oleh Al-Ustadz Abdul Qodir Abu Fa’izah –hafizhahullah-
Menyambut ied (hari raya) merupakan kegembiraan tersendiri bagi seorang muslim, apalagi ia adalah pemegang sunnah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Sebab, hari-harinya ia lalui dengan sunnah dan bimbingan dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, sehingga ia banyak mendapatkan keutamaan dan pahala di hari-hari utama, seperti di hari ied.
Di kesempatan kali ini, kami akan menyertai anda dengan catatan-catan indah dalam menyambut ied, agar ied yang kita hadapi lebih berbobot di sisi Allah Robbul alamin. Beberapa catatan ini kami sarikan dari hadits-hadits shohih dan atsar para salaf, insya Allah.
Adapun catatan-catatan itu, maka silakan ikuti dengan seksama dalam beberapa buah titik (poin) di bawah ini. Semoga saja anda mendapati kebaikan di balik secuil tulisan ini:
1. Memperbanyak Takbir dari Hari Arafah sampai Akhir Tasyriq
Disunnahkan memperbanyak takbir pada Hari Arafah sampai hari terakhir dari Hari Tasyriq, yaitu dari tanggal 9 Dzulhijjah sampai 13 Dzulhijjah. Inilah yang disunnahkan pada hari-hari itu demi membesarkan Allah dan mengungkapkan rasa gembira dan kesyukuran kepada Pencipta dan Sembahan kita Yang Maha Agung, Allah -Azza wa Jalla-.
Para sahabat Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- dahulu telah menggalakkan sunnah dan kebiasaan yang indah ini dalam kehidupan mereka.
Syaqiq bin Abi Salamah Al-Asadiy -rahimahullah- berkata,
كَانَ عَلِيٌّ يُكَبِّرُ بَعْدَ صَلاَةِ الْفَجْرِ غَدَاةَ عَرَفَةَ ، ثُمَّ لاَ يَقْطَعُ حَتَّى يُصَلِّيَ الإِمَامُ مِنْ آخِرِ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ ، ثُمَّ يُكَبِّرُ بَعْدَ الْعَصْرِ
“Dahulu Ali bertakbir usai Sholat Shubuh di pagi Hari Arafah, lalu beliau tak menghentikannya sampai imam melakukan Sholat Ashar pada hari terakhir Hari Tasyriq. Kemudian beliau bertakbir lagi usai Sholat Ashar”. [HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (no. 5631), Al-Baihaqiy dalam Al-Kubro (no. 6069), Al-Hakim dalam Al-Mustadrok (no. 1113), dan Ath-Thobroniy dalam Fadhl Asyr Dzilhijjah (no. 35)]
Ali bin Tholib -radhiyallahu anhu- memberikan contoh kepada kita tentang tata cara bertakbir di hari-hari itu. Tentunya beliau adalah sahabat yang paling tahu tentang hal itu, sebab beliau telah menyaksikan kehidupan beragama di zaman kenabian. Tak mungkin beliau melakukannya tanpa ada sunnahnya. Pastilah beliau melakukannya dengan dasar ilmu. Apalagi sunnah yang beliau tetapkan diperintahkan oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- agar dipegangi.
Adapun lafazh takbir, maka tak ada yang shohih datangnya dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- . Akan tetapi disana ada beberapa atsar yang shohih datangnya dari para sahabat Radhiyallahu anhum ajma’in.
Dari sahabat Ibnu Mas’ud, beliau mengucapkan:
اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ لَاإِلَهَ إِلَّااللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
[HR.Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (2/168) dengan sanad yang shohih
Ibnu Abbas -radhiyallahu ‘anhu-, beliau mengucapkan:
اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ اَللهُ أَكْبَرُ وَأَجَلُّ اَللهُ أَكْبَرُ عَلَى مَا هَدَانَا
[HR.Al-Baihaqy dalam As-Sunan Al-Kubro (3/315) dengan sanad yang shohih.]
Salman Al-Farisy, beliau mengucapkan :“Bertakbirlah :
اَللهُ أَكْبَرُاَللهُ أَكْبَرُاَللهُ أَكْبَرُكَبِيْرًا
[HR.Al-Baihaqy dalam As-Sunan Al-Kubro (3/316) dengan sanad yang shohih.]
