Untaian Faidah Di Bulan Ibadah (1)
Segala puji bagi Allah semata, untuk kesekian kalinya kita dipertemukan dengan bulan Ramadhan.Bulan yang penuh keutamaan, yang diantaranya disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam (artinya) : “Apabila tiba awal malam bulan Ramadhan, maka para syaithan dan jin jahat dibelenggu, pintu-pintu neraka ditutup dan tak satu pun dibuka, pintu-pintu surga dibuka dan tak satu pun ditutup.Penyeru berseru : “Wahai orang yang mencari kebaikan, kemarilah ! Wahai orang yang mencari kejelekan, berhentilah !” Allah memiliki hamba-hamba yang dibebaskan dari neraka.Keadaan seperti itu terjadi pada setiap malam hari”.(HR.at-Tirmidzi dan Ibnu Majah yang disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani)
Jika telah bertemu dengan bulan yang mulia ini, kita pun memohon kepada Allah agar memberikan kekuatan dan kemudahan kepada kita untuk menjalankan beragam ibadah dengan sebaik-baiknya.Bekal ikhlas dan ‘ittiba’ yang keduanya dibangun di atas ilmu merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Para pembaca rahimakumullah, insya Allah mulai edisi ini kami akan mengetengahkan beberapa bimbingan seputar ibadah di bulan Ramadhan.Tidak ada harapan selain tulisan-tulisan yang kami angkat semoga memberikan manfaat bagi kami sekaligus segenap pembaca.
Orang Kafir Masuk Islam di Pertengahan Siang Hari Ramadhan
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah ditanya : “Apabila orang kafir masuk Islam di siang hari Ramadhan, apakah dia wajib menahan diri dari pembatal puasa di sisa hari yang ia masuk Islam ketika itu ?”
Maka beliau menjawab : “Ya, wajib baginya untuk menahan diri dari pembatal puasa di sisa hari yang ia masuk Islam ketika itu, karena ketika itu dia termasuk orang yang diwajibkan berpuasa…”
Dalam fatwa lain, beliau berkata : “…akan tetapi jika dia masuk Islam di pertengahan siang Ramadhan, apakah dia wajib menahan diri dari pembatal puasa dan membayar hutang (qadha’) di hari lain ? Wajib menahan diri dari pembatal puasa tanpa qadha’ ? Ataukah tidak wajib menahan diri dari pembatal puasa dan tidak pula qadha’ ? Dalam permasalahan ini ada perbedaan pendapat di kalangan ulama.Pendapat yang kuat adalah wajib baginya menahan diri dari pembatal puasa tanpa qadha’.Wajib baginya menahan diri dari pembatal puasa karena dia telah termasuk orang yang wajib berpuasa.Tidak wajib qadha’ karena sebelum masuk Islam, bukan termasuk orang yang diwajibkan berpuasa…”(Fatawa Fi Ahkam ash-Shiyam hal.96 dan 97)
Wanita Haidh atau Nifas Telah Suci di Pertengahan Siang Hari Ramadhan
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah ditanya : “Apabila wanita haidh atau nifas suci di pertengahan siang Ramadhan, apakah dia wajib menahan diri (ketika itu juga, pen) dari pembatal puasa ?”
Beliau menjawab : “Apabila wanita haidh atau nifas suci di pertengahan siang Ramadhan, maka dia tidak wajib menahan diri (ketika itu juga, pen) dari pembatal puasa.Boleh baginya makan dan minum, karena puasa dia (ketika itu juga, pen) tidak berfaidah sedikit pun baginya di kala wajib baginya mengqadha’.Ini adalah mazhab Malik, asy-Syafi’i dan satu riwayat dari Ahmad.Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiyalllahu ‘anhu, bahwa beliau berkata : “Barangsiapa yang makan di awal siang, maka silahkan makan di akhir siang”.Yakni, barangsiapa yang memang diperbolehkan berbuka di awal siang, maka boleh baginya (melanjutkan) berbuka di akhir siang”.(Fatawa Fi Ahkam ash-Shiyam hal.99)
Orang Yang Berbuka Karena Uzur Syar’i, Bolehkah Melakukan Pembatal-pembatal Puasa di Siang Hari Ramadhan ?
