Darussalaf
Darussalaf oleh Admin

hizbut tahrir mu’tazilah gaya baru

12 tahun yang lalu
baca 30 menit

Pada suatu kesempatan ada dua pertanyaan yang keduanya bertemu pada satu titik berkenaan dengan Hizbut Tahrir (selanjutnya disingkat HT).

Pertanyaan Yang Pertama :
Saya banyak membaca tentang Hizbut Tahrir dan saya kagum terhadap banyak pemikiran-pemikiran mereka, saya ingin Anda menjelaskan atau memberikan faedah pada kami dengan penjelasan yang ringkas tentang Hizbut Tahrir ini.

Pertanyaan Yang Kedua :
Sehubungan dengan permasalahan-permasalahan tadi akan tetapi si penanya menghendaki dariku penjelasan yang sangat luas tentang Hizbut Tahrir, sasaran, atau tujuan-tujuannya, serta pemikiran-pemikirannya, dan apakah semua sisi negatifnya merembet ke dalam permasalahan akidah?

Saya (Syaikh Al Albani) menjawab atas dua pertanyaan tadi :
Golongan atau kelompok atau perkumpulan atau jamaah apa saja dari perkumpulan Islamiyah, selama mereka semua tidak berdiri di atas Kitabullah (Al Qur’an) dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam serta di atas manhaj (jalan/cara) Salafus Shalih, maka dia (golongan itu) berada dalam kesesatan yang nyata! Tidak diragukan lagi bahwasanya golongan (hizb) apa saja yang tidak berdiri di atas tiga dasar ini (Al Qur’an, Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan Manhaj Shalafus Shalih) maka akan berakibat atau membawa kerugian pada akhirnya walaupun mereka itu (dalam dakwahnya) ikhlas.

Pembahasan saya kali ini tentang golongan-golongan Islamiyah yang mereka semua harus ikhlas kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan menginginkan nasehat kebaikan bagi umat sebagaimana dalam hadits yang shahih :
“Agama itu adalah nasehat”, kami (para shahabat) berkata : “Bagi siapa ya Rasulullah?” (Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) bersabda : “Bagi Allah dan bagi Kitab-Nya, bagi Rasul-Nya, bagi Imam-Imam kaum Muslimin, dan mereka (kaum Muslimin) pada umumnya.” (Imam Muslim menyendiri dalam lafadz hadits hadits ini dari hadits Tamim Ad Dari)

Karena Allah telah berfirman dalam Al Qur’an tentang permasalahan ini :
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (QS. Al Ankabut : 69)
Maka barangsiapa yang jihadnya karena Allah ‘Azza wa Jalla dan berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam serta di atas manhaj Salafus Shalih merekalah orang-orang yang dimaksud dalam ayat :
“Jika kamu menolong (agama) Allah niscaya Dia akan menolongmu.” (QS. Muhammad : 7)

Manhaj Salafus Shalih ini adalah dasar yang agung maka dakwah setiap golongan kaum Muslimin harus berada di atasnya. Berdasarkan pengetahuan saya, setiap golongan atau kelompok yang ada di muka bumi Islam ini, saya berpendapat sesungguhnya mereka semua tidaklah berdakwah pada dasar yang ketiga, sementara dasar yang ketiga ini adalah pondasi yang kokoh. Mereka hanya menyeru kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam saja, di sisi lain mereka tidak menyeru (berdakwah) pada manhaj Salafus Shalih kecuali hanya satu jamaah saja. Dan saya (Al Albani) tidak menyebut satu jamaah tadi sebuah hizb (sekte) karena mereka tidak berkelompok dan tidak berpecah belah serta tidak fanatik kecuali kepada Kitabullah, Sunnah Rasul, dan manhaj Salafus Shalih, dan sungguh saya tahu persis tentang hal ini.

Dan akan lebih jelas bagi kita semua betapa pentingnya dasar yang ketiga ini dalam kaitannya dengan nash syar’i yang dinukil dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam baik yang berhubungan dengan Al Qur’an maupun As Sunnah. Pada kenyataannya, jamaah-jamaah Islamiyah sekarang ini, demikian pula kelompok-kelompok Islamiyah sejak awal munculnya penyimpangan terus merajalela serta menampakkan taringnya di antara jamaah-jamaah Islamiyah yang pertama (yaitu mulai timbulnya Khawarij) pada masa Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, kemudian sejak mulainya Jaad bin Dirham mendakwahkan (pemikiran) Mu’tazilah dan sejak munculnya firqah-firqah yang dikenal nama-namanya di zaman dulu serta berhubungan dengan wajah-wajah baru di zaman sekarang dengan nama-nama yang baru pula. Mereka itu baik yang dulu maupun yang sekarang tidak terdapat padanya perbedaan, tak satupun di antara mereka yang menyatakan dan mengumandangkan bahwasanya mereka di atas manhaj Salafus Shalih.

Semua kelompok-kelompok ini dengan perselisihan yang ada pada mereka, baik dalam masalah akidah, dasar-dasar atau permasalahan-permasalahan hukum dan furu’ (cabang-cabang), semuanya menyatakan berada di atas Kitab dan Sunnah, akan tetapi mereka berbeda dengan kita, karena mereka tidak mengatakan apa yang kita katakan, yang perkataan itu merupakan kesempurnaan dakwah kita. Yakni (perkataan) berada di atas manhaj Salafus Shalih. Maka atas dasar ini, siapa yang menghukumi golongan-golongan ini, yang mereka semua ber-intima’ (menisbatkan diri) walaupun minimal secara perkataan bahwa dakwahnya di atas Kitab dan Sunnah, dan bagaimana hukum yang pasti (tentang mereka), karena mereka semua mengatakan dengan perkataan yang sama?