Adapun tambahan yang diberikan oleh orang-orang di zaman kita pada lafazh takbir, maka semua itu merupakan buatan orang-orang belakangan, tak ada dasarnya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar Asy-Syafi’i –rahimahullah–berkata dalam Al-Fath (2/536), “Di zaman ini telah diciptakan semacam tambahan pada masalah (lafazh takbir) itu yang tak ada dasarnya”.
Lebih rusak lagi, takbiran pada hari ini ditambahi dengan suara beduk, dan musik. Laa haula walaa quwwata illa billah. Semua itu adalah tatacara takbiran yang bid’ah dan pelakunya berdosa!!
2. Jangan Lupa Berhias
Di hari raya, anda jangan lupa berhias dengan menggunakan pakaian baru. Jika tak ada, pilihlah pakaian yang bersih. Sunnah ini diambil dari hadits Ibnu Umar, ia berkata,
أَخَذَ عُمَرُ جُبَّةً مِنْ إِسْتَبْرَقٍ تُبَاعُ فِيْ السُّوْقِ فَأَخَذَهَا فَأَتَى رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَارَسُولَ اللهِ اِبْتَعْ هَذِهِ تَجَمَّلْ بِهَا لِلْعِيْدِ وَالْوُفُوْدِ
” Umar mengambil jubah dari sutera yang dijual di pasar. Diapun mengambilnya lalu dibawa kepada Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- seraya berkata: [” Ya Rasulullah, Belilah ini agar engkau bisa berhias dengannya untuk hari ied dan para utusan …”] “[HR. Al-Bukhory dalam Shohih-nya (906), Muslim dalam Shohih-nya (2068)]
Al-Allamah Asy-Syaukani –rahimahullah– berkata,” Segi pengambilan dalil dari hadits ini tentang disyari’atkannya berhias di hari ied adalah adanya taqrir Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bagi Umar atas dasar bolehnya berhias di hari ied, dan terfokusnya pengingkaran beliau atas orang yang memakai jenis pakaian tersebut, karena ia (terbuat) dari sutera”. [Lihat Nail Al-Awthor (3/349)]
Salah bentuk berhias di hari raya, seseorang melakukan mandi, seperti halnya di hari Jumat. Mandi ini amat dianjurkan agar seseorang datang ke lapangan ied dengan penampilan yang bersih.
Imam para tabi’in, Sa’id bin Al-Musayyib -rahimahullah- berkata,
سُنَّةُ الفِطْرِ ثَلاَثٌ : المَشْيُ إلى المُصَلَّى ، والأَكْلُ قَبْلَ الْخُرُوْجِ ، والاغْتِسَالُ
“Sunnahnya Iedul Fithri ada tiga : berjalan kaki menuju lapangan, makan sebelum keluar (ke lapangan) dan mandi”. [HR. Al-Firyabiy dalam Ahkam Al-Iedain (no. 17-Syamilah). Hadits ini dinilai shohih sanadnya oleh Al-Albaniy -rahimahullah- dalam Al-Irwa’ (3/104)]
Sunnah ini jangan dipahami bahwa ia khusus dilakukan di hari raya Iedul Fithri saja, bahkan ia mencakup hari raya Iedul Adh-ha.
Seorang ulama tabi’in, Abdul Karim bin Malik Al-Jazariy[1] -rahimahullah-,
سنةُ الأَضْحَى سُنَّةُ الْفِطْرِ إلاَّ الذَبْحَ، قال: وسواءٌ في الخروج والخطبة والتكبير إلا الذبح
“Sunnahnya Iedul Adh-ha adalah sunnahnya Iedul Fithri”. Ia berkata lagi, “Sama dalam hal keluar (ke lapangan), khutbah dan takbir, kecuali dalam hal penyembelihan”. [HR. Abdur Rozzaq Ash-Shon’aniy dalam Al-Mushonnaf (no. 5695)]
Petunjuk ini sesuai dengan bimibingan dan jawaban mulia dari seorang sahabat mulia, Ali bin Abi Tholib -radhiyallahu anhu- saat beliau ditanya tentang waktu-waktu mandi yang disunnahkan, maka beliau menjawab,
يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَيَوْمَ عَرَفَةَ وَيَوْمَ النَّحْرِ وَيَوْمَ الْفِطْرِ
“(Mandi dilakukan) di hari Jum’at, hari Arafah (wuquf), hari Iedul Adh-ha, dan hari Iedul Fitri”. [HR.Asy-Syafi’i dalam Al-Musnad (114), Al-Baihaqy dalam As-Sunan Al-Kubro (no. 5919), Ath-Thohawiy dalam Syarh Ma’anil Atsar (no. 679) dan Ibnul Mundzir dalam Al-Awsath (4/256/no. 2112). Hadits ini dinilai shohih oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Irwa’ Al-Gholil (1/177)]
Inilah sunnah yang perlu kita perhatikan di hari ied agar ied kita lebih bermakna. Sebuah pemandangan yang kurang baik, jika ada diantara kaum muslimin hadir ke lapangan ied, dalam kondisi tak mandi, sementara ia memakai pakaian baru atau bersih. Orang malas seperti ini jelas menyalahi tuntunan dan sunnah Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-.
