(oleh : Al-Ustadz Abu Isma’il Muhammad Rijal)
وَعَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صل الله عليه وسلم كَانَ يَسْتَغْفِرُ لِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ كُلَّ جُمُعَةٍ
“Dari Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu,“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa memintakan ampun bagi orang-orang mukmin, muslimin, dan muslimat setiap hari Jum’at.”
Takhrij Hadits
Hadits ini diriwayatkan al-Bazzar dalam Musnad-nya (2/307-308) Kasyful Astar. Al-Bazzar rahimahullah meriwayatkan dari Khalid bin Yusuf bin Khalid, dari bapaknya -Yusuf bin Khalid-, dari Ja’far bin Sa’d bin Samurah, dari Khubaib bin Sulaiman bin Samurah, dari ayahnya Sulaiman bin Samurah, dari Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu.
Al-Bazzar rahimahullah berkata, “Saya tidak tahu hadits ini dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam selain dengan sanad ini.”
Melalui jalan Ja’far bin Sa’d bin Samurah pula ath-Thabarani rahimahullah meriwayatkan dalam al-Kabir (7/264 no. 7079) dengan lafadz,
كاَنَ النَّبِيُّ صل الله عليه وسلم يَسْتَغْفِرُ لِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَلِلْمُسْلِمِينَ وَلِلْمُسْلِمَاتِ كُلَّ يَوْمِ جُمُعَةٍ
“Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa memintakan ampunan bagi mukminin, mukminat, muslimin, dan muslimat.”
Sanad hadits Samurah radhiyallahu ‘anhu dipenuhi dengan perawi-perawi lemah.
1. Khalid bin Yusuf bin Khalid
“Dha’if (lemah),” demikian dikatakan oleh adz-Dzahabi dalam Mizanul I’tidal (2/649).
2. Yusuf bin Khalid bin ‘Umair as-Samti
Ibnu Ma’in rahimahullah dalam Tarikh ad-Duri (2/684), “Kadzdzab, zindiq la yuktabu haditsuhu (Tukang dusta, zindiq tidak boleh ditulis haditsnya).”
Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata dalam al-‘Ilal (2/101), “Kadzdzab. Khabits, ‘Aduwullahi ta’ala (Tukang dusta, busuk, musuh Allah Subhanahu wata’ala).”
Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam Taqrib, “Tarakuuhu, kadzdzabahu Ibnu Ma’in.” (Ulama meninggalkannya, dan Ibnu Ma’in menyatakannya sebagai pendusta)
Al-Haitsami rahimahullah dalam Majma’ (2/190) berkata, “Dalam sanad al-Bazzar terdapat seorang perawi bernama Yusuf bin Khalid as-Samti, seorang yang dha’if.”
3. Ja’far bin Sa’d bin Samurah bin Jundub al-Fazari
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam at-Taqrib berkata, “Laisabil Qawiy (bukan orang yang kuat).”
4. Khubaib bin Sulaiman bin Samurah
Dia dinyatakan majhul oleh Ibnu Hajar rahimahullah dalam at-Taqrib. Adz-Dzahabi rahimahullah (al-Mizan 2/649) berkata, “Laa Yu’raf wa Qad Dhu’if (dia tidak dikenal, dan ia didhaifkan/dinyatakan lemah).”
5. Sulaiman bin Samurah bin Jundub al-Fazari
Al-Hafizh Abul Hasan al-Qaththan rahimahullah berkata, “Laa tu’raf lahul hal (Dia tidak dikenal keadaannya).” (Bayanul Wahm wal Iham, 5/138)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam at-Taqrib berkata, “Maqbul.”
Dari tinjauan sanad, kita dapatkan bahwa hadits ini sangat lemah, bahkan batil, tidak dapat dijadikan sebagai hujah.
Apakah Doa Khatib untuk Kebaikan Kaum Muslimin Sunnah dalam Khutbah?
Sering kita mendengar khatib selalu berdoa memohonkan ampun atau doa kebaikan lainnya bagi kaum mukminin dan mukminat. Sebagian khatib kita dapatkan tidak berdoa dalam khutbahnya.
Muncullah sebuah pertanyaan, apakah seorang khatib disunnahkan untuk selalu mendoakan kaum muslimin? Atau apakah doa khatib bukan sesuatu yang disyariatkan?
Hadits Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu adalah dalil yang tegas, nash yang menunjukkan disyariatkannya imam mendoakan kaum mukminin, bahkan menunjukkan merutinkan doa untuk
kaum mukminin pada hari Jum’at, saat berkhutbah, kalau seandainya hadits ini tidak dha’if. Namun telah kita lalui bahwa hadits Samurah sangat lemah dan tidak bisa dijadikan sandaran, sehingga butuh akan dalil lain.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah memberikan keterangan dalam SyarhulMumti’ ketika menjelaskan perkataan penulis Zaad al-Mustaqni’, “(Dan hendaknya khatib) mendoakan kaum muslimin.”
Syaikh berkata, “(Maksudnya) disunnahkan pula (bagi khatib) dalam khutbah mendoakan kaum muslimin, pemerintah, dan rakyatnya, (alasannya) karena waktu tersebut adalah saat yang sangat diharapkan terkabulnya doa, dan doa untuk kaum muslimin tidak diragukan adalah kebaikan. Oleh karena itu, fuqaha menganggap sunnah doa bagi kaum muslimin.”
Boleh jadi ada yang menyanggah, “Alasan bahwa waktu tersebut adalah waktu yang mustajab, dan doa bagi kaum muslimin adalah maslahat yang sangat besar, (dua alasan yang mendasari disunnahkannya doa untuk kaum muslimin ini) sudah ada di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, namun ternyata beliau tidak melakukannya1 maka (yang semestinya dikatakan) adalah meninggalkan doa tersebut; karena seandainya perkara ini termasuk yang disyariatkan niscaya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melakukannya.
Oleh karena itu, dibutuhkan dalil khusus yang menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam selalu mendoakan kaum muslimin (dalam khutbah Jum’at). Jika dalil khusus tersebut tidak ada maka kita tidak mengatakan bahwa doa tersebut termasuk sunnah khutbah, maksimalnya kita katakana bahwa mendoakan kaum muslimin dalam khutbah adalah jaiz (boleh). Diriwayatkan dalam sebuah hadits,
أَنَّ النَّبِيَّ صل الله عليه وسلم كَانَ يَسْتَغْفِرُ لِلْمُؤْمِنِينَ فِي كُلِّ جُمُعَةٍ
“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa mendoakan kaum mukminin setiap Jum’at.”
Seandainya hadits ini sahih maka hadits ini adalah dalil dalam masalah ini, dan kita katakan bahwa mendoakan kaum muslimin termasuk sunnah dalam khutbah. Namun, seandainya hadits ini tidak sahih, kita katakan bahwa mendoakan kaum mukminin (dalam khutbah) adalah perkara yang boleh. Hanya saja, hal ini tidak dijadikan sebagai sunnah yang selalu dilakukan, karena jika selalu dilakukan, manusia akan menyangka bahwa hal ini termasuk sunnah….(asy-Syarhul Mumti’, 5/65-66, dengan sedikit perubahan)
Dalil-Dalil Lain Disyariatkannya Doa bagi Khatib
Ulama Syafi’iyah, demikian pula fuqaha Hanabilah memandang bahwa doa khatib pada hari Jum’at untuk kebaikan kaum muslimin adalah perkara yang mustahab. Zahirnya ini pula yang dipilih Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.
Meskipun hadits Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu dha’if, namun ada dalil lain tentang disyariatkannya doa secara umum.
Al Imam al Baihaqi rahimahullah menyebutkan hadits-hadits yang menunjukkan disyariatkannya doa bagi khatib dalam kitabnya as-Sunan al-Kubra (3/210). Beliau memberinya judul, “Bab Mayustadallubihi‘alaan yad’uwa fi khutbatihi.” Artinya, bab tentang nash-nash yang dijadikan dalil atas disyariatkannya khatib berdoa dalam khutbahnya.
