Sesungguhnya di antara sesuatu yang paling wajib untuk diyakini oleh seorang mukmin adalah keimanan yang kuat dan pasti bahwa Allah subhanahu wata’ala sudah menyempurnakan syari’at ini dengan diutusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, serta Allah ‘azza wajalla telah menyempurnakan nikmat-nikmat-Nya kepada kita dengan diutusnya beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.
Tidak boleh bagi seorang pun setelah meninggalnya Al-Musthafa (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) untuk menambah dan mengurangi tuntunan dan risalah yang sudah ditetapkan dalam syari’at agama ini.
Allah ta’ala berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا.
“Pada hari telah telah Aku sempurnakan agama kalian dan Aku cukupkan bagi kalian nikmat-nikmat-Ku dan Aku ridha Islam menjadi agama kalian.”(Al Maidah: 3)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
تَرَكْتُكُمْ عَلى الْبَيْضَاء لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لاَ يَزِيْغُ عَنْهَا بَعْدِيْ إِلاَّ هَالِكٌ .
“Aku tinggalkan kalian dalam keadaan putih bercahaya, keadaan malamnya seperti siangnya, dan tidaklah seseorang berpaling darinya kecuali pasti binasa.”(HR. Ibnu Majah)[1]
Oleh karena itulah, sudah seharusnya bagi seorang mukmin yang menginginkan keselamatan dan menempuh jalan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, untuk mencukupkan diri dan ibadahnya dengan apa yang telah disyari’atkan oleh Allah ‘azza wajalla melalui lisan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, serta tidak ridha bagi dirinya dan juga orang lain siapapun dia untuk membuat syari’at (baru) di dalam agama Allah, dan menganggap sesuatu itu baik hanya berdasarkan akal dan hawa nafsunya yang Allah tidak mengizinkannya.
Pencari kebenaran adalah orang yang cinta sunnah, tidaklah dia beramal dengan suatu amalan apapun, baik dalam bentuk perayaan-perayaan, momen-momen tertentu, ibadah, ataupun yang lainnya kecuali sesuai dengan bentuk amalan yang diizinkan oleh Allah, terkhusus ketika amalannya tadi dimaksudkan untuk beribadah dan mengharap pahala dari Allah subhanahu wata’ala.
Sehingga dari sini, kita memahami maksud perkataan para ulama “Al-Ibadatu Tauqifiyyatun.”, tidak ada kesempatan bagi akal ini untuk membuat syari’at dan istihsan (menganggap baik) suatu amalan, maupun menjelekkannya.
Jika engkau menginginkan dalil-dalilnya, maka sesungguhnya dalilnya sangat banyak, di antaranya adalah firman Allah ‘azza wajalla:
وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ.
“Dan apa-apa yang kalian perselisihkan dalam suatu perkara, maka kembalikanlah hukumnya kepada Allah (Al-Quran).” (Asy-Syura: 10)
Dan firman-Nya:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ.
“Katakanlah (wahai Muhammad): “Kalau kalian mencintai Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mngampuni dosa-dosa kalian.” (Ali Imran: 31)
Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ .
“Barang siapa yang mengada-adakan suatu amalan yang tidak ada (perintahnya) dalam syari’atku, maka menjadi amalan yang tertolak.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)[2]
Dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam:
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ.
“Hati-hatilah kalian dari perkara yang baru, karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)[3]
Dan aku berharap untuk kalian mencukupkan dengan pensyari’atan pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa tidaklah beliau mengucapkan dari hawa nafsu semata, melainkan dari wahyu yang diwahyukan kepada beliau.
Sabda beliau: “Setiap perkara yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.”
Sabda beliau ini tidak samar bagi kita bahwa kata “kullu” (setiap) adalah bermakna umum (menyeluruh), maka mencakup semua bid’ah (yang diada-adakan) tanpa terkecuali.
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Ikutilah (petunjuk Rasulullah) dan janganlah mengada-ada, niscaya cukup bagi kalian!”
Wahai saudaraku mukmin … Jika engkau sudah memahami dan menerima aqidah ini dengan patuh dan disertai pembenaran, maka engkau akan bisa menilai bahwa suatu amalan, perkataan, atau perbuatan itu sesuai dengan tuntunan syari’at atau tidak, sunnah ataukah bukan sunnah dengan prinsip dan timbangan ini.
Kami akan memberikan permisalan kepada engkau tentang perayaan maulid (kelahiran) nabi kita, habibuna, imamuna, qudwatuna, penuntun kita kepada jalan yang lurus, sayyidul mursalin.
Kita perlu mendiskusikan masalah ini dengan adil dan seimbang, serta lepas dari dorongan hawa nafsu yang didasarkan pada akal semata, dan kita menimbangnya dengan timbangan syariat serta mengembalikannya kepada Al Quran dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, karena beliau bersabda:
… فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ .
“Sebaik-baik ucapan adalah kalamullah ( Al Quran) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah, dan sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan, dan setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan.” (HR. Muslim)[4]
Rasulullah telah mewasiatkan kepada kita dengan sunnah-sunnahnya untuk mengikuti petunjuk sebaik-baik manusia (Rasulullah), ketika beliau bersabda:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ .
“Sebaik-baik generasi adalah generasiku (masa shahabat) kemudian setelahnya (masa tabi’in), kemudian setelahnya (masa tabiut tabi’in).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)[5]
Allah-lah Dzat satu-satunya untuk kita memohon kepada-Nya agar menunjukkan kepada kita bahwa kebenaran sebagai sesuatu yang benar serta memberikan kemudahan bagi kita untuk mengikutinya, serta menunjukkan kepada kita bahwa kebatilan sebagai suatu kebatilan, dan memohon agar kita dijauhkan darinya.
Diterjemahkan dengan sedikit perubahan dari Kitab Ash-Shufiyyah Fi Mizanil Kitabi Was Sunnah, karya Asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, hal. 41-43.
[1] Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (13) dalam bab 115, Juz 1/115, dari shahabat Al-Irbadh bin Sariyah, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani di dalam Al-Jami’ Ash-Shaghir (4369).
[2] Diriwayatkan Al Bukhari (2499) bab Idza …………. Juz 9/206, juga dalam shohih Muslim Bab Naqdul Ahkam Al Baatilah Waradun, (3242) juz 9/118, dari ‘Aisyah
[3] Diriwayatkan Abu Daud (399) Bab Wajibnya berpegang kepada sunnah, Juz 12/211. Ibnu Majah (45) Bab Meningglkan Bidah Dan Debat, juz 1/53, dari shahabat Al Irbadh bin Sariyah.
[4] Diriwayatkan Al-Imam Muslim (1435) Bab Takhfif Sholah Wal Khutbah, Juz 4/359, dari shahabat Jabir bin Abdillah.
[5] Diriwayatkan Al-Bukhari (3377) Bab Fadhoil Ashabun Nabi, Juz 11/481, dari shahabat Abdullah dan ‘Imran bin Husain. shohih Muslim Bab Fadlus Shohabah, (4599) juz 12/357, dari shahabat Abdullah, Abu Hurairah, dan ‘Imran bin Husain.
http://www.mahadassalafy.net/?p=441