Terakhir, perlu kami ingatkan bahwa bukanlah berhias yang dianjurkan, seseorang memotong jenggot atau memangkasnya. Cukur jenggot dan memangkasnya adalah haram dalam Islam!!
Demikian pula bukanlah berhias yang disyariatkan, seorang wanita tampil dengan jilbab dan pakaian yang ketat, pendek, tipis, menyerupai wanita kafir serta menjadi perhiasan yang menarik perhatian kaum pria. Wanita juga diharamkan memakai wewangian!! Adapun pria, maka dianjurkan pakai parfum!!!
3. Lakukan Sholat Ied di Lapangan, Jangan di Masjid
Sebuah kebiasaan yang salah, jika kaum muslimin menunaikan sholat ied di masjid-masjid. Sunnah yang datang dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bahwa beliau bersama para sahabatnya keluar ke lapangan dan alam terbuka.
Sahabat mulia, Abu Sa’id Al-Khudriy -radhiyallahu anhu- berkata,
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى فَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلَاةُ
“Dahulu Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- keluar pada hari raya Iedul Fithri dan Iedul Adh-ha menuju lapangan. Perkara yang paling pertama beliau mulai adalah sholat[2]“. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (no. 956) dan Muslim dalam Shohih-nya (no. 889)]
Dua sholat ied yang dilakukan oleh kaum muslimin, sunnahnya dilakukan di lapangan, bukan di masjid!! Andaikan sholat ied di dalam masjid adalah lebih baik, maka Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- tak akan meninggalkan Masjid Nabawi yang memiliki keutamaan satu kali sholat di dalamnya masih lebih baik dibandingkan seribu kali sholat di masjid-masjid dan tempat-tempat lainnya.
Al-Imam Ibnul Hajj Al-Fasiy Al-Malikiy -rahimahullah- berkata,
والسنة الماضية في صلاة العيدين أن تكون في المصلى، لأن النبي صلى الله عليه وسلم قال: صلاة في مسجدي هذا أفضل من ألف صلاة فيما سواه إلا المسجد الحرام، ثم مع هذه الفضيلة العظيمة، خرج صلى الله عليه وسلم إلى المصلى وتركه، فهذا دليل واضح على تأكد أمر الخروج إلى المصلى لصلاة العيدين، فهي السنة، وصلاتهما في المسجد على مذهب مالك رحمه الله تعالى بدعة، إلا أن تكون ثم ضرورة داعية إلى ذلك فليس ببدعة لأن النبي صلى الله عليه وسلم لم يفعلها ولا أحد من الخلفاء الراشدين بعده
“Sunnah yang telah berlalu tentang dua sholat ied, keduanya (dilakukan) di lapangan. Karena, Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda, “Sholat di masjidku ini lebih utama dibandingkan seribu kali sholat pada selainnya, kecuali di Masjidil Haram”[3]. Kemudian seiring adanya keutamaan ini yang besar, (ternyata) Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- tetap keluar menuju lapangan dan meninggalkan masjidnya. Ini merupakan dalil yang gamblang tentang penekanan perintah keluar menuju lapangan untuk melakukan dua sholat ied. Itulah sunnahnya!! Melaksanakan dua sholat itu di masjid –menurut madzhab Malik -rahimahullah—adalah bid’ah!! Kecuali jika disana ada keadaan darurat yang mendorong kepada hal itu, maka itu bukan bid’ah. (Sholat ied di masjid adalah bid’ah), karena Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- tak pernah melakukannya tak pula seorang di antara Khulafa’ Rosyidin setelahnya”. [Lihat Al-Madkhol (2/283), cet. Darul Fikr, 1401 H]
Jadi, sunnah sholat ied ditunaikan di lapangan, bukan di masjid!! Adapun yang dilakukan oleh sebagian orang berupa pelaksanaan sholat ied di masjid, maka ini jelas menyalahi sunnah. Sebagian orang diantara mereka berdalih, “Bukankah penduduk Makkah di zaman Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- juga sholat ied di Masjidil Haram?!! Lantas kenapa kami disalahkan jika sholat di masjid kami?”