Dalam bab tersebut, beliau meriwayatkan hadits Umarah bin Ru’aibah radhiyallahu ‘anhu.
عَنْ عُمَارَةَ بْنِ رُوَيْبَةَ قَالَ: رَأَى بِشْرَ بْنَ مَرْوَانَ رَافِعًا يَدَيْهِ فَقَالَ: قَبَّحَ اللهُ هَاتَيْنِ الْيَدَيْنِ، لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صل الله عليه وسلم مَا يَزِيدُ عَلَى أَنْ يَقُولَ بِيَدِهِ هَكَذَا-وَأَشَارَ بِأَصْبِعِهِ الْمَسْبَحَةَ
“Dari ‘Umarah bin Ru’aibah radhiyallahu ‘anhu, beliau melihat Bisyr bin Marwan mengangkat kedua tangannya (ketika berkhutbah) lalu beliau berkata,“Semoga Allah menjelekkan dua tangan itu, sungguh aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak lebih dari memberikan isyarat demikian,” ‘Umarah mengisyaratkan jari telunjuk.
Kemudian al-Baihaqi meriwayatkan hadits Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhu beliau berkata,
مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صل الله عليه وسلم شَاهِرًا يَدَيْهِ قَطُّ يَدْعُو عَلَى مِنْبَرِهِ وَلاَ عَلَى غَيْرِهِ وَلَكِنْ رَأَيْتُهُ يَقُولُ هَكَذَا وَأَشَارَ بِالسَّبَابَةِ وَعَقَدَ الْوُسْطَى بِالْإِبْهَامِ
“Tidak pernah sama sekali aku melihat Rasululah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat kedua tangannya berdoa di atas mimbar tidak pula di atas lainnya, namun aku melihat beliau mengisyaratkan telunjuknya dan menggenggam jari tengah dan ibu jari.”
Al-Baihaqi rahimahullah berkata, “Maksud (penyebutan) dua hadits ini adalah menetapkan (disyariatkannya) doa dalam khutbah, kemudian sunnah dalam doa khutbah untuk tidak mengangkat kedua tangan, dan mencukupkan isyarat dengan telunjuk….”(Sunan al-Kubra, 3/210)
Hadits Umarah bin Ru’aibah radhiyallahu ‘anhu shahih, diriwayatkan oleh al-Imam Muslim (873), an-Nasai (3/108), Abu Dawud (no. 1104), at-Tirmidzi (no. 515), dan Ibnu Majah (no. 1103).
Hadits Sahl bin Sa’d dikeluarkan pula oleh Abu Dawud (no. 1105) dengan kelemahan dalam sanadnya, namun dikuatkan oleh hadits Umarah bin Ru’aibah radhiyallahu ‘anhu. Asy-Syaikh al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil (3/77) menyatakan hadits Sahl sebagai hadits hasan.
Apakah Khatib Mengangkat Dua Tangan Saat Berdoa?
Tidak ada satu riwayat pun menyatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat kedua tangan beliau dalam berdoa ketika khutbah Jum’at selain saat memohon turun hujan (istisqa’) atau memohon dihentikan hujan (istisha’).
Riwayat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat kedua tangan saat memohon hujan atau mohon dihentikan hujan dalam khutbah banyak disebutkan dalam kitab-kitab hadits baik Shahihain atau lainnya.
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Paceklik (kekeringan) menimpa manusia di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, hingga suatu saat, ketika Shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri di atas mimbar berkhutbah di hari Jum’at datang seorang Arab badui dari arah yang menghadap mimbar, dari pintu yang menghadap ke arah Darul Qadha’.2 Ketika itu beliau sedang berdiri berkhutbah.
Ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, harta benda binasa, keluarga kelaparan, kuda-kuda binasa, kambing-kambing binasa, ternak-ternak binasa, dan jalan-jalan terputus, maka berdoalah kepada Allah Subhanahu wata’ala untuk kami agar Dia menurunkan hujan’.”
