4. Al-Murji’ah
Kata Al-Murjiah adalah isim fa’il dari Irja’ yang mempunyai arti penangguhan atau penundaan. Secara bahasa kata Irja’ mempunyai dua makna:
1. Mengakhirkan atau menunda, sebagaimana firman Alloh:
قَالُواْ أَرْجِهْ وَأَخَاهُ
“Pemuka-pemuka itu menjawab ’Beri tangguhlah dia dan saudaranya’…” (Q.S. .Al-A’raf: 111)
2. Memberi pengharapan.
Adapun secara istilah Al-Imam Ahmad mendefinisikan makna Al-Murjiah dengan perkataannya: ”Mereka yang menganggap bahwa sesungguhnya iman cukup diucapkan dengan lisan, tidak ada perbedaan iman diantara manusia, sesungguhnya imannya manusia, Malaikat dan para Nabi adalah sama dan satu. Iman itu tidak bertambah dan tidak pula berkurang, tidak ada pengecualian dalam keimanan. Sesungguhnya seseorang yang beriman dengan lisannya tetapi tidak beramal maka dia dihukumi sebagai seorang mukmin yang haq”.
Jelas dan tidak tersamar hubungan antara definisi Al-Murjiah secara asal bahasa dengan definisi Al-Murjiah secara istilah yaitu diambil dari kata Irja’, yang demikian apabila dikembalikan kepada makna pertama secara bahasa mereka (golongan Murjiah) mengakhirkan amal dari niat dan kehendak, apabila dikembalikan kepada makna yang kedua secara bahasa mereka (golongan Murjiah) mengatakan bahwa perbuatan maksiat itu tidak memberikan madlorot atau tidak berdampak pada keimanan seseorang, sebagaimana amal ketaatan itu tidak memberikan manfaat atau tidak berdampak pada kekufuran seseorang. Mereka memberikan pengharapan kepada pelaku maksiat atas pahala Alloh.
Disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah bahwa golongan Al-Murjiah terbagi menjadi tiga bagian:
1. Mereka yang mengatakan bahwa iman cukup dengan keyakinan didalam hati, sebagian besar dari mereka (golongan Al-Murjiah) ada yang memasukkan amalan-amalan hati dan sebagian yang lainnya tidak memasukkannya, seperti Jahm bin Shofwan dan pengikut-pengikutnya.
2. Mereka yang mengatakan bahwa iman itu cukup dengan lisan, yang demikian adalah perkataan golongan Al-Karomiyah.
3. Mereka yang mengatakan bahwa iman itu pembenaran dalam dalam hati dan diucapkan dengan lisan, yang demikian adalah perkataan para ahli fiqihnya golongan Al-Murjiah.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tentang pemberian hukum oleh para ulama’ kepada golongan Al-Murjiah: ”Tidak ada khilaf (perbedaan) diantara para ulama bahwa bid’ahnya perkataan para ahli fiqihnya Al-Murjiah tidak dihukumi sebagai kekufuran, adapun yang menghukumi dengan kekafiran dan membelanya maka telah keliru. Karena mereka tidak melihat/menafikan memasukkan amal atau perkataan dalam iman, yang demikian adalah meninggalkan perkara yang wajib. Adapun kelompok Gholiyatul Murjiah (Murjiah yang melampau batas) yang kufur (ingkar) dengan adzab dan menganggap bahwa nash-nash (Al-Qur’an) sebagai perkara yang samar yang tidak mempunyai hakekat hukum, maka yang demikian adalah perkataan yang besar bahayanya yaitu dalam meninggalkan perkara yang wajib.”
Kemudian di pembahasan yang lain Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata setelah pembicaraan tentang para ahli fiqihnya Al-Murjiah: ”Pengingkaran para imam- imam Salaf (Ahlussunnah wal Jama’ah) sangat keras dalam menghukumi mereka (Al-Murjiah) sebagai Ahlul bid’ah, demikian juga penyimpangan perkataan mereka. Tetapi saya tidak mendapati salah seorang dari imam-imam salaf yang mengkafirkan mereka. Bahkan para imam-imam Salaf telah sepakat, demikian juga nash dari Imam Ahmad dan yang lainnya bahwa mereka (Al-Murjiah) tidak dihukumi kafir. Barang siapa yang menukil dari Imam Ahmad dan yang lainnya dari para imam Salaf bahwa mereka mengkafirkan atau terjadi perbedaan pendapat tentang penkafiran Al-Murjiah maka telah keliru dengan kekeliruan yang besar”.
(Diterjemahkan oleh Al-Ustadz Abu ‘Isa Nurwahid dari kitab Mauqifu Ahlussunnati wal Jama’ati min Ahlil Ahwaai wal Bida’, Syaikh Dr.Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhaily)