Sebenarnya umat Islam pada umumnya tidak pernah mempermasalahkan istilah ” kafir ” bagi seorang non muslim. Yang demikian karena banyak ayat Al Quran dan hadits nabawi menyatakan demikian. Tiba-tiba, kita dikejutkan dengan hasil diskusi dari suatu kelompok agama yang berkesimpulan untuk tidak menyematkan istilah kafir kepada non muslim. Alasannya, karena label kafir menyakiti sebagian kelompok non muslim yang dianggap mengandung unsur kekerasan teologis. Alasan lain, penyebutan kafir terhadap non muslim di Indonesia rasanya tidak bijak karena mereka -non muslim- ikut merancang desain negara Indonesia.
Para pembaca rahimakumullah, yang lebih menyedihkan, katanya hasil diskusi ini akan disosialisasikan ke para pengikut dan akar rumput mereka. Bisa dibayangkan, kaum akar rumput mereka yang berbudaya mengikut dan sendiko dhawuh kepada titah tokoh yang diulamakan akan ikut saja mengamini dan mengimani hasil keputusan diskusi tersebut.
Sekarang, mari kita telaah bersama apakah hasil keputusan diskusi dengan sekian alasannya sesuai dengan Al Quran dan hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau tidak.
Ayat al Quran yang menyebut non muslim sebagai kafir
Diantaranya, Allah ta’ala berfirman (artinya) : “Sungguh orang orang kafir dari kalangan ahli kitab dan musyrik berada di dalam neraka Jahannam, mereka pun kekal di dalamnya…” ( Al Bayyinah ayat ke-6 )
Ayat yang mulia ini secara tegas dan jelas menyatakan bahwa orang kafir secara umum terbagi dua: ahli kitab yaitu Yahudi dan Nasrani serta orang -orang musyrik. Sebagaimana ayat ini juga menegaskan bahwa menurut syariat islam tempat kembali orang orang kafir kelak adalah neraka Jahannam.
Hal ini sejalan dengan apa yang Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan: “Demi Zat yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, tidaklah mendengar tentang diriku seorang pun dari umat ini, Yahudi maupun Nasrani kemudian mati dalam tidak beriman kepada misi risalah yang aku diutus dengannya, melainkan akan menjadi penduduk neraka.” ( HR. Muslim dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Menyikapi seorang kafir
Penegasan syariat bahwa non muslim itu kafir bukan lantas membolehkan kita bersikap sewenang-wenang kepada mereka. Selama orang kafir itu bukan masuk kategori kafir harby, maka mereka memiliki hak yang harus dijaga, seperti : tidak boleh dirampas harta dan ditumpahkan darah begitu saja. Bahkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mewanti-wanti dalam sabda beliau (artinya): “Barangsiapa membunuh seorang mu’ahad maka dia tidak akan mencium bau surga, padahal aroma surga bisa tercium dari jarak 40 tahun perjalanan.” ( HR. al-Bukhari dari shahabat Abdullah ibn ‘Amr radhiyallahu’anhuma ). Yang dimaksud dengan mu’ahad adalah seorang kafir yang terlibat perjanjian damai dengan kaum muslimin.
Di sisi lain, praktek keseharian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan interaksi atau muamalah yang baik dengan kaum kafir. Beliau menerima hadiah dari Yahudi, menggadaikan barang kepada mereka, dan bahkan menjenguk seorang anak Yahudi yang sedang sakit dalam rangka mendakwahkan Islam kepadanya.
Semua sikap penuh hikmah dari beliau ini tidaklah membuat beliau enggan menganggap non muslim sebagai kafir. Yang tidak beriman kepada Allah ta’ala semata atau tidak mau mengakui kenabian beliau berarti kafir.
Bagaimana jika sebutan kafir ini menyakiti mereka ? Perlu diingat, bahwa syariat Islam datang dari Allah ta’ala melalui lisan nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seluruh alam memang telah membuat tidak nyaman, geram dan bahkan membuat marah sekaligus menyakiti sebagian orang musyrik dan ahli kitab. Sebagai misal, ketika nabi kita mengajak untuk mengesakan dan memurnikan ibadah hanya kepada Allah semata dan meninggalkan ibadah kepada selan-Nya, kaum musyrikin murka dan menganggap nabi kita merendahkan sesembahan- sesembahan mereka. Sampai sejarah mencatat sekian banyak peperangan terjadi diantara kaum muslimin dan musyrikin. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman mengisahkan ucapan kaum musyrikin : “Apakah dia (Muhammad) hendak menjadikan berbagai sesembahan itu menjadi satu saja yang disembah ? Sungguh ini adalah suatu yang sangat mengherankan.” ( QS Shaad ayat ke-6 ).
Keadaan ahli kitab pun tidak jauh beda. Mereka murka ketika Nabi kita mendakwahkan akidah Islam yang banyak bertentangan dengan keyakinan mereka diantaranya tentang Nabi Isa ‘alaihis salam. Umat Islam meyakini beliau bukanlah putra Allah, bukan jelmaan Allah dan bukan pula satu dari tiga (trinitas). Bahkan, secara tegas Allah berfirman (artinya) : “Sungguh telah benar-benar kafir orang yang mengatakan bahwa Isa adalah Allah.” ( QS Al Maidah ayat ke-72 ). Di ayat selanjutnya : “Sungguh telah benar-benar kafir orang yang mengatakan bahwa Allah adalah satu dari tiga..” ( QS Al Maidah ayat ke-73 ).
Bagaimana sikap orang-orang Nasrani di masa itu dengan adanya dakwah beliau ? Mereka melancarkan permusuhan dan peperangan yang begitu sengit. Simaklah sejarah yang mencatat sekian banyak peperangan antara kaum muslimin dengan bangsa Nasrani yang super-power di masa itu yaitu Romawi dengan korban jiwa yang begitu besar.
