Mungkin ada yang bertanya: “Kenapa dakwah Salafiyah sering membicarakan kejelekan fulan dan fulan, kelompok ini dan kelompok itu. Apakah ini bukan termasuk ghibah.” Ketahuilah wahai saudaraku, tidaklah semua ghibah diharamkan. Ada jenis ghibah tertentu yang diperbolehkan. Imam An Nawawi rahimahullah menjelaskan: “Ketahuilah bahwasanya ghibah diperbolehkan bila untuk tujuan yang benar dan syar’i yang tidak mungkin dapat dicapai (tujuan itu) kecuali dengannya.
Yang demikian itu dengan alasan enam sebab:
1. Karena terzhaliminya (seseorang).
2. Dalam rangka minta bantuan untuk merubah kemungkaran dan mengembalikan orang yang bermaksiat kepada kebenaran.
3. Minta fatwa.
4. Memperingatkan kaum Muslimin dari suatu kejelekan dan menasehati mereka. Yang demikian meliputi beberapa bentuk di antaranya dengan menerangkan kejelekan rawi-rawi hadits dan para saksi yang memiliki kejelekan. Hal itu diperbolehkan berdasarkan ijma’ kaum Muslimin bahkan wajib karena adanya kebutuhan … . Dan (bentuk lain) yaitu jika seseorang melihat seorang penuntut ilmu mondar-mandir mendatangi mubtadi’ atau seorang yang fasik, dia mengambil ilmu darinya dan dikhawatirkan si penuntut ilmu itu terpengaruh dengannya maka wajib bagi orang tadi untuk menasehatinya dengan menerangkan keadaan mubtadi’ tersebut. Dengan syarat dia bermaksud memberi nasehat … .
5. Adanya seseorang yang terang-terangan dengan kefasikannya dan kebid’ahannya.
6. Untuk pengenalan, (misalnya) seorang manusia terkenal dengan julukan si kabur matanya, si buta, si pincang, dan yang lain maka diperbolehkan memperkenalkan mereka dengan julukan-julukannya itu. Tetapi diharamkan jika tujuannya untuk mencela dan merendahkan. Dan seandainya memungkinkan untuk diperkenalkan dengan selain itu, itu lebih baik.”
Demikian dinukil secara ringkas dari Kitab Riyadhush Shalihin bab ke-256, Bab Perkara Diperbolehkan Berghibah halaman 525-527 tahqiq Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah.
Perhatikanlah jenis keempat, Imam An Nawawi menyatakan bahwa ghibah diperbolehkan jika dalam rangka memperingatkan kaum Muslimin dari suatu kejelekan dan untuk menasehati mereka. Berapa banyak kitab-kitab para ulama yang membahas kejelekan rawi-rawi hadits dan kelemahaan mereka, seperti Kitab Adh Dhu’afa karya Imam Bukhari, Nasa’i, Al Uqaili, dan Ad Daraquthni. Kitab Al Kamil fid Dhu’afa karya Ibnu Abi Hatim, Kitab Al Mughni fidh Dhu’afa karya Imam Adz Dzahabi dan berbagai kitab lainnya yang berisi jarh (kritikan) terhadap rawi-rawi hadits. Apakah kita menuduh para ulama telah melakukan ghibah terhadap individu-individu tertentu atau kelompok-kelompok tertentu. Na’udzu Billah.
“Ketahuilah, bahwa menyebutkan kejelekan seseorang diharamkan jika tujuannya semata-mata mencela, membongkar aib, dan merendahkan dia. Adapun jika di situ ada maslahat bagi seluruh kaum Muslimin atau khususnya bagi sebagian mereka dan bertujuan mencapai maslahat itu maka tidak diharamkan tetapi mandub (disunnahkan).” Tegas Ibnu Rajab Al Hambali dalam Al Farqu bainan Nashihah wat Ta’yir halaman 25.