(Anas radhiyallahu ‘anhu berkata), “Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat kedua tangan beliau untuk berdoa, hingga saya bisa melihat putih ketiaknya,
اللَّهُمَّ أَغِثْنَا، اللَّهُمَّ أَغِثْنَا، اللَّهُمَّ أَغِثْنَا
“Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami. Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami. Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami.”
Orang-orang pun mengangkat tangan-tangan mereka berdoa bersama beliau.”
(Tidak disebutkan bahwa beliau membalik rida’ [selendang] tidak pula disebutkan beliau berbalik menghadap kiblat) (Berkata Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu), “Demi Allah, kami sama sekali tidak melihat segumpal awan pun di langit, tidak pula pelangi, dan sungguh langit ketika itu bersih seperti kaca.”
Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Lalu dari balik bukit muncul awan seperti perisai. Ketika sampai ke tengah-tengah langit, awan itu menyebar, kemudian turun hujan. Demi Dzat yang jiwaku ada di Tangan-Nya belum lagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menurunkan kedua tangannya –saat berdoa- datanglah awan bergulung-gulung laksana gunung, dan belum lagi beliau turun dari mimbar kecuali hujan telah turun dengan lebat hingga air hujan berjatuhan dari jenggot Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.”
(Dalam satu riwayat: Maka bertiuplah angin membawa awan, lalu awan itu berkumpul, langit pun mengembangkan awan yang tidak membawa hujan. “Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam turun dari mimbar mengerjakan shalat. Lalu kami keluar sambil mencebur ke air hingga kami tiba di rumah (karena begitu lebatnya hujan) hampir-hampir seseorang tidak dapat sampai ke rumahnya.”
(Kota Madinah pun) dituruni hujan pada hari itu, esoknya, esok lusa, dan hari-hari berikutnya sampai hari Jum’at berikutnya tanpa henti. Sehingga, saluran-saluran air kota Madinah penuh air.”
Berkata Anas radhiyallahu ‘anhu selanjutnya, “Demi Allah, kami tidak melihat matahari selama enam hari.”
Pada hari Jum’at berikutnya, seorang badui yang dahulu atau badui lainnya datang ke masjid dari pintu yang sama. Ketika itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga sedang berdiri berkhutbah, dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, rumah-rumah roboh, jalan-jalan terputus, dan binatang-binatang ternak binasa, para musafir tidak dapat bepergian, jalan-jalan terhalang, harta benda pun tenggelam, maka berdoalah kepada Allah Subhanahu wata’ala agar menahan hujan itu untuk kami.’
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pun tersenyum, kemudian mengangkat kedua tangan beliau dan berdoa,‘Ya Allah, (hujanilah) sekeliling kami, namun jangan atas kami. Ya Allah, turunkanlah hujan di atas puncak-puncak gunung dan dataran tinggi, di perut-perut lembah dan tempat-tempat tumbuhnya tumbuh-tumbuhan.’
Tidaklah beliau menunjukkan kedua tangan beliau ke suatu awan melainkan awan tersebut terbelah seperti lubang bulat yang luas, terbelah seperti terbelahnya kain.”
Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Saya lihat awan menyingkir di sekitar Madinah ke kanan dan ke kiri seperti kumpulan kambing. Turunlah hujan di sekeliling kami, tetapi tidak diturunkan sedikit pun di dalam kota Madinah. Sehingga, kami dapat keluar dan berjalan di bawah sinar matahari.”
Allah Subhanahu wata’ala menampakkan kepada manusia mukjizat Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengabulkan doanya. Lembah Qanah mengalir selama sebulan. Tidak ada seorang pun dari suatu daerah kecuali ia menceritakan hujan lebat (di kota Madinah tahun itu.)3
Khatib Mengangkat Telunjuk ketika Berdoa
Dari hadits Umarah bin Ru’aibah dan Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhuma, diambil faedah bahwa khatib cukup memberikan isyarat telunjuk saat berdoa dalam khutbah Jum’at.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin pernah ditanya tentang mengangkat dua tangan saat khatib berdoa, demikian pula mengangkat telunjuk ketika berdoa dan ketika nama Allah Subhanahu wata’ala disebut.