Singkatnya, dakwah Islam tetap dijalankan dengan hikmah dan bijak walaupun menyakiti sebagian orang. Syariat tidak boleh diubah hanya untuk menuruti atau membuat nyaman sebagian orang.
Bagaimana jika penyematan gelar kafir dianggap mengandung kekerasan teologis ? Subhanallah, firman Allah dan sabda nabi mengandung kekerasan teologis ? Sungguh, ucapan ini sama artinya dengan usaha untuk mengoreksi syariat dan menganggap Allah ta’ala telah keliru, keras dan kasar ketika menggelari non muslim dengan sebutan kafir. Namun, jika ditelisik lebih jauh sirnalah keheranan itu ketika kita melihat siapa saja tokoh di balik hasil diskusi yang menghebohkan itu : yaitu para pentolan Islam liberal yang belakangan beralih nama menjadi Islam Nusantara.
Para pembaca rahimakumullah, kita ingat bahwa Islam adalah ajaran yang penuh rahmat bagi seluruh alam. Allah berfirman (artinya) : ”Tidaklah Kami mengutusmu [wahai Nabi] melainkan sebagai rahmat atas seluruh alam.” ( QS Al Anbiya ayat ke-107 ). Jangankan manusia, hewan dan tumbuhan pun mendapat rahmat di dalam ajaran Islam. Sebagai contoh, silahkan disimak bagaimana Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menuntun kita untuk bersikap lembut sekalipun kepada hewan yang akan disembelih, seperti pisau ditajamkan, menyembelih dengan cara yang tidak menyiksa binatang, binatang yang akan disembelih tidak diperlihatkan binatang lain yang telah disembelih, dan lain sebagainya.
Adapun terkait dengan akidah dan keyakinan, memang Islam secara tegas datang untuk memurnikan hak ibadah hanya untuk Allah semata. Peribadahan dan ketundukan hanya boleh diberikan untuk Allah. Oleh karena itu, sebagaimana telah kami kemukakan di atas, dakwah Nabi di masa itu benar-benar membuat murka kaum musyirikin dan ahli kitab. Namun, apakah yang seperti ini dianggap kekerasan teologis? Sama sekali bukan. Justru Islam datang untuk mengeluarkan umat manusia dari kegelapan syirik, bid’ah dan maksiat menuju cahaya tauhid, sunnah dan ketaatan kepada Allah semata. Allah ‘azza wa jalla berfirman (artinya) : “Allah adalah wali bagi orang orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya. Adapun orang orang kafir, wali mereka adalah thaghut yang mengeluarkan mereka dari cahaya menuju kegelapan…” (QS Al Baqarah 257).
Adapun alasan mereka bahwa sebutan “kafir” tidak bijak karena mereka juga ikut andil dalam merancang desain negara Indonesia, maka sungguh ini adalah alasan yang dibuat-buat. Apakah mereka merasa lebih bijak dari Allah ta’ala yang telah menyematkan sebutan kafir bagi non muslim ? Bukankah Allah telah berfirman (artinya) : “Adakah yang lebih benar ucapannya dibanding Allah ?” ( An Nisa ayat ke-122 ). Penyebutan kafir kepada mereka tidak menghilangkan hak kewarganegaraan mereka. Bahkan, Islam menjamin hak seorang kafir dalam batas-batas tertentu selama tidak memusuhi umat Islam sebagaimana telah dipaparkan di depan.
Takfir
Fenomena takfir alias suka bermudah-mudahan mencap kafir yang bukan golongannya perlu diwaspadai. Umat Islam perlu diperingatkan dari fenomena tersebut. Takfirlah yang memicu berbagai teror yang pelakunya identik dengan umat Islam. Apa sebabnya ? Kurangnya ilmu agama yang benar dalam memahami dhawabith takfir alias rambu-rambu dalam mengkafirkan adalah sebabnya.
Namun demikian, apakah fenomena takfir ini membuat kita menolak istilah kafir bagi non muslim ? Tentu tidak. Kita mendidik masyarakat dan secara khusus kaum muslimin tentang akidah yang benar termasuk di dalamnya dhawabith takfir tapi di sisi lain kita juga tidak lancang menolak suatu istilah yang telah Allah dan Rasul-Nya sematkan bagi non muslim yaitu istilah kafir.
Kita juga perlu waspada dari golongan yang hobi mencap kelompok lain sebagai kelompok intoleran, padahal ternyata golongan itu sendiri yang intoleran. Sampai-sampai, pimpinan golongan tersebut menghasung anak buahnya untuk merebut berbagai jabatan karena kalau jabatan itu diambil oleh yang bukan golongannya maka akan salah semua. Na’udzubillah min dzalik. Inikah toleransi yang digembar gemborkan itu ? Sok menampakkan toleransi kepada non muslim bahkan dengan toleransi yang kebablasan; namun begitu sinis kepada sesama muslim yang bukan golongannya. Begitu bertolak belakang dengan sifat wali-wali Allah yang tersebut dalam surat Al Maidah ayat ke-54 : rendah hati kepada kaum mukminin dan tegas penuh wibawa kepada orang orang kafir.
Sesungguhnya kita khawatir munculnya isu penyebutan kafir bagi non muslim ini merupakan bagian dari usaha kaum liberal dan sekuler. Kelompok yang ingin meliberalkan Islam bertujuan menanamkan bahwa semua agama baik dan akan menyampaikan masing-masing pemeluknya kepada Allah. Adapun sekulerisme ingin memisahkan agama dari kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Semoga Allah membimbing kita untuk menjadi wali Allah yang hakiki dan menjauhkan kita dari berbagai pemikiran dan akidah yang menyimpang.