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah ditanya : “Barangsiapa yang berbuka di siang Ramadhan karena alasan yang dibenarkan syariat, apakah boleh dia makan dan minum di sisa hari itu ?”
Beliau menjawab : “Boleh baginya makan dan minum karena dia berbuka dengan alasan yang dibenarkan syariat.Jika dia berbuka dengan alasan yang dibenarkan syariat, maka hilang kehormatan siang Ramadhan baginya.Jadilah dia boleh makan dan minum.Berbeda halnya dengan seseorang yang berbuka di siang Ramadhan tanpa alasan syar’i , maka kita mewajibkan dia untuk menahan diri dari pembatal puasa, sekalipun tetap baginya mengqadha’.Wajib memperhatikan adanya perbedaan antara 2 permasalahan ini”.(Fatawa Fi Ahkam ash-Shiyam hal.100)
Tentu saja orang yang berbuka di siang hari Ramadhan dengan alasan syar’i tetap diwajibkan mengqadha’ di hari lain luar Ramadhan.
Seorang Musafir Telah Berniat Buka di Siang Ramadhan Namun Tidak Mendapati Sesuatu Untuk Buka Lalu Melanjutkan Puasanya
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin pernah ditanya : “Seorang musafir dalam keadaan masih berpuasa di Ramadhan telah berniat buka.Ternyata dia tidak menjumpai sesuatu untuk buka lalu mengubah niatnya dan menyempurnakan puasanya hingga Maghrib.Apakah puasanya sah ?”
Beliau menjawab : “Puasanya tidak sah.Wajib baginya qadha’, karena tatkala dia telah berniat buka, maka dia (dinyatakan, pen) berbuka.Adapun kalau dia mengatakan : “Jika aku menjumpai air, maka aku akan minum.Jika tidak, maka aku tetap puasa.Ternyata dia tidak menjumpai air.Maka kalau yang ini puasanya sah, karena dia tidak memutuskan niatnya.Dia sekedar berbuka terkait adanya sesuatu untuk buka.Ternyata sesuatu untuk buka tidak dijumpai.Maka dia tetap berada pada niat semula”.(Fatawa Fi Ahkam ash-Shiyam hal.183)
Bolehkah Berbuka Sebelum Berangkat Safar (Perjalanan) ?
Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah pernah ditanya : “Jika seseorang akan berangkat safar pada jam 09.00 Ramadhan, apakah boleh baginya berbuka di hari itu sejak awal pagi hari ?”
Maka beliau menjawab : “Telah sahih dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau bertekad untuk safar.Lalu beliau mempersiapkan safar, mengenakan pakaian safar dan makan sebelum safar.Sebagian sahabat beliau bertanya : “Apakah ini sunnah (bimbingan Nabi, pen) ?”Maka beliau menjawab : “Ya, sunnah”.Telah datang riwayat dari Abu Bashrah al-Ghifari semisal itu.Maka tidak mengapa hal itu.Jika dia bersabar hingga keluar safar, maka itu lebih terjaga.Jika dia bersabar hingga keluar safar, maka itu lebih terjaga…”(www.binbaz.org.sa)
Musafir Telah Berbuka Di Siang Ramadhan Apakah Boleh Melakukan Pembatal-pembatal Puasa Jika Telah Kembali Ke Tempat Tinggalnya Sebelum Waktu Maghrib ?
Al-Lajnah ad-Daimah ditanya : “Musafir berbuka dalam perjalanannya dan tatkala sampai di tempat tinggalnya, apakah dia menahan diri dari pembatal puasa ataukah tidak mengapa makan ? Apa dalilnya ?
