Polemik Seorang Muslim Ikut “ merayakan “ Natal.
Dilengkapi dengan : Perayaan tahun baru dalam pandangan Islam
Belakangan ini terjadi hiruk pikuk luar biasa di kalangan kaum muslimin tentang hukum “merayakan” natal yang tidak lain adalah hari besar umat kristiani. Suatu hal yang lumrah jika umat kristiani merayakannya karena terkait dengan keyakinan yang mereka anut. Namun, disini kami ingin mendudukkan hukum seorang muslim ikut “merayakan” natal. Walaupun mungkin tulisan kami ini sedikit terlambat karena hari natal sudah lewat namun semoga ini menjadi peringatan buat kita semua untuk ke depannya.
Para pembaca rahimakumullah, kami pakai kata merayakan dengan tanda petik karena untuk mencakup makna merayakan secara hakiki dengan ikut datang ke gereja, menghadiri misa natal serta ritual terkait dan diakhiri dengan makan bersama. Makna lain dari merayakan adalah mengucapkan selamat natal, merry crhistmas sampai pada bentuk memakai atribut dan pernak – pernik natal baik karena tuntutan kerja maupun sebagai bentuk toleransi kepada teman yang beragama lain ataupun sebab – sebab lainnya.
Kami kira jika sampai pada tingkatan ikut menghadiri misa natal di gereja mayoritas dari kaum muslimin sekarang akan mengingkarinya, kecuali bagi kelompok JIL (Islam Liberal) atau yang sejalan dengan mereka yang menganggap boleh saja seorang muslim turut hadir ke gereja untuk membandingkan agama Islam dengan agama mereka. Kami secara pribadi pernah hidup di suatu lingkungan yang ketika tiba waktu natal maka sebagian kaum muslimin ikut datang ke gereja, makan bersama dan merayakannya. Ketika kami berusaha mengingkari yang semacam ini, sebagian mereka berkilah yang penting kan iman kita masih kuat, yang penting niatnya atau kita cuma ikut makan – makan saja dan tidak berdoa bersama mereka dan ucapan – ucapan semakna. Kami tegaskan disini : jika memang iman seorang benar dan kuat maka dia tidak akan membiarkan dirinya menghadiri misa natal itu dengan beberapa alasan yang akan kami sampaikan insyaallah.
Bentuk lain dari ikut sertanya seorang muslim merayakan natal adalah dalam bentuk mengucapkan selamat natal, memakai atribut – atribut natal dan semisalnya. Disinilah yang justru terjadi kerancuan dan hiruk pikuk. Hirul pikuk terkait polemik masalah ini luar biasa karena tidak sedikit dari tokoh kaum muslimin yang menyatakan boleh – boleh saja seorang muslim mengucapkan selamat natal atau memakai atribut natal toh iman seseorang tidak akan terpengaruh hanya karena melakukan hal – hal tersebut.
Para pembaca rahimakumullah, ketahuilah bahwa :
i) Dia telah tertipu dengan keadaan dirinya dan tidak memahami hakikat iman. Mari kita bandingkan dengan seorang shahabat mulia Umar ibnul Khattab radhiyallahu ‘anhu. Beliau termasuk orang yang dijamin dengan surga namun jaminan dari Allah dan rasul-Nya tidak membuat beliau tertipu. Beliau bahkan selalu khawatir terjangkiti penyakit kemunafikan. Terkhusus masalah yang sedang kita bicarakan, beliau pernah berujar : Jauhilah musuh – musuh Allah ketika mereka berhari raya. Artinya, semakin kuat dan benar iman seseorang dia akan semakin takut terhadap hal – hal yang bisa merusak imannya bukan semakin santai dan membanggakan imannya.
ii) Kelemahan imannya. Seandainya imannya kokoh akan muncul dari dirinya pengingkaran terhadap kemungkaran yang terjadi di depan matanya termasuk perayaan natal yang dari sudut pandang agama Islam termasuk kemungkaran yang besar bahkan kesyirikan kepada Allah.
