Bimbingan Ulama
menyikapi
Natal dan Tahun Baru
Penyusun: Al-Ustadz Muhammad Rifqi hafidzahullah
Para pembaca yang berbahagia,
Hari Natal dan Tahun Baru sering menjerumuskan kaum muslimin. Natal merupakan salah satu hari raya umat Kristen dalam rangka memperingati kelahiran Isa al-Masih ‘alaihissalam yang menurut anggapan mereka jatuh pada tanggal 25 Desember. Sedangkan perayaan Tahun Baru adalah perayaan untuk menyambut berakhirnya masa satu tahun kalender Masehi (Gregorian) dan menandai dimulainya hitungan tahun selanjutnya pada tanggal 1 januari. Bagaimanakah pandangan Islam dalam hal ini? Islam –sebagai agama yang sempurna- melalui para ulama, telah memberikan bimbingan yang tepat kepada umatnya di dalam menyikapi 2 hari raya tersebut sebagaimana berikut ini:
Tentang perayaan Tahun Baru Masehi beliau rahimahullah juga menyebutkan: “Larangan dari Perayaan yang dinamakan Malam Tahun Baru Masehi. Dan ini termasuk dari perkara yang dilakukan oleh kebanyakan manusia pada musim dingin, yang menurut anggapan mereka bahwa pada saat itulah Nabi Isa ‘alaihissalam dilahirkan. Maka seluruh yang dilakukan pada malam-malam ini merupakan kemungkaran seperti menyalakan api, membuat makanan (menyambut Tahun Baru), membeli lilin dan selainnya (seperti terompet, pent). Karena sesungguhnya menjadikan hari-hari kelahiran sebagai hari raya adalah berasal dari ajaran Kristen. Yang demikian ini, tidak ada asalnya dalam ajaran Islam.” (al-Amru bil Ittiba’ wa Nahyu ‘anil Ibtida’, hal 122)
Pertanyaan: “Apa hukumnya turut serta bersama orang-orang Kristen dalam merayakan hari-hari raya mereka? Berilah kami fatwa semoga Allah subhanawata’ala memberi pahala kepada kalian.
Jawab: “Tidak boleh untuk turut serta bersama orang-orang Kristen dan selain mereka dari kalangan orang-orang kafir dalam merayakan hari-hari raya mereka. Karena perbuatan yang demikian merupakan bentuk tolong-menolong dalam dosa dan pelanggaran, menyetujui kemungkaran yang ada pada mereka, dan menunjukkan kecintaan kepada mereka. Allah subhanawata’ala telah menyebutkan dalam firman-Nya tentang sifat hamba-hamba Allah subhanawata’ala, diantaranya adalah: “Dan orang-orang yang tidak menghadiri az-Zur.” (al-Furqan: 72). Tafsir ayat tersebut adalah (diantara sifat hamba-hamba Allah subhanawata’ala) mereka tidak menghadiri acara-acara kemungkaran, seperti hari-hari raya orang-orang kafir dan selainnya.” (al-Lajnah ad-Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta 1/ 441, No. 16426)
Pertanyaan: “Apakah boleh bagi seorang muslim untuk turut serta bersama orang-orang Kristen dalam hari-hari raya Kristen seperti hari Natal –yang jatuh pada akhir bulan Desember- ataukah tidak? Di lingkungan kami terdapat orang-orang yang dianggap alim ulama akan tetapi mereka menghadiri acara orang-orang Kristen yaitu pada hari raya Kristen dan mereka berpendapat bolehnya untuk menghadiri acara tersebut. Apakah pendapat yang demikian benar atau tidak? Apakah mereka memiliki landasan syar’i atas bolehnya atau tidak?
Jawab: “Tidak boleh turut serta bersama orang-orang Kristen dalam hari-hari raya mereka, walaupun yang turut serta di dalamnya adalah orang-orang yang dianggap alim ulama. Karena dalam perbuatan yang demikian akan memperbanyakjumlah mereka dan merupakan bentuk tolong-menolong dalam dosa. Allah subhanawata’ala berfirman: “Dan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (al-Maidah: 2) (al-Lajnah ad-Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta 2/ 76, No. 8848)
Beliau rahimahullah menjawab: “Memberi ucapan selamat kepada orang-orang kafir (Kristen) pada hari Natal atau selainnya dari hari-hari raya keagamaan mereka hukumnya adalah haram menurut kesepakatan para ulama. Sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam bukunya ‘Ahkan Ahli Dzimmah’: “Adapun memberi ucapan selamat terhadap syi’ar-syi’ar kekafiran yang menjadi cirri khasnya maka hukumnya adalah haram menurut kesepakatan para ulama. Seperti memberi ucapan selamat kepada mereka pada hari-hari raya dan puasa dengan mengucapkan, ‘Hari raya yang penuh keberkahan untukmu’ atau engkau memberi ucapan selamat dengan hari raya tersebutdan yang semacamnya. Maka yang demikian ini, apabila si pengucapnya selamat dari kekufuran, minimalnya perbuatan tersebut adalah haram. Ibaratnya dia mengucapkan slamat atas sujudnya yang demikian lebih besar dosanya di sisi Allah subhanawata’ala dan sangat dibenci daripada mengucapkan selamat kepada mereka karena mereka meminum minuman keras, membunuh orang lain, berzina dan semacamnya. Kebanyakan orang-orang yang tidak paham agama terjatuh ke dalam perbuatan ini dan tidak mengetahui keburukan perbuatannya.
