الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبَا لاَ يَقُوْمُوْنَ إِلاَّ كَمَا يَقُوْمُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُواْ إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَن جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللهِ وَمَنْ عَادَ فَأُوْلَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيْهَا خَالِدُوْنَ
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (Al-Baqarah: 275)
Penjelasan Mufradat Ayat
يَأْكُلُوْنَ الرِّبَا
“Mereka memakan riba.” Maksud memakan di sini adalah mengambil. Digunakannya istilah “makan” untuk makna mengambil, sebab tujuan mengambil (hasil riba tersebut) adalah memakannya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Imam Al-Qurthubi. Ini pula yang ditegaskan oleh Al-Imam At-Thabari dalam menafsirkan ayat ini. Beliau rahimahullahu berkata: “Maksud ayat ini dengan dilarangnya riba bukan semata karena memakannya saja, namun orang-orang yang menjadi sasaran dari turunnya ayat ini, pada hari itu makanan dan santapan mereka adalah dari hasil riba. Maka Allah menyebutkan berdasarkan sifat mereka dalam menjelaskan besarnya (dosa) yang mereka lakukan dari riba dan menganggap jelek keadaan mereka terhadap apa yang mereka peroleh untuk menjadi makanan-makanan mereka. Dalam firman-Nya Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan:
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ. فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوْسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُوْنَ وَلاَ تُظْلَمُوْنَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (Al-Baqarah: 278-279)
Ayat ini mengabarkan akan benarnya apa yang kami katakan dalam permasalahan ini, yaitu bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharamkan segala hal yang memiliki makna riba. Sama saja baik melakukan aktivitas yang bernilai riba, memakannya, mengambilnya, atau memberikan (kepada yang lain). Sebagaimana permasalahan ini telah jelas keterangannya dari berbagai kabar yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَعَنَ اللهُ آكِلَ الرِّبَا، وَمُوْكِلَهُ، وَكَاتِبَهُ، وَشَاهِدَيْهِ إِذَا عَلِمُوا بِهِ
“Allah melaknat yang memakan (hasil) riba, yang memberi riba, penulisnya, dan dua saksinya jika mereka mengetahuinya.” (Hadits ini diriwayatlan dari berbagai jalan, di antaranya riwayat Muslim dari Jabir, Ath-Thabarani dari Abdullah bin Mas’ud; Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah dari hadits Abdullah bin Mas’ud. Ada beberapa perbedaan lafadz di antara riwayat tersebut).
Makna riba secara bahasa berarti tambahan. Dikatakan:
رِبَا الشَّيْءُ يَرْبُو
artinya bertambahnya sesuatu. Adapun secara istilah, riba ada dua macam:
Pertama: Riba Nasi`ah
Riba jenis ini ada dua bentuk:
1. Menambah jumlah pembayaran bagi yang berhutang, dengan alasan melewati tempo pembayaran. Ini merupakan pokok riba yang diamalkan kaum jahiliyah.
2. Tukar menukar antara dua barang yang sejenis yang termasuk ke dalam barang-barang yang mengandung unsur riba padanya, dengan mengakhirkan pemberian salah satu dari barang tersebut kepada pihak kedua. Seperti tukar menukar emas yang tidak dilakukan secara kontan di tempat tersebut, namun diakhirkan keduanya atau salah satunya.
Kedua: Riba Al-Fadhl
Yaitu menambah jumlah takaran atau timbangan terhadap salah satu dari dua barang yang sejenis yang dijadikan sebagai alat tukar menukar, dimana barang-barang tersebut termasuk mengandung unsur riba di dalamnya. (Al-Mughni, Ibnu Qudamah: 4/123, Al-Mulakhkhas Al-Fiqhi, Asy-Syaikh Al-Fauzan, hal. 322)
لاَ يَقُوْمُوْنَ إِلاَّ كَمَا يَقُوْمُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ
“Mereka tidak bangun melainkan seperti orang yang kemasukan setan lantaran gila.”
Pendapat yang masyhur di kalangan mufassirin, bahwa yang dimaksud adalah pada saat mereka bangkit dari kuburnya di hari kiamat. Hal ini sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, Auf bin Malik, Sa’id bin Jubair, As-Suddi, Rabi’ bin Anas, Qatadah, Muqatil bin Hayyan, dan yang lainnya. Ada pula yang menafsirkan bahwa yang dimaksud adalah kesulitan mereka dalam mencari penghasilan dengan cara riba yang menyebabkan akal mereka hilang, sebagaimana hal ini dijelaskan oleh Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di dalam Tafsir-nya.
Yang dimaksud dengan al-mas adalah kegilaan.
مَوْعِظَةٌ
“Mau’izhah” Yang dimaksud adalah peringatan dan ancaman yang memperingatkan dan membuat mereka takut dengan ayat-ayat Al-Qur`an. Menjanjikan hukuman atas mereka disebabkan mereka memakan hasil riba.
فَلَهُ مَا سَلَفَ
“Maka baginya apa yang telah lalu,” yaitu tidak ada celaan atas mereka apa yang telah dimakan dan dimanfaatkannya sebelum dia mengetahui haramnya hal tersebut.
وَأَمْرُهُ إِلَى اللهِ
“Perkaranya dikembalikan kepada Allah.” Kata ganti hu (nya) pada lafadz (perkaranya) diperselisihkan maknanya menjadi empat pendapat:
Pertama, kata ganti tersebut kembali ke lafadz riba, yang maksudnya bahwa perkara riba tersebut kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam menetapkan keharamannya.
Kedua, kembali kepada lafadz “apa yang telah lalu,” yaitu apa yang telah lalu urusannya kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam hal dimaafkannya dan diangkatnya celaan dari yang melakukan.
Ketiga, kembali kepada pelaku riba, yaitu urusannya kembali kepada Allah. Apakah Allah Subhanahu wa Ta’ala mengokohkan hatinya untuk berhenti dari perbuatan tersebut ataukah dia kembali kepada kemaksiatan dengan melakukan praktek riba.
Keempat, kembali kepada lafadz “menghentikan perbuatannya,” yaitu memberi makna hiburan dan dorongan kepada orang yang telah berhenti melakukannya agar menjadi baik di masa yang akan datang.
Keempat makna ini disebutkan oleh Al-Imam Al-Qurthubi dalam Tafsir-nya.
وَمَنْ عَادَ
“Siapa yang kembali,” yaitu kembali melakukan praktek riba sampai dia mati. Ada pula yang mengatakan: “Barangsiapa yang kembali dengan ucapannya: ‘Sesungguhnya jual beli itu sama saja dengan riba’.”
Penjelasan Ayat
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu berkata:
“Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan tentang orang-orang yang makan dari hasil riba, jeleknya akibat yang mereka peroleh dan kesulitan yang mereka hadapi di kemudian hari. Mereka tidak bangun dari kuburnya pada hari mereka dibangkitkan melainkan seperti orang yang kemasukan setan lantaran tekanan penyakit gila. Mereka bangkit dari kuburnya dalam keadaan bingung, sempoyongan, dan mengalami kegoncangan. Mereka khawatir dan penuh kecemasan akan datangnya siksaan yang besar dan kesulitan sebagai akibat perbuatan mereka.
Sebagaimana terbaliknya akal mereka, yaitu dengan mereka mengatakan: Jual beli itu seperti riba. Perkataan ini tidaklah bersumber kecuali dari orang yang jahil yang sangat besar kejahilannya. Atau berpura-pura jahil yang keras penentangannya. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala membalas sesuai keadaan mereka, sehingga keadaan mereka seperti keadaan orang-orang gila.
Ada kemungkinan yang dimaksud dengan firman-Nya: “Mereka tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran tekanan penyakit gila,” yaitu pada saat hilangnya akal mereka untuk mencari penghasilan dengan cara riba, harapan mereka berkurang, dan akal mereka semakin melemah, sehingga keadaan dan gerakan mereka menyerupai orang-orang yang gila, tidak ada keteraturan gerakan, dan hilangnya akal yang meyebabkannya tidak memiliki adab.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam membantah mereka dan menjelaskan hikmah-Nya yang agung: “Dan Allah menghalalkan jual beli.”
Karena di dalamnya mengandung keumuman maslahat. Ia merupakan perkara yang sangat dibutuhkan dan akan menimbulkan kemudharatan bila diharamkan. Ini merupakan prinsip asal dalam menghalalkan segala jenis mata pencaharian hingga datangnya dalil yang menunjukkan larangan.
“Dan (Allah) mengharamkan riba,” karena di dalamnya yang mengandung kedzaliman dan akibat yang jelek.
Asy-Syaikh As-Sa’di melanjutkan penjelasannya: “Barangsiapa yang datang kepadanya mau’izhah dari Rabbnya,” yaitu nasehat, peringatan, dan ancaman dari menjalani cara riba melalui tangan orang yang digerakkan hatinya untuk menasehatinya sebagai bentuk kasih sayang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap yang dinasehati dan penegakan hujjah atasnya, “lalu dia berhenti” dari perbuatannya dan tidak lagi menjalaninya, “maka baginya apa yang telah lalu,” yaitu apa yang telah berlalu dari berbagai bentuk mu’amalah yang pernah dilakukannya sebelum nasehat datang kepadanya sebagai sebagai balasan atas sikapnya dalam menerima nasehat.
Pemahaman dari ayat ini menunjukkan bahwa barangsiapa yang tidak berhenti, dia akan dibalas dari awal (perbuatannya) hingga akhirnya. “Dan urusannya kembali kepada Allah,” berupa pembalasan dari-Nya dan apa yang dilakukan di masa datang dari perkaranya. “Dan barangsiapa yang kembali,” dalam menjalani praktek riba dan tidak bermanfaat baginya nasehat, bahkan berkelanjutan atas hal itu, “Maka mereka adalah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman, As-Sa’di, hal. 117)
Hukuman bagi Orang yang Memakan Hasil Riba
Sesungguhnya orang-orang yang melakukan berbagai macam praktek riba setelah datang penjelasan kepada mereka namun mereka tidak mengindahkannya, mereka akan mendapatkan dua kehinaan, kehinaan di dunia dan kehinaan di akhirat.
Di dunia dia akan ditimpa kehinaan, kerendahan, tidak memiliki kemuliaan dan wibawa di mata masyarakat, apalagi di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: Aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِيْنَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيْتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِيْنِكُمْ
“Jika kalian berjual beli dengan cara ‘inah1 dan mengambil ekor-ekor sapi kalian, kalian senang dengan sawah,2 dan kalian meninggalkan jihad di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka Allah akan mencampakkan pada kalian kehinaan. Dia tidak akan melepaskannya dari kalian hingga kalian kembali kepada agama kalian.” (HR.Ahmad (2/84), Abu Dawud (3462), Al-Baihaqi (5/316), dan yang lainnya. Dishahihkan oleh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Jami’ no. 423)
Dalam riwayat lain:
إِذَا ضَنَّ النَّاسُ بِالدَّرَاهِمِ وَالدَّنَانِيْرِ وَتَبَايَعُوا بِالْعِيْنَةِ وَاتَّبِعُوا أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَتَرَكُوا الْجِهَادَ، بَعَثَ اللهُ عَلَيْهِمْ ذُلاًّ ثُمَّ لاَ يَنْزِعُهُ عَنْهُمْ حَتَّى يُرَاجِعُوا دِيْنَهُمْ
“Jika manusia kikir dengan perak dan emasnya, lalu berjual beli dengan cara ‘inah, mengikuti ekor-ekor sapi, dan meninggalkan jihad, maka Allah akan mencampakkan atas mereka kehinaan. Dia tidak melepaskannya dari mereka hingga mereka kembali kepada agamanya.” (HR. Abu Ya’la dalam Musnad-nya (19/5659), Ath-Thabarani (12/13583), dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’: 675).
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggolongkan dosa orang yang memakan riba termasuk diantara dosa-dosa besar yang membinasakan. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوْبِقَاتِ. قَالُوا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَمَا هُنَّ؟ قَالَ: الشِّرْكُ بِاللهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيْمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ
“Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan.” Para shahabat bertanya: “Apa itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan cara yang haq, memakan hasil riba, makan harta anak yatim, melarikan diri pada saat perang berkecamuk, dan menuduh (zina) kepada wanita mukminah yang terjaga.”
