Daarul Ihsan
Daarul Ihsan oleh admin daarulihsan

polemik seorang muslim ikut “ merayakan “ natal. dilengkapi dengan : perayaan tahun baru dalam pandangan islam

10 tahun yang lalu
baca 9 menit

kaligrafi-bismillahirrahmanirrahim-i3

Polemik Seorang Muslim Ikut “ merayakan “ Natal.

Dilengkapi dengan : Perayaan tahun baru dalam pandangan Islam

Belakangan ini terjadi hiruk pikuk luar biasa di kalangan kaum muslimin tentang hukum “merayakan” natal yang tidak lain adalah hari besar umat kristiani. Suatu hal yang lumrah jika umat kristiani merayakannya karena terkait dengan keyakinan yang mereka anut. Namun, disini kami ingin mendudukkan hukum seorang muslim ikut “merayakan” natal. Walaupun mungkin tulisan kami ini sedikit terlambat karena hari natal sudah lewat namun semoga ini menjadi peringatan buat kita semua untuk ke depannya.

Para pembaca rahimakumullah, kami pakai kata merayakan dengan tanda petik karena untuk mencakup makna merayakan secara hakiki dengan ikut datang ke gereja, menghadiri misa natal serta ritual terkait dan diakhiri dengan makan bersama. Makna lain dari merayakan adalah mengucapkan selamat natal, merry crhistmas sampai pada bentuk memakai atribut dan pernak – pernik natal baik karena tuntutan kerja maupun sebagai bentuk toleransi kepada teman yang beragama lain ataupun sebab – sebab lainnya.

Kami kira jika sampai pada tingkatan ikut menghadiri misa natal di gereja mayoritas dari kaum muslimin sekarang akan mengingkarinya, kecuali bagi kelompok JIL (Islam Liberal) atau yang sejalan dengan mereka yang menganggap boleh saja seorang muslim turut hadir ke gereja untuk membandingkan agama Islam dengan agama mereka. Kami secara pribadi pernah hidup di suatu lingkungan yang ketika tiba waktu natal maka sebagian kaum muslimin ikut datang ke gereja, makan bersama dan merayakannya. Ketika kami berusaha mengingkari yang semacam ini, sebagian mereka berkilah yang penting kan iman kita masih kuat, yang penting niatnya atau kita cuma ikut makan – makan saja dan tidak berdoa bersama mereka dan ucapan – ucapan semakna. Kami tegaskan disini : jika memang iman seorang benar dan kuat maka dia tidak akan membiarkan dirinya menghadiri misa natal itu dengan beberapa alasan yang akan kami sampaikan insyaallah.

Bentuk lain dari ikut sertanya seorang muslim merayakan natal adalah dalam bentuk mengucapkan selamat natal, memakai atribut – atribut natal dan semisalnya. Disinilah yang justru terjadi kerancuan dan hiruk pikuk. Hirul pikuk terkait polemik masalah ini luar biasa karena tidak sedikit dari tokoh kaum muslimin yang menyatakan boleh – boleh saja seorang muslim mengucapkan selamat natal atau memakai atribut natal toh iman seseorang tidak akan terpengaruh hanya karena melakukan hal – hal tersebut.

Para pembaca rahimakumullah, ketahuilah bahwa :