Jawabannya, tidak ada jalan untuk menghukumi golongan-golongan di antara mereka bahwa mereka di atas yang haq (benar), kecuali apabila dibangun di atas manhaj Salafus Shalih. Sekarang pada diri kita timbul satu pertanyaan : “Dari mana (atas dasar apa, pent.) kita mendatangkan manhaj Salafus Shalih?”

Jawabannya, sesungguhnya kita mendatangkan dasar yang ketiga ini dari Kitabullah dan hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan sebagaimana yang telah ditempuh oleh Imam-Imam Salaf dari kalangan shahabat dan yang mengikuti mereka dengan baik dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah seperti halnya yang mereka katakan saat ini. Dalil yang pertama adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan selain jalannya orang-orang Mukmin, Kami palingkan dia kemana dia berpaling dan Kami masukkan dia ke dalam Jahanam. Dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An Nisa’ : 115)

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala ((“Dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin”)) dihubungkan dengan firman Allah ((“Dan barangsiapa menentang Rasul”)). Maka seandainya ayat ini berbunyi ((“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, Kami palingkan dia kemana dia berpaling dan Kami masukkan dia ke dalam Jahanam. Dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali”)) yakni tanpa firman Allah Subhanahu wa Ta’ala ((“Dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin”)) niscaya ayat ini menunjukkan kebenaran dakwah golongan-golongan dari kelompok-kelompok tadi baik yang di zaman dahulu maupun yang sekarang ini, karena mereka mengatakan kami di atas Kitab dan Sunnah. Mereka tidak mengembalikan permasalahan-permasalahan yang mereka perselisihkan kepada Kitab dan Sunnah, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“ … kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul-Nya (As Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa : 59)

Apabila Anda mengajak (berdakwah) kepada salah satu dari jumhur ulama mereka dan salah satu dari da’i mereka kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, maka mereka akan berkata, “Saya mengikuti madzhabku”, yang lain menyatakan, “madzhabku adalah Hanafi”, yang lain menyatakan, “madzhabku adalah Syafi’i”, dan seterusnya.
Mereka taqlid kepada Imam-Imam mereka sebagaimana mereka mengikuti Kitabullah dan Sunnah Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Maka apakah benar mereka mengamalkan ayat ini? Tidak sama sekali dan sekali-kali tidak. Oleh sebab itu apa faedahnya pengakuan mereka bahwasanya mereka di atas Kitab dan Sunnah selama mereka tidak mengamalkan keduanya. Dari contoh ini, tidaklah saya menghendaki untuk orang-orang yang taqlid (awam, pent.) dari mereka, akan tetapi yang aku kehendaki dengannya adalah para da’i Islam yang seharusnya tidak menjadi orang yang taqlid belaka, yang mengutamakan pendapat para Imam yang tidak ma’shum keadaannya.

Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah menyebutkan kalimat di pertengahan ayat tadi secara sia-sia, hanya saja Allah Subhanahu wa Ta’ala menginginkan dengannya menanamkan satu pokok yang sangat penting, suatu patokan yang sangat kokoh yaitu tidak boleh kita semata-mata bersandar pada akal dalam memahami Kitab Allah (Al Qur’an) dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Kaum Muslimin hanyalah dikatakan mengikuti Al Qur’an dan As Sunnah baik secara pokok-pokoknya dan patokan-patokannya, apabila di samping berpegang pada Al Qur’an dan Sunnah, mereka juga berpegang dengan apa yang ditempuh oleh Salafus Shalih. Karena ayat di atas mengandung nash yang jelas tentang dilarangnya kita menyelisihi jalannya para shahabat.

Artinya wajib bagi kita mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan tidak menyelisihi (menentang) beliau, demikian pula wajib bagi kita untuk mengikuti jalannya kaum Mukminin dan tidak menyimpang darinya. Dari sini kita menyatakan bahwa wajib atas tiap golongan/kelompok/jamaah Islamiyah untuk memperbaharui tolok ukur mereka yakni agar mereka bersandar kepada Al Qur’an dan Sunnah di atas pemahaman Salafus Shalih. Dan sangat kita sayangkan Hizbut Tahrir tidak berdiri di atas dasar yang ketiga, demikian pula Ikhwanul Muslimin dan hizb-hizb Islamiyah lainnya. Sedangkan kelompok-kelompok yang mengumandangkan perang dengan Islam seperti partai Baats dan partai komunis, maka mereka tidak (masuk) dalam pembicaraan kita sekarang ini.

Oleh karena itu seyogyanya seorang Muslim dan Muslimah hendaknya mengetahui bahwa suatu garis kalau sudah bengkok pada awalnya (pangkalnya) maka akan semakin jauh dari garis yang lurus. Dan setiap ia melangkahkan kakinya akan semakin bertambahlah penyelewengannya. Maka jelas yang lurus adalah sebagaimana yang disebutkan Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam ayat Al Qur’an :
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan jangan kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu menceraiberaikan kamu dari jalan-Nya.” (QS. Al An’am : 153)

Ayat yang mulia ini jelas Qath’iyyatul Ad Dalalah (pasti penunjukkan) sebagaimana disukai dan biasa diucapkan oleh Hizbut Tahrir dan sekte-sekte lain dalam dakwahnya, tulisan-tulisan dan khutbah-khutbahnya. Dalil yang Qath’iyyatul Ad Dalalah (pasti penunjukkan), karena ayat ini menyatakan : “Sesungguhnya jalan yang bisa menuju pada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah satu, dan jalan-jalan yang lain adalah jalan-jalan yang menjauhkan kaum Muslimin dari jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam juga menambahkan keterangan dan penjelasan terhadap ayat ini sebagaimana keberadaan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam itu sendiri (menjelaskan dan menerangkan Al Qur’an, pent.). Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan dalam Al Qur’anul Karim kepada Nabi-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.” (QS. An Nahl : 44)

Sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam adalah penjelas yang sempurna terhadap Al Qur’an, sedangkan Al Qur’an adalah asal peraturan/undang-undang dalam Islam. Untuk memperjelas suatu permasalahan pada kita agar lebih mudah untuk dipahami, saya (Syaikh Al Albani) berkata : “Al Qur’an bila diibaratkan dengan sistem peraturan buatan manusia adalah seperti undang-undang dasar dan As Sunnah bila diibaratkan dengan sistem peraturan buatan manusia adalah seperti penjelasan terhadap undang-undang dasar tersebut.”

Oleh sebab itu sudah menjadi kesepakatan di kalangan kaum Muslimin, yang pasti bahwa tidak mungkin bisa memahami Al Qur’an kecuali dengan penjelasan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan ini adalah perkara yang telah disepakati. Akan tetapi sesuatu yang diperselisihkan kaum Muslimin sehingga menimbulkan berbagai pengaruh setelahnya yaitu bahwa semua firqah sesat dahulu tidak mau memperhatikan dasar yang ketiga ini yaitu mengikuti Salafus Shalih, maka mereka menyelisihi ayat yang aku sebutkan berulang-ulang :
“ … dan mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang Mukmin.” (QS. An Nisa : 115)

Mereka menyelisihi jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah satu yaitu sebagaimana yang disebut dalam ayat terdahulu :
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan jangan kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu menceraiberaikan kamu dari jalan-Nya.” (QS. Al An’am : 153)

Saya (Syaikh Al Albani) berpendapat, sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menambahkan penjelasan dan keterangan pada ayat ini dari riwayat salah seorang shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang terkenal faqih (fahamnya terhadap dien) yaitu Abdullah Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu ketika beliau mengatakan :
Pada suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam membuat satu garis untuk kami, sebuah garis lurus dengan tangan beliau di tanah, kemudian beliau menggaris disekitar garis lurus itu garis-garis pendek. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengisyaratkan (menunjuk) pada garis yang lurus dan beliau membaca ayat (yang artinya : “Dan bahwa (yang Kami perintah) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan jangan kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu menceraiberaikan kamu dari jalan-Nya”.
Bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam sambil menunjuk jarinya pada garis lurus, “ini adalah jalan Allah”, kemudian menunjuk pada garis-garis yang pendek di sekitarnya (kanan-kirinya) dan bersabda, “ini adalah jalan-jalan dan pada setiap pangkal jalan itu ada syaithan yang menyeru manusia padanya.”
Hadits ini ditafsirkan dengan hadits lain yang telah diriwayatkan oleh Ahlus Sunan seperti Abu Dawud, Tirmidzi, dan selain dari keduanya dari Imam-Imam Ahlul Hadits dengan jalan yang banyak dari kalangan para shahabat seperti Abu Hurairah, Muawiyah, Anas bin Malik, dan yang selainnya dengan sanad yang jayyid. Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Yahudi terpecah menjadi 71 golongan, dan Nashrani telah terpecah menjadi 72 golongan, dan sesungguhnya umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya ada di neraka kecuali satu. Maka mereka (para shahabat) bertanya : “Siapa dia ya Rasulullah?” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Dia adalah apa yang aku dan shahabatku berada di atasnya.”
Hadits ini menjelaskan kepada kita jalannya kaum Mukminin yang disebut dalam ayat tadi.

Siapakah orang-orang Mukmin yang disebutkan dalam ayat itu? Meraka itulah yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pada hadits Al Firaq, ketika beliau ditanya tentang Firqatun Najiah (golongan yang selamat), manhaj, sifat, dan titik tolaknya. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menjawab, “apa yang aku dan para shahabatku berada di atasnya.” Maka jawaban ini wajib diperhatikan, karena merupakan jawaban dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Jika bukan wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta’ala maka itu adalah tafsir dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam terhadap jalannya orang-orang Mukmin yang terdapat pada firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Dan barangsiapa yang menentang Rasulullah sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin.”
Pada ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan tentang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan jalannya orang-orang Mukmin. Sementara itu (dalam hadits, pent.) Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menyebutkan tanda Firqatun Najiah yang tidak termasuk 72 golongan yang binasa. Sesungguhnya Firqatun Najiah adalah golongan yang berdiri di atas apa yang ada pada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan para shahabat. Maka pada hadits ini kita akan dapati apa yang kita dapati pula dalam ayat.

