oleh: Al-Ustadz Abdul Qodir Abu Fa’izah –hafizhahullah-
[Pengasuh Ponpes Al-Ihsan Gowa, Sulsel]
Diantara mutiara ilmu yang harus dicatat oleh seorang pencari kebaikan bahwa seorang hamba dalam kehidupan dunia ini hanyalah berbolak-balik diantara dua keadaan: ia mendapatkan nikmat ataukah ia mendapatkan musibah.
Di saat ia mendapatkan nikmat dan anugrah dari Allah, baik yang tampak, maupun yang tersembunyi, maka hendaknya ia iringi dengan kesyukuran dengan lisan, hati dan anggota badannya.
Dengan kesyukuran ini, seorang hamba akan selalu diliputi nikmat demi nikmat dari Tuhannya, baik sadari atau tidak!!!
Inilah yang diingatkan oleh Allah -Tabaroka wa Ta’ala- dalam firman-Nya,
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ [إبراهيم/7]
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kalian bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepada kalian, dan jika kalian mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya siksaan-Ku sangat pedih”. (QS. Ibrahim : 7)
Al-Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukaniy Al-Yamaniy -rahimahullah- berkata,
“Maknanya: jika kalian men-syukur-i pemberian nikmat-Ku atas kalian sebagaimana yang telah disebutkan, sungguh aku akan memberikan kepada kalian tambahan nikmat demi nikmat sebagai karunia dari-Ku. Jadi, kesyukuran merupakan sebab adanya tambahan. Jika kalian mengingkari hal itu, sesungguhnya siksaan-Ku amatlah pedih. Kalian pasti akan ditimpa oleh sesuatu yang akan menimpa kalian”. [Lihat Fathul Qodir (4/130)]
Inilah yang harus dilakukan oleh seorang hamba saat mendapatkan nikmat dari Allah. Jika ia tak bersyukur dengan hati, lisan dan anggota badannya; nikmat yang ia dapatkan, ia tak gunakan untuk ketaatan, bahkan untuk maksiat, maka tak ada yang akan menyambut dirinya, selain musibah yang akan menderanya!!
Para pembaca yang budiman, demikian pula, di kala ia menerima cobaan dan musibah yang menurut pandangannya adalah suatu keburukan, maka hendaknya ia segera menyadari kesalahannya dan memohon ampunan (istighfar) kepada Allah. Sebab, boleh jadi musibah itu terjadi akibat dosa-dosa yang ia lakukan selama ini. Dia tak menyadari dosanya sehingga ia diberi teguran ringan agar ia segera berbenah diri.
Dengan istighfar (permohonan ampunan) atas dosa-dosa, seorang hamba diberi ampunan dan kebaikan. Allah akan berikan berbagai nikmat yang kadang ia tak sangka. Inilah berkahnya istighfar.
Nabi Nuh -Shallallahu alaihi wa sallam- berkata sebagaimana yang Allah abadikan dalam Al-Qur’an,
فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا (10) يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا (11) وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا (12) [نوح/10-12]
“Maka aku katakan kepada mereka, “Mohonlah ampun kepada Tuhanmu. Sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia (Allah) akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai”. (QS. Nuh : 10-12)
Hal ini diucapkan oleh Nabi Nuh saat melihat kaumnya membangkang dan menolak risalah dan wahyu yang beliau sampaikan. Jelas penolakan seperti ini merupakan kedurhakaan dan dosa besar!! Beliau mengingatkan kaumnya agar segera bertobat dan ber-istighfar (memohon ampunan) kepada Allah atas dosa-dosa mereka. Jika mereka lakukan nasihat Nuh –alaihis salam-, maka Allah ganti siksaan itu menjadi nikmat di dunia berupa hujan yang menyuburkan tanah mereka, harta benda yang melimpah, anak-anak yang membantu kemaslahatan dunia dan akhirat mereka, dan diberi sungai-sungai yang senantiasa mengalir dan memberikan kebaikan bagi mereka. Akan tetapi karena kesombongan kaumnya, mereka lebih memilih siksaan dibanding ampunan, keutamaan, dan nikmat.
Disinilah tampak bagi anda kedudukan istghfar (permohonan ampunan) atas segala dosa dan kesalahan.
