Daarul Ihsan
Daarul Ihsan oleh admin daarulihsan

tafsir surat asy-syams

6 tahun yang lalu
baca 7 menit
بِسمِ اللهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

Tafsir Surat Asy-Syams

Setelah mempelajari Tafsir Surat Al-Lail yang dimuat pada edisi ke-19, selanjutnya kita akan mempelajari Tafsir Surat Asy-Syams pada edisi ke-33 ini.

Ayat pertama (artinya) : “Demi matahari dan cahayanya di pagi hari.”

Allah bersumpah dengan matahari beserta cahayanya karena pada keduanya terdapat manfaat semisal : pencahayaan bagi manusia hingga mereka di masa sekarang tidak banyak butuh terhadap cahaya listrik yang dapat memakan biaya sangat besar, sebab matangnya buah-buahan, pertumbuhan tanaman-tanaman dan manfaat lain yang tidak mengetahui jumlahnya kecuali Allah. Ini menunjukkan kekuasaan, ilmu dan rahmat Allah kepada hamba-hambaNya.

Ayat kedua (artinya) : “Dan demi bulan apabila mengiringinya.”

Makna “…mengiringnya” bisa maksudnya mengiringi matahari dalam perjalanannya atau bisa pula maksudnya mengiringi matahari dalam menerangi bumi. Asy-Syaikh ‘Athiyyah Muhammad Salim rahimahullah berkata : “Dan tidak samar lagi pada bulan akan adanya manfaat bagi makhluk seperti : mengurangi gelapnya malam, demikian pula sebagian kekhususan bulan terhadap tanaman dan kekhususan paling penting adalah menjelaskan (pergiliran) bulan-bulan sehingga dapat membagi (perjalanan) tahun, mengetahui keberadaan waktu ibadah semisal : puasa, haji, zakat, ‘iddahnya wanita, kaffarah (tebusan) puasa, tibanya waktu membayar hutang, syarat-syarat muamalah dan setiap apa yang berkaitan dengan perhitungan waktu dalam ibadah maupun muamalah.” (Tatimmah Adhwa’ al-Bayan)

Ayat ketiga (artinya) : “Dan demi siang apabila menampakkannya.”

Para ulama berbeda pandangan tentang maksud kata ganti “nya” pada kata “menampakkannya”. Diantara mereka mengatakan bahwa kata ganti tersebut kembali kepada “matahari” pada ayat pertama. Pendapat kedua menyatakan : Kata ganti “nya” maksudnya “kegelapan” dengan penerjemahan : “Dan demi siang apabila meneranginya”. Pendapat ketiga adalah : bumi. Wallahu a’lam.

Ayat keempat (artinya) : “Dan demi malam apabila menutupinya.”

Maksud kata ganti “nya” pada ayat ini, penjelasannya sebagaimana pada ayat ketiga di atas. Al-‘Allamah as-Sa’di rahimahullah berkata : “Maka pergantian antara gelap dengan terang dan matahari dengan bulan pada alam ini dengan teratur, kokoh dan tegak untuk kebaikan hamba-hamba merupakan sebesar-besar dalil bahwa Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu, Maha Kuasa atas segala sesuatu dan Dia adalah sesembahan satu-satunya yang segala sesembahan selain Dia adalah batil.” (Tafsir as-Sa’di)

Ayat kelima (artinya) : “Dan demi langit serta bangunannya.”

Ayat kelima ini dapat pula diterjemahkan dengan “Dan demi langit serta Zat yang menciptakannya.” Tentu Zat yang menciptakannya tidak lain adalah Allah Ta’ala. Jika diterjemahkan dengan “…bangunannya”, maka Allah bersumpah dengan makhluk-Nya yang menunjukkan luas, tinggi dan kokohnya langit. Adapun jika diterjemahkan dengan “…Zat yang menciptakannya”, maka Allah bersumpah dengan diri-Nya sendiri.

Ayat keenam (artinya) : “Dan demi bumi serta hamparannya.”

Ayat keenam ini dapat pula diterjemahkan dengan “Dan demi bumi serta Zat yang menghamparkannya.” Penjelasan ayat dengan 2 penerjemahan ini hampir mirip dengan penjelasan ayat sebelumnya.

