Daarul Ihsan
Daarul Ihsan oleh Al Ustadz Abdurrahman حفظه الله

menjawab polemik cadar

5 tahun yang lalu
baca 8 menit
Menjawab Polemik Cadar

Sebagai muslim yang terbimbing dan terdidik tentu akan bersikap bijak dan ilmiah dalam menilai suatu permasalahan. Allah melarang kita dari mengambil suatu sikap atau langkah tanpa bimbingan ilmu. Dia Ta’ala berfirman (artinya) : “Dan janganlah engkau berada pada sesuatu yang engkau tidak memiliki ilmu tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan kalbu semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya (oleh Allah).” (Surah al-Isra’ : 36).

3 anggota tubuh yang disebutkan di dalam ayat ini merupakan pintu masuknya kebaikan atau keburukan pada diri manusia. Oleh karena itu seorang muslim semestinya berhati-hati dalam mendengar, melihat dan meyakini sesuatu. Jika kebaikan, maka terimalah. Namun jika keburukan, tentu tolak dan buanglah sejauh-jauhnya. Jadikan pendengaran, penglihatan dan kalbu kita untuk menerima kebaikan dan lindungi dari keburukan !

Perkaranya akan bertambah baik atau justru buruk, jika kemudian berwujud menjadi ucapan yang didengar atau perbuatan yang disaksikan oleh banyak manusia. Bukankah ucapan dan perbuatan kita sekecil apa pun pasti akan dicatat dan diperlihatkan kelak di hari pembalasan ?! Ucapan atau perbuatan bisa saja berlalu dari ingatan kita, seakan-akan tidak pernah ada. Namun apakah catatan ucapan atau perbuatan kita di sisi Allah akan berlalu begitu saja, tanpa pertanggungjawaban dan balasan ?! Maka berpikirlah terlebih dahulu sebelum berkata dan berbuat ! Pertimbangkan akibat dari sebuah ucapan atau perbuatan !

Jangan Membenci Satu Pun Ajaran Nabi !

Membenci sebuah ajaran Nabi adalah salah satu contoh keburukan yang ada pada kalbu lalu terkadang diwujudkan dalam ujaran atau perbuatan. Allah mengancam dan menegaskan (artinya) : “Sesungguhnya orang yang membencimu, dialah yang terputus.” (Surah al-Kautsar : 3).

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah (salah seorang ulama Syafi’iyah) berkata : “Maknanya : Sesungguhnya orang yang membencimu-wahai Muhammad- dan membenci apa yang engkau bawa berupa petunjuk, kebenaran, bukti yang jelas dan cahaya yang nyata, dialah yang jelek, rendah, hina dan terputus penyebutannya.” (Tafsir Ibni Katsir).

Membenci salah satu ajaran Nabi bukanlah perkara yang ringan, sekalipun sebagian manusia menganggapnya remeh dan tidak penting. Bahkan perkara ini merupakan salah satu pembatal keislaman seseorang. Allah Ta’ala berfirman (artinya) : “Yang demikian itu karena mereka benci kepada apa yang Allah turunkan lalu Allah menggugurkan amalan mereka.” (Surah Muhammad : 9).

Benarkah Cadar Itu Adat Arab Bukan Syariat Islam ?

Salah satu perkara yang dibenci bahkan dimusuhi oleh sebagian manusia adalah cadar bagi wanita muslimah. Ironisnya kebencian dan permusuhan itu ternyata muncul dari sebagian muslimin di negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Bahkan sebagian mereka adalah sosok yang dianggap tokoh atau cendekiawan muslim. Seiring dengan itu, muncullah anggapan bahwa cadar adalah budaya atau adat Arab. Benarkah anggapan tersebut ? Ataukah justru cadar itu merupakan bagian dari ajaran Nabi kita yang mulia ? Tentu ini perlu jawaban ilmiah agar perkaranya semakin jelas.

Al-Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata : “Manakala dahulu adat para wanita Arab adalah tidak memiliki rasa malu dan mereka membuka wajah mereka sebagaimana dilakukan para budak wanita, juga hal itu mendorong para pria memandang mereka lalu berpikir macam-macam terhadap mereka, maka Allah memerintah Rasul-Nya Shallallahu’alaihi Wasallam untuk memerintah para wanita menjulurkan jilbab-jilbab mereka jika ingin keluar menunaikan kebutuhan mereka…” (Tafsir al-Qurthubi)

Lalu dari mana dikatakan cadar adalah adat atau budaya Arab ?! Apa bukan sebaliknya, tidak menutup aurat yang banyak dilakukan oleh wanita yang mengaku muslimah di zaman sekarang justru lebih tepat dikatakan itu adalah adat atau budaya Arab Jahiliah ?! Kemudian apa maksud jilbab yang tertuang di dalam Surah al-Ahzab ayat ke-59 ?

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah menukilkan riwayat Ali bin Abi Thalhah dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhuma, beliau berkata : “Allah memerintahkan para wanita beriman untuk menutup wajah mereka mulai dari atas kepala mereka dengan jilbab dan menampakkan satu mata.” (Tafsir Ibni Katsir).

Al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthi rahimahullah (salah seorang ulama bermazhab Syafi’iyah) menukilkan riwayat Ibnu Jarir dan Ibnu Marduyah dari Abdullah bin Abbas juga, berkata : “Dahulu wanita merdeka memakai busana seperti budak wanita. Kemudian Allah memerintah para wanita mukminah agar menjulurkan jilbab mereka. Menjulurkan jilbab maknanya adalah wanita memakaikan cadar dan mengikatkannya pada keningnya.” (ad-Durