Penyakit hati yang satu ini sangat mengancam setiap orang yang sedang berbuat baik. Bisa saja seseorang selamat dari kemaksiatan, namun jangan merasa dirinya selamat dari bahaya ketika sanggup berbuat baik.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam sangat khawatir penyakit ini menimpa umat beliau, melebihi kekhawatiran beliau dari fitnah (kejelekan) al-Masih ad-Dajjal. Beliau bersabda (artinya) : “Maukah aku beritakan kepada kalian tentang sesuatu yang lebih aku khawatirkan menimpa kalian dibanding al-Masih ad-Dajjal ?” Maka kami (para sahabat) menjawab : “Tentu.” Maka beliau berkata : “Syirik yang samar : Seseorang berdiri menunaikan shalat lalu membaguskan shalatnya tatkala merasa ada pandangan seseorang (mengarah kepadanya).” (HR.Ibnu Majah dan dihasankan oleh al-Albani)
Beliau lebih mengkhawatirkan hal ini dibanding kejelekan al-Masih ad-Dajjal karena riya’ datang menghampiri seseorang saat beribadah kapan dan di mana saja ia berada. Adapun al-Masih ad-Dajjal tidaklah datang kecuali di akhir zaman. Apalagi riya’ amatlah samar, lebih samar dari merayapnya semut, sedangkan ad-Dajjal sangat tampak kelak di hadapan mata.
Melalui sabda yang lain, Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam memberitakan 3 golongan manusia yang pertama kali dilemparkan ke neraka jahanam. Mereka bukanlah para pelaku kejahatan, bahkan mereka adalah pelaku kebaikan. Orang pertama adalah ahli membaca Al Qur’an, orang kedua adalah pejuang yang terbunuh di medan jihad dan orang ketiga adalah penderma harta. Namun amat disayangkan, penyakit riya’ atau sum’ah telah membinasakan mereka. Bahkan Nabi menegaskan bahwa mereka adalah golongan yang pertama kali merasakan api neraka.Nas’alullaha as-Salamah.
Apa Itu Riya’ ?
Riya’ adalah menampakkan ibadah di hadapan manusia agar mereka memuji pelakunya. Namun jika seseorang menampakkan ibadahnya di hadapan manusia agar mereka mengikutinya dengan baik, maka ini bukanlah riya’. Bahkan ini adalah perkara yang baik dan dapat menjadi sebab ia mendapatkan 2 pahala : Pahala ia beribadah dan pahala orang yang mengikutinya.
Ada Berapa Macam Riya’ ?
Riya’ dapat dibagi menjadi 2, yaitu :
Sebuah Pintu Riya’ Yang Sangat Samar !
Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah berkata : “Nah di sini ada semacam titik yang samar, yaitu : Bahwa seseorang kadang mencela dirinya di tengah manusia. Dirinya berharap manusia menganggapnya sebagai orang yang bertawadhu’ hingga ia terangkat (kedudukannya) di sisi manusia dan dipuji. Ini termasuk pintu riya’ dan para as-Salaf ash-Shalih telah mengingatkan akan hal itu.”
Beliau lalu membawakan ucapan Mutharrif bin Abdillah asy-Syikhkhir : “Cukuplah suatu jiwa itu dikatakan mencari sanjungan tatkala engkau mencela jiwamu di hadapan khalayak manusia, lalu seakan-akan engkau berharap dari celaan tersebut perhiasan. Itu di sisi Allah adalah sebuah kedunguan.”(Lihat Dzammu al-Maal Wa al-Jaah, dinukil dari www.sahab.net)
Betapa Beratnya Menghadapi Riya’ !
Yusuf bin al-Husain ar-Razi rahimahullah berkata : “Sesuatu yang paling berat di dunia ini adalah menjaga keikhlasan. Betapa seringnya aku berusaha mengalahkan riya’ pada hatiku, namun seakan-akan riya’ itu muncul pada hatiku dengan warna lain.”(Jami’ al-‘Ulum Wa al-Hikam)
Bagaimana Mengobati Diri Dari Penyakit Riya’ ?