Tersebarnya perbuatan zina dan riba di sebuah kampung akan menjadi penyebab turunnya adzab dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا ظَهَرَ الزِّنَا وَالرِّبَا فِي قَرْيَةٍ فَقَدْ أَحَلُّوا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِ
“Apabila telah nampak zina dan riba di sebuah kampung, maka sungguh mereka telah menghalalkan diri mereka untuk mendapatkan adzab Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (HR.Al-Hakim, 2/43, Ath-Thabrani, 1/460. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 679)
Para pelaku riba juga termasuk orang-orang yang mendapatkan laknat dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu bahwa ia berkata:
لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا، وَمُوْكِلَهُ، وَكَاتِبَهُ، وَشَاهِدَيْهِ، وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang memakan hasil riba, yang memberi makan dengannya, penulisnya, dan dua saksinya. Beliau berkata: Mereka semua sama (dalam hukum).”
Adapun hukuman di akhirat, maka telah disebutkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat ini bahwa mereka termasuk diantara penghuni neraka Jahannam. Juga diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahih-nya dari hadits Samurah bin Jundab radhiyallahu ‘anhu ia berkata:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila selesai shalat beliau menghadapkan wajahnya kepada kami, lalu berkata: “Siapa di antara kalian yang bermimpi tadi malam?”
Jika ada seseorang yang bermimpi maka ia pun mengkisahkannya, lalu beliau berkata: “Masya Allah.” Suatu ketika beliau bertanya kepada kami: “Apakah ada seseorang dari kalian bermimpi?” Kami menjawab: “Tidak.” Beliau bersabda: “Akan tetapi tadi malam aku melihat dua lelaki mendatangiku lalu mengambil tanganku. Mereka mengeluarkanku menuju bumi yang disucikan.3 Tiba-tiba ada seorang laki-laki yang sedang duduk dan seorang lagi berdiri. Di tangannya ada kallub4 dari besi. Dia memasukkan besi tersebut melalui rahangnya hingga menembus tengkuknya, lalu dia melakukan hal yang serupa pada rahangnya yang lain. Rahangnya kembali seperti semula lalu dia kembali melakukan perbuatan serupa. Aku bertanya: ‘Ada apa dengan orang ini?’ Keduanya menjawab: ‘Lanjutkan (perjalanan).’
Kami melanjutkan perjalanan, sampai kami mendatangi seseorang yang berbaring di atas tengkuknya dan seseorang berdiri di atas kepalanya sambil memegang sebongkah batu lalu memukulkan ke kepalanya hingga pecah. Bila ia telah memukulkannya, batu tersebut jatuh ke bawah. Ia pun mengambilnya lagi dan sebelum sampai ke orang itu lagi, kepalanya telah kembali seperti semula. Lalu orang itu memukul kepalanya kembali.
Aku bertanya: ‘Siapa ini?’ Keduanya menjawab: ‘Lanjutkan (perjalanan).’ Kami melanjutkan perjalanan menuju sebuah lubang seperti tungku perapian. Di bagian atasnya sempit dan bagian bawahnya luas. Di bawahnya dinyalakan api. Jika api itu mendekat mereka pun memanjat, hingga hampir saja mereka keluar. Jika api padam, mereka kembali ke tempat semula. Di dalamnya terdapat para lelaki dan wanita dalam keadaan telanjang. Aku bertanya: ‘Siapa ini?’ Keduanya menjawab: ‘Lanjutkan (perjalanan).’
Kami berjalan lagi hingga mendatangi sebuah sungai yang berisi darah. Di dalamnya ada seseorang yang berdiri di tengah sungai. Di tepi sungai ada orang yang menggenggam batu pada kedua tangannya. Orang yang ada di tengah sungai ingin menepi. Jika Ia hendak keluar, orang yang di pinggir sungai melemparnya dengan batu yang mengenai mulutnya, lalu ia kembali ke tempat semula. Setiap kali ia hendak keluar ia pun dilempar dengan batu pada mulutnya, lalu ia kembali ke tempat semula.