Sebagaimana ayat tidak membatasi penyebutan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam saja, demikian pula hadits tidak membatasi penyebutan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam saja. Di samping itu ayat juga menyebutkan jalannya orang-orang Mukmin demikian pula dalam hadits terdapat penyebutan “shahabat Nabi” maka bertemulah hadits dengan Al Qur’an. Oleh sebab itu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Aku tinggalkan bagi kalian dua perkara, yang kalian tidak akan tersesat selama berpegang teguh dengan keduanya, yakni Kitabullah dan Sunnahku dan tidaklah terpisah keduanya (Al Qur’an dan As Sunnah) sampai keduanya datang kepadaku di Haudl.” (Diriwayatkan oleh Malik dalam Muwatha’-nya, Al Hakim dalam Mustadrak-nya dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ hadits nomor 2937)

Banyak golongan-golongan terdahulu maupun sekarang yang tidak berdiri di atas dasar yang ketiga ini sebagaimana yang disebutkan di dalam Al Qur’an dan Hadits. Pada hadits di atas disebutkan tanda golongan yang selamat yaitu yang berada di atas apa yang ada pada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan para shahabatnya. Semakna dengan hadits ini adalah hadits Irbadl ibn Sariyyah radhiallahu ‘anhu yang termasuk salah satu shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dari kalangan Ahlus Shufah, yakni mereka dari kalangan fuqara’ yang tetap berada di Masjid dan menghadiri halaqah-halaqah (majelis taklim) Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam secara langsung dan bersih. Berkata Irbadl ibn Sariyyah radhiallahu ‘anhu :
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam memberi nasehat kepada kami yang membuat hati kami bergetar dan air mata kami berlinang (karena terharu). Kami berkata : “Ya Rasulullah seakan-akan ini adalah nasehat perpisahan maka berilah kami wasiat.” Maka beliau bersabda : “Aku wasiatkan kepada kamu sekalian untuk tetap bertakwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan senantiasa mendengar dan taat walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak. Barangsiapa hidup (berumur panjang) di antara kalian niscaya dia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu wajib atas kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk (yang datang) sesudahku, gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham kalian, dan jauhilah perkara-perkara baru yang diada-adakan (dalam urusan agama, pent.). Karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu bid’ah. Dan setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan itu di neraka.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi. Berkata Tirmidzi, hadits ini hasan)

Hadits ini merupakan (penguat) bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak membatasi perintahnya kepada umatnya untuk berpegang teguh dengan sunnahnya saja ketika mereka berselisih akan tetapi beliau menjawab dengan uslub/cara bijaksana, dan siapa yang lebih bijaksana dari beliau setelah Allah? Oleh sebab itu tatkala Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Barangsiapa di antara kalian yang hidup (berumur panjang) setelahku maka dia akan melihat perselisihan yang banyak.”
Beliau juga memberikan jawaban dari soal yang mungkin akan muncul (dipertanyakan) : “Apa yang kita lakukan ketika itu wahai Rasulullah?” Maka Rasulullah menjawab : “Wajib atas kalian mengikuti sunnahku.” Dan Rasulullah tidak mencukupkan perintahnya terhadap mereka yang hidup pada waktu terjadi perselisihan dengan hanya mengikuti sunnah beliau, akan tetapi menggabungkannya dengan sabda beliau :
“ … dan sunnahnya Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk.”

Jika demikian halnya, maka seorang Muslim yang menginginkan kebaikan pada dirinya dalam masalah akidah, dia harus kembali pada jalannya orang-orang Mukmin (para shahabat) bersama dengan Kitab (Al Qur’an dan As Sunnah) yang shahih dengan dalil ayat dan hadits Al Firaq (perpecahan) serta hadits dari Irbadl ibn Sariyyah radhiallahu ‘anhu. Inilah kenyataan yang ada dan sangat disesalkan bahwasanya hal ini banyak dilalaikan oleh semua hizbi-hizbi/sekte-sekte Islamiyah masa sekarang ini sebagaimana keberadaan firqah-firqah yang sesat, khususnya kelompok Hizbut Tahrir yang berbeda dengan sekte-sekte lainnya di mana Hizbut Tahrir dalam melaksanakan Islam menggunakan akal manusia sebagai tolok ukurnya.

Telah kita ketahui benar, bahwa tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala mengajak berbicara manusia dengan firman-Nya, Ia hanya berbicara dengan orang-orang yang berakal, yang berilmu, dan orang-orang yang berpikir. Akan tetapi kita tahu bahwasanya akalnya manusia itu berbeda, maka akal tersebut ada dua macam, ada akal orang Muslim, ada pula akal yang kafir. Adapun akal yang kafir itu bukanlah akal, walaupun mungkin akal tadi memiliki kepandaian dan kejeniusan, akan tetapi itu semua tidak menjadikannya sebagai akal, hal ini dikarenakan akal menurut asal bahasa adalah At Tarbiyah yaitu sesuatu yang mengekang pemiliknya dan mengikatnya agar tidak lari ke kanan atau ke kiri. Dan tidak mungkin orang yang berakal tersebut tidak lari ke kanan ke kiri kecuali apabila dalam memahami Kitabullah (Al Qur’an) dan Sunnah dia mengikatnya dengan pemahaman Salaf. Oleh sebab itu Allah ceritakan tentang pengakuan orang-orang kafir dan orang-orang musyrik pada hari kiamat bahwasanya mereka bukanlah orang-orang yang berakal.

Dan mereka berkata : “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya kami tidaklah termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS. Al Mulk : 10)
Mereka mengakui bahwa dulu ketika di dunia bukanlah orang-orang yang berakal, padahal di antara mereka itu ada orang-orang pandai yang mengetahui perkara-perkara yang nampak dari kehidupan dunia sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Mereka hanya mengetahui yang dhahir saja dari kehidupan dunia sedangkan mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (QS. Ar Ruum : 7)

Maka ada dua akal yaitu akal hakiki dan akal majazi, adapun akal hakiki adalah akalnya orang Muslim yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya sedangkan akal majazi adalah akalnya orang kafir yang mereka sendiri mengaku tidak berakal.
“Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya kami tidaklah termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS. Al Mulk : 10)
“ … mereka mempunyai hati tapi tidak digunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah).” (QS. Al A’raf : 179)
Mereka itu memiliki hati tapi tidak mempergunakannya untuk memahami ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka orang-orang kafir itu punya hati akan tetapi mereka tidak berakal dengannya yaitu mereka tidak mempergunakannya untuk memahami al haq (kebenaran). Maka kita telah mengetahui hakikatnya (bahwa orang-orang kafir tidak berakal) dan saya kira tidak ada perselisihan padanya, karena perkara ini sudah jelas dalam Al Qur’an dan Hadits Rasululah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam akan tetapi saya ingin menyambung suatu hakikat menuju hakikat lain yaitu suatu pembahasan sehubungan dengan syahid-syahid (penguat) dalil-dalil ini.