Maka al-Lajnah menjawab : “Berbuka ketika safar adalah keringanan yang Allah jadikan sebagai keleluasaan bagi hamba-hambaNya.Apabila telah usai sebab diberlakukannya keringanan, maka hilang pula keringanan ketika itu pula.Maka barangsiapa yang telah sampai ke kampungnya di siang hari dari safar, maka wajib dia menahan diri dari pembatal puasa.Hal ini masuk dalam keumuman firman Allah Ta’ala (artinya) : “…Maka barangsiapa diantara kalian yang hadir (di tempat tinggalnya) pada bulan itu, maka hendaknya dia berpuasa…”(Al Baqarah : 185)…”(Fatawa ‘Ulama’ al-Balad al-Haram hal.914)
Adapun asy-Syaikh Ibnu Utsaimin berfatwa berbeda dengan al-Lajnah.Beliau mengatakan bolehnya musafir yang telah tiba di kediamannya di siang hari Ramadhan untuk melakukan pembatal puasa.Menahan diri dari pembatal puasa tidaklah memberikan faidah baginya seiring kewajiban qadha’ baginya.Hanya saja janganlah dia berbuka secara terang-terangan di hadapan manusia.(Lihat Fatawa Fi Ahkam ash-Shiyam hal.99)
Orang Yang Meninggal Dunia Di Tengah Ramadhan
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah ditanya : “Bila seorang muslim berpuasa di sebagian Ramadhan lalu ia meninggal dunia pada sisa bulan, apakah wajib bagi walinya untuk menyempurnakan sisa puasanya ?”
Maka beliau menjawab : “Bila dia meninggal dunia di tengah Ramadhan, maka tidak wajib walinya untuk menyempurnakan sisa puasanya.Tidak pula membayar fidyah atas namanya.Hal ini dikarenakan orang yang telah meninggal dunia terputuslah (pahala) amalannya, sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaih Wasallam bersabda (artinya) : “Jika manusia itu meninggal dunia, maka terputuslah (pahala) amalannya, kecuali 3 amalan : Sedekah jariyah, ilmu yang dapat dimanfaatkan atau anak saleh yang mendoakan kebaikan bagi orang tuanya”.Atas dasar ini maka jika dia meninggal dunia, maka tidak diqadha’ atau dibayarkan fidyah atas namanya.Bahkan sekalipun dia meninggal dunia di pertengahan siang Ramadhan, tetap tidak diqadha’ atas namanya”.(Fatawa Fi Ahkam ash-Shiyam hal.387)
Orang Yang Meninggal Dunia Tapi Belum Bayar Hutang (Qadha’) Puasa Ramadhan
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah ditanya : “Apa hukum seseorang yang meninggal dunia tapi masih memiliki hutang puasa bulan Ramadhan?”
Beliau pun menjawab : “Jika dia meninggal dunia dalam keadaan masih memiliki hutang puasa bulan Ramadhan, maka wali yang merupakan kerabatnya berpuasa atas nama orang yang meninggal dunia tersebut.Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda (artinya) : “Barangsiapa yang meninggal dunia dalam keadaan masih memiliki hutang puasa, maka walinyalah yang berpuasa atas nama orang yang meninggal dunia tersebut”.
Jika walinya tidak berpuasa atas nama orang yang meninggal dunia tersebut, maka dapat dibayarkan fidyah atas namanya kepada orang miskin sebanyak hari yang ditinggalkan”.(Fatawa Fi Ahkam ash-Shiyam hal.386)
Sudah Membayar Fidyah Karena Sakit Yang Diperkirakan Tidak Dapat Sembuh Menurut Medis, Ternyata Sembuh di Sisa-sisa Ramadhan
Orang yang menderita penyakit berat yang diperkirakan tidak dapat sembuh menurut keterangan medis, diwajibkan membayar fidyah berupa makanan yang mencukupi untuk 1 kali makan sebanyak hari yang dia tidak berpuasa padanya.Lalu bagaimana jika dia telah membayar fidyah, ternyata setelah itu (dengan kehendak Allah) dia sembuh ?
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin pernah ditanya : “Jika seseorang ternyata sembuh dari sakitnya yang telah divonis para dokter mustahil sembuh, dan itu terjadi setelah beberapa hari Ramadhan, maka apakah dia dituntut untuk mengqadha’ puasa ?”
Beliau menjawab : “Jika seseorang berbuka di Ramadhan karena sakit yang tidak ada harapan sembuh menurut kebiasaan atau keterangan dokter yang dapat dipercaya, maka yang wajib baginya adalah memberi makan kepada orang miskin di setiap harinya.Jika dia telah melakukan hal itu dan ternyata Allah takdirkan dia sembuh, maka tidak wajib berpuasa sesuai hari yang dia telah membayar fidyah atasnya.Hal ini dikarenakan tanggungan dia telah tuntas dengan membayar fidyah sebagai pengganti puasa…”(Fatawa Fi Ahkam ash-Shiyam hal.127)
Wallahu a’lamu bish-Shawab