  1. Ketika ikut merayakan natal berarti kita secara sadar atau tidak sadar menyetujui terjadinya berbagai keyakinan agama mereka. Contoh jelas : Tidakkah kita ingat bagaimana keyakinan mereka bahwa Allah memiliki putra ? Surat al Ikhlas yang kita hafal bersama dengan tegas menyatakan bahwa Allah tidak berputra, lam yalid wa lam yuulad : Allah tidak melahirkan/tidak berputra dan tidak pula dilahirkan.
  2. Ketika ikut memakai pernak – pernik natal berarti kita telah menyerupakan diri kita dengan mereka Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda (artinya) : “ Siapa saja yang menyerupai dengan suatu kaum maka dia bagian dari kaum tersebut. “ Apalagi kalau kita merenungi kembali satu – satunya doa yang kita diperintah untuk selalu mengulanginya di setiap rakaat shalat :  ihdinash shirathal mustaqim. Shirathlladzina an’amta ‘alaihim ghairil maghdhubi ‘alaihim waladhdhaallin. Para ulama ahli tafsir sepakat bahwa kita diperintahkan untuk tidak menyerupai almaghdhubi ‘alaihim dan adhdhaallin  yaitu orang Yahudi dan Nasrani serta siapa saja yang menyerupai mereka.
  3. Dengan kita menyerupai mereka dalam rangka memeriahkan natal akan berakibat timbulnya kebahagiaan dan kebanggaan di dalam qalbu mereka bahkan bisa jadi menyemangati mereka untuk semakin giat menyebarkan ajaran agama mereka padahal kita tahu bahwa Allah ta’ala  telah menegaskan bahwa tiada agama yang diterima di sisi-Nya kecuali Islam (Ali Imran 19 dan 85). Mereka akan semakin bersemangat melakukan kristenisasi terutama kepada kaum muslimin yang lemah iman dan ekonomi dengan penyaluran bantuan sembako dan semisalnya.
  4. Seorang ulama besar yang hidup di abad pertengahan, Ibnul Qayyim rahimahullah berkata : mengucapkan selamat terkait dengan perayaan orang kafir adalah perbuatan haram dengan kesepakatan para ulama.” Beliau juga berkata bahwa  mengucapkan selamat natal sama halnya dengan mengucapkan selamat atas penyembahan terhadap salib dan lebih besar dosanya lebih Allah murkai dibandingkan dia mengucapkan selamat kepada seorang yang minum khamr, membunuh, berzina dan semisalnya. Namun, orang yang menganggap agama tiada berarti di sisinya tidak menyadari kejelekan perbuatannya sehingga terjatuh dalam pelanggaran seperti ini. Maka, barangsiapa memberi ucapan selamat kepada orang lain atas kemaksiatan, kebid’ahan dan kekafran yang dilakukan berarti dia akan menghadapi murka Allah. ( dinukil dari karya beliau Ahkam Ahlidz Dimmah )
  5. Jika ada yang berujar bahwa imannya akan tetap kokoh dan tidak terpengaruh hanya karena mengikuti perayaan natal maka sesungguhnya ucapan ini menunjukkan pada fakta bahwa :

i)                    Dia telah tertipu dengan keadaan dirinya dan tidak memahami hakikat iman. Mari kita bandingkan dengan seorang shahabat mulia Umar ibnul Khattab radhiyallahu ‘anhu. Beliau termasuk orang yang dijamin dengan surga namun jaminan dari Allah dan rasul-Nya tidak membuat beliau tertipu. Beliau bahkan selalu khawatir terjangkiti penyakit kemunafikan. Terkhusus masalah yang sedang kita bicarakan, beliau pernah berujar : Jauhilah musuh – musuh Allah ketika mereka berhari raya. Artinya, semakin kuat dan benar iman seseorang dia akan semakin takut terhadap hal – hal yang bisa merusak imannya bukan semakin santai dan membanggakan imannya.

ii)                   Kelemahan imannya. Seandainya imannya kokoh akan muncul dari dirinya pengingkaran terhadap kemungkaran yang terjadi di depan matanya termasuk perayaan natal yang dari sudut pandang agama Islam termasuk kemungkaran yang besar bahkan kesyirikan kepada Allah.

Para pembaca rahimakumullah,hukum tidak bolehnya seorang muslim merayakan natal dengan segala macamnya di atas adalah sama baik dia lakukan dengan senang hati atau karena segan, malu dan sebagainya. Hukumnya sama.

Pembahasan singkat seputar peringatan tahun baru

Imam Abu Dawud dan An Nasai meriwayatkan sebuah hadits shahih dari shahabat Anas ibn Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam tiba di kota Madinah [setelah hijrah dari Mekah], beliau menjumpai penduduk Madinah memiliki dua hari yang  dirayakan dimana pada kedua hari itu mereka bermain –main dan bersenang – senang. Kemudian beliau bertanya ada apa dengan kedua hari tersebut (dalam arti mengapa sampai dirayakan dengan bersenang – senang)? Maka dijawab bahwa itu kebiasaan mereka sejak zaman jahiliyyah. Maka beliau bersabda (artinya) : “Sungguh Allah telah mengganti untuk kalian kedua hari itu dengan yang lebih baik : Idul Fitri dan Idul Adh-ha.” Hadits mulia ini memberi tuntunan kepada kita bahwa umat Islam hanya memiliki dua hari ‘Id tiap tahunnya : Idul Fitri dan Idul Adh-ha. Kita dilarang membuat ‘id – ‘id yang lain,yang diadakan berulang tiap tahun atau tiap bulan, walaupun itu tidak ada kaitannya dengan urusan agama. Para ulama menjelaskan bahwa dua hari yang ketika itu dirayakan oleh penduduk Madinah sebelum datangnya nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dua hari yang asalnya dirayakan oleh Persia untuk merayakan awal tahun baru mereka dimana pada kedua hari itu udara sedang sejuk – sejuknya,tidak dingin dan tidak panas serta lamanya siang malam seimbang. Kemudian pada akhirnya sebagian orang Arab mengikuti kebiasaan bangsa Persia ini sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya.