Apabila akal orang kufur bukanlah akal (yang hakiki), maka akal seorang Muslim juga dibagi menjadi dua yakni akal orang yang alim dan akal orang jahil. Maka akal seorang Muslim yang jahil tidak mungkin sama dengan akal seorang Muslim yang alim dalam memahami sesuatu. Oleh sebab itu Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“ … dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” (QS. Al Ankabut : 43)

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman :
“Maka bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An Nahl : 43)
Oleh sebab itu tidak boleh seorang Muslim yang beriman pada Allah dan Rasul-Nya dengan sebenar-benarnya (keimanan) menjadikan akalnya sebagai hakim, akan tetapi akal itu harus tunduk terhadap apa yang difirmankan Allah dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.

Dari sini kita fokuskan tentang dakwahnya Hizbut Tahrir, bahwasanya mereka itu terpengaruh dengan Mu’tazilah. Antara Mu’tazilah dengan Hizbut Tahrir sama dalam Nizham Al Islam (peraturan-peraturan Islam/jalan menuju kekuasaan), dan Thariqul Iman (jalan menuju keimanan), ini merupakan bahasan pokok bagi mereka (Hizbut Tahrir) dalam kitab mereka Nizhamul Islam yang ditulis oleh pimpinan mereka, Taqiyuddin An Nabhani. Dan saya sering bertemu dengannya lebih dari satu kali dan saya benar-benar tahu tentang Hizbut Tahrir. Oleh sebab itu saya akan berbicara di atas ilmu tentang dakwah mereka.

Inilah point pertama, sebagai kritikan atas mereka bahwasanya mereka itu menjadikan akal suatu keistimewaan yang bukan pada semestinya. Saya ulangi di sini bahwasanya saya tidak meniadakan kedudukan akal dalam Islam. Akan tetapi saya tekankan bahwasanya akal tidak bisa menghukumi Al Qur’an dan Sunnah, tetapi justru akal-lah yang harus tunduk pada Al Qur’an dan Sunnah serta khabar dari keduanya. Tidaklah kewajiban akal itu melainkan untuk memahami apa-apa yang datang di dalam Al Qur’an dan Sunnah. Di sini penyimpangan Mu’tazilah zaman dulu yang mereka itu mengingkari banyak sekali hakikat syariat yang besar disebabkan mereka memberi kuasa/kebebasan akal mereka di atas nash-nash Al Qur’an dan Sunnah. Maka mereka menyelewengkan (nash-nash Al Qur’an dan Sunnah), mereka mengganti apa-apa yang ada di dalamnya dan merubahnya, dan mereka meninggalkan/mengabaikan pemahaman ulama Salaf.
Dengan point ini saya ingin menyatukan pandangan pembaca bahwa seyogyanya akal seorang Muslim tunduk pada nash-nash Al Qur’an dan Sunnah dalam memahami keduanya. Maka hakim itu adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, bukan akal manusia. Sebagaimana telah kita sebutkan bahwasanya akal itu berbeda antara yang Muslim dan yang kafir dan berbeda pula antara yang alim dengan yang jahil. Oleh sebab itu Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, –dan tidak apa-apa mengulang-ulang dalil– karena pembahasan ini sedikit sekali dibahas oleh sekian juta dari kaum Muslimin laki-laki lebih-lebih wanita. Oleh sebab itu saya terpaksa mengulang-ulang point dan dalil ini, di antaranya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“ … dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” (QS. Al Ankabut : 43)

Dari sini kita berhenti sejenak, siapakah orang-orang yang berilmu itu? Apakah mereka ulama dari orang-orang kafir? Tidak sama sekali! Kita tidak menghargai mereka karena mereka bukanlah orang-orang yang berakal. Pada hakikatnya mereka itu orang yang cerdas, karena berhasil menemukan kemajuan dalam peradaban dan materi, hal ini sudah terkenal di kalangan umum (menyeluruh). Demikian juga akalnya kaum Muslimin, tentu tidaklah sama akalnya orang alim dengan akalnya orang jahil. Saya mengatakan masalah lain yaitu akal orang-orang alim yang beramal dengan ilmunya. Oleh sebab itu (karena permasalahan akal ini) kaum Mu’tazilah menyeleweng dalam permasalahan ushul (dasar-dasar agama) yang mereka tetapkan, meyelisihi jalan syar’i baik Al Qur’an dan Sunnah dan manhaj Salafus Shalih. Inilah point yang pertama yaitu penyandaran Hizbut Tahrir atas akal yang melebihi kedudukan yang semestinya.

Point yang kedua, adalah cabang dari point yang pertama. Mereka (Hizbut Tahrir) membagi nash-nash Al Qur’an dan Sunnah pada dua bagian dari sisi periwayatan dan dalalah-nya (penunjukkannya). Adapun dari segi periwayatannya, mereka berkata : “Riwayat kadangkala berbentuk Qath’iyyatu Ats Tsubut (jelas dan pasti sumbernya dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) dan kadangkala berbentuk Zhanniyyatu Ad Dalalah (belum jelas penunjukkannya).”