Syubhat bisa dijawab dari beberapa sisi. Pertama, keadaan daerah Makkah yang bergunung-gunung, sehingga tak ada tempat yang datar untuk dijadikan tempat berkumpul dalam melaksanakan sholat ied, kecuali harus keluar di tempat yang jauh. Nah, tentunya keadaan ini memberikan rukhshoh bagi mereka!![4]
Sisi lain, keutamaan Masjidil Haram yang jauh lebih besar dibandingkan dengan semua masjid dan tempat, termasuk masjid-masjid kita di Indonesia. Bahkan Keutamaan sholat di Masjidl Haram masih jauh lebih utama dibanding sholat di Masjid Nabawi.
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
وَصَلاَةٌ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَفْضَلُ مِنْ مائة أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ
“Sholat di Masjidil Haram lebih utama dibandingkan seratus ribu kali sholat pada selainnya”. [HR. Ibnu Majah dalam Sunan-nya (no. 1406) dan Ahmad dalam Al-Musnad (3/343). Hadits ini dinilai shohih oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Shohih At-Targhib (no. 1173)]
Dari sini, tampaklah kekeliruan sebagian orang yang menyamakan masjidnya dengan Masjidil Haram. Jadi, qiyas (analogi) yang diajukan oleh orang yang berdalih tadi adalah qiyas batil.
Sisi terakhir, Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- memberikan taqrir kepada penduduk Makkah untuk sholat ied di Masjidil Haram, karena keutamaan tadi. Sementara masjid-masjid lain tak ada keterangan dari beliau bahwa memberikan taqrir bagi penghuninya untuk sholat ied. Andaikan hal itu boleh dan utama, maka Masjid Nabawi lebih utama diadakan sholat di dalamnya. Tapi ternyata Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- meninggalkannya, lalu menuju ke lapangan untuk sholat ied.
Para pembaca yang budiman, sengaja kami perpanjang sunnah yang satu ini, karena kami pernah menemukan pernyataan sebagian orang NU mengingkari sunnahnya sholat ied di lapangan karena berdalih dengan syubhat di atas.
4. Perhatikan Sarapan Ied
Dianjurkan bagi orang yang mau melakukan sholat Iedul Fithri agar ia makan sesuatu sebelum berangkat kelapangan. Adapun orang yang mau menunaikan sholat Iedul Adh-ha, maka dianjurkan baginya makan sepulang dari lapangan, agar ia dapat mencicipi qurban yang ia sembelih atau qurban yang dibagikan oleh kaum muslimin.
Buraidah -radhiyallahu anhu- berkata,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْفِطْرِ لَا يَخْرُجُ حَتَّى يَطْعَمَ وَيَوْمَ النَّحْرِ لَا يَطْعَمُ حَتَّى يَرْجِعَ
“Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- tidaklah keluar di hari iedul Fithri sampai beliau makan, dan pada hari iedul Adh-ha beliau tak makan sampai beliau kembali”. HR. Ibnu Majah dalam As-Sunan (1756). Di-hasan-kan oleh Syu’aib Al-Arna’uth dalam Takhrij Al-Musnad (5/352/no.23033)
Al-Imam Zainuddin Ibnul Munayyir –rahimahullah– berkata: “Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- makan di dua hari ied pada waktu yang masyru’ (disyari’atkan) agar bisa mengeluarkan shodaqoh khusus bagi ied tersebut. Maka waktu mengeluarkan shodaqoh ied fithri sebelum berangkat (ke musholla), dan waktu mengeluarkan shodaqoh qurban setelah disembelih. Jadi, keduanya bersatu pada satu sisi, dan berbeda pada sisi yang lain.”. [Lihat Fath Al-Bari (2/448)]
Ulama Negeri Yaman, Al-Imam Asy-Syawkaniy -rahimahullah- juga berkata,
“Hikmah dalam pengakhiran sarapan pada hari Iedul Adh-ha bahwa ia adalah hari yang disyariatkan padanya penyembelihan (qurban) dan memakan dari sebagiannya. Lantaran itu, disyariatkan baginya agar sarapannya dengan (memakan) sesuatu darinya”. [Lihat Nail Al-Awthor (3/355)]
5. Sholat Ied Langsung tanpa Adzan
Bila tiba di musholla (lapangan), seseorang tidak dianjurkan sholat sebelum dan setelah sholat ied; juga tidak disunnahkan melakukan adzan dan iqomat, karena Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- kita tak pernah melakukan hal itu, kecuali jika sholat iednya di masjid karena ada halangan, maka ia harus sholat dua raka’at tahiyyatul masjid.