Seseorang dapat berusaha mengobati dirinya dari penyakit riya’ dengan beberapa cara, yaitu :
اللهمَّ إنّا نَعوذُ بك من أنْ نُشركَ بك شيئاً نَعلمُه، ونستغفرُكَ لما لا نعلمُه
“Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu dari berbuat syirik kepada-Mu dengan sesuatu yang kami ketahui dan kami memohon ampun kepada-Mu dari kesyirikan yang tidak kami ketahui.”
Jangan Tinggalkan Amalan Karena Godaan Riya’ !
Al-Hafizh Ibnu Muflih rahimahullah mengatakan bahwa diantara yang terjadi pada diri seseorang, jika ia ingin berbuat ketaatan tiba-tiba muncul sesuatu yang mendorongnya untuk mengurungkan ketaatan tersebut karena takut riya’. Maka yang seharusnya bagi dirinya adalah tidak menengok dorongan tadi. Seseorang hendaknya tetap mengerjakan apa yang telah diperintahkan Allah, meminta tolong dan bertawakal kepada-Nya dalam mengerjakan perintah sesuai syariat (Lihat al-Adab asy-Syar’iyah, Maktabah Syamilah)
Demikian pula jika kekhawatiran terhadap riya’ ini dijadikan alasan untuk meninggalkan amalan, maka betapa banyak amalan yang akan hilang di tengah muslimin dan ini merupakan bahaya yang sangat besar.
Beberapa Hal Yang Bukan Merupakan Riya’
Ada beberapa hal yang bukan merupakan riya’, diantaranya :
Penampilan Seseorang Yang Islami Secara Lahir Tidak Mesti Menunjukkan Orang Tersebut Riya’
Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata : “Sesungguhnya beberapa manusia dahulu dihukumi dengan turunnya wahyu di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Sesungguhnya (kini) turunnya wahyu telah usai. Kami hanya menghukumi kalian sekarang dengan apa yang tampak dari amalan kalian. Barangsiapa yang menampakkan kebaikan di hadapan kami, maka kami mempercayai dan mendekatinya. Tidak ada jalan sedikit pun bagi kami untuk menghukumi hatinya. Allah-lah yang akan memperhitungkan isi hatinya. Barangsiapa menampakkan kejelekan di hadapan kami, maka kami tidak mempercayai dan membenarkan dirinya, sekalipun dikatakan bahwa isi hatinya baik.”(Shahih al-Bukhari)
Tidak boleh serta merta kita berburuk sangka terhadap seseorang yang berpenampilan islami bahwa orang tersebut riya’. Maka kita menilai seseorang sesuai penampilan lahiriah dia sampai tampak darinya sesuatu yang sebenarnya dia sembunyikan. Bahkan serta merta menuduh bahwa orang yang seperti tidak ikhlas, mencari perhatian manusia untuk disanjung merupakan perangai orang-orang munafiq. Dari ‘Uqbah bin ‘Amr al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, berkata : “Tatkala turun ayat tentang sedekah, maka kami memikul harta (di atas punggung) kami. Lantas datanglah seseorang dan menyedekahkan harta yang banyak. Maka mereka (orang-orang munafiq) berkata : “Orang ini riya’. “Kemudian datang orang lain dan bersedekah satu sha’. Ternyata mereka berkata : “Sesungguhnya Allah tidak butuh terhadap satu sha’ ini ! ”Maka setelah itu turunlah ayat (artinya) : “(Yaitu) orang-orang yang mengejek kaum mukminin yang bersedekah dengan sukarela dan mengejek (kaum mukminin) yang tidaklah mendapati sesuatu untuk sedekah selain apa yang mereka sanggupi.”(HR.al-Bukhari.Lihat Muslim).
Wallahu a’lamu bish-Shawab