Allah -Azza wa Jalla- berfirman,
وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُمْ مَتَاعًا حَسَنًا إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى وَيُؤْتِ كُلَّ ذِي فَضْلٍ فَضْلَهُ وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ كَبِيرٍ (3) إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (4) [هود/3، 4]
“Dan hendaklah kalian meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertobat kepada-Nya. (Jika kalian mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepada kalian sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa siksa hari kiamat. Kepada Allah-lah kembali kalian, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS. Huud : 3-4)
Di dalam ayat ini terdapat dua perkara yang diperintahkan oleh Allah : istighfar (permohonan ampunan) dan tobat. Istighfar disini bukan hanya sekedar lisan saja, tanpa bukti dan pengakuan. Karenanya, Allah gandengkan setelah itu dengan tobat sebagai bukti atas kebenaran istighfar seorang hamba.
Al-Imam Abu Abdillah Ibnu Hayyan Al-Andalusiy Al-Jayyaniy -rahimahullah- berkata,
“Allah memerintahkan istighfar dari segala dosa, lalu tobat. Kedua perkara ini merupakan dua makna yang berbeda. Karena, istighfar adalah permohonan ampunan, yaitu penutupan (dosa-dosa). Artinya, tak ada lagi tanggung jawab yang tersisa baginya. Sedang, tobat adalah lepasnya seseorang dari maksiat-maksiat, menyesali sesuatu (berupa dosa-dosa) yang telah berlalu dan berkeinginan kuat untuk tidak kembali kepada maksiat-maksiat itu”. [Lihat Al-Bahr Al-Muhith (5/198) oleh Ibnu Hayyan, cet. Dar Al-Fikr]
Para pembaca yang budiman, inilah dua kondisi yang harus diperhatikan seorang hamba selama ia hidup di dunia ini. Jika ia menempatkan dirinya dalam posisi syukur saat mendapatkan nikmat, dan pada posisi istighfar saat ia mendapatkan musibah atau berdosa, maka ia akan mendapatkan dua kebaikan : kebaikan dunia dan akhirat, insya Allah.
Syaikhul Islam Abul Abbas Ibnu Taimiyyah Ad-Dimasyqiy –rahimahullah– berkata,
فالعبد دائما بين نعمة من الله يحتاج فيها إلى شكر وذنب منه يحتاج فيه إلى أستغفار وكل من هذين من الأمور اللازمة للعبد دائما فإنه لا يزال يتقلب في نعم الله وآلائه ولا يزال محتاجا إلى التوبة والاستغافر ولهذا كان سيد ولد آدم وإمام المتقين يستغفر في جميع الأحوال
“Seorang senantiasa berada diantara nikmat dari Allah yang ia butuh di dalamnya kepada kesyukuran, dan antara dosa (yang muncul) dari dirinya, sedang ia butuh di dalamnya kepada istighfar (permohonan ampunan). Setiap dari kedua perkara ini termasuk hal-hal yang yang senantiasa menyertai seorang hamba. Karena, ia selalu berbolak-balik dalam nikmat-nikmat Allah dan karunianya serta senantiasa butuh kepada tobat dan istighfar. Oleh karena ini, Penghulu anak cucu Adam dan Pemimpin orang-orang bertaqwa (yakni, Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-) selalu ber-istighfar dalam seluruh keadaan”. [Lihat Amroodh Al-Qolb wa Syifaa’uha (hal. 117) oleh Syaikhul Islam, cet. Al-Mathba’ah As-Salafiyyah, Kairo, 1399 H]
Jadi, seorang hamba sepantasnya selalu berada dalam ketaatan dalam dua kondisi tersebut, niscaya ia akan terus diberi nikmat dan karunia yang tak terhingga oleh Allah -Azza wa Jalla-.
Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Qoyyim Al-Jawziyyah -rahimahullah- berkata,
“Jika mereka (manusia) menaati-Nya, maka Dia akan memberikan tambahan nikmat-nikmat lain bagi mereka bersama nikmat-nikmat ini. Lalu di akhirat nanti Allah akan menyempurnakan pahala amal-amal mereka dengan sesempurna mungkin”. [Lihat I’lam Al-Muwaqqi’in (2/205), karya Ibnul Qoyyim]
Demikian nikmat di atas nikmat akan diraih oleh orang-orang yang bersyukur dan bersabar dalam meniti keridhoan Tuhan-nya sampai ia mendapatkan dua nikmat yang tiada taranya: nikmat dunia dan nikmat akhirat. Semoga Allah -Azza wa Jalla- menjadikan kita pemilik dua nikmat itu, amin…
Sumber : pesantren-alihsan.org