Ibnu Abbas -radhiyallahu anhu- berkata,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى يَوْمَ الْفِطْرِ رَكْعَتَيْنِ لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا وَلَا بَعْدَهَا
“Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- melaksanakan sholat iedul fithri sebanyak dua raka’at, namun beliau tidak sholat sebelum dan sesudahnya”. [HR.Al-Bukhory dalam Ash-Shohih (989)]
Al-Hafizh Ibnu Hajar –rahimahullah– berkata: “Walhasil, sholat ied tidak terbukti memiliki sholat sunnah sebelum dan setelahnya, berbeda dengan orang yang meng-qiyas-kannya dengan sholat jum’at”. [Lihat Fath Al-Bari (2/476)]
Jika tiba di lapangan, maka imam dianjurkan langsung mengerjakan sholat ied bersama jama’ah, tanpa didahului oleh sholat sunnah apapun, baik sholat Dhuha, atau yang lainnya.
Catatan lain yang tak kalah pentingnya diingat bahwa tak ada sunnahnya mengumandangkan adzan, iqomah atau ucapan lain yang biasa dibaca dan diucapkan oleh sebagian jamaah, seperti: “Ash-sholatu jami’ah rahimakumullah-”. Ucapan ini tak ada contohnya pada sholat ied.
Jabir bin Samurah -radhiyallahu ‘anhu- berkata,
صَلًَّيْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِيْدَيْنِ غَيْرَ مَرَّةٍ وَلَا مَرَّتَيْنِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ
“Aku telah melaksanakan sholat bersama Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- –bukan Cuma sekali dua kali saja– tanpa adzan dan iqomat”. [HR. Muslim dalam Shohih-nya (887)]
Al-Allamah Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah –rahimahullah- berkata, “Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- jika tiba di musholla, beliau memulai sholat, tanpa ada adzan dan iqomah; tidak pula ucapan, “Ash-Sholatu jami’ah“. Sunnahnya, tidak dilakukan semua itu”. [Lihat Zaadul Ma’ad (1/441)]
6. Simaklah Khutbah Ied sebelum Meninggalkan Lapangan
Salah satu tujuan diadakannya sholat, kaum muslimin diperintahkan dan dianjurkan mendengarkan nasihat umum yang disampaikan oleh khotib. Sebab, di dalam nasihat itu banyak faedah dan petuah indah bagi anda dalam mengarungi kehidupan ini.
Saking pentingnya khutbah ini, Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- memerintahkan orang-orang yang hakikatnya tak wajib hadir, seperti anak kecil, wanita haidh dan lainnya. Tapi karena pentingnya nasihat yang ada dalam khutbah ied, maka beliau perintahkan. Sekaligus kaum muslimin dengan berkumpulnya di lapangan akan tampak syiar Islam di depan kaum kafir!!!
