“Motivasi yang menggebu-gebu untuk mengejar tujuan sangat membantu karier atau studi. Kali ini adalah peluang baik untuk memulai obsesi yang terpendam selama ini. Buatlah kesempatan.”
Tunggu dulu! Jangan terburu-buru saudara menyangka saya mengetahui masa depan dan aktivitas saudara terutama bagi saudara yang terlahir pada tanggal 23 Oktober – 21 November atau seringnya orang menyebut saudara berbintang Scorpio. Akan tetapi kalimat di atas adalah secuplik kalimat ramalan astrolog yang kami ambil dari sebuah koran ternama di kota pelajar dalam rubrik perbintangan.
Dilihat dari nama rubriknya, dapat diketahui bahwa dasar pemikiran para astrolog atau yang sejalan pemikirannya dengan mereka adalah letak dan konfigurasi bintang-bintang di langit. Misalnya, bila letak gugusan bintang Bima Sakti di arah A lalu kebetulan ada seorang bayi lahir tepat pada malam ketika bintang itu terbit maka diramalkan bayi itu akan menjadi orang terkenal setelah besar nanti.
Apabila kita perhatikan ramalan di atas, akan terlihat bahwa si peramal mencoba atau seolah-olah mengetahui hal-hal ghaib. Seakan ia mampu membaca dan menentukan nasib seseorang. Dengan dasar ini ia memerintah dan melarang pasiennya untuk berbuat sesuatu. Bahkan ia sering menakut-nakutinya meskipun akhirnya memberi kabar gembira atau hiburan dengan kata-kata manis. Bagi orang yang senang akan rubrik seperti tersebut di atas atau yang suka membaca buku-buku astrologi (ramalan-ramalan bohong) terkadang ramalan itu cocok dengan keadaan yang di alami. Namun yang menjadi permasalahan, darimana pikiran peramal itu mencuat? Bagaimana pandangan Islam terhadap masalah ini?
Sesungguhnya perkara-perkara ghaib hanyalah Allah yang mengetahui. Dan ini adalah hak prerogatif Allah semata, selain makhluk yang Ia beritahukan tentangnya, seperti sebagian Malaikat dan para Rasul sebagai mukjizat. Dalam hal ini, Allah berfirman :
“(Dia adalah Rabb) Yang mengetahui yang ghaib. Maka Dia tidak memperlihatkan kepada seseorang pun tentang yang ghaib itu kecuali kepada Rasul yang diridlai-Nya. Maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (Malaikat) di muka bumi dan di belakangnya.” (QS. Al Jin : 26-27)
Barangsiapa mengaku mengetahui perkara atau ilmu ghaib selain orang yang dikecualikan sebagaimana ayat di atas, maka ia telah kafir. Baik mengetahuinya dengan perantaraan membaca garis-garis tangan, di dalam gelas, perdukunan, sihir, dan ilmu perbintangan atau selain itu. Yang terakhir ini yang biasa dilakukan oleh paranormal. Bila ada orang sakit bertanya kepadanya tentang sebab sakitnya maka akan dijawab : “Saudara sakit karena perbuatan orang yang tidak suka kepada saudara.” Darimana dia tahu bahwa penyebab sakitnya adalah dari perbuatan seseorang, sementara tidak ada bukti-bukti yang kuat sebagai dasar tuduhannya? Sebenarnya hal ini tidak lain adalah karena bantuan jin dan para syaithan. Mereka menampakkan kepada khalayak dengan cara-cara di atas (melihat letak bintang, misalnya) hanyalah tipuan belaka.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata : “Para dukun dan yang sejenis dengan mereka sebenarnya mempunyai pembantu atau pendamping (qarin) dari kalangan syaithan yang mengabarkan perkara-perkara ghaib yang dicuri dari langit. Kemudian para dukun itu menyampaikan berita tersebut dengan tambahan kedustaan. Di antara mereka ada yang mendatangi syaithan dengan membawa makanan, buah-buahan, dan lain-lain (untuk dipersembahkan) … . Dengan bantuan jin, mereka ada yang dapat terbang ke Makkah atau Baitul Maqdis atau tempat lainnya.” (Kitabut Tauhid, Syaikh Fauzan halaman 25)
