asal sembelihan mereka adalaha halal seperti halnya sembelihan kaum muslimin. Kecuali jika diketahui bahwa sembelihan mereka tidak memenuhi syarat-syarat syar’i penyembelihan, maka sembelihan itu berstatus bangkai yang haram dikonsumsi. Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah (22/397) dan Asy-Syarhul Mumti’ (7/488-490) –pen
Perbedaan Adalah Rahmat?
Pertanyaan: Di antara manusia ada yang mengatakan bahwa perbedaan adalah rahmat?
Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullahu menjawab:
Perbedaan (ikhtilaf) ada tiga macam:
1. Ikhtilaf al-afham (perbedaan pemahaman)
Para shababat pernah mengalami perbedaan yang seperti ini. Bahkan ‘Adi bin Hatim radhiyallahu ‘anhu tetap makan (sahur) hingga jelas baginya perbedaan antara benang yang putih dengan benang yang hitam. Dia menaruh di bawah bantalnya, benang putih dan benang hitam, dan tetap makan (sahur), berdasarkan apa yang dia pahami dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam.” (Al-Baqarah: 187)
Sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan ayat:
مِنَ الْفَجْرِ
“Yaitu fajar.” (Al-Baqarah: 187)
Ikhtilaful afham insya Allah tidak mengapa. Bahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada ‘Adi bin Hatim radhiyallahu ‘anhu:
إِنَّ وِسَادَكَ لَعَرِيضٌ
“Sesungguhnya bantalmu lebar.”
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengatakan kepadanya: “Ulangilah (puasamu) pada hari-hari yang engkau makan (sahur setelah lewatnya fajar).”
2. Ikhtilaf tanawwu’ (perbedaan/ keanekaragaman tata cara)
Yakni, diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ada beberapa macam cara/ bacaan tasyahud dalam shalat, juga ada beberapa macam bacaan shalawat atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ikhtilaf jenis ini, kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tidak ada yang mengingkarinya kecuali orang yang jahil (bodoh). Dan keadaannya memang seperti yang beliau rahimahullahu katakan, tidak ada yang mengingkarinya kecuali orang yang jahil.
3. Ikhtilaf tadhad (perbedaan kontradiktif)
Apa itu ikhtilaf tadhad? Yaitu seseorang menyelisihi suatu dalil yang jelas, tanpa alasan. Inilah yang diingkari oleh para salaf, yaitu menyelisihi dalil yang shahih dan jelas tanpa alasan.
Adapun hadits yang menjadi sandaran mereka yaitu:
اخْتِلَافُ أُمَّتِي رَحْمَةٌ
“Perbedaan umatku adalah rahmat.”
Ini adalah hadits yang tidak ada sanad dan matannya. Munqathi’ (terputus sanadnya) kata As-Suyuthi rahimahullahu dalam kitabnya Al-Jami’ Ash-Shaghir. Beliau rahimahullahu juga berkata: “Mungkin saja ada sanadnya, yang tidak kita ketahui.”
Namun hal ini akan berakibat tersia-siakannya sebagian syariat, sebagaimana dikatakan Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu.
Adapun tentang matan hadits ini, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
وَلاَ يَزَالُوْنَ مُخْتَلِفِيْنَ. إِلاَّ مَنْ رَّحِمَ رَبُّكَ
“Tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orang yang dirahmati Rabbmu.” (Hud: 118-119)
Mafhum dari ayat yang mulia ini, bahwa orang-orang yang dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah berselisih. Sedangkan orang-orang yang tidak dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala akan berselisih.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda sebagaimana dalam Ash-Shahihain dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
ذَرُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلَافُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ
“Biarkanlah aku dan apa yang aku tinggalkan untuk kalian. Hanyalah yang membinasakan orang-orang yang sebelum kalian adalah banyaknya mereka bertanya, dan banyaknya penyelisihan terhadap nabi-nabi mereka.”
Ini merupakan dalil bahwa ikhtilaf (perselisihan/perbedaan) adalah kebinasaan, bukan rahmat.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda sebagaimana dalam Shahih Al-Bukhari dari hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, di mana Ibnu Mas’ud dan salah seorang temannya berselisih tentang qira`ah (bacaan Al-Qur`an):
لَا تَخْتَلِفُوا كَمَا اخْتَلَفَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ فَتَهْلِكُوا كَمَا هَلَكُوا
“Janganlah kalian berselisih sebagaimana orang-orang sebelum kalian telah berselisih, sehingga kalian binasa sebagaimana mereka telah binasa.”
