(ditulis oleh: Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc)
Sebagian orang menganggap bahwa demokrasi adalah wujud praktik sistem syura dalam Islam. Ini adalah anggapan yang salah. Jauhnya perbedaan antara keduanya bagaikan timur dan barat. Di antara perbedaannya adalah:
1. Aturan syura berasal dari Allah Subhanahu wa ta’ala dan selalu berlandaskan di atas syariat-Nya. Sementara demokrasi sumbernya adalah suara mayoritas walaupun itu suaranya orang-orang fasiq bahkan kafir.
2. Bahwa syura dilakukan pada perkara yang belum jelas ketentuannya dalam syariat, dan jika ada ketentuan syariat maka itulah yang ditetapkan. Adapun dalam demokrasi, perkara yang sudah jelas dalam syariat pun dapat diubah jika suara mayoritas menghendaki, sehingga dapat menghalalkan yang haram dan sebaliknya.
3. Anggota majelis syura adalah para ulama dan yang memiliki sifat-sifat seperti telah dijelaskan. Sedang dewan perwakilan rakyat atau majelis permusyawaratan dalam sistem demokrasi anggotanya sangat heterogen. Ada yang berilmu agama, ada yang bodoh, ada yang bijak, ada yang tidak, ada yang menginginkan kebaikan rakyat, dan ada yang mementingkan diri sendiri. Mereka semua yang menentukan hukum dengan keadaan seperti itu.
4. Dalam sistem syura, kebenaran tidak diukur dengan suara mayoritas tapi kesesuaian dengan sumber hukum syariat. Sedangkan dalam sistem demokrasi, kebenaran adalah suara mayoritas walaupun menentang syariat Allah Subhanahu wa ta’ala yang jelas.
5. Syura adalah salah satu wujud keimanan, karena dengan syura kita mengamalkan ajaran Islam. Sedangkan demokrasi adalah wujud kekufuran kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, karena jika mayoritas memutuskan perkara kekafiran maka itulah keputusan yang harus diikuti menurut mereka.
6. Syura menghargai para ulama, sedangkan demokrasi menghargai orang-orang kafir.
7. Syura membedakan antara orang yang saleh dan yang jahat, sedangkan demokrasi menyamakan antara keduanya. Asy-Syaikh al-Albani berkata, “Sistem pemilu… tidak membedakan antara yang saleh dan yang jahat, masing-masing mereka berhak untuk memilih dan dipilih, dan tidak ada perbedaan pada jenis ini semua antara ulama dan orang yang bodoh. Sementara Islam tidak menghendaki pada majelis parlemen (maksudnya majelis syura) kecuali orang-orang pilihan dari masyarakat muslim dari sisi ilmu (agamanya) dan kesalehannya serta laki-laki, bukan perempuan.” (Fatawa al-’Ulama al-Akabir, hlm. 110)
8. Syura bukan merupakan kewajiban di setiap saat, bahkan hukumnya berbeda sesuai dengan perbedaan keadaan. Sedangkan demokrasi merupakan sesuatu yang diwajibkan oleh Barat kepada para penganutnya dengan kewajiban yang melebihi wajibnya shalat lima waktu dan tidak mungkin lepas darinya.
9. Sistem demokrasi jelas menolak Islam dan menuduh bahwa Islam lemah serta tidak mempunyai maslahat, sedangkan keadaan syura tidak demikian.
(Lihat kitab Tanwiruzh Zhulumat hlm. 21—36 dan Fiqih as-Siyasah asy-Syar’iyyah hlm. 61)
Wallahu a’lam.
Sumber : asysyariah.com