Al-‘Allamah as-Sa’di rahimahullah berkata : “Yaitu : Allah menghamparkan dan melapangkannya (bumi) sehingga makhluk sanggup mengambil manfaat darinya ketika itu dengan segenap sisi pemanfaatan.” (Tafsir as-Sa’di)

Ayat ketujuh (artinya) : “Dan demi jiwa serta penyempurnaan (penciptaan) nya.”

Jiwa yang dimaksud adalah jiwa manusia berdasar apa yang Allah sebutkan pada ayat selanjutnya. Ayat ini dapat pula diterjemahkan dengan “Dan demi jiwa serta Zat yang menyempurnakan (penciptaan) nya.” Penjelasan dengan 2 penerjemahan ini pun hampir mirip dengan penjelasan ayat kelima dan keenam.

Al-‘Allamah al-Alusi rahimahullah berkata : “Yaitu : Allah menumbuhkan dan menciptakannya dalam keadaan ia siap dengan kesempurnaannya. Hal itu berupa menyeimbangkan anggota tubuh dan kekuatan zhahir maupun batinnya.” (Tafsir al-Alusi)

Dari yang tertera di 7 ayat ini, sangat jelas bahwa Allah Ta’ala bersumpah dengan 7 makhluk-Nya beserta keadaannya. 7 makhluk tersebut, yaitu : matahari, bulan, siang, malam, langit, bumi dan jiwa manusia.

Ayat kedelapan (artinya) : “Maka Dia (Allah) mengilhamkan kepada jiwa tersebut (jalan) kefajiran dan ketakwaan.”

Al-Imam ath-Thabari rahimahullah menyatakan bahwa Allah telah menjelaskan kepada jiwa manusia apa yang selayaknya ia kerjakan atau tinggalkan dari kebaikan atau kejelekan, ketaatan atau kemaksiatan. (Lihat Tafsir ath-Thabari)

Al-Hafizh al-Qurthubi rahimahullah berkata : “Dan dari Muhammad bin Ka’b, berkata : “Jika Allah ‘Azza Wa Jalla menginginkan pada hamba-Nya kebaikan, maka Allah akan memberikan ilham kebaikan baginya lalu mengamalkannya. Adapun jika Dia menginginkan pada hamba-Nya kejelekan, maka Dia akan mengilhamkan padanya kejelekan lalu mengamalkannya.” (Tafsir al-Qurthubi)

Dari keterangan ini kita mengetahui bahwa keinginan Allah dan ilham itu terjadi sebelum seseorang beramal. Sedangkan setelah beramal, Allah katakan melalui ayat berikut ini :

Ayat kesembilan (artinya) : “Telah beruntunglah orang yang telah menyucikan jiwanya.”

Ini adalah jawaban dari sumpah-sumpah sebelumnya. Ayat ini dapat diterjemahkan juga dengan “Telah beruntunglah orang yang Dia (Allah) telah menyucikan jiwanya.” Hal ini berdasarkan firman Allah (artinya) : “…sebenarnya Allah-lah yang menyucikan siapa yang Dia kehendaki dan mereka tidak dizalimi sedikit pun.” (An-Nisa’ : 49)
Dapat pula penerjemahannya sebagaimana yang dicetak tebal di atas. Ini berdasarkan firman Allah (artinya) : “Telah beruntunglah orang yang menyucikan dirinya. Dan ia menyebut nama Rabbnya lalu mengerjakan shalat.” (Al A’la : 14-15)

Mengompromikan 2 terjemahan di atas merupakan suatu kemungkinan karena seseorang menyucikan dirinya itu disebabkan keutamaan dari Allah. Ini sebagaimana firman Allah (artinya) : “Dan kalau bukan karena keutamaan dan rahmat dari Allah atas kalian, niscaya tidak ada seorang pun dari kalian selama-lamanya yang dapat menyucikan jiwanya.” (An-Nur : 21)

Menyucikan jiwa ini dapat berupa menyucikan jiwa dari kesyirikan dengan tauhid, kufur dengan iman, kebid’ahan dengan sunnah Nabi dan kemaksiatan dengan ketakwaan. Kadar keberuntungan seorang hamba itu sesuai dengan kadar penyucian terhadap jiwanya.

