Sangat tepat mengkaji surat ini ketika kita ingin mengetahui berita gembira untuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wasallam dan umat beliau.Berita gembira yang selayaknya kita jadikan sebagai renungan dan hiburan di tengah kehidupan yang penuh ujian dan cobaan.
Ayat pertama (artinya) : “Bukankah Kami (Allah) telah melapangkan dada untukmu ?!”
Kalimat ini adalah pertanyaan tapi maknanya pernyataan.Maksudnya bahwa Allah telah melapangkan dada Nabi-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wasallam.Dilapangkannya dada beliau terjadi secara hissi (lahiriah) maupun maknawi (batiniah).Secara hissi adalah dicucinya kalbu beliau oleh malaikat Jibril ‘alaihi as-Salam dengan air zam-zam lalu dituangi hikmah dan iman dari bejana emas.Peristiwa itu terjadi pada saat Isra’ Mi’raj.Disebutkan oleh Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam pernah bercerita (artinya) : “Terbuka atap rumahku yang ketika itu aku masih di Makkah.Lantas Jibril turun dan membelah dadaku dan mencucinya dengan air zam-zam.Kemudian Jibril mendatangkan bejana emas yang penuh dengan hikmah dan iman.Jibril pun menuangkan hikmah dan iman tersebut ke dalam dadaku hingga ia menutup kembali belahan dadaku…” (HR.al-Bukhari dan Muslim)
Adapun secara maknawi, maka ada 2 macam :
1) Dada beliau sangat lapang terhadap hukum Allah yang bersifat syar’i dengan penerimaan sepenuhnya terhadap syariat-Nya, ridha terhadapnya, tidak merasa sempit dan keberatan menjalankan syariat tersebut.
2) Dada beliau sangat lapang terhadap hukum Allah bersifat kauni (alami) dengan kesabaran dan keridhaan sepenuhnya menghadapi beragam ujian dan musibah.
Dengan 2 hal di atas, maka Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wasallam adalah manusia yang paling bertakwa kepada Allah sekaligus paling sabar menghadapi bermacam-macam musibah.
Dada yang lapang merupakan seagung-agung karunia yang Allah berikan kepada hamba-Nya.Demikian pula, dada yang lapang adalah bekal yang paling kuat untuk dapat menjalankan ketaatan kepada Allah dan memikul dakwah yang mesti akan menghadapi beragam cobaan.
Ayat kedua (artinya) : “Dan Kami telah menggugurkan dosa darimu”.
Maksudnya : “Bukankah Kami telah gugurkan dosa darimu ?!” Dalam ayat lainnya, Allah menerangkan bahwa Dia Ta’ala mengampuni dosa beliau yang lalu maupun yang akan datang.Dia berfirman (artinya) : “Supaya Allah mengampuni dosamu yang telah lalu dan yang akan datang…” (Al Fath : 2)
Hanya saja pada ayat yang ke-2 ini, Allah tidak menjelaskan dosa apa dan jenisnya sehingga para ulama berbeda pendapat tentang dosa yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam.
Ayat ketiga (artinya) : “Yang memberatkan punggungmu ?!”
Punggung adalah anggota badan yang paling kuat pada manusia untuk membawa beban.Apabila ada beban yang berat dibawa oleh punggung, maka anggota badan yang lain lebih-lebih akan merasa berat.
Dalam ayat ini terdapat penjelasan bahwa dosa Nabi telah dirasa berat oleh punggung beliau, padahal dosa beliau yang lalu dan yang akan datang pasti diampuni oleh Allah.Ini tentu menunjukkan kesungguhan beliau yang sangat besar dalam menilai sebuah dosa, penyesalan dan kesedihan melakukan dosa.Tidak ada satu pun dosa yang dianggap remeh oleh beliau.Lalu bagaimana dengan kita yang sangat banyak dosanya dan tidak ada jaminan untuk diampuni oleh Allah ?! Bisa jadi dosa besar bahkan paling besar sekalipun (yaitu : kesyirikan), kita anggap ringan seperti lalat yang lewat di hidung.
