Muqoddimah
Di dalam Muqoddimah kitab ini, Syaikh Hamad bin Ibrahim al-Utsman dengan panjang lebar menjelaskan tentang faedah-faedah dan keutamaan dalam menuntut `llmu serta perjalanan beliau dalam menyusun kitab ini, dari mulai cetakan pertama (1415 H) yang baru terkumpul 48 adab, cetakan ke dua (1416 H) dengan 60 adab, sampai pada cetakan ke empat ini dengan 109 adab. Beliau juga mengatakan bahwa kitab-kitab yang membahas tentang Adab Menuntut Ilmu sebelum ini juga sudah ada, seperti kitab Jami’u Bayanil Ilmiy wa Fadlihi (karya imam Abdil Bar رحمه الله تعلى pada abad ke 4 dan ke 5 Hijriah)(1) walaupun masih terdapat keterbatasan. Disamping itu, beliau juga menyinggung sedikit tentang pentingnya penyandaran atau penisbahan yang ilmiyah dalam penyusunan suatu kitab (2)
Namun karena keterbatasan ruang, tidak cukup seluruh isi muqoddimah beliau tersebut kita tampilkan pada tulisan ini, namun ada beberapa point yang penting untuk kita ketahui dan pahami. Beliau berkata: “Saya sebenarnya telah membukukan tentang faedah-faedah yang berhubungan dengan adab-adab dalam menuntut ilmu. Saya juga tambahkan apa-apa yang membuatnya bisa jadi lebih sempurna dan lebih tepat serta bermanfaat . Dan Allah Subhanahuwata’ala telah memudahkan saya untuk mengeluarkan kumpulan tersebut pada tahun 1415 H yaitu pada cetakan pertama. Saya berharap kepada Allah azzawajalla semoga pekerjaan tersebut menjadi amalan shaleh yang akan mengalir kepada saya sebagai balasan dari setiap orang yang membacanya atau yang mengambil manfaat darinya”
Dan pada cetakan yang keempat ini, disamping beliau menambah permasalahan baru dalam adab-adab menuntut ilmu, beliau juga menambahkan topik-topik dan bab-babnya, seperti akhwal para ‘ulama dalam masalah adab yaitu bagaimana etika duduk di dalam bermajelis, cara kita hadir di majelis `ilmu, penampilan dalam belajar, serta semangat kita dalam belajar tersebut. Disini dijelaskan juga oleh beliau mengenai adab baru yang tidak berhubungan dengan adab yang pertama tadi, sehingga jumlahnya menjadi 109 bentuk adab didalam menuntut ilmu tersebut.
Tidak diragukan lagi bahwasanya dalil-dalil dalam menuntut ilmu dan keutamaannya sangat banyak, baik dari al-Qur’an maupun dari as-Sunnah. Dan memaparkan dalil-dalil tersebut sangat penting sekali untuk menambah atau memperkuat tekad kita didalam menuntut ilmu tersebut. Dalam menuntut ilmu, ada adab-adab yang perlu dipelajari. Berpegang teguh dengan adab-adab tersebut akan membentuk dan mengokohkan etika seorang penuntut ilmu, baik antara dia dengan syaikhnya (gurunya) maupun antara dia dengan teman-temannya. Ini berguna untuk mempermudahnya dalam menuntut ilmu tersebut serta akan membimbingnya untuk melihat mana ilmu yang lebih penting dari yang penting. Bahkan manfaat dari adab-adab itu tadi akan menunjukkan padanya jalan dan metode ‘ulama-‘ulama yang betul-betul kokoh (‘ulama kibar) dalam menuntut ilmu tersebut. Ini artinya dapat terlihat dari sana, bagaimana metode dan cara para ‘ulama Salaf (ulama terdahulu) yang telah mendahuluinya dalam menuntut ilmu tersebut.