Ummu Athiyyah -radhiyallahu anha- berkata,
أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِيْ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَ ذَوَاتِ الْخُدُوْرِ . فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلَاةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِيْنَ قُلْتُ يَارَسُوْلَ اللهِ إِحْدَانَا لَا يَكُوْنُ لَهَا جِلْبَابٌ؟ قَالَ: لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا
“Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- memerintahkan kami mengeluarkan para wanita gadis, haidh, dan pingitan. Adapun yang haidh , maka mereka menjauhi sholat, dan menyaksikan kebaikan (khutbah) dan doanya kaum muslimin. Aku berkata: “Ya Rasulullah, seorang di antara kami ada yang tak punya jilbab”. Beliau menjawab: “Hendaknya saudaranya memakaikan (meminjamkan) jilbabnya kepada saudaranya”. [Al-Bukhory dalam Ash-Shohih (971) dan Muslim dalam Ash-Shohih (890)]
Al-Hafizh Ibnu Hajar Asy-Syafi’i -rahimahullah- berkata, “Di dalamnya terdapat anjuran keluarnya para wanita untuk menyaksikan dua hari raya, baik dia itu gadis, ataupun bukan; baik dia itu wanita pingitan ataupun bukan”. [Lihat Fath Al-Bari (2/470)]
Bahkan sebagian ulama mewajibkan mereka keluar demi menyaksikan khutbah yang disampaikan oleh khotib, doa kaum muslimin serta jumlah mereka.
7. Saling Mendoakan di Hari Raya
Banyak orang lupa mendoakan saudaranya saat berjumpa di hari ied. Ia lupa mengucapkan doa selamat yang sunnah, “Taqobballahu minna wa minkum”.
Di hari raya kita disunnahkan untuk saling mengucapkan selamat dan doa bagi kaum muslimin yang lain saat kita berjumpa di hari itu atau setelahnya. Perkara ini perlu kami jelaskan, karena sebagian orang ada yang mengingkari hal ini dan ada juga yang memang jahil tentang sunnah ini, sehingga ia pun mengarang kata dan ucapan selamat yang sering kali melanggar batasan agama.
Sejumlah atsar telah menunjukkan bahwa disunnahkan bagi seorang muslim mengucapkan kata selamat bagi saudaranya di hari raya (ied) demi melengkapi rasa gembira mereka pada hari tersebut.
Dari Shofwan binAmer As-Saksakiy,iaberkata,
رأيت عبد الله بن بسر المازني وخالد بن معدان وراشد بن سعد وعبد الرحمن بن جبير بن نفير وعبد الرحمن بن عائذ وغيرهم من الأشياخ يقول بعضهم لبعض في العيد: تقبل الله منا ومنكم
“Aku pernah melihat Abdullah bin Busr Al-Maziniy, Kholid bin Ma’dan, Rosyid bin Sa’ad, Abdur Rahman bin Jubair bin Nufair, Abdur Rahman bin A’idz dan selain mereka dari kalangan para syaikh (guru), sebagian diantara mereka berkata kepada sebagian yang lain di hari ied,
تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ
“Semoga Allah menerima (segala amal sholih) dari kami dan kalian”. [HR. Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyqo (24/154) dan Abul Qosim Al-Ashbahaniy dalam At-Targhib wa At-Tarhib (no. 381)]
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy -rahimahullah- berkata,
فيبعد أن يقول هو والتابعون المذكورون معه شيئا دون أن يتلقوه عن الصحابة فتكون الروايتان صحيحتين فالصحابة فعلوا ذلك فاتبعهم عليه التابعون المذكورون ، والله سبحانه وتعالى أعلم
“Amat jauh sekali kalau dia (sahabat Abdullah bin Busr) dan para tabi’in yang tersebut bersamanya mengucapkan sesuatu, tanpa menerimanya dari para sahabat. Jadi, kedua riwayat itu shohih. Para sahabat telah melakukan hal itu. Karenanya, para tabi’in tersebut mengikuti mereka dalam hal itu. Hanya Allah -Subhanahu wa Ta’ala- yang lebih tahu”. [Lihat Tamam Al-Minnah (hal. 355)]
Ucapan selamat ini terus-menerus diabadikan oleh kaum muslimin terdahulu sampai hari ini. Di hari raya para salaf mengucapkan kalimat di atas kepada orang-orang Islam yang mereka jumpai, sebab di dalamnya terdapat doa.