Sungguh jauh perbedaan antara seorang mukmin dengan seorang fajir manakala memandang dosa yang mereka berdua lakukan ! Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata : “Sesungguhnya seorang mukmin melihat dosanya seakan-akan ia duduk di bawah gunung dalam keadaan takut gunung itu akan menimpa dirinya.Sedangkan seorang fajir melihat dosanya seakan-akan ada seekor lalat melewati hidungnya lalu (hanya) menghalau dengan tangannya”.(Shahih al-Bukhari)
Ayat keempat (artinya) : “Dan Kami telah mengangkat penyebutan untukmu ?!”
Maksudnya : “Bukankah Kami telah mengangkat penyebutan untukmu ?!” Pada ayat ini, Allah menyebutkan kedudukan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wasallam yang sangat tinggi dan tidak bisa dicapai oleh nabi-nabi yang lainnya.Bukankah tidak ada manusia sejak Nabi Adam ‘alaihi as-Salam hingga manusia terakhir yang namanya senantiasa disebut oleh sekian banyak manusia seperti Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wasallam ?! Bukankah nama beliau senantiasa disebut setelah nama Allah dalam adzan, iqamah, tasyahud di setiap hari oleh sekian banyak manusia di seluruh pelosok dunia hingga jelang hari kiamat kelak ?! Belum lagi dalam kesempatan lain, seperti : ceramah, ucapan syahadat seorang yang masuk Islam dan sebagainya yang nama beliau senantiasa disebut ?! Tidak ada pula manusia selain Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wasallam yang ucapan dan perbuatannya senantiasa terjaga dan tertulis di sekian banyak karya para ulama hingga dijadikan pedoman hidup sekian banyak generasi hingga akhir zaman ! Ibadah pun tidak akan diterima oleh Allah sekalipun ikhlas kecuali jika diiringi ittiba’ (mengikuti) sunnah beliau.Nama beliau memiliki tempat tersendiri pada setiap dada kaum muslimin setelah nama Allah ‘Azza Wa Jalla.Tidaklah nama atau sunnah beliau dihina oleh sebagian manusia, melainkan pasti ada sebagian manusia lainnya yang akan membela dan meninggikan nama atau sunnah beliau hingga akhir zaman.
Penyebutan nama dan kedudukan beliau semakin tampak tinggi manakala beliau menjadi satu-satunya manusia yang mendapat izin dari Allah untuk memberi syafaat bagi seluruh manusia yang berkumpul di padang mahsyar pada hari kiamat kelak.Syafaat itu dikenal dengan istilah asy-Syafa’ah al-Uzhma (Syafaat Yang Agung).
Jika kita perhatikan, maka 4 ayat di atas memberitakan 3 karunia besar yang Allah berikan kepada Nabi-Nya, yaitu : dilapangkannya dada (kalbu), digugurkannya dosa dan diangkatnya nama beliau sepanjang zaman.
Ayat kelima (artinya) : “Maka sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan”.
Kalau pada ayat-ayat sebelumnya Allah memberitakan kabar gembira hanya kepada utusan-Nya yang terbaik, maka pada ayat ini dan setelahnya (ayat ke-6) Allah memberitakan kabar gembira kepada beliau sekaligus umat beliau.
Pada ayat ini dan setelahnya terdapat keterangan bahwa manakala datang suatu kesulitan sebesar apa pun dia, niscaya kemudahan akan menyertainya.Sekalipun ibaratnya kesulitan itu masuk lubang adh-Dhabb (binatang sejenis biawak) yang memang sulit dimasuki, niscaya kemudahan akan menyertai lalu mengeluarkan kesulitan dari lubang tersebut.
Ayat keenam (artinya) : “Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan”.
Allah menegaskan janji-Nya ini bahwa bersama kesulitan itu ada kemudahan dengan 2 hal, yaitu :
1) Penggunaan kata “sesungguhnya”.
2) Pengulangan kalimat “sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan” sebanyak 2 kali.
