Sebagai insan beriman, selaiknya untuk tiada henti-henti menabur rasa syukur dalam hidupnya. Syukur, atas beragam nikmat dan karunia yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala limpahkan kepadanya. Betapa banyak curahan nikmat dan karunia yang direguk, tiadalah diri mampu untuk membilangnya. Ini telah Allah Subhanahu wa Ta’ala tegaskan dalam firman-Nya:
وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللهِ لَا تُحْصُوهَا إِنَّ اللهَ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ
“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nahl: 18)
Bagi insan beriman yang pandai mensyukuri nikmat, tentulah Allah Subhanahu wa Ta’ala kelak menambah kenikmatan itu. Ini sebagaimana telah Allah Subhanahu wa Ta’ala nyatakan:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Dan (ingatlah juga), tatkala Rabbmu memaklumkan: ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih’.” (Ibrahim: 7)
Juga, bagi insan beriman yang secara cerdas menyikapi kucuran beragam nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala, dirinya kelak memperoleh keberuntungan, kesuksesan, dan kemenangan. Firman-Nya:
فَاذْكُرُوا ءَالاَءَ اللهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Al-A’raf: 69)
Satu dari beragam nikmat yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala karuniakan kepada hamba-hamba-Nya adalah anak. Firman-Nya:
وَاللهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَةِ اللهِ هُمْ يَكْفُرُونَ
“Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak anak dan cucu-cucu, dan memberimu rizki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah?” (An-Nahl: 72)
Firman-Nya:
لِلَّهِ مُلْكُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ يَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ إِنَاثًا وَيَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ الذُّكُورَ. أَوْ يُزَوِّجُهُمْ ذُكْرَانًا وَإِنَاثًا وَيَجْعَلُ مَنْ يَشَاءُ عَقِيمًا إِنَّهُ عَلِيمٌ قَدِيرٌ
“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki. atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa yang dikehendaki-Nya), dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (Asy-Syura: 49-50)
Demikianlah, Allah Subhanahu wa Ta’ala tentukan segala sesuatu atas manusia. Termasuk dalam pemberian anak. Maka, segala nikmat yang ada pada manusia, semuanya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللهِ
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya).” (An-Nahl: 53)
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullahu membagi nikmat ke dalam dua bagian.
Pertama, an-ni’mah al-muthlaqah. Yaitu kenikmatan yang bisa mengantarkan kepada kebahagiaan abadi. Seperti nikmat dalam berislam dan mengikuti As-Sunnah. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan untuk memohon meraup nikmat ini. Memohon agar mendapat hidayah untuk menempuh jalan orang-orang yang meraih nikmat ini:
وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا
“Dan barangsiapa yang menaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang shalih. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (An-Nisa`: 69)
Kedua, an-ni’mah al-muqayyadah. Yaitu kenikmatan yang digambarkan seperti nikmat memperoleh kesehatan, kekayaan, kekuatan jasad, kedudukan, banyak anak dan memiliki para istri yang baik, serta nikmat-nikmat yang sejenis. Kenikmatan semacam ini diberikan kepada orang yang berbuat kebaikan, juga kepada orang yang berbuat kemaksiatan, mukmin maupun kafir. Kenikmatan seperti di atas, bila diberikan kepada orang kafir, merupakan bentuk istidraj (dalam bahasa Jawa: dilulu) dengan kenikmatan itu, mengarahkan dirinya kepada azab, petaka. Hakikatnya dia tidak memperoleh nikmat, tapi sesungguhnya dirinya memperoleh bala (sesuatu yang bisa menyusahkan). Firman-Nya:
فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ. وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ
“Adapun manusia apabila Rabbnya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata: ‘Rabbku telah memuliakanku’. Adapun bila Rabbnya mengujinya lalu membatasi rizkinya maka dia berkata: ‘Rabbku menghinakanku’.” (Al-Fajr: 15-16) [Ijtima’ Al-Juyusy Al-Islamiyyah, hal. 33]
Kata Ibnu Katsir rahimahullahu bahwa firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (dalam ayat di atas) sebagai bentuk pengingkaran terhadap orang yang berkeyakinan apabila Allah Subhanahu wa Ta’ala meluaskan rizkinya berarti dirinya mendapat kemuliaan. Padahal tidak demikian. Bahkan hal itu merupakan bentuk bala dan ujian. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala firmankan:
أَيَحْسَبُونَ أَنَّمَا نُمِدُّهُمْ بِهِ مِنْ مَالٍ وَبَنِينَ(55)نُسَارِعُ لَهُمْ فِي الْخَيْرَاتِ بَل لَا يَشْعُرُونَ
“Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar.” (Al-Mu`minun: 55-56)
Demikian pula sebaliknya, apabila mengalami bala, ujian dan kesempitan rizki, dirinya berkeyakinan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menghinakannya. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: كَلاَّ (Sekali-kali tidak demikian). Permasalahannya tidaklah seperti yang dia yakini. Tidak seperti ini dan tidak seperti yang ini pula. Karena sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan harta kepada siapa yang Dia suka dan yang tidak Dia suka. Menyempitkan harta kepada yang Dia suka dan yang tidak Dia suka. Sesungguhnya titik pijak dari itu semua adalah ketaatan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam (menyikapi) dua keadaan: apabila dia sebagai orang yang berkecukupan (kaya), hendaknya dia bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas yang demikian ini. Apabila dia fakir, hendaknya menyikapinya dengan sabar.” (‘Umdatut Tafsir ‘an Al-Hafizh Ibni Katsir, Asy-Syaikh Ahmad Syakir rahimahullahu, 3/683)
Karenanya, seseorang yang telah dikaruniai anak hendaknya menjaga anak tersebut agar tidak menghadirkan bala dan malapetaka. Kehadirannya tidak menjadi fitnah (ujian) yang menyeret orangtuanya kepada sesuatu yang dimurkai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Untuk itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengingatkan bahwa harta dan anak adalah fitnah (ujian).
إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya harta dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (At-Taghabun: 15)
Maksud ayat ini, harta dan anak adalah bala (sesuatu yang bisa menyusahkan), ujian dan cobaan yang membawamu ke arah perbuatan yang haram dan menghalangi dari hak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka, janganlah menaati mereka dalam bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Fathul Qadir, Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani, 5/317)
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan kepada manusia untuk menjaga diri, istri dan anak-anaknya dari api neraka. Membimbing dan mengarahkan mereka untuk menetapi apa yang telah disyariatkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini merupakan bagian dari kewajiban memberikan pendidikan terhadap anak. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لاَ يَعْصُونَ اللهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6)
Dari Abdullah bin ‘Umar c, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ فَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْهُمْ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْهُمْ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْؤُولَةٌ عَنْهُمْ، وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلىَ مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْهُ، أَلَا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap diri kamu adalah pemimpin, maka dia bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya. Seorang amir (penguasa) yang membawahi rakyatnya adalah pemimpin dan dia bertanggung jawab terhadap mereka. Seorang suami adalah pemimpin atas penghuni rumahnya (keluarga) dan dia bertanggung jawab terhadap mereka. Seorang istri adalah pemimpin atas rumah suaminya dan anak-anaknya, dan dia bertanggung jawab terhadap mereka. Seorang budak adalah pemimpin atas harta majikannya dan dia bertanggung jawab terhadapnya. Ingatlah, tiap-tiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya.” (HR. Al-Bukhari no. 2554 dan Muslim no. 1829)
Islam mendorong setiap pemeluknya, dalam hal ini para orangtua, untuk memenuhi kewajibannya dalam mendidik anak. Islam tak menghendaki kehidupan generasi ke depan diliputi keterpurukan akidah, melemahnya iman, dan ketiadaan paham terhadap syariat. Sesungguhnya seorang yang beriman yang memiliki kekokohan iman tentu lebih baik dan lebih dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala daripada yang lemah. Abu Hurairah z mengungkapkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ
“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai Allah daripada mukmin yang lemah.” (HR. Muslim no. 2664)