Habib bin Abi Habib Al-Jarmiy berkata,
شهدت خالد بن عبد الله القسري بواسط يوم الأضحى قال ضحوا تقبل الله منا ومنكم فإني مضح بجعد بن درهم زعم أن الله لم يتخذ إبراهيم خليلا ولم يكلم موسى تكليما تعالى الله عما يقول الجعد بن درهم علوا كبيرا ثم نزل فذبحه
“Aku telah menyaksikan Kholid bin Abdillah Al-Qosriy di negeri Wasith pada hari Iedul Adh-ha, ia berkata,
“Berkurbanlah!! Semoga Allah menerima (amal sholih) dari kami dan kalian. Sesungguhnya aku akan menyembelih Ja’ad bin Dirham. Ia telah mengklaim bahwa Allah tidaklah menjadikan Ibrahim sebagai khalil (kekasih), Allah tidak berbicara dengan Musa. Maha tinggi Allah dari sesuatu yang dikatakan oleh Ja’ad bin Dirham dengan ketinggian yang besar. Kemudian Kholid Al-Qosriy turun dan menyembelihnya”. [HR. Al-Bukhoriy dalam At-Tarikh Al-Kabir (no. 143), Ad-Darimiy dalam Ar-Rodd ala Al-Jahmiyyah (no. 13 & 387), Al-Khollal dalam As-Sunnah (no. 1690), Al-Ajurriy dalam Asy-Syari’ah (no. 2000), Al-Baihaqiy dalam As-Sunan Al-Kubro (10/205), Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyqo (52/255). Atsar ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Mukhtashor Al-Uluw (hal. 75)]
Hendaknya kita ikut melestarikannya. Doa dan ucapan selamat ini lebih baik dibandingkan ucapan selamat hari raya yang berbunyi,
((مِنَ العَائِدِيْنَ وَالْفَائِزِيْنَ))
“Dari orang-orang yang berhari raya dan beruntung”.
Ucapan selamat yang masyhur ini tak mengandung doa. Ia hanya berupa ucapan yang samar dan susah dipahami maknanya. Apalagi di dalamnya terdapat unsur tazkiyah (penyucian diri), karena dengan doa ini, seseorang telah menganggap dirinya telah beruntung. Padahal kesudahan ibadah kita semuanya kembali kepada Allah. Kita hanya bisa berharap, tapi tak boleh memastikan.
Allah -Azza wa Jalla- berfirman,
فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى [النجم : 32]
“Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dia-lah Yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa”. (QS. An-Najm : 32)
Para pembaca yang budiman, disana ada juga ucapan selamat yang beredar di masyarakat kaum muslimin di hari raya dengan bunyi berikut:
كُلُّ عَامٍ وَأَنْتُمْ بِخَيْرٍ
“Setiap tahun datang, sedang anda berada dalam kebaikan”.
Ucapan ini pun masih perlu diteliti dan diperhatikan. Karena ia hanya merupakan harapan, bukan doa. Jadi, sebaik-baik ucapan selamat adalah doa yang dilestarikan dan diamalkan oleh para salaf -radhiyallahu anhum- dengan bunyi,
تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ
“Semoga Allah menerima (segala amal sholih) dari kami dan kalian”. [HR. Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyqo (24/154) dan Abul Qosim Al-Ashbahaniy dalam At-Targhib wa At-Tarhib (no. 381)]
Dari keterangan yang telah berlalu, maka kita sudah mengetahui tentang hukum mengucapkan kata selamat tersebut. Hal itu disunnahkan, karena dilakukan para sahabat dan tabi’in yang kita kenal dengan “Salaf”.
8. Jangan Menghamburkan Harta di Hari Raya
Sebagian orang di hari raya boros dalam membelanjakan harta bendanya sampai ia terkadang membeli sesuatu yang tak berguna, bahkan haram menurut agama, seperti yang kita lihat banyak diantara mereka membeli petasan dan mercon untuk anak-anak mereka. Ini adalah gaya hidup boros yang dicela agama!!
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
إِنَّ اللهَ كَرِهَ لَكُمْ ثَلَاثًا قِيلَ وَقَالَ وَإِضَاعَةَ الْمَالِ (الْأمْوَالِ) وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ
“Sesungguhnya Allah membenci bagi kalian tiga hal : desas-desus, menyia-nyiakan harta, dan banyak bertanya”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (1477) dan Muslim dalam Shohih-nya (593)]
Bayangkan saja, bila di dalam sehari anak kita menghabiskan uang seribu, lima ribu, dua puluh ribu, atau bahkan mungkin ratusan ribu demi membeli petasan!! Bukankah ini pemborosan dan menyia-nyiakan harta!!! Jawabnya, jelas pemborosan yang dilarang oleh syariat!!!! Nah, inilah yang dicintai oleh setan pada manusia.