Kita tidak akan mendiskusikan/mendebat istilah ini karena sebagaimana dikatakan : “Tidak ada permasalahan dalam istilah.” Akan tetapi kita akan mendiskusikan dampak yang mereka timbulkan dari istilah ini berupa penyelisihan terhadap apa-apa yang ada pada generasi pertama kaum Muslimin (para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam).

Dari sini tampak bagi kita semua betapa pentingnya Sabilul Mukminin (jalan kaum Mukmin/shahabat) karena hal ini merupakan tolok ukur yang bisa menjaga orang Muslim yang alim, lebih-lebih Muslim yang jahil (bodoh) agar tidak terlepas jauh dari nash Al Qur’an dan Sunnah. Karena kembalinya mereka pada istilah di atas akan menyebabkan mereka berkata bahwa : “Apabila datang nash dalam Al Qur’an dan nash tersebut tidak diragukan lagi, yang menurut istilah terdahulu disebut Qath’iyyatu Ats Tsubut, akan tetapi Zhanniyyatu Ad Dalalah (belum jelas penunjukkannya) maka tidak wajib seorang Muslim menjalankan makna di dalamnya, karena ke-Zhanniyyatu Ad Dalalah-annya. Sehingga (menurut mereka) tidak boleh baginya membangun akidah di atas nash yang Qath’iyyatu Ats Tsubut tetapi Zhanniyyatu Ad Dalalah. Demikian juga sebaliknya, tatkala datang nash Qath’iyyatu Ad Dalalah tetapi tidak Qath’iyyatu Ats Tsubut, sebagaimana hal itu merupakan keberadaan mayoritas hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, maka mereka tidak mau mengambilnya sebagai sandaran akidah.”

Dari sinilah kemudian mereka datang dengan akidah baru yang tidak dikenal oleh Salafus Shalih dan mereka menggunakan istilah tertentu bagi mereka dalam kitab-kitab yang mereka tulis. Hal ini sudah diketahui, maksud saya (Syaikh Albani) adalah kitab-kitab mereka yang dahulu. Karena (belakangan) mereka melakukan perbaikan di dalam akidah dan saya termasuk yang paling tahu dengan ini. Akan tetapi pada kenyataannya hanyalah perbaikan secara teoritis saja, itupun seandainya kita terima teori tersebut, ini menunjukkan bahwasanya mereka goncang hingga dalam permasalahan akidahnya, yakni ketika mereka mengatakan : “Sesungguhnya akidah itu tidak ada kecuali dengan dalil Qath’iyyatu Ats Tsubut dan Qath’iyyatu Ad Dalalah, yakni hadits yang shahih secara riwayat dan tidak bisa dijadikan akidah.”

Maka kita katakan pada mereka permasalahan yang kita diskusikan dan kita debat mereka, dari mana kalian mengatakan akidah (keyakinan) demikian? Dari mana kalian mendatangkan hal ini? Maka mereka kebingungan menjawabnya, pembahsaan ini panjang sekali dan mereka mengambil dalil seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Mereka hanya mengikuti prasangka saja dan apa yang diingini oleh hawa nafsu.” (QS. An Najm : 23)

Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Sesungguhnya prasangka itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran.” (QS. An Najm : 28)
Akan tetapi, pembahasan seperti ini akan mengeluarkan kita dari penjelasan semestinya mengenai apa yang kita ketahui tentang Hizbut Tahrir. Karena mendiskusikan kaidah ini dan menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang ada padanya akan selalu mendapatkan bantahan-bantahan. Di samping itu kaidah mereka tersebut ditegakkan di atas dalil yang tak ubahnya seperti fatamorgana di daerah datar yang disangka ada airnya oleh orang yang haus.
Oleh sebab itu kami anggap cukup apa yang yang telah kami jelaskan tentang akidah mereka yang sesat, yang menyatakan : “Tidak benar seorang Muslim membangun akidahnya di atas hadits shahih yang tidak Qath’iyyatu Ats Tsubut walaupun Qath’iyyatu Ad Dalalah.” Maka darimana mereka mendatangkan hal ini? Tidak ada dalil atasnya baik dari Al Qur’an, Sunnah dan dari Salafus Shalih (Shahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in, dan generasi terdahulu yang shalih). Sebaliknya yang diyakini oleh Salaf bertentangan dengan hal ini.

Firqah ini dibangun oleh sebagian khalaf (generasi akhir), dan mereka itu adalah Mu’tazilah jaman dulu. Dan pengikut mereka di jaman sekarang ini (yang serupa) minimal dalam masalah akidah adalah Hizbut Tahrir (HT)
Saya (Syaikh Albani) berkata : “Setiap kita (tentunya) mengetahui bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tatkala Allah mengutus beliau sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan.” Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman pada Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu, dan jika tidak kamu kerjakan (berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya, Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia.” (QS. Al Maidah : 67)

Dalam menyampaikan risalah-Nya pada manusia kadang-kadang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam melakukannya secara langsung, yaitu beliau menghadiri kajian dan perkumpulan manusia, maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pun berkhutbah dengan mereka secara langsung. Kadang-kadang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengutus utusan dari shahabat pilihannya untuk menyeru pada kaum musyrikin agar mengikuti dakwah Nabi yang mulia. Kadang mengirim surat sebagaimana diketahui dalam sejarah (di antaranya) kepada Heraclius Raja Romawi, kepada Kisra Raja Persia, kepada Al Mauqauqis, serta kepada pemimpin-pemimpin Arab sebagimana dijelaskan dalam kitab-kitab sirah.