Menurut Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu, yang dimaksud ‘mukmin yang kuat’ yakni (kuat) dalam keimanannya. Bukan kuat dari aspek fisik (tubuh). Karena, kekuatan tubuh seseorang bisa mendukung pada sesuatu yang berbahaya bila kekuatan itu digunakan untuk maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kekuatan tubuh sendiri, secara zat, tidaklah dikategorikan sebagai satu hal yang terpuji atau tercela. Bila seseorang menggunakannya untuk sesuatu yang bermanfaat di dunia dan akhirat, maka jadilah kekuatan tubuh itu sebagai suatu yang terpuji. Adapun bila difungsikan guna membantu dalam kemaksiatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka kekuatan tubuh itu menjadi satu hal tercela. Maka, kekuatan yang dimaksud dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di muka: الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ bermakna قَوِيُّ الْإِيْمَانِ (kuat iman). Sebab kata الْقَوِيُّ kembali kepada sifat yang mendahuluinya yaitu kata al-iman. Seperti perkataan الرَّجُلُ الْقَوِيُّ (laki-laki yang kuat), artinya laki-laki itu perkasa (jantan). Begitu juga dengan kalimat الْمَؤْمِنُ الْقَوِيُّ yaitu kuat dalam masalah keimanannya. Sesungguhnya seorang mukmin yang kuat, kokoh, tangguh keimanannya akan mengarahkannya untuk menegakkan kewajiban yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala embankan pada dirinya. Pun dirinya akan menambah dengan amalan-amalan nawafil (sunnah), dengan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala tentunya. Sedangkan bila diliputi dengan lemah iman, kelemahan imannya tak akan menghasung dirinya untuk mengerjakan hal-hal yang wajib serta meninggalkan perkara-perkara yang diharamkan. (Syarhu Riyadhish Shalihin, 1/318)
Tak bisa diabaikan peran strategis orangtua dalam mencelup sosok anak menjadi insan beriman. Memiliki fitrah bertauhid yang tetap terjaga. Tidak terjerembab, jatuh dalam beragam penyimpangan. Sebagaimana dimaklumi, anak yang lahir ke alam fana ini telah memiliki fitrah mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia diciptakan dalam keadaan di atas tauhid. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لاَ تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Ar-Rum: 30)
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي ءَاتَيْنَاهُ ءَايَاتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِينَ
“Dan (ingatlah), ketika Rabbmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘Bukankah Aku ini Rabbmu?’ Mereka menjawab: ‘Betul (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi.’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Allah)’.” (Al-A’raf: 172)
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan hafizhahullah mengungkapkan bahwa penetapan tentang rububiyah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengarahkan anak kepadanya merupakan perkara yang bersifat fitrah. Adapun kesyirikan merupakan sesuatu yang baru (ada setelah anak berinteraksi dengan lingkungan atau terpengaruh pendidikan, pen.). Sungguh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
كُلُّ مَوْلُودٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan di atas fitrah. Maka, kedua orangtuanyalah yang menjadikan anak tersebut menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR. Al-Bukhari no. 1384, dan Muslim no. 2658, dari hadits Abu Hurairah z)
Lebih lanjut, Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan hafizhahullah menyatakan bahwa lantaran pendidikan yang menyimpang dan lingkungan yang menyeleweng, terjadilah perubahan arah (dalam penetapan tauhid) pada diri anak. Dari sanalah anak melakukan bentuk taklid (melakukan proses imitasi/ meniru) pada orangtua mereka dalam kesesatan dan penyelewengan. (‘Aqidatu At-Tauhid, hal. 28)
Faktor bi`ah (lingkungan, termasuk di antaranya lingkungan keluarga) memiliki pengaruh yang besar terhadap tumbuh kembang anak. Keluarga yang harmonis, sehat dan senantiasa mendapat siraman nilai-nilai syariat, akan memberi pengaruh positif yang luar biasa terhadap pendidikan anak. Sebaliknya, keluarga yang buruk umumnya memberi pengaruh yang buruk pula pada pendidikan anak. Maka, peran orang tua memberikan kontribusi yang besar bagi pendidikan anak. Sebab, bila sebuah keluarga baik, maka kebaikan itu akan memberi pengaruh kepada anak. Biidznillah, dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Karenanya, keshalihan dan amal shalih orangtua sangat besar pengaruhnya dalam membentuk sosok kepribadian anak yang shalih. Sebaliknya, kehampaan dari amal shalih dan perilaku buruk dari orangtua justru bisa menghancurkan pendidikan anak. Bahkan tak hanya itu. Keadaan orangtua yang semacam ini bisa mendatangkan murka Allah Subhanahu wa Ta’ala. Menjauhkan berkah dari-Nya. Memupus sakinah (ketenangan) di dalam rumah. Maka, sikap shalih dan giat beramal shalih dari orangtua merupakan suluh yang memercikkan seberkas cahaya bagi pendidikan anak. Betapa tidak. Bukankah orangtua yang senantiasa membaca Al-Qur`an, membaca surat Al-Baqarah, al-mu’awwidzat dan lainnya, bisa mendatangkan sakinah, rahmah dan menjadikan para setan lari?
