5.Al-Jahmiyah.
Mereka adalah pengikut Jahm bin Shofwan dari penduduk negeri Tirmidz di Khurosan. Seorang yang selalu berkata dan berbantah, banyak berbicara tentang perkara yang berkaitan dengan Allah, menganggap bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, mengatakan bahwa Allah tidak berbicara dengan Nabi Musa, mengatakan bahwa Allah tidak mempunyai sifat Al-Kalam (Berbicara), mengatakan bahwa Allah tidak bisa dilihat (yaitu pada waktu di surga), mengatakan bahwa Allah tidak bertempat di atas ‘Arsy.
Sebagian para ulama menyebutkan bahwa orang pertama yang memegang dan memelihara perkataan-perkataan ini dalam Islam adalah Ja’d bin Dirham. Jahm bin Shofwan mengambil perkataan tersebut, men-zhahir-kannya dan menasabkan pada dirinya.
Dikatakan bahwa Ja’d bin Dirham mengambil perkataannya dari Aban bin Sam’an, Aban dari Tholut anak saudara perempuan Labid bin Al-A’shom, Tholut dari Labid bin Al-A’shom seorang penyihir Yahudi yang menyihir Nabi.
Bid’ah Jahm bin Shofwan kembalinya kepada tiga pokok dasar yang berhubungan dengan bid’ah-bid’ah yang lainnya yang penuh dengan kekejian:
a. At-Ta’thil. Yaitu yang mengingkari sifat-sifat Allah yang Mulia dan menganggap bahwa sifat-sifat tersebut tidak boleh diberikan kepada Allah karena apabila diberikan kepada Allah akan menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya (yang mempunyai sifat).
b. Al-Jabr. Yaitu yang menganggap bahwa manusia mereka tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat sesuatu dan tidak disifati dengannya (kemampuan). Manusia adalah majbur perbuatannya, artinya mereka tidak memiliki daya upaya, ikhtiar, kemampuan dan kehendak dalam perbuatannya.
c. Al-Irja’. Yaitu yang menganggap bahwa iman itu cukup dengan pengetahuan. Sesungguhnya seseorang yang mengingkari iman dengan lisannya tidak dihukumi kafir, karena ilmu dan pengetahuan keduanya tidak akan hilang dengan sebab pengingkaran dan sesungguhnya iman itu tidak akan berkurang serta tidak ada perbedaan antara iman satu orang dengan iman orang yang lainnya.
Para ulama Salaf (Ahlus Sunnah wal Jamaah) menghukumi Al-Jahmiyah dengan hukuman yang sangat berat dan keras, sampai Abdullah bin Mubarak mengatakan: “Sesungguhnya kami berkenan untuk menghikayahkan perkataan orang- orang Yahudi dan Nashoro, tetapi kami tidak berkenan untuk menghikayahkan perkataan Al-Jahmiyah”.
Adapun hukum tentang pengkafiran mereka, banyak sekali imam-imam Salaf yang mengkafirkan Al-Jahmiyah. Di antaranya:
Abdullah bin Mubarak telah mengeluarkan mereka bukan termasuk dari 73 golongan pecahan dalam Islam. Yaitu ketika beliau ditanya oleh seseorang tentang jumlah pecahnya kaum muslimin, maka beliau berkata:
“Asalnya ada 4, yaitu Asy-Syiah, Al-Kharuriyah, Al-Qodariyah dan Al-Murjiah. Syiah berpecah belah menjadi 22 golongan, Al-Kharuriyah berpecah belah menjadi 21 golongan, Al-Qodariyah berpecah belah menjadi 16 golongan, Al-Murjiah berpecah belah menjadi 13 golongan. Si penanya berkata kepada beliau: “Saya tidak mendengar darimu tentang golongan Al-Jahmiyah,” maka beliau mengatakan: ’Sesungguhnya engkau bertanya kepadaku tentang (jumlah) pecahnya kaum muslimin’”.
Berkata Salam bin Abi Muthi’ “Al-Jahmiyah adalah kuffar (orang-orang kafir), tidak boleh sholat di belakang mereka”.
Dari Sufyan Ats-Tsaury beliau berkata: ”Barang siapa yang menganggap bahwa firman Allah
يمُوسَى إِنَّهُ أَنَا اللَّهُ الْعَزِيزُ الْحَكِيم
“Hai Musa, sesungguhnya Akulah Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS.An-Naml:9)
adalah makhluk maka dia adalah kafir, zindiq (atheis yang pura-pura masuk islam) dan halal darahnya”.
Dari Sufyan bin ‘Uyainah beliau berkata: ”Al-Quran adalah Kalamullah (perkataan Allah), barang siapa yang mengatakan Al-Quran adalah makhluk maka dia adalah kafir dan barang siapa yang ragu dengan kekafirannya (orang yang mengatakan Al-Quran adalah makhluk) maka dia adalah kafir”
Dari Imam Ahmad beliau berkata: ”Barang siapa yang berkata Al-Quran adalah makhluk maka dia adalah kafir, karena sesungguhnya Al-Quran adalah Ilmu Allah dan di dalamnya adalah nama-nama Allah”
Imam Ad-Darimi dalam kitabnya Ar-Rad ‘alal Jahmiyah menyebutkan bab khusus yang berkaitan dengan pengkafiran Al-Jahmiyah yaitu Babul Ihtijaji fi Ikfaril Jahmiyah, beliau berkata: “Ada seorang laki-laki yang membela orang-orang Jahmiyah dan mengadakan munadhoroh denganku, dia berkata kepadaku: ’Dengan hujjah/dalil apa engkau mengkafirkan orang-orang Jahmiyah padahal (kita) dilarang mengkafirkan Ahlul Qiblah (kaum muslimin). Apakah engkau mengkafirkan mereka dengan dalil Al-Quran? Atau dengan Atsar? Atau dengan Ijma’?, maka aku katakan kepadanya: ’Tidak ada yang mengatakan dari kalangan kami bahwa Jahmiyah adalah Ahlul Qiblah. Kami tidak mengkafirkan mereka kecuali dengan dengan kitab yang dicatat (Al-Quran), dengan atsar yang masyhur dan dengan kekufuran yang masyhur… kemudian diperlihatkan secara tafshil (rinci) tentang dalil-dalil yang menunjukkan kekafiran mereka”.
Sungguh Syaikhul Ibnu Taimiyah telah menyebutkan kekafiran Al-Jahmiyah dari kebanyakan para Imam Salaf (Ahlus-Sunnah Wal-Jamaah), beliau berkata:
“Yang masyhur dari madzhabnya Al-Imam Ahmad dan kebanyakan para Imam Ahlus-Sunnah Wal-Jamaah mereka telah mengkafirkan Al-Jahmiyah yang telah menolak sifat-sifat Ar-Rahman, karena sesungguhnya perkataan mereka jelas bertentangan dengan apa-apa yang dibawa oleh Rasul yaitu Al-Kitab (Al-Quran)”.
Demikian juga Imam Ibnul Qayyim telah menukil dari 500 ulama Salaf tentang kekafiran Al-Jahmiyah dalam kitab Nuniyah.
Sebagian orang mengatakan bahwa keberadaan Al-Jahmiyah pada zaman sekarang telah musnah, tetapi pada hakekatnya pemikiran Al-Jahmiyah tidak musnah sampai saat ini meskipun keberadaan mereka telah berganti baju dan nama yang baru, yang pada dasarnya telah dibangun oleh ulama ahli kalam/filsafat dari golongan Mu’tazilah dan Asya’iroh yang hal ini telah maklum atau diketahui oleh para ulama muhaqqiq (yang meneliti tentang mereka).
Telah berkata Al-‘Allamah Jamaluddin Al-Qasimy : “Ada yang menyangka bahwa Al-Jahmiyah telah berlalu, akan tetapi sesungguhnya Mu’tazilah adalah cabang dari mereka dan sesungguhnya orang-orang ahli kalam/filsafat mereka telah mengembalikan/merujuk kebanyakan dari masalah-masalahnya kepada Madzhab Al-Jahmiyah”. Oleh sebab itulah sesungguhnya Mu’tazilah dan Asya’iroh adalah cabang yang tumbuh dan berkembang dari dasar Madzhab Al-Jahmiyah.
Tamat
Diterjemahkan oleh Al-Ustadz Abu ‘Isa Nurwahid bin Subaidi Al-Kafrowi Al-Atsary dari kitab Mauqifu Ahlussunnati wal Jama’ati min Ahlil Ahwaai wal Bida’i
Sumber ; Buletin Al-Atsary, Semarang Edisi 22/1428H
Dikirim via Email oleh Al-Akh Dadik