Kita tidak akan tinggal diam ketika melihat kemungkaran-kemungkaran atau penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di tengah-tengah kaum Muslimin. Kita harus memperingatkan kaum Muslimin agar berhati-hati dari orang-orang yang menyimpang atau kelompok-kelompok yang menyimpang dari Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman para Salafus Shalih dari generasi shahabat, tabi’in, dan tabiut tabi’in.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Sebagian mereka berkata kepada Imam Ahmad bin Hanbal: ‘Sesungguhnya berat bagiku untuk mengatakan si fulan begini dan begitu.’ Maka beliau berkata: ‘Kalau Anda diam dan akupun diam, kapan orang yang tidak tahu akan tahu mana yang benar dan yang salah.’” (Naqdur Rijal halaman 39)
Baiklah, yang menjadi sorotan kita kali ini adalah penyimpangan aqidah Firqah Tabligh. Sejauh mana kelompok yang bertambah subur dimana-mana ini menyimpang dari aqidah yang benar, aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Pemahaman Syahadat Menurut Jamaah Tabligh
Dalam menafsirkan makna Laa Ilaaha Illallah terjadi kesalahan fatal (fatal error) pada mereka. Mereka menafsirkan lafadh itu dengan makna Rububiyah Allah. Yaitu bahwa Allah adalah Pencipta, Pemberi Rizqi, Pengatur Semua Urusan dan Yang Menghidupkan serta Yang Mematikan. Memang benar Allah demikian, tapi apakah makna seperti itu yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam ketika mendakwahi kaum musyrikin di jaman beliau. Tidak! Mengapa. Karena kaum musyrikin yang hidup di masa beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam telah memiliki keyakinan yang demikian. Allah kisahkan keadaan mereka itu dalam firman-Nya (yang artinya): Katakanlah: “Siapakah yang memberi rizki kalian dari langit dan bumi atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan.” Niscaya mereka akan menjawab: “Allah.” Maka katakanlah: “Mengapa kalian tidak mau bertaqwa (kepada-Nya).” (QS. Yunus: 31)
Katakanlah: “Kepunyaan siapakah bumi ini dan semua yang ada padanya jika mereka mengetahui.” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “Maka mengapa kalian tidak ingat.” Katakanlah: “Siapa yang mempunyai langit yang tujuh dan yang mempunyai ‘Arsy yang besar.” Mereka akan menjawab: “Milik Allah.” Katakanlah: “Maka apakah kalian tidak bertakwa.” Katakanlah: “Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (adzab)-Nya jika kalian mengetahui.” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “(Kalau demikian) maka dari jalan mana kalian ditipu.”(QS. Al Mukminun: 84-89)
Nah,.walau demikian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tetap memerangi mereka. Mengapa. Karena mereka tidak mengakui bahwa Allah saja yang berhak untuk diibadahi. Dan mereka tahu kalau mengucapkan syahadat berati mereka mengkufuri semua sesembahan mereka. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata: “Padahal mereka kaum musyrikin mengakui dan bersaksi bahwa Allah adalah Pencipta dan Pemberi Rizki sendiri saja tanpa sekutu. Dan tidak ada pemberi rizki kecuali Dia. Tidak ada yang menghidupkan dan mematikan kecuali Dia. Tidak ada yang mengatur alam kecuali Dia. Semua langit yang tujuh dan para penghuninya, bumi-bumi dan para penghuninya semuanya adalah hamba-hamba-Nya dan dalam kekuasaan-Nya dan kalau Anda menginginkan dalil bahwa mereka yang diperangi oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam juga meyakini seperti ini, bacalah ayat … .” (Kemudian beliau membawakan ayat-ayat tadi). (Lihat Kasyfusy Syubuhat halaman 9-10, ta’liq Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin)
Pemahaman menyimpang di atas terjadi pula pada Jamaah Tabligh ini. Mereka menafsirkan kata Illah dalam syahadat dengan Rububiyah. Ini dinyatakan oleh Syaikh Hammud dan dialaminya sendiri oleh beliau serta teman-temannya yang lain ketika berdialog dengan salah seorang tokoh mereka ketika ditanyakan tentang makna Illah dalam syahadat.