Sungguh benar kabar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengenai syaithan yang mencuri berita dari langit. Diceritakan dalam sebuah hadits :
Tatkala Allah memutuskan perkara di langit, para Malaikat mengepakkan sayap, mereka merasa tunduk dengan firman-Nya, seolah-olah kepakan sayap itu bunyi gemerincing rantai di atas batu besar. Ketika telah hilang rasa takut, mereka saling bertanya : “Apakah yang dikatakan Rabbmu? Dia berkata tentang kebenaran dan Dia Maha Tinggi lagi Maha Besar.” Lalu firman Allah itu didengar oleh pencuri berita langit. Para pencuri berita itu saling memanggul (untuk sampai di langit), lalu melemparkan hasil curiannya itu kepada teman di bawahnya. (HR. Bukhari dari Abi Hurairah radliyallahu ‘anhu)
Seorang dukun atau paranormal yang memberitakan perkara-perkara ghaib sebenarnya menerima kabar dari syaithan itu dengan jalan melihat letak bintang untuk menentukan atau mengetahui peristiwa-peristiwa di bumi, seperti letak benda yang hilang, nasib seseorang, perubahan musim, dan lain-lain. Inilah yang biasa disebut ilmu perbintangan atau tanjim. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“ … Kemudian melemparkan benda itu kepada orang yang di bawahnya sampai akhirnya kepada dukun atau tukang sihir. Terkadang setan itu terkena panah bintang sebelum menyerahkan berita dan terkadang berhasil. Lalu setan itu menambah berita itu dengan seratus kedustaan.” (HR. Bukhari dari Abi Hurairah radliyallahu ‘anhu)
Meskipun demikian, masih banyak orang yang mempercayai dan mau mendatangi peramal atau astrolog atau para dukun, bukan saja dari kalangan orang yang berpendidikan dan ekonomi rendahan bahkan dari orang-orang yang berpendidikan dan berstatus sosial tinggi. Perbuatan orang yang mendatangi atau yang didatangi dalam hal ini para dukun sama-sama mendapatkan dosa dan ancaman keras dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam berupa dosa syirik dan tidak diterima shalatnya selama 40 malam.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Barangsiapa yang mendatangi dukun dan menanyakan tentang sesuatu lalu membenarkannya, maka tidak diterima shalatnya 40 malam.” (HR. Muslim dari sebagian istri Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam)
Pada kesempatan lain, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam juga mengancam mereka tergolong orang-orang yang ingkar (kufur) dengan apa yang dibawa beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“Barangsiapa yang mendatangi dukun (peramal) dan membenarkan apa yang dikatakannya, sungguh ia telah ingkar (kufur) dengan apa yang dibawa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.” (HR. Abu Dawud)
Ancaman dalam hadits di atas berlaku untuk yang mendatangi dan menanyakan, baik membenarkan atau tidak. (Syaikh Abdurrahman Alu Syaikh 1979)
Tujuan Penciptaan Bintang-Bintang
Alam dan segala isinya diciptakan dengan hikmah karena diciptakan oleh Dzat yang memiliki sifat Maha Memberi Hikmah dan Maha Mengetahui. Dia Maha Mengetahui apa yang di depan dan di balik ciptaan-Nya. Sehingga mustahil Allah mencipta makhluk dengan main-main. Sebab itu, kewajiban atas makhluk-Nya ialah tunduk dan menerima berita, perintah, dan larangan-Nya. Sebagai contoh, yang berhubungan dengan pembahasan kali ini ialah penciptaan bintang-bintang di langit.
Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitakan bahwa penciptaan bintang-bintang itu ialah untuk penerang, hiasan langit, penunjuk jalan, dan pelempar setan yang mencuri wahyu yang sedang diucapkan di hadapan para malaikat. Sebagaimana Dia firmankan :
“Dan sungguh, Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar setan.” (QS. Al Mulk : 5)
Dalam kitab Shahih Bukhari disebutkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan bintang-bintang itu untuk tujuan sebagai hiasan langit, alat pelempar setan, dan rambu-rambu jalan. Maka barangsiapa mempergunakannya untuk selain tujuan itu, sungguh terjerumus ke dalam kesalahan, kehilangan bagian akhiratnya, dan terbebani dengan satu hal yang tak diketahuinya. (Perkataan dalam kitab Shahih Bukhari di atas adalah ucapan Qatadah rahimahullah)
Hukum Mempelajari Ilmu Falak
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan hukum mempelajari ilmu perbintangan atau ilmu falak (astrologi). Qatadah rahimahullah (seorang tabi’in) dan Sufyan bin Uyainah (seorang ulama hadits, wafat pada tahun 198 H) mengharamkan secara mutlak mempelajari ilmu falak. Sedangkan Imam Ahmad dan Ishaq rahimahullah memperbolehkan dengan syarat tertentu. Menurut Syaikh Muhammad bin Abdil Aziz As Sulaiman Al Qarawi –yang berusaha mengkompromikan perbedaan pendapat para ulama di atas– bahwa mempelajarinya adalah :
Pertama, kafir bila meyakini bintang-bintang itu sendiri yang mempengaruhi segala aktivitas makhluk di bumi. Ini yang pertama.
Kedua, mempelajarinya untuk menentukan kejadian-kejadian yang ada, akan tetapi semua itu diyakini karena takdir dan kehendak-Nya. Maka yang kedua ini hukumnya haram.
Ketiga, mempelajarinya untuk mengetahui arah kiblat, penunjuk jalan, waktu, menurut jumhur ulama hal ini diperbolehkan (jaiz).
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa mengaku mengetahui ilmu ghaib menyebabkan pelakunya kafir. Sedangkan mendatangi dukun dan bertanya kepadanya, hukumnya haram, baik ia membenarkan atau tidak. Dan yang disebut dukun sekarang ini banyak julukannya. Kadang ia disebut orang pintar atau paranormal, astrolog, fortuneteller, atau yang lainnya. Walaupun begitu, hakikatnya sama saja. Penggunaan julukan yang berbeda-beda hanyalah sebagai pelaris dagangan saja (atau agar terkesan tidak ketinggalan jaman). Hal ini karena mempelajari ilmu falak yang ditujukan untuk meramal nasib atau mengaku mengetahui ilmu ghaib merupakan tindakan kekufuran. Tujuan penciptaan bintang adalah sebagaimana yang telah diterangkan Allah dan para ulama, bukan untuk mengetahui perkara ghaib seperti yang diyakini oleh sebagian besar astrolog. Ayat yang mengatakan :
“Dan (Dia ciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan). Dan dengan bintang-bintang itulah mereka (mendapat petunjuk).” (QS. An Nahl : 16)
Maksudnya, agar manusia mengetahui arah jalan dengan mengetahui letak bintang-bintang, bukan untuk mengetahui perkara ghaib. Banyak hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang mengharamkan dan melarang mempelajari ilmu nujum (perbintangan) dengan tujuan yang dilarang syariat, seperti hadits :
“Barangsiapa mempelajari satu cabang dari cabang ilmu nujum (perbintangan) sungguh ia telah mempelajari satu cabang ilmu sihir … .” (HR. Ahmad[1], Abu Dawud, dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas)
Sementara Islam mengharamkan orang yang menyihir atau meminta sihir. Dan mengaku mengetahui ilmu ghaib merupakan perkara yang membatalkan atau menggugurkan tauhid dan keimanan orang karena menandingi Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam sifat Rububiyah. (Kitabut Tauhid, Syaikh Fauzan halaman 25)
Wallahul Musta’an.
[1] Hadits hasan, dihasankan oleh Syaikh Ibnu Alis Sinan dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ nomor 5950 dan dalam Ash Shahihah nomor 793.
(SALAFY XIX/1418/1997)