Ayat kesepuluh (artinya) : “Dan telah merugilah orang yang telah mengotori jiwanya.”

Ayat ini dapat diterjemahkan pula dengan “Dan merugilah orang yang Dia (Allah) telah mengotori jiwanya.” Orang tersebut mengotori jiwanya dengan keadilan dari Allah dan Dia tidak menzalimi hamba-Nya sedikit pun. Mengotori jiwa itu dapat berupa kesyirikan, kekufuran, kebid’ahan dan kemaksiatan. Kadar kerugian seorang hamba itu sesuai dengan kadar ia mengotori jiwanya.

Ayat kesebelas (artinya) : “(Kaum) Tsamud telah mendustakan (Rasul mereka) karena perbuatan melampaui batas mereka.”

Perihal kaum Tsamud silakan para pembaca lihat kembali edisi ke-4 tahun ke-8 yang berjudul “Kisah Nabi Shalih ‘alaihi as-Salam.”

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata : “Allah Ta’ala memberitakan tentang Tsamud bahwa mereka mendustakan Rasul mereka dengan sebab apa yang ada pada mereka berupa perbuatan melampaui batas dan kelaliman.” (Tafsir Ibni Katsir)

Ayat keduabelas (artinya) : “Ketika bangkit orang yang paling celaka diantara mereka.”

Orang ini bangkit dengan segera. Para ulama tafsir menyatakan bahwa orang ini adalah Qudar bin Salif yang berkeinginan untuk menyembelih unta betina Nabi Shalih. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasalllam menyebutkan sifat orang yang menyembelih unta betina ini, yaitu : sedikit manusia yang menandingi orang ini, banyak kejelekannya, kuat dan mirip Abu Zam’ah. Abu Zam’ah sendiri bernama al-Aswad bin Abdil Muththalib bin Asad bin Abdil ‘Uzza. Dia ini merupakan salah satu orang kafir di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam.

Ayat ketigabelas (artinya) : “Lalu utusan Allah berkata kepada mereka : “(Biarkanlah) unta betina milik Allah ini beserta minumannya.”

Melalui ayat yang lain, Allah berfirman (artinya) : “…maka biarkanlah unta ini makan di bumi Allah dan janganlah kalian mengganggunya dengan gangguan apapun…” (Al A’raf : 73)

Nabi Shalih ‘alaihi as-Salam memberi ketentuan kepada kaum Tsamud agar mereka bergiliran dengan unta ketika mengambil air sumur, membiarkan unta makan di bumi Allah dan jangan sampai mengganggunya. Beliau mengingatkan mereka apabila unta tersebut diganggu, maka akan tiba azab pedih dari Allah. Unta ini pun menjadi mu’jizat Nabi Shalih ‘alaihi as-Salam.

Ayat keempatbelas (artinya) : “Lalu mereka mendustakannya dan menyembelih unta tersebut. Maka Rabb mereka membinasakan mereka disebabkan dosa mereka lalu menyama-ratakan mereka (dengan azab).”

Lalu kaum Tsamud mendustakan ajakan, peringatan dan ancaman Rasul mereka. Mereka pun menyembelih unta sang Rasul melalui tangan Qudar bin Salif. Mereka sempat menantang didatangkan azab jika membunuh unta tersebut. Tidak cukup hanya itu, 9 orang diantara mereka pun berencana membunuh Nabi Shalih namun gagal karena binasa tertimpa batu dari puncak gunung.

Tepat 3 hari setelah tantangan mereka, Allah pun menurunkan azab teramat mengerikan akibat dosa mereka. Bahkan azab yang mereka rasakan adalah 2 bentuk, yaitu : suara menggelegar dari langit yang ada di atas mereka dan gempa dahsyat dari bumi yang ada di bawah mereka.

Ayat kelimabelas (terakhir) yang artinya : “Dan Dia (Allah) tidak takut terhadap akibat tindakan-Nya.”

Allah tidak takut atas tindakan-Nya membinasakan kaum Tsamud karena Dia-lah Zat yang mengatur dan menguasai segala sesuatu yang ada di alam semesta ini.

Wallahu a’lamu bish-Shawab

Oleh:
admin daarulihsan
Sumber Tulisan:
Tafsir Surat Asy-Syams