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda sebagaimana dalam Shahih Muslim dari hadits An-Nu’man bin Basyir c:
اسْتَوُوا وَلَا تَخْتَلِفُوا فَتَخْتَلِفَ قُلُوبُكُمْ
“Luruskan (shaf kalian), dan janganlah berselisih, sehingga hati-hati kalian akan berselisih.”
Dalam sebuah riwayat:
لَا تَخْتَلِفُوا فَتَخْتَلِفَ وُجُوهُكُمْ
“Janganlah kalian berselisih, sehingga akan berselisihlah wajah-wajah kalian.”
Dalam Musnad Al-Imam Ahmad, Sunan Abu Dawud, dari hadits Abu Tsa’labah Al-Khusyani radhiyallahu ‘anhu, disebutkan ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat para shahabatnya berpencar. Mereka singgah di sebuah lembah, lalu setiap kelompok pergi ke tempat masing-masing. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ تَفَرُّقَكُمْ هَذَا مِنَ الشَّيْطَانِ
“Sesungguhnya bercerai-berainya kalian ini adalah dari setan.”
Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka untuk berkumpul. Bila hal ini (terjadi) dalam tercerai-berainya fisik, maka apa sangkaanmu terhadap tercerai-berainya hati? Hadits-hadits tentang hal ini banyak sekali. Saya telah mengumpulkan sebagiannya dalam tulisan pendek yang berjudul Nashihati li Ahlus Sunnah dan telah tercantum dalam Hadzihi Da’watuna wa ‘Aqidatuna.
Yang saya inginkan dari penjelasan ini, bahwa ikhtilaf termasuk kebinasaan. Hanya saja ikhtilaf yang mana? Yaitu ikhtilaf tadhad yang dahulu diingkari oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat. Ikhtilaf tadhad (misalnya):
– Disebutkan dalam Shahih Muslim dari hadits Salamah ibnul Akwa’, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seseorang makan dengan tangan kirinya. Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya: “Makanlah dengan tangan kanan.” Orang itu menjawab: “Aku tidak bisa.” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda lagi: “Engkau tidak akan bisa.” Maka orang itu tidak bisa mengangkat tangannya ke mulutnya. Tidak ada yang menghalanginya kecuali kesombongan.
– Dalam Ash-Shahih dari hadits Abu Hurairah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk menjenguk seorang lelaki tua yang sedang sakit. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya: “Thahur (Sakit ini sebagai penyuci).” Namun lelaki tua itu justru berkata: “Demam yang hebat, menimpa seorang lelaki tua, yang akan mengantarnya ke kubur.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab: “Kalau begitu, benar.”
Akhirnya dia terhalangi dari barakah doa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
– Juga kisah seorang laki-laki yang telah kita sebutkan. Yaitu ketika ada dua orang wanita berkelahi, lalu salah seorang memukul perut yang lain, sehingga gugurlah janinnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan agar wanita yang memukul membayar diyat berupa seorang budak. Maka datanglah Haml bin Malik An-Nabighah dan berkata: “Wahai Rasulullah, bagaimana kami membayar diyat (atas kematian seseorang) yang tidak makan dan tidak minum, tidak bicara tidak pula menangis –atau kalimat yang semakna dengan ini–, yang seperti ini tidak dituntut diyatnya.” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam marah, karena lelaki itu hendak membatalkan hukum Allah dengan sajaknya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
إِنَّمَا هَذَا مِنْ إِخْوَانِ الْكُهَّانِ
“Orang ini termasuk teman-teman para dukun.”
Yaitu karena sajaknya.
Adapun pengingkaran para ulama terhadap orang yang menolak Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan akalnya, merupakan perkara yang kesempatan ini tidaklah cukup untuk menyebutkannya. Saya telah menyebutkan sebagiannya dalam akhir risalah Syar’iyyatu Ash-Shalati bin Ni’al, juga dalam Rudud Ahlil ‘Ilmi ‘ala Ath-Tha’inin fi Hadits As-Sihr.
Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
(Diambil dari Ijabatus Sa`il, hal. 518-521)