Jawaban beliau, “Tentang mengangkat kedua tangan saat berdoa dalam khutbah, para sahabat mengingkari Bisyr bin Marwan saat ia berkhutbah dan mengangkat kedua tangannya. Ya, telah sahih riwayat kedatangan badui saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkhutbah, sang badui berkata, ‘Wahai Rasulullah, harta-harta musnah, jalan-jalan terputus, dan berdoalah kepada Allah Subhanahu wata’ala agar Dia menurunkan hujan.’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat kedua tangannya berdoa,
اللَّهُمَّ أَغِثْنَا، اللَّهُمَّ أَغِثْنَا، اللَّهُمَّ أَغِثْنَا
“Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami. Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami. Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami.”
Dari riwayat-riwayat ini menjadi terang bahwasanya,
1. Mengangkat kedua tangan dalam khutbah Jum’at disyariatkan ketika meminta hujan (istisqa) atau memohon dihentikan hujan (istishha’).
2. Manusia ketika itu mengangkat kedua tangan bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam saat doa istisqa’. Ini adalah dalil bahwa makmum yang mendengarkan khutbah hanya mengangkat kedua tangan dalam doa istisqa’, (dan istishha’).
3. Jika khatib berdoa dengan doa selain istisqa maka khatib tidak mengangkat kedua tangan, demikian pula makmum tidak mengangkat kedua tangan mereka.4
Tentang mengangkat telunjuk ketika berdoa, amalan ini dilakukan dalam duduk tasyahhud,… mengisyaratkan telunjuk juga datang dalilnya dalam khutbah Jum’at atau saat beliau berdoa, selain doa istisqa’. Adapun apa yang dilakukan keumuman manusia yang mereka mengisyaratkan telunjuk setiap kali imam menyebut nama Allah Subhanahu wata’ala dengan maksud mengagungkan Allah Subhanahu wata’ala, maka saya tidak tahu ada dalil dalam masalah ini.”5
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Doa imam saat sesudah naiknya (ke mimbar) tidak ada asalnya (yakni dalilnya), dan dibenci imam mengangkat kedua tangannya saat berdoa dalam khutbah dan ini pendapat yang paling sahih dari dua pendapat Hanabilah, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam hanya mengisyaratkan telunjuknya ketika berdoa, adapun dalam istisqa maka beliau mengangkat kedua tangannya, ketika beliau meminta hujan di atas mimbar.”6
Wallahu ta’ala a’lam
————————————————
1. Yakni tidak ada dalil sahih yang tegas bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berdoa dalam khutbah.
2. Darul Qadha’ adalah rumah Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Dinamai Darul Qadha’ karena rumah ini dijual untuk membayar utangUmar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, dan al-qadha’ sendiri bermakna menunaikan atau membayar.
3. Kisah istisqa’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam shalat Jum’at diriwayatkan banyak ahlul hadits dalam kitab-kitab mereka dengan lafadz yang beragam, dan apa yang kita sebutkan dalam tulisan ini diambil dari Muhtashar Shahih al-Bukhari (1/282—284) karya asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, beliau mengumpulkan lafadz-lafadz yang berserakan dalam satu kisah.
4. Karena tidak ada dalil yang menunjukkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat kedua tangannya dalam khutbah Jum’at selain doa istisqa. Tidak adanya penukilan sahabat padahal shalat Jum’at terjadi berulang-ulang dihadapan seluruh sahabat demikian pula factor pendorong untuk menukilkan berita yang semacam ini sangat kuat, menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam shalat Jum’at melainkan dalam istisqa dan istishha’. Demikian pula pengingkaran sahabat terhadap Bisyr bin Marwan dalam riwayat Muslim menguatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memang tidak mengangkat kedua tangan, wallahu ta’ala a’lam.
5. Majmu’ Fatawa wa Rasail (16/67).
6. Ikhtiyarat Fiqhiyyah.
Sumber : http://asysyariah.com