Salah satu contoh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengutus Muadz bin Jabbal radhiallahu ‘anhu, Abu Musa Al ‘Asyri radhiallahu ‘anhu, Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu ke negara Yaman, dan mengutus Dihyah Al Kalby radhiallahu ‘anhu ke negara Romawi. Mereka itu adalah personal (sendiri), sehinga kabar mereka itu (kalau menurut kaidah HT, pent.) tidak menyamai kabar Qath’i, karena mereka perorangan. Muadz bin Jabbal radhiallahu ‘anhu di suatu tempat, Abu Musa radhiallahu ‘anhu di tempat lain juga Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu di tempat lain pula. Dan terkadang waktu itu juga berbeda. Disebutkan dalam Shahihain hadits yang dikeluarkan oleh keduanya (Bukhari dan Muslim) dengan sanad yang shahih :
Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengutus Muadz ke negara Yaman, beliau bersabda kepadanya : “Jadikanlah pertama kalinya yang engkau dakwahkan kepada mereka adalah syahadat bahwasanya tidak ada sesembahan (yang benar) kecuali Allah.”
Maka siapa lagi yang ragu dari kalangan Muslimin bahwa syahadat adalah dasar pertama dari Islam, maksudnya akidah yang pertama kali dibangun di atas iman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, dan Rasul-Rasul-Nya ‘Alaihimus Salam.

Sungguh Muadz bin Jabbal radhiallahu ‘anhu telah pergi ke Yaman seorang diri untuk menyampaikan dan menyeru kepada kaum musyrikin agar mereka beriman kepada agama Islam. Muadz menyuruh mereka mendirikan shalat lima waktu sehari semalam, ada yang dua rakaat, empat rakaat, tiga rakaat, dan yang lainnya yang telah kita ketahui secara rinci, serta menyuruh mereka membayar zakat sampai diperinci (kepada) zakat yang berhubungan dengan emas dan perak, yang berhubungan dengan buah-buahan, sapi, onta dan yang lainnya. Pertanyaannya sekarang, apakah hujjah Islam telah ditegakkan atas orang-orang musyrikin dengan diutusnya Muadz bin Jabbal radhiallahu ‘anhu seorang diri oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam?

Sangat disesalkan bahwasanya menurut Hizbut Tahrir hujjah belum ditegakkan atas mereka, karena Muadz radhiallahu ‘anhu seorang diri dan memungkinkan dia dusta sebagaimana yang mereka katakan. Apabila kita mengatakan, jauh kemungkinan dia itu berdusta, maka mereka mengatakan minimal dia (Muadz) keliru dan lupa.
Mereka datang dengan filsafat, bahwasanya kita tidak boleh mengambil hadits shahih sebagai akidah Islamiyah. Jika demikian orang-orang Yaman, ketika Muadz radhiallahu ‘anhu berdakwah kepada mereka dalam masalah akidah, belum tegak hujjah atas mereka, disebabkan Muadz radhiallahu ‘anhu seorang diri sementara itu, penduduk Yaman sebagian mereka adalah penyembah patung, Nashrani, Majusi. Menurut kaidah Hizbut Tahrir, hujjatullah dalam masalah akidah belum ditegakkan atas mereka (penduduk Yaman), adapun dalam masalah ahkam (hukum-hukum), Hizbut Tahrir berpendapat sebagaimana Muslim pada umumnya, (dengan mengatakan) : “Ya, hadits ahad bisa dipakai dalam masalah ahkam syar’iyyah dan tidak bisa dipakai dalam masalah akidah (keyakinan) Islamiyah.”

Muadz radhiallahu ‘anhu di sini berperan sebagai pembawa akidah yang seorang diri dalam Islam secara menyeluruh mencakup (permasalahan) ushul, furu’ (cabang-cabang), aqidah-aqidah, dan hukum-hukum. Maka darimana mereka mendatangkan pemilah-milahan tersebut?
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapakmu mengada-adakannya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk (menyembah) nya.” (QS. An Najm : 23)

Dari sini saya akan mengakhiri pembahasan sehubungan dengan hadits ahad yang ditolak oleh Hizbut Tahrir. Puluhan hadits shahih mereka tolak dengan didasari kaidah yang lemah dan tidak didasari dengan akar yang kokoh, yaitu hadits-hadits ahad tidak bisa dijadikan hujjah dalam masalah akidah.

Da’i Hizbut Tahrir Dipermalukan Muslimin Jepang

Saya akhiri dengan permasalahan berikut, disebutkan bahwasanya salah satu da’i mereka (Hizbut Tahrir) pergi ke Jepang, kemudian memberikan kajian/ceramah pada mereka (penduduk Jepang) yang salah satu materinya adalah tentang jalan atau cara untuk beriman. Di dalamnya (ia mengatakan) bahwasanya hadits ahad tidak bisa dipakai dalam masalah akidah.

Ketika itu hadir seorang pemuda yang berakal cerdik pandai berkata kepada si penceramah tadi : “Wahai Ustadz! Engkau datang ke negeri Jepang sebagai seorang da’i di negeri syirik-kufur seperti yang engkau katakan. Engkau datang menyeru mereka kepada agama Islam dan engkau mengatakan kepada mereka bahwa Islam mengatakan : ‘Sesungguhnya hadits ahad tidak bisa dipakai dalam masalah akidah!’ Padahal yang engkau terangkan kepada kita sesungguhnya adalah termasuk dari perkara akidah, (sementara engkau juga mengatakan) dalam masalah akidah jangan memakai (khabar) dari satu orang. Sedangkan engkau sekarang mendakwahi kami kepada Islam dan engkau seorang diri, maka pantaskah bagimu menurut filsafatmu ini?

