Ada sebagian cerita atau kisah yang ditujukan untuk anak, tujuannya untuk memberikan pengajaran ataupun hiburan bagi anak. Yang menjadi tokoh dalam kisah tersebut adalah hewan, di mana digambarkan hewan-hewan tersebut dapat berbicara layaknya manusia (dongeng fabel). Untuk mengajarkan anak akibat jelek dari berdusta misalnya, dikisahkan ada seekor musang berpura-pura jadi dokter hingga ia dapat memperdaya seekor ayam. Kemudian si musang terperosok ke dalam lubang akibat perbuatan dustanya. Apa pendapat antum terhadap kisah seperti ini?
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu menjawab, “Tentang permasalahan seperti ini, saya tawaqquf (mendiamkan, belum bisa mengatakan boleh atau tidak). Karena mengisahkan seperti itu berarti mengeluarkan si hewan dari keadaan asal penciptaannya. Dikatakan ia bisa berbicara, bisa mengobati/jadi dokter, dan bisa mendapat hukuman atas perbuatannya. Terkadang mungkin dikatakan bahwa ini hanya permisalan/perumpamaan. Namun wallahu a’lam, saya tawaqquf dalam perkara ini. Saya tidak mengatakan apa pun dalam hal ini.”
Ada bentuk lain dari cerita untuk anak. Seorang ibu terkadang bercerita kepada anaknya untuk memberikan pengajaran pada si anak dengan kisah yang memang mungkin terjadi, walaupun tidak mesti kisah itu telah terjadi. Misalnya si ibu berkata, “Ada seorang anak bernama Hasan. Anak ini suka mengganggu tetangganya. Suatu hari ia memanjat tembok rumah tetangganya. Tiba-tiba ia jatuh dan patah tangannya.” Yang menjadi pertanyaan kami, apa hukumnya cerita seperti ini, di mana memang tidak dapat dipungkiri anak yang mendengarnya terkadang beroleh pelajaran tentang perangai yang mulia lagi terpuji. Apakah cerita seperti ini termasuk dusta yang dilarang?
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu kembali menjawab, “Yang zhahir, bila si ibu menceritakannya hanya sebagai perumpamaan dengan misalnya ia mengatakan, “Di sana ada seorang anak….” tanpa menyebut nama tertentu dan kisahnya seakan benar terjadi, maka tidak apa-apa, karena di dalamnya ada faedah dan tidak ada madharat.”
GAMBAR MAHLUK BERNYAWA
Dalam salah satu kurikulum pelajaran di sekolah-sekolah, anak diminta menggambar makhluk bernyawa atau diberikan gambar ayam betina yang belum lengkap, lalu dikatakan padanya, “Sempurnakanlah gambar ini.” Terkadang si anak diminta menggunting gambar bernyawa lalu menempelkannya di kertas, atau ia diminta mewarnai gambar tersebut. Apa pendapat antum tentang hal ini?
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih Al Utsaimin rahimahullahu berkata, “Saya memandang hal tersebut haram, wajib untuk dilarang. Para penanggung jawab pengajaran harus menunaikan amanah dalam masalah ini dan melarang perkara yang seperti ini. Bila mereka ingin mencari kejelasan tentang kecerdasan seorang murid, mereka bisa mengatakan, ‘Buatlah gambar mobil atau pohon’, atau benda-benda semisalnya yang diketahuinya. Dengan seperti itu dapat diketahui sejauh mana kecerdasan, kecermatan, dan penerapannya terhadap perkara-perkara yang ada.
Apa yang terjadi di sekolah-sekolah tersebut merupakan musibah yang menimpa manusia dengan perantara setan, padahal sebenarnya tidak ada bedanya membuat gambar pohon, gambar mobil, istana, ataupun gambar manusia. Karenanya aku memandang wajib bagi para penanggung jawab untuk melarang hal seperti itu. Bila memang terpaksa menggambar makhluk bernyawa maka hendaknya mereka menggambar hewan tanpa kepala.”
BERHIJAB DI HADAPAN ANAK LELAKI
Di hadapan anak lelaki usia berapakah seorang wanita ajnabiyyah harus berhijab? Apakah ketika si anak telah mencapai tamyiz ataukah saat ia baligh?
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu menjawab: “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman ketika menyebutkan orang-orang yang diperkenankan melihat perhiasan wanita (atau seorang wanita boleh menampakkan perhiasannya di hadapan mereka):
أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ
“…Atau anak-anak lelaki yang belum mengerti tentang aurat wanita.” (An-Nur: 31)
Dengan demikian bila seorang anak lelaki telah mengerti aurat wanita, yang membuatnya bisa menilai seorang wanita ketika memandangnya, dan ia banyak berbicara kepada si wanita (atau membicarakan wanita), maka tidak boleh wanita itu membuka perhiasannya di hadapan si anak (ia harus berhijab dari si anak). Adapun batas usianya, maka ini berbeda-beda pada setiap anak, ditinjau dari tabiatnya dan dengan siapa anak itu biasa duduk-duduk (teman duduknya). Karena seorang anak kecil terkadang bisa mengerti perkara wanita bila ia biasa duduk dengan orang-orang yang banyak membicarakan tentang wanita. Seandainya ia tidak duduk atau tidak mendengar dari mereka, niscaya si anak tidak paham dan tidak akan peduli dengan wanita. Yang penting dalam perkara ini Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan batasan dengan firman-Nya:
أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ
“Selama si anak belum mengerti aurat wanita dan tidak ambil peduli dengan perkara wanita maka si wanita boleh tidak berhijab di hadapannya.”
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
(Fatwa-fatwa di atas diambil dari kitab Majmu’ah As’ilah Tuhimmu Al-Usrah Al-Muslimah, hal. 138-141, 148-149)
http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=873