Dari Abu Hurairah z, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ
“Dan tidaklah berkumpul satu kaum di salah satu dari rumah-rumah Allah, mereka membaca Kitabullah (Al-Qur`an) dan mempelajarinya di antara mereka, kecuali akan turun atas mereka sakinah, tercurah atas mereka rahmah, para malaikat pun mengelilingi mereka dan Allah menyebut-nyebut mereka pada siapa yang di sisi-Nya.” (HR. Muslim, no. 2699)
Juga berdasar hadits dari Abu Hurairah z, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ، إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيْهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ
“Janganlah kalian jadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan. Sesungguhnya setan lari dari rumah yang di dalamnya dibacakan surat Al-Baqarah.” (HR. Muslim no. 780)
Sungguh, tiada mampu terperikan bila Al-Qur`an ditinggalkan. Orangtua pun lalai dari zikir (mengingat) Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rumah dipenuhi dengan suara hiruk pikuk tetabuhan musik, dendang nasyid nan memabukkan jiwa, dan tembang lagu yang membangkitkan syahwat. Apatah lagi yang bisa diharapkan dari rumah yang sarat racun yang mematikan qalbu. Dahsyat! Ini merupakan upaya sistematis dari kalangan setan untuk memalingkan anak sehingga ternodai fitrahnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ مَا فَعَلُوهُ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Rabbmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” (Al-An’am: 112)
Maka, tatkala rumah hampa dari zikir, di situlah setan bercokol. Setan mengembuskan pertikaian, permusuhan, dendam kesumat, ketidakharmonisan, kegalauan, dan sekian banyak keburukan lainnya. Tak ada berkah dan sakinah. Bagaimanakah anak akan bisa tumbuh manis dalam suasana rumah seperti ini? Nas`alullah al-’afiyah.
Sekali lagi, keshalihan dan amal shalih orangtua sangat memberi pengaruh bagi anak. Telisiklah, bagaimana kisah Musa dan Khidhir ‘alaihissalam kala tiba di tengah penduduk suatu negeri. Mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tak mau menjamu keduanya. Lantas, keduanya mendapati dinding rumah yang nyaris roboh, maka Khidhir menegakkan dinding itu. Musa pun berkata kepada Khidhir:
قَالَ لَوْ شِئْتَ لَاتَّخَذْتَ عَلَيْهِ أَجْرًا
“Musa berkata: ‘Kalau engkau mau, niscaya engkau mengambil upah untuk itu’.” (Al-Kahfi: 77)
Perihal peristiwa ini, Khidhir pun memberitahu kepada Musa:
وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ذَلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا
“Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedangkan ayah keduanya adalah seorang yang shalih. Maka Rabbmu menghendaki supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Rabbmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.” (Al-Kahfi: 82)
Menurut Ibnu Katsir rahimahullahu, bunyi ayat:
وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا
“Ayah keduanya adalah seorang shalih.”
merupakan dalil bahwa seorang yang shalih akan dijaga keturunan-keturunannya, termasuk keberkahan ibadahnya bagi anak-anaknya di dunia dan akhirat dengan syafaatnya kepada mereka. (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 1/121)
Hal yang sama diungkapkan pula oleh Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu, bahwa sungguh (bagi) hamba yang shalih, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menjaganya dan menjaga anak-anaknya. (Taisir Al-Karimirrahman, hal. 521)
Ini merupakan berkah dari keshalihan orangtua, hingga Allah Subhanahu wa Ta’ala memelihara dan merahmati anak-anaknya.
فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ
“Maka Rabbmu menghendaki agar mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Rabbmu.” (Al-Kahfi: 82)
Sebagai orangtua atau pendidik dituntut untuk senantiasa mengarahkan dan membimbing anak. Segenap upaya dikerahkan agar memperoleh hasil pendidikan yang optimal. Tak semata kemampuan intelektual yang ingin dicapai, seperti banyaknya menyerap hafalan, ilmu dan lain-lain. Namun, ingin dicapai pula pembentukan kepribadian yang tersinari nilai-nilai akhlak Islami, akidah yang murni dan ibadah yang baik. Keadaan semacam ini adalah sesuatu yang idealis dan menjadi harapan semua pihak. Tapi pada kenyataannya, sebagai orangtua atau pendidik dihadapkan pada satu kasus yang di luar keinginan dan harapannya. Anak yang dicitakan mampu menyerap dan mengamalkan nilai-nilai Islam ternyata memendam sejumput masalah. Perilakunya senantiasa mengundang masalah. Ada saja ulahnya yang tiada terpuji.
Bagi orangtua atau pendidik, selain harus tetap berupaya membimbing, mengarahkan dengan berbagai nasihat, juga tidak lupa untuk selalu memanjatkan doa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagai orangtua atau pendidik harus meyakini sepenuhnya bahwa yang memberi hidayah adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مَنْ يَهْدِ اللهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِي وَمَنْ يُضْلِلْ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka merekalah orang-orang yang merugi.” (Al-A’raf: 178)
فَإِنَّ اللهَ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
“Maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya.” (Fathir: 8)
Hadits dari Sa’id bin Al-Musayyab, dari ayahnya, yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, mengungkapkan betapa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tak memiliki daya untuk memberikan hidayah taufiq kepada paman beliau, Abu Thalib. Sehingga pamannya mati dalam kekafiran. Maka turunlah ayat:
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (Al-Qashash: 56)
Kisah ini bisa dilihat dalam Shahih Al-Bukhari, hadits no. 4772.
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan hafizhahullah memerinci masalah hidayah menjadi dua macam. Pertama, al-huda (petunjuk) dengan makna ad-dalalah (tuntunan) dan al-bayan (penjelasan). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَمَّا ثَمُودُ فَهَدَيْنَاهُمْ فَاسْتَحَبُّوا الْعَمَى عَلَى الْهُدَى
“Dan adapun kaum Tsamud maka mereka telah Kami beri petunjuk tetapi mereka lebih menyukai kebutaan (kesesatan) dari petunjuk itu.” (Fushshilat: 17)
Kedua, al-huda (petunjuk) dengan makna at-taufiq dan al-ilham. Inilah yang tidak ada pada diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak ada kekuasaan pada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam (untuk memberi hidayah) kecuali (hidayah ini dari) Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana firman-Nya:
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya.” (Al-Qashash: 56) [Syarh Al-’Aqidah Al-Wasithiyyah, hal. 8-9)
Dengan memahami dan meyakini masalah hidayah ini, setidaknya bisa melecut diri untuk senantiasa bersabar dalam menunaikan kewajiban mendidik anak. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَاصْبِرْ إِنَّ الْعَاقِبَةَ لِلْمُتَّقِينَ
“Maka bersabarlah, sesungguhnya kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (Hud: 49)
Pendidik (orangtua) harus tetap gigih mengarahkan, membimbing, menuntun dan memberi keteladanan pada anak. Mudah-mudahan dengan segenap upaya ini Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi hidayah dan taufiknya kepada anak. Semoga. Wallahu a’lam.
http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=699