Adapun dalam hal tauhid Asma’ was Shifat, di kalangan orang-orang tabligh ada yang berpemahaman Asy’ariyah dan Maturidiyah. Kedua madzhab ini termasuk dalam madzhab yang menyelisihi aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah. (Al Qaulul Baligh halaman 8 )
Pengingkaran Jamaah Tabligh Terhadap ‘Uluwullah
Dalam kitab Al Qaulul Baligh halaman 42-43 disebutkan kisah seorang pemimpin Jamaah Tabligh di Saudi Arabia yang beraqidah Maturidiyah dan mengingkari ‘Uluwullah (sifat ketinggian bagi Allah di atas makhluk-Nya). Syaikh Hammud At Tuwaijiri mengisahkan bahwa seorang guru di Jama’atul Islamiyah Madinah mengirim surat kepadanya. Dalam surat itu, guru tadi berkata: “Suatu kisah pernah saya alami, seseorang datang menemuiku hendak mengingkari kritikan saya terhadap Jamaah Tabligh. Aku berkata kepadanya: “Sesungguhnya mereka berpemahaman sufi dan Maturidiyah, mereka enggan mensifati Allah dengan sifat ‘Uluw.” Dia (seorang tablighi) berkata: “Apa buktinya.” Aku berkata kepadanya: “Pergilah dan buktikan sendiri!” Maka dia pergi, selang beberapa hari dia datang kepadaku dan berkata: “Apa yang anda katakan bahwa mereka tidak mengakui bahwa Allah di atas dan bersemayam (istiwa’) di atas ‘Arsy-Nya adalah benar. Aku bertanya kepadanya: “Bagaimana Anda bisa tahu hal itu.” Dia berkata: “Aku mendatangi seorang pimpinan Tabligh yang bernama Sa’id Ahmad, dia sangat percaya kepadaku karena aku termasuk muridnya. Aku berkata kepadanya: ‘Aku benar-benar tidak meragukan keyakinan kita bahwa Allah ada di setiap tempat dan Dia tidak berada di atas langit. Akan tetapi dengan apa kita membantah
orang yang mengatakan bahwa Allah di atas langit.’ (Sa’id Ahmad) berkata: ‘Tinggalkanlah mereka dan tetaplah di atas aqidahmu karena itulah yang benar!’”
Perhatikanlah pentolan Tabligh ini! Dia dengan tegas mengatakan bahwa Allah berada di mana-mana dan tidak bersemayam di atas ‘Arsy-Nya. Bukankah keyakinan seperti ini menyimpang dari keyakinan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Ahlus Sunnah wal Jamaah meyakini bahwa Allah di atas seluruh makhluk-Nya, beristiwa’ di atas ‘Arsy-Nya, berada di atas langit-Nya, di atas makhluk-Nya, terpisah dari mereka, Dia mengetahui amalan-amalan mereka, mendengar ucapan-ucapan mereka, melihat gerak dan diamnya mereka, tidak ada yang tersembunyi bagi Allah sedikitpun. (Shifatullahi ‘Azza wa Jalla halaman 186)
Betapa banyak ayat dalam Al Qur’an yang menjelaskan tentang ‘Uluwullah, di antaranya Allah berfirman (yang artinya):
“Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi.” (QS. Al A’la: 1)
“Dan Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya.” (QS. Al An’am: 18)
“Apakah kalian merasa aman terhadap Allah yang di atas langit bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kalian sehingga dengan tiba-tiba bumi itu berguncang.” (QS. Al Mulk: 16)
“Tuhan Yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas ‘Arsy-Nya.” (QS. Thaha: 5)
Juga dalam hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dijelaskan tentang ‘Uluwullah. Di antaranya kisah dialog Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dengan seorang budak wanita milik Mu’awiyah bin Al Hakam As Sulami radliyallahu ‘anhu. Beliau bertanya kepada budak tersebut: “Di manakah Allah.” Dia menjawab: “Di atas langit.” Beliau bertanya lagi: “Siapakah aku.” Dia menjawab: “Engkau adalah Rasulullah.” Maka beliau berkata (kepada Mu’awiyah): “Merdekakanlah dia karena sesungguhnya dia adalah seorang perempuan Mukminah.” (HR. Ahmad dan Muslim)