Peristiwa yang terjadi di zaman nabawi ini diabadikan dalam hadits yang shahih diriwayatkan dari generasi ke generasi sampai ke zaman kita sekarang. Sungguh kalau diamati kejadian di waktu itu sangat mirip dengan fenomena perayaan tahun baru di masa kini yaitu kaum muslimin mengadopsi dan meniru kebiasaan orang – orang Nashara dalam merayakannya. Memang mungkin menurut anggapan mayoritas kaum muslimin yang turut merayakan tahun baru bahwa perayaan itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan masalah agama; ternyata memang demikian keadaannya ketika datang larangan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada penduduk Madinah bahwa mereka tidak menganggap perayaan kedua hari itu sebagai bagian dari agama. Toh, walau demikian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap melarangnya.

Bagaimana jika ternyata perayaan tahun baru sangat berkaitan erat dengan suatu keyakinan dalam agama Nashara bahkan sebagian referensi menyebutkan bahwa bagi sebagian sekte/aliran di agama Nashara bahwa hari tahun baru lebih mulia dibanding hari natal itu sendiri ? Sebagian lain menyebutkan bahwa awal yang merayakan tahun baru adalah kaum Yahudi dan kemudian diikuti oleh kaum Nashara dan pada akhirnya kaum muslimin mengekor dan mengikuti kebiasaan dua agama yang jelas – jelas dilaknat dan dimurkai oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Hanya bedanya, tahun baru bagi kaum Yahudi dinamakan rosh hasanahyang jatuh pada tanggal 5 September menurut kalender biasa. Namun, inti perayaan tahun baru diambil oleh kaum Nashara dari mereka adapun tanggalnya maka Nashara memiliki tahun baru tersendiri yaitu 1 Januari.

Perayaan tahun baru yang lazim diadakan mengandung beberapa hal yang bertentangan dengan nilai – nilai Islam diantaranya :

  1. Menghambur – hamburkan uang dalam hal yang tidak bermanfaat bahkan justru mendatangkan madharat dan kerugian. Perbuatan seperti ini jelas merupakan warisan dari syaithon dan menunjukkan kurangnya rasa syukur kepada Allah Yang Maha Kuasa.
  2. Menyia – nyiakan waktu dalam hal yang tidak manfaat bahkan menimbulkan dosa. Padahal setiap kita akan ditanya di hari kiamat terkait umur yang Allah ta’ala anugerahkan bagaimana kita memanfaatkannya.
  3. Menunggu saat – saat pergantian tahun  sampai larut malam sangat mungkin menjadikan seseorang tertidur dari shalat Subuh. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan bahwa diantara ciri orang munafik adalah merasa berat melakukan shalat Subuh. Di sisi lain, begadang di malam tahun baru masuk ke dalam larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena beliau melarang ngobrol habis shalat ‘Isya dalam hal – hal yang tidak bermanfaat.
  4. Tiupan terompet, petasan dan semisalnya yang menimbulkan suara – suara yang memekakkan telinga jelas mengganggu orang lain yang ingin ketenangan dan mungkin diantara mereka ada orang sakit yang butuh banyak istirahat.
  5. Di banyak tempat perayaan tahun baru sangat identik dengan praktek zina apalagi di saat waktu menunjukkan pukul 00.00 banyak pasangan yang berlainan jenis memilih waktu ini untuk bermaksiat kepada Allah rabbul ‘alamin. Bentuk maksiat lain adalah membunyikan musik – musik dengan dalih tasyakuran namun bukannya bersyukur kepada Allah justru musik itu menjauhkan orang dari mengingat Allah ta’ala.