Aku bertanya: ‘Ada apa dengan orang ini?’ Keduanya menjawab: ‘Lanjutkan (perjalanan).’ Kami pun melanjutkan perjalanan, hingga kami berhenti di sebuah kebun hijau. Di dalamnya terdapat pohon yang besar. Di bawahnya berteduh seorang tua dan anak-anak. Di dekat pohon tersebut ada seseorang yang memegang api pada kedua tangannya, yang ia menyalakannya.
Lalu keduanya (orang yang bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam-pen) membawaku naik ke atas pohon lalu memasukkan aku ke dalam satu rumah yang aku tidak pernah sama sekali melihat rumah lebih indah darinya. Di dalamnya terdapat beberapa lelaki tua, anak-anak muda, wanita dan anak-anak kecil. Keduanya mengeluarkan aku dari rumah tersebut kemudian membawaku menaiki sebuah pohon dan memasukkan aku ke dalam sebuah rumah yang lebih indah dan lebih afdhal (lebih mulia). Di dalamnya terdapat orang-orang tua dan anak-anak muda.
Aku bertanya: ‘Kalian berdua telah membawaku berkeliling pada malam hari ini. Kabarkanlah kepadaku tentang apa yang telah aku lihat.’ Keduanya menjawab: ‘Ya. Tentang orang yang engkau lihat menusuk rahangnya, dia adalah pendusta. Dia suka berbicara dusta, maka kedustaannya dibawa orang hingga mencapai ke berbagai penjuru dan dia diperlakukan demikian sampai hari kiamat.
Orang yang engkau lihat dipukul kepalanya maka dia adalah seseorang yang Allah ajarkan kepadanya Al-Qur`an. Dia tidur (tidak membacanya) di malam hari dan tidak mengamalkannya di siang hari. Maka dia diperlakukan demikian hingga hari kiamat.
Orang yang engkau lihat dalam tungku adalah para pezina. Dan yang engkau lihat di sungai mereka adalah orang-orang yang memakan hasil riba.
Adapun orang tua yang ada di bawah pohon adalah Ibrahim ‘alaihissalam, dan anak-anak yang di sekitarnya adalah anak-anak manusia. Yang menyalakan api adalah Malik penjaga neraka. Adapun rumah pertama yang engkau masuki adalah tempat keumuman kaum mukminin. Adapun rumah ini adalah tempat para syuhada. Aku adalah Jibril dan ini adalah Mikail, maka angkatlah kepalamu.’
Akupun mengangkat kepala, ternyata di atasku seperti awan. Keduanya berkata: ‘Itu adalah tempatmu.’ Aku berkata: ‘Biarkan aku memasuki rumahku.’ Keduanya menjawab: ‘Sesungguhnya masih tersisa umurmu yang engkau belum menyempurnakannya. Sekiranya engkau telah menyempurnakannya, tentu engkau akan mendatangi tempatmu.’ (HR. Al-Bukhari, Kitabul Jana’iz, 3/1386, bersama Al-Fath)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu berkata:
“Perkataannya: “Mereka adalah orang yang makan hasil riba,” Ibnu Hubairah berkata: Sesungguhnya orang yang makan hasil riba dihukum dengan berenang di sungai merah (darah) dan dilempar dengan batu. Sebab asal riba munculnya dari emas dan emas berwarna merah. Adapun malaikat yang melemparnya dengan batu adalah isyarat bahwa (harta riba tersebut) tidak memberi manfaat sedikitpun kepadanya. Demikian pula riba, dimana pemilik harta tersebut membayangkan bahwa hartanya bertambah, padahal Allah melenyapkannya.” (Fathul Bari, 12/465)
Wallahu a’lam.
1 Salah satu transaksi dengan cara riba. Yaitu seseorang menjual kepada orang lain dengan cara kredit dan barang tersebut telah diserahkan kepada si pembeli. Lalu dia membelinya secara kontan dengan harga yang lebih murah dari harga kreditnya.
2 Yaitu menyibukkan diri dengan dunia di saat diwajibkan atas mereka untuk berjihad.
3 Dalam riwayat lain: maka keduanya membawaku menuju langit.
4 Seperti alat untuk mengail, ujungnya bengkok dan runcing.
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=405