Maka barangsiapa yang memberi ucapan selamat kepada orang yang melakukan kemaksiatan, kebid’ahan atau kekafiran berarti ia telah menyerahkan dirinya untuk menerima kebencian dan kemurkaan Allah.”
(Asy-Syaikh al-‘Utsaimin rahimahullah berkata), Haramnya memberi ucapan selamat kepada orang-orang kafir pada hari-hari raya keagamaan mreka, dan sebagaimana pula yang diucapkan oleh Ibnul Qoyyim rahimahullah, karena yang demikian berarti menyetujui kekafiran mereka dan ridho dengannya. Walaupun ia tidak ridha, kekafiran tersebut mengenai dirinya namun diharamkan bagi setiap muslim untuk meridhai kekafiran atau memberi ucapan selamat dengannya pada diri orang lain.
Karena Allah subhanawata’ala tidak meridhai yang demikian sebagaimana firman Allah subhanawata’ala: “Jika kamu kafir maka sesungguhnya Allah tidak membutuhkan (ilmu)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu.” (az-Zumar: 7).
Allah subhanawata’ala juga berfirman: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu sebagai agama bagimu.” (al-Maidah: 3)
Memberi ucapan selamat kepada mereka hukumnya haram, sama saja apakah terhadap mereka (orang kafir) yang punya hubungan bisnis dengan seorang muslim ataukah tidak. Apabila mereka memberi ucapan selamat kepada kita pada hari-hari raya mereka maka kita tidak boleh membalasnya karena itu bukan hari raya kita. Dan hari raya mereka tidak diridhai Allah subhanawata’ala. Karena hari-hari raya mereka bisa jadi sesuatu yang diada-adakan atau disyariatkan dalam agama mereka akan tetapi itu semua telah dihapus oleh Islam dengan diutusnya Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihiwasallam oleh karena Allah subhanawata’ala kepada seluruh makhluk.
Allah subhanawata’ala berfirman: “Barangsiapa mencari agama selain islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali-Imran: 85).
Haram hukumnya bagi setiap muslim untuk memenuhi undangan hari raya mereka. Karena perbuatan yang demikian lebih buruk dari pada memberi ucapan selamat kepada mereka dikarenakan dia telah turut serta di dalamnya. Demikian pula diharamkan bagi setiap muslim untuk menyerupai orang-orang kafir dengan mengadakan pesta, tukar-menukar hadiah, membagi-bagi permen, menyediakan makanan, libur kerja dan semisalnya pada saat hari raya mereka. Karena Rasulullah shalallahu ‘alaihiwasallam bersabda: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka ia bagian dar mereka.” (HR. Ahmad 2/ 50, 92)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan dalam kitabnya ‘Iqtidha Shirathal Mustaqim’: “Menyerupai orang-orang kafir pada sebagian hari-hari raya-nya akan menanamkan rasa senang dalam hati mereka terhadap kebatilan yang ada pada diri mereka. Yang demikian bisa jadi akan memberi semangat bagi mereka untuk mengambil kesempatan (menjalankan misi) dan merendahkan orang-orang yang lemah.”
(Asy-Syaikh al-‘Utsaimin rahimahullah berkata), “Dan barangsiapa yang melakukan demikian maka ia berdosa baik melakukannya karena sekedar formalitas, rasa suka, malu atau sebab lainnya. Karena yang demikian berarti telah melakukan penipuan terhadap agama dan menjadi sebab semakin menguatnya jiwa orang-orang kafir dan membuat mereka semakin bangga terhadap agama mereka.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail al-‘Utsaimin 3/ 44 – 4, fatwa no. 404).
Pertanyaan: “Di sana ada sebagian kaum muslimin yang merayakan hari-hari raya orang-orang kafir dan hari-hari raya yang tidak disyariatkan oleh Allah subhanawata’ala seperti hari ibu, hari raya musim semi rakyat Mesir dan hari raya tahun baru. Apa hukumnya orang yang merayakan hari-hari raya tersebut?
Jawab: “Semua hari raya ini adalah bid’ah (tidak ada asalnya dalam Islam), tidak boleh untuk ikut nerayakannya dan tidak boleh pula untuk menjadikannya sebagai hari raya. Dan tidak ada di dalam ajaran Islam selain dari 2 hari raya yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.
Oleh karena itulah wajib bagi setiap orang yang Allah subhanawata’ala telah terangi pandangannya dengan mengetahui kebenaran agar memberikan nasehat dan bimbingan dengan penuh hukmah kepada siapapun yang merayakan hari-hari raya yang bid’ah tersebut. Apabila dia mau menjauh dari perbuatan tersebut maka dia tidak terkena dosa dan apabila tetap bersikeras di atas kebid’ahan tersebut maka ia berdosa.” (al-Lajnah ad-Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta 1/ 437, soal ke 1 No. 16419)
Hal ini sebagai tafsir dari firman Allah subhanawata’ala: “Dan orang-orang yang tidak menghadiri az-Zur.” Tafsir dari ayat ini adalah (termasuk dari sifat hamba-hamba Allah subhanawata’ala) mereka tidak menghadiri acara-acara kemungkaran, seperti perayaan-perayaan orang kafir.” (al-Wala wal Bara, hal. 13).
Wallahu a’lan bish shawab.
Sumber : diketik ulang untuk darussalaf.or.id dari Buletin Jum’at Al-Ilmu Edisi 08/II/XII/1435H