Hendaklah engkau kembali ke negerimu kemudian engkau datangkan orang-orang Muslim yang sepertimu, yang mereka berpendapat seperti pendapatmu sehingga khabarmu menjadi mutawatir.” Maka tercenganglah si penceramah tadi.
Ini adalah salah satu dari sekian banyak contoh yang menunjukkan dampak negatif orang yang menyelisihi manhaj Salafus Shalih. Dalam Shahih Bukhari telah datang hadits dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
Apabila salah seorang di antara kalian duduk pada tasyahud akhir (terakhir) maka mintalah perlindungan pada Allah dari empat perkara : “Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung pada-Mu dari siksa Jahanam, siksa kubur, fitnah hidup dan kematian, dan dari jeleknya fitnah masihiddajjal.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan An Nasa’i dengan sanad shahih)

Hadits ini adalah salah satu dari hadits-hadits ahad akan tetapi menurut filsafatnya Hizbut Tahrir adalah hadits yang aneh dan asing. Karena (dalam hadits ini) satu segi mengandung hukum syar’i yang menurut Hizbut Tahrir dalam menetapkan hukum syar’i boleh/bisa menggunakan hadits ahad, di sisi lain mengandung permasalahan akidah (yang sebagaimana biasa, mereka akan menolak menggunakannya sebagai sandaran). Di sana disebutkan tentang siksa kubur dan fitnah Dajjal yang besar yang telah diriwayatkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dengan hadits-hadits yang banyak. Salah satunya adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“Di antara penciptaan Adam dan Hari Akhir akan muncul fitnah atas umatku yang lebih berbahaya daripada Dajjal.” (HR. Ahmad, Muslim, dan Al Hakim)

Mereka (Hizbut Tahrir) tidak meyakini adanya Dajjal ini, karena mereka menganggap ini bukanlah hadits mutawatir.
Kita tanya kepada mereka, bagaimana pendapat kalian terhadap hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu (tersebut) yang di satu sisi mengandung hukum syar’i, sehingga wajib bagi kalian pada akhir shalatnya mengucapkan :
“Wa a’udzu bika min adzabil qobri.”

Apakah kalian berlindung (kepada Allah) dari siksa kubur sementara kalian tidak beriman dengan siksa kubur? Ini adalah dua hal berlawanan yang tidak akan pernah bertemu. Kemudian mereka datang kepada kita berkelit dengan cara yang dilarang Allah bagi kaum Muslimin dengan mengatakan : “Kita membenarkan siksa kubur tapi tidak beriman dengannya.”

Ini adalah filsafat yang aneh dan janggal, apa yang bisa membawa mereka (pada yang demikian itu). Mereka datang dengan filsafat yang pertama dan bersambung dengan filsafat yang banyak. Maka keluarlah mereka dengan filsafatnya dari jalan yang benar/lurus yang para shahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam berada di atasnya, dan hadits sebagaimana yang telah dijelaskan panjang lebar.
Sesungguhnya termasuk dakwah Hizbut Tahrir sebagaimana yang mereka gembar-gemborkan, bahwasanya mereka mempunyai keinginan untuk menegakkan hukum Allah di muka bumi ini. Saya ingin mengingatkan bahwa Hizbut Tahrir tidaklah sendirian dalam tujuan ini, karena tiap kelompok dan sekte-sekte Islamiyah semuanya mempunyai tujuan akhir dengan ini, yakni menginginkan tegaknya hukum Allah di muka bumi.

Akan tetapi timbul satu pertanyaan! Apakah sekte-sekte ini dan salah satunya adalah Hizbut Tahrir berada di atas jalan Allah yang lurus seperti yang Rasulullah dan para shahabatnya berada di atasnya?
Jawabnya, telah kita tunjukkan berulang-ulang (sebagaimana dalam syair, pent.) :
“Semua mengaku mendapatkan Laila sedangkan Laila tidak mengakui hal itu pada mereka sama sekali.”

Golongan-golongan yang ada ini tidak menggunakan dasar yang ketiga yaitu pemahaman Salafus Shalih dalam memahami Islam, oleh sebab itu mereka jauh dari pertolongan Allah karena Allah menolong orang yang menolong-Nya. Dan jalan untuk mendapatkan pertolongan Allah yaitu dengan mengikuti Al Qur’an, Sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, dan jalannya orang-orang Mukmin (para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam). Syarat ini yang dilalaikan oleh golongan-golongan sesat terdahulu dan hizb-hizb jaman sekarang ini termasuk Hizbut Tahrir yang pemikiran-pemikiran mereka dalam masalah akidah menyeleweng.

Oleh sebab itu kita ulangi lagi apa yang telah kita mulai (sebelumnya), “kelompok mana saja yang tidak menegakkan akidah dan manhajnya di atas pemahaman Salafush Shalih maka dia tidak akan bisa menegakkan Islam, baik itu parpol Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin, atau golongan lainnya.” Karena mereka tidak menegakkan dakwahnya dengan tiga dasar ini, yaitu Al Qur’an, Sunnah Rasul-Nya yang shahih, dan manhaj Salafus Shalih. Maka dari mana mereka akan mampu menegakkan Islam tanpa tiga landasan di atas?
Kami cukupkan sampai di sini, mudah-mudahan bermanfaat bagi kaum Mukminin. Wallahu A’lam Bis Shawab.

Dikutip dari buku berjudul “Hizbut Tahrir Mu’tazilah Gaya Baru, Penerbit Cahaya Tauhid Press Malang