Para pembaca rahimakumullah,hukum tidak bolehnya seorang muslim merayakan natal dengan segala macamnya di atas adalah sama baik dia lakukan dengan senang hati atau karena segan, malu dan sebagainya. Hukumnya sama.
Pembahasan singkat seputar peringatan tahun baru
Imam Abu Dawud dan An Nasai meriwayatkan sebuah hadits shahih dari shahabat Anas ibn Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam tiba di kota Madinah [setelah hijrah dari Mekah], beliau menjumpai penduduk Madinah memiliki dua hari yang dirayakan dimana pada kedua hari itu mereka bermain –main dan bersenang – senang. Kemudian beliau bertanya ada apa dengan kedua hari tersebut (dalam arti mengapa sampai dirayakan dengan bersenang – senang)? Maka dijawab bahwa itu kebiasaan mereka sejak zaman jahiliyyah. Maka beliau bersabda (artinya) : “Sungguh Allah telah mengganti untuk kalian kedua hari itu dengan yang lebih baik : Idul Fitri dan Idul Adh-ha.” Hadits mulia ini memberi tuntunan kepada kita bahwa umat Islam hanya memiliki dua hari ‘Id tiap tahunnya : Idul Fitri dan Idul Adh-ha. Kita dilarang membuat ‘id – ‘id yang lain,yang diadakan berulang tiap tahun atau tiap bulan, walaupun itu tidak ada kaitannya dengan urusan agama. Para ulama menjelaskan bahwa dua hari yang ketika itu dirayakan oleh penduduk Madinah sebelum datangnya nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dua hari yang asalnya dirayakan oleh Persia untuk merayakan awal tahun baru mereka dimana pada kedua hari itu udara sedang sejuk – sejuknya,tidak dingin dan tidak panas serta lamanya siang malam seimbang. Kemudian pada akhirnya sebagian orang Arab mengikuti kebiasaan bangsa Persia ini sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya.
Peristiwa yang terjadi di zaman nabawi ini diabadikan dalam hadits yang shahih diriwayatkan dari generasi ke generasi sampai ke zaman kita sekarang. Sungguh kalau diamati kejadian di waktu itu sangat mirip dengan fenomena perayaan tahun baru di masa kini yaitu kaum muslimin mengadopsi dan meniru kebiasaan orang – orang Nashara dalam merayakannya. Memang mungkin menurut anggapan mayoritas kaum muslimin yang turut merayakan tahun baru bahwa perayaan itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan masalah agama; ternyata memang demikian keadaannya ketika datang larangan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada penduduk Madinah bahwa mereka tidak menganggap perayaan kedua hari itu sebagai bagian dari agama. Toh, walau demikian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap melarangnya.
Bagaimana jika ternyata perayaan tahun baru sangat berkaitan erat dengan suatu keyakinan dalam agama Nashara bahkan sebagian referensi menyebutkan bahwa bagi sebagian sekte/aliran di agama Nashara bahwa hari tahun baru lebih mulia dibanding hari natal itu sendiri ? Sebagian lain menyebutkan bahwa awal yang merayakan tahun baru adalah kaum Yahudi dan kemudian diikuti oleh kaum Nashara dan pada akhirnya kaum muslimin mengekor dan mengikuti kebiasaan dua agama yang jelas – jelas dilaknat dan dimurkai oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Hanya bedanya, tahun baru bagi kaum Yahudi dinamakan rosh hasanahyang jatuh pada tanggal 5 September menurut kalender biasa. Namun, inti perayaan tahun baru diambil oleh kaum Nashara dari mereka adapun tanggalnya maka Nashara memiliki tahun baru tersendiri yaitu 1 Januari.
Perayaan tahun baru yang lazim diadakan mengandung beberapa hal yang bertentangan dengan nilai – nilai Islam diantaranya :