Bandingkanlah antara budak wanita yang hidup di masa Rasulullah ini dengan tokoh Tabligh tersebut. Meskipun statusnya sebagai budak tetapi dia lebih pandai daripada tokoh Tabligh itu. Memang kesesatan itu tidak pandang bulu. Allah Subhanahu wa Ta’ala menunjuki siapa yang Dia kehendaki dan menyesatkan siapa yang Dia kehendaki pula. Syaikh Hammud At Tuwaijiri mengomentari kisah tokoh Tabligh tadi: “Ini adalah penyimpangan terbesar dalam aqidah orang-orang Tabligh, yaitu mengingkari ‘Uluwullah di atas makhluk-Nya. Inilah madzhab Jahmiyah (para pengikut Jahm bin Shafwan yang mengingkari sifat ‘Uluwullah, pent.) yang dikafirkan oleh kebanyakan ulama Salaf.
Maka hendaknya orang-orang yang ingin bergabung dengan Jamaah Tabligh mengambil pelajaran dari kisah seorang pimpinan Jamaah mereka itu yang meyakini bahwa Allah berada di setiap tempat dan tidak berada di atas langit! Ini adalah kekufuran yang nyata karena bertentangan dengan dalil-dalil yang banyak dari Al Kitab, As Sunnah, dan ijma’ kaum Muslimin yang menyatakan bahwa Allah di atas seluruh makhluk-Nya dan Allah bersama makhluk dengan ilmu-Nya, pengawasan-Nya, dan peliputan-Nya. Hendaknya seorang Mukmin –yang menasehati dirinya– berhati-hati untuk bergabung dengan orang-orang Tabligh yang mengingkari ketinggian Allah di atas makhluk-Nya dan menyangka bahwa Allah berada di setiap tempat. Maha Tinggi Allah dari apa-apa yang dikatakan oleh orang-orang yang dhalim.” (Al Qaulul Baligh halaman 43-44)
Jamaah Tabligh Mengagung-agungkan Kuburan
Termasuk kesesatan Tabligh dalam hal aqidah adalah mereka mendatangi kuburan tokoh-tokoh mereka kemudian berdoa dan menanti ilmu laduni (kasyaf, ilmu menyingkap rahasia-rahasia tersembunyi), karamah-karamah, dan ikatan batin dengan orang-orang yang ada di kuburan itu. Bukti atas ucapan ini adalah sebagaimana disebutkan oleh Muhammad Aslam dalam kitabnya yang berjudul Jamaah Tabligh ‘Aqidatuha wa Afkaru Masyayikhiha. Pengarang berkata pada halaman 3: “Bahwasanya tokoh utama orang-orang Tabligh, Muhammad Ilyas, duduk di belakang kuburan Abdul Quddus Al Kankuhi (seorang pemimpin tarikat Sufi beraliran Jistiyah) pada sebagian besar waktunya. Dan dia juga duduk berkhalwat (bersendiri) di dekat kuburan Sa’id Al Badayuni dan shalat jamaah di sana.” (Lihat Al Qaulul Baligh halaman 65)
Tidak diragukan lagi bahwa perbuatan tokoh mereka ini adalah perbuatan syirik bahkan menyerupai perbuatan Yahudi dan Nashara. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda (yang artinya): “Laknat Allah terhadap Yahudi dan Nashara, mereka menjadikan kuburan para Nabi mereka sebagai masjid.” (Aisyah berkata): “Beliau memperingatkan apa yang mereka lakukan dan seandainya jika tidak ada (peringatan itu) niscaya kuburan beliau ditampakkan (ditinggikan) tetapi karena beliau takut kalau kuburannya dijadikan masjid (maka tidak ditampakkan).” (HR. Bukhari dan Muslim dari Aisyah radliyallahu‘anha)