Jika Allah adalah Zat Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu, Maha Benar ucapan-Nya, tidak ada sedikit pun keraguan pada ucapan dan janji-Nya, maka akankah seorang muslim masih saja berputus asa menghadapi kesulitan dalam hidupnya, ragu terhadap ucapan dan janji Allah ?! Akan tetapi kemudahan bagi seseorang menjadi tertunda justru disebabkan karena beberapa hal, seperti : lemahnya keyakinan dia, rasa putus asa dia yang lebih dominan dibandingkan rasa harap kepada pertolongan Allah atau dia masih menganggap kemudahan itu jauh keberadaannya.Maka Allah pun memberi balasan sesuai anggapan dan prasangka hamba kepada-Nya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam pernah bersabda melalui sebuah hadits Qudsi (artinya) : “Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman : “Aku bersama prasangka hamba-Ku kepada-Ku.Jika ia berprasangka baik, maka baginya kebaikan.Jika ia berprasangka buruk, maka baginya keburukan”.(ash-Shahihah 1663)
Faidah : Keterangan di atas berkaitan dengan kesulitan yang sifatnya kauni (alami).Adapun kesulitan yang sifatnya syar’i (agama), maka Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menerangkan bahwa sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan juga berkaitan dengan urusan agama.Beliau lalu memberikan beberapa contoh, diantaranya : Shalat dengan duduk jika tidak mampu berdiri dan jika tidak mampu duduk maka dengan berbaring.(Lihat Tafsir Juz ‘Amma)
Ayat ketujuh (artinya) : “Maka jika engkau usai (dari suatu urusan), maka kerjakanlah dengan sungguh- sungguh (urusan yang lain)”.
Jika engkau usai dari suatu urusan, maka bersiaplah untuk mengerjakan urusan lain.Jangan engkau jadikan kehidupan ini sia-sia.Waktu itu terus berjalan tanpa peduli apakah manusia bangun atau tidur, sibuk atau luang, bergegas atau berlambat-lambat.Engkau tidak akan sanggup menghentikan jalannya waktu.Oleh karena itu, kehidupan seorang yang berakal adalah kehidupan penuh kesungguhan.Manakala usai dari satu urusan, maka ia bersiap untuk menunaikan urusan berikutnya.
Al-‘Allamah al-Alusi rahimahullah berkata : “Mereka (para ulama) menyebutkan bahwa duduknya seseorang dalam kekosongan waktu tanpa ada kesibukan atau sibuk (tapi) dengan sesuatu yang tidak bermanfaat bagi agama maupun dunianya adalah kedunguan berpikir, kelemahan akal dan dikuasainya dia oleh rasa lalai”.(Tafsir al-Alusi)
Ayat ini mengandung faidah : Anjuran untuk memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya untuk kebaikan dunia maupun akhirat.Demikianlah Islam, agama yang kita cintai ini ! Membimbing pemeluknya agar benar-benar menaruh perhatian besar terhadap waktunya dan tidak menyia-nyiakannya.
Faidah : Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata : “Jika ada seseorang berkata : “Kalau aku menggunakan kesungguhan pada setiap kehidupanku, niscaya aku akan lelah dan bosan”.Maka kita katakan : “Sesungguhnya istirahat untuk menggiatkan dirimu dan mengembalikan rasa giat untukmu teranggap sebagai kesibukan dan amalan.Yakni : Tidak mesti kesibukan itu adalah bergerak.Istirahatmu untuk menjadikan giat melakukan amalan lain teranggap sebagai amalan”.(Tafsir Juz ‘Amma)
Ayat kedelapan (terakhir) yang artinya : “Dan hanya kepada Rabbmu-lah, hendaknya engkau berharap”.
Hanya kepada Allah, hendaknya engkau berharap mendapatkan kemudahan dan diterimanya ibadahmu karena sesungguhnya Dia-lah Zat Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.Kapan saja engkau menaruh kepercayaan dan harapan kepada Allah semata, maka Allah akan memudahkan segala urusanmu.Semakin kuat rasa percaya dan harapanmu kepada-Nya saja, maka semakin cepat Dia mendatangkan kemudahan untukmu.
Faidah : Digunakan lafazh “Rabb” yang maknanya adalah Zat yang memiliki sifat Rububiyah, seperti : mencipta, mengatur dan memelihara alam semesta, karena :
1) Untuk menunjukkan kekuasaan Zat yang diharapkan pertolongan-Nya.
2) Rasa harap (ar-Raghbah) adalah ibadah yang hanya boleh dipersembahkan kepada Zat yang memiliki sifat Rububiyah
Wallahu a’lamu bish-Shawab