Allah -Azza wa Jalla- berfirman,
إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا [الإسراء/27]
“Sesungguhnya pemboros-pemboros (mubadzdzir) itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya”. (QS. Al-Israa’ : 27)
Ayat ini berbicara tentang larangan berlebihan dan boros dalam mengeluarkan dan menginfakkan harta kepada manusia. Jika menginfakkan harta saja secara berlebihan di jalan kebaikan dilarang, maka tentunya menginfakkan di jalan yang tiada guna (seperti, membeli mercon) lebih utama dilarang.
Sebagian ahli tafsir menjelaskan bahwa makna pemborosan dalam ayat ini adalah membelanjakan harta dalam perkara yang sia-sia, bukan dalam rangka ketaatan kepada Allah.
Seorang Ahli Tafsir bernama Az-Zajjaj –rahimahullah– berkata, “At-Tabdzir (pemborosan) adalah berinfak di dalam selain ketaatan. Dahulu orang-orang jahiliah senang menyembelih unta dan memboroskan harta demi mencari kebanggaan dan popularitas. Karenanya Allah -Azza wa Jalla- memerintahkan berinfakkan sebagaimana adanya dalam perkara yang mendekatkan diri kepada Allah”. [Lihat Zaadul Masiir (4/158) karya Ibnul Jawziy]
Sebagian orang yang bermain petasan hanya ingin melampiaskan kesenangan, berbangga-bangga, dan mencari popularitas dengan meledakkan berbagai macam warna-warna petasan. Andaikan mereka kumpulkan harta yang mereka belanjakan tersebut demi berinfak dan bersedekah di masjid-masjid atau fakir miskin, niscaya kaum muslimin akan banyak terbantu dalam berbagai urusan. Dengan harta tersebut akan terbangun masjid-masjid, pesantren, dan berbagai fasilitas umum yang membawa banyak manfaat. Tapi demikianlah setan selalu menggoda manusia agar kikir di jalan kebaikan. Padahal di dalamnya banyak keutamaan dan ampunan dari Allah. Sebaiknya, setan justru mendorong manusia agar berlaku boros di jalan yang tiada guna. Sedang boros itu maksiat yang mendatangkan murka Allah.
Allah -Azza wa Jalla- berfirman,
الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُمْ بِالْفَحْشَاءِ وَاللَّهُ يَعِدُكُمْ مَغْفِرَةً مِنْهُ وَفَضْلًا وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيم [البقرة/268]
“Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjadikan untukmu ampunan dari-Nya dan keutamaan. dan Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengatahui”. (QS. Al-Baqoroh : 268)
Maknanya, setan menakut-nakuti kalian dengan kefakiran agar kalian tidak berinfak di jalan kebaikan. Sebaliknya ia akan memerintahkan kalian untuk bermaksiat dan berinfak di jalan maksiat. [Lihat Fathul Qodir (1/392) karya Al-Imam Asy-Syaukaniy]
[1]Ada kemungkinan lain bahwa ia adalah Abdul Karim bin Abil Mukhoriq Al-Bashriy. Karena, Ibnu Juraij memiliki dua guru yang bernama Abdul Karim, sedang dalam riwayat ini tak dijelaskan siapa orangnya.
[2] Yakni, Sholat ied sebagaimana akan datang hadits tentang itu.
[3] HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (no. 1190) dan Muslim dalam Shohih-nya (no. 1394)
[4] Jika ada yang bertanya, “Bukankah di zaman ini pekarangan Masjidil Haram sudah luas dan sudah banyak tempat datar di tempat-tempat terjangkau. Apalagi sudah ada fasilitas transportasi yang memadai?” Kami jawab, Kebiasaan yang sudah lama dilakukan, jika mau mengubahnya, maka akan melahirkan mafsadah yang lebih besar berupa perselisihan manusia dalam hal itu, sehingga ini pun memberikan rukhshoh. Sama kondisinya dengan Hijr Ismail yang tak dikembalikan ke qowa’id Ibrahim. Wallahu A’lam.
Sumber : pesantren-alihsan.org