Ketika Ummu Habibah dan Ummu Salamah menerangkan keadaan gereja yang berada di negeri Habasyah (Ethiopia), keduanya menyebutkan keindahannya dan gambar-gambar yang ada di dalamnya. Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda (yang artinya): “Mereka adalah suatu kaum yang jika ada seorang yang shalih meninggal di antara mereka, mereka membangun masjid di atas kuburannya dan mereka membuat gambar-gambar itu (gambar orang shalih tersebut). Mereka adalah sejelek-jelek makhluk di sisi Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan: “Dengan sebab inilah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam melarang menjadikan masjid-masjid di atas kuburan karena hal itu yang banyak menjerumuskan kebanyakan umat-umat ke dalam syirik akbar dan yang lebih rendah/hina dari itu. Sesungguhnya jiwa-jiwa manusia akan berbuat kesyirikan terhadap patung orang-orang shalih dan gambar-gambar yang dianggap sebagai mantera-mantera dan yang semacamnya. Kesyirikan karena adanya kuburan seseorang yang diyakini keshalihannya adalah lebih dekat kepada jiwa-jiwa manusia dibanding kesyirikan karena mengagungkan sebuah pohon atau sebuah batu. Oleh karena itu, Anda akan menjumpai orang-orang yang berbuat syirik, merendahkan diri, khusyu’, hening, dan menunaikan ibadah di kuburan-kuburan tersebut yang tidak mereka lakukan ketika berada di rumah-rumah Allah dan di waktu sahur.
Di antara mereka ada yang sujud kepada kuburan itu. Dan kebanyakan mereka mengharapkan barakah shalat dan berdoa di tempa itu apa yang mereka tidak harapkan ketika di masjid-masjid. Karena kerusakan itulah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam memutuskan penyebab utamanya. Hingga beliau melarang shalat di kuburan secara mutlak. Walaupun orang yang shalat di situ tidak mengharapkan barakah tempat tersebut sebagaimana ketika shalat di masjid. Sebagaimana beliau melarang shalat ketika matahari terbit dan ketika terbenam. Karena waktu-waktu itu adalah waktu shalat bagi kaum musyrikin kepada matahari. Maka beliau melarang umatnya shalat ketika itu meskipun ia tidak bermaksud sebagaimana tujuan kaum musyrikin, (hal ini dilakukan) dalam rangka menutup jalan menuju larangan.
Adapun jika seseorang shalat di sisi kuburan dengan tujuan mencari barakah di tempat itu maka ini benar-benar menentang Allah dan Rasul-Nya, menyelisihi agama Rasul dan melakukan kebid’ahan dalam agama yang tidak pernah diizinkan oleh Allah. Karena kaum Muslimin telah sepakat –berdasarkan apa yang mereka ketahui dari agama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam– bahwa shalat di sisi kuburan adalah terlarang dan bahwasanya beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam melaknat orang yang menjadikan kuburan sebagai tempat sujud. Karena termasuk kebid’ahan terbesar dan sebab-sebab perbuatan syirik adalah shalat di sisi kuburan, menjadikannya sebagai tempat sujud, dan membangun masjid-masjid di atasnya. Telah mutawatir dalil-dalil dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam akan larangan dan sikap keras beliau terhadap (orang yang) membangun masjid di atas kuburan dan sujud di sisinya … .” (Lihat Fathul Majid halaman 275-276)
Keterkaitan Jamaah Tabligh Dengan Jimat-Jimat
Di antara kesyirikan-kesyirikan yang tersebar di kalangan Jamaah Tabligh adalah menggantungkan jimat-jimat yang berisi mantera-mantera, nama-nama yang asing, nomor-nomor atau rumus-rumus yang aneh yang tidak terlepas dari permintaan, pertolongan, dan perlindungan kepada selain Allah. (Lihat Al Qaulul Baligh halaman 13)