Dalam menuntut ilmu, seseorang bisa melakukannya dengan cara membaca kitab para ‘ulama dan yang terpenting adalah dengan cara mujalasah, yaitu duduk langsung dengan para ‘ulama tersebut. Hal ini tentu sangat membantu sekali dalam memahami pelajaran yang disampaikan dimana langsung bisa disaksikan bagaimana cara orang ‘alim atau ulama itu dalam mengajar, ketika men-syarah-kannya, ketika menjawab suatu pertanyaan(3) dan sebagainya.
Murid Imam Ahmad رحمه الله تعلى berkata: “Saya berteman dan bersahabat dengan Abu Abdillah (Imam Ahmad) dan saya pelajari darinya ilmu dan adab (4)
Salah seorang murid Imam Malik رحمه الله تعلى yakni Ibnu Wahhab رحمه الله berkata(5) : “Apa-apa yang kami nukilkan (kami dapatkan) tentang adab-adab dari imam Malik رحمه الله تعلى tersebut, lebih banyak daripada ilmu yang kami pelajari darinya.”
Ini menunjukkan kepada kita bahwa Ibnu Wahhab رحمه الله تعلى selaku seorang murid, betul-betul bergaul, belajar dan bermajelis dengan gurunya.
Hajat para penuntut ilmu terhadap ‘adab menuntut ilmu’ sangat penting sekali sebelum dia mulai melangkah untuk menuntut ilmu. Oleh karena itu sangat masyur dan sangat banyak wasiat-wasiat dari para ‘ulama tentang pentingnya mempelajari adab ini.
Imam Malik رحمه الله تعلى pernah berkata kepada seorang pemuda dari kalangan masyarakat Quraisy (keturunan Qurasy); “Wahai anak saudaraku, pelajarilah adab tersebut sebelum kamu memulai belajar ilmu”(6) Adab menuntut ilmu merupakan hajat yang bersangatan (penting sekali).
Berkata Yusuf bin al Husein(7) : “Dengan adab itu, ilmu tersebut dipahami.”
Berkata Abu Abdillah al-Balhi : “Adab ilmu tersebut lebih banyak daripada ilmu itu sendiri ”(8).
Juga berkata Imam Laits ibn sa’ad : “Ketika saya memperhatikan para penuntut ilmu hadits, lalu saya melihat pada mereka ada suatu kecacatan (suatu hal yang perlu dikritik dan dinasehati) lalu beliau berkata: “apa ini…? Kalian kepada adab sedikit dan kalian lebih berhajat kepada banyak ilmu”(9).
Ini menunjukkan kepada kita bahwa sangat pentingnya adab tersebut didalam menuntut ilmu.
Sebagaimana juga yang disampaikan oleh Imam Abu Bakr al-Ajurri (رحمه الله تعلى 10, beliau berkata: “Seorang ‘alim harus memiliki sifat-sifat dan keadaan-keadaan yang berbagai macam serta kedudukan-kedudukan yang wajib dia gunakan. Hal demikian harus diamalkannya disetiap saat. Maka baginya harus mengetahui sifat bagaimana cara dia dalam menuntut ilmu tersebut. Dan ketika ilmu sudah banyak disisinya maka hendaklah dia lazimkan dirinya kepada yang diwajibkan tersebut. Dia harus menguasai dan mengetahui sifat bagaimana bermajelis dengan para ‘ulama, sifat ketika dia belajar dari para ‘ulama tadi. Selain itu dia juga harus mengerti tentang sifat bagaimana cara mengajar, termasuk dalam munazaroh didalam masalah ilmu.
Dalam berfatwa, seorang `alim tersebut juga harus memiliki sifat dan adab, termasuk bagaimana bermajelis dengan para pemimpin, yang kalau seandainya dia diuji dengan duduk bersama pemimpin, dia tahu siapa yang berhak bermajelis dengannya dan siapa yang tidak berhak. Dan yang terpenting adalah dia harus memiliki sifat bagaimana beribadah kepada Allah ‘azzawajalla (antara dia dengan Allah ‘azzawajalla ). Sesungguhnya seorang `alim itu harus telah mempersiapkan setiap hak yang melazimkannya untuk mendirikan dan menunaikan hak tersebut. Dia juga harus mempersiapkan diri dari kejadian-kejadian yang baru, terutama terhadap kejelekan-kejelekan yang berhubungan dengan masalah agamanya. Dia harus berilmu dan mengetahui tentang hal-hal yang bisa mendatangkan ketaatan kepadaNya. Juga dia harus berilmu dengan apa-apa yang bisa menolak bala’ tersebut. Sesungguhnya seorang `alim itu harus ber-i’tiqod, menganut dan beramal dangan akhlak-akhlak yang baik serta menjauhi akhlak-akhlak yang hina dan rendah didalam kehidupannya”.
Inilah butir-butir dari adab-adab yang akan membimbing kita kepada ilmu dan bagaimana menunaikan ilmu tersebut. Dan kadang-kadang mungkin saja luput dari saya selain dari apa yang akan saya sebutkan, dan Allah-lah yang menunjuki kepada jalan yang lurus. (bersambung…Insyaa Allah)
—–
Footnote:
1. sebuah kitab yang membahas tentang permasalahan Ilmu dan Keutamaan Ilmu.
2. Maksudnya apabila seseorang mengambil nukilan topik atau pembahasan pada suatu kitab maka sepantasnyalah dia kembalikan sumbernya pada kitab tersebut, dengan menyebutkan nama kitab, jilid berapa dan siapa penulisnya. Jika perlu, lengkap dengan bab dan halamannya. Ini menunjukkan tentang ilmiyyahnya suatu kajian atau karya tulis. Hal ini bisa kita perhatikan pada karya-karya para salafunasholeh (orang-orang salaf terdahulu), mulai dari zaman tabi’in sampai saat ini, dimana dalam menukil suatu hadits sangat ilmiyah sekali. Mereka menukilkannya dari perkataan si fulan dan si fulan (bersanad) lengkap dengan derajat haditsnya. Namun bila kita lihat kitab-kitab sekarang yang ditulis oleh ustadz atau kyai-kyai yang mengikrarkan dirinya sebagai `ulama, mereka banyak mengarang kitab namun tidak ilmiyah, tanpa dalil yang jelas sumbernya., seperti tanpa menyebutkan sumber referensi judul kitab, jilidnya, bab dan halamannya.
3 Bila seorang murid bertanya kepada seorang guru atau `ulama, dimana guru tersebut belum tahu jawabannya, tidak salah bila guru tersebut minta uzur atau menunda untuk menjawabanya. Dan bila sang guru tsb memang benar-benar tidak tahu jawabannya, maka terlarang baginya untuk memaksakan diri menjawabnya tanpa dalil yang jelas atau mencari-cari jawaban sekenanya agar dia tidak merasa malu, karena bukan ‘aib bagi seorang guru untuk mengatakan “tidak tahu” kalau dia benar-benar memang tidak tahu atau menjawabnya dengan mengatakan Allahu a’lam (الله أعلم بالصواب ).
4 Disamping dia bersahabat dengan gurunya sambil menuntut ilmu, dia juga mempelajari adab yang dipraktekkan langsung gurunya tsb
5 Disamping dia bersahabat dengan gurunya sambil menuntut ilmu, dia juga mempelajari
adab yang dipraktekkan langsung gurunya tsb.
6 Di dalam Siyar alamin-nubala’, Jilid 8 halaman 113.
7 Di dalam al-Hilyah oleh Abi Nu’aim
8 Kitab Iqtidho’ al-Ilmiy wal ‘amali oleh Khatib al Baghdadiy, (hal. 170)
9 Di dalam kitab al-adabul syar’iyyah (Jilid 3, Halaman 552).
10 Di dalam Syarfu Ashabil Hadits oleh al-Khatib al-Baghdadiy (No. 283).