Tidakkah mereka mengetahui bahwa memakai jimat-jimat hukumnya haram dan termasuk syirik asghar. Bahkan bisa menjadi syirik akbar jika seandainya orang yang memakainya bergantung sepenuhnya kepada jimat-jimat tersebut. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda (yang artinya): “Barangsiapa menggantungkan jimat-jimat maka sungguh dia telah berbuat syirik.” (HR. Ahmad dan Al Hakim dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam As Shahihah nomor 492)
Dan sungguh keras ancaman Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap orang-orang yang berbuat syirik. Allah berfirman (yang artinya): “Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah maka pasti Allah mengharamkan padanya Surga dan tempatnya ialah di neraka, tidaklah ada bagi orang yang dhalim itu seorang penolong pun.” (QS. Al Maidah: 72)
Penutup
Dari sejumlah penyimpangan-penyimpangan yang telah disebutkan di atas, cukup bagi kita untuk menilai sampai sejauh mana jamaah ini menyeleweng dari aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Ahlus Sunnah wal Jamaah sangatlah memperhatikan perbaikan perkara aqidah di tengah umat ini. Bahkan yang pertama kali mereka (Ahlus Sunnah) dakwahkan adalah bagaimana mengaplikasikan penghambaan seseorang kepada Allah semata dan menjauhkannya dari segala kesyirikan dan penghambaan kepada selainAllah.
Adapun Jamaah Tabligh tidak menghiraukan sama sekali perkara aqidah. Sehingga tak heran kalau mereka tidak memahami makna hakiki dari kalimat tauhid Laa Ilaaha Illallah. Bahkan mereka (Jamaah Tabligh) menghalang-halangi orang-orang yang berdakwah kepada tauhid dan menganggap dakwah tauhid adalah dakwah pemecah-belah umat.
Asas dakwah Jamaah Tabligh dibangun di atas kejahilan dan kebodohan. Mereka menghalang-halangi para pemuda untuk menuntut ilmu agama dan menganggap bahwa ilmu agama itu bisa didapatkan dengan melakukan khuruj fi sabilihim (keluar berdakwah di jalan mereka bukan di jalan Allah) tanpa mendatangi para ulama dan menuntut ilmu dari mereka. Akibatnya, kesyirikan-kesyirikan, khurafat-khurafat, dan kebid’ahan-kebid’ahan tumbuh subur di kalangan mereka. Dan hasil dari dakwah yang berdiri di atas kebodohan adalah kebodohan pula, tidak ada yang lain.
Maka penulis menasehatkan kepada seluruh pembaca agar berhati-hati dari Jamaah Tabligh atau seluruh jamaah-jamaah yang menyimpang dari manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah As Salafiyah Al Firqatun Najiyah Ath Tha’ifah Al Manshurah. Di hadapan kita banyak dai-dai yang mengajak kepada kesesatan sebagaimana yang digambarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam ketika menafsirkan ayat: “Dan bahwasanya inilah jalanku yang lurus maka ikutilah dia dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain karena jalan-jalan itu akan mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepada kalian agar kalian bertakwa.” (QS. Al An’am: 153)
Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menggaris sebuah garis dengan tangannya kemudian berkata: “Inilah jalan Allah yang lurus.” Kemudian beliau menggaris sejumlah garis di sebelah kanan dan kiri garis itu kemudian bersabda: “Dan inilah jalan-jalan,tidaklah setiap jalan kecuali terdapat syaitan yang mengajak kepadanya.” (HR. Ahmad, Nasa’i, dan Al Hakim dan dishahihkan oleh Al Hakim dan disepakati oleh Adz Dzahabi)
Wallahu A’lam Bish Shawab.
Sumber: assunnah.cjb.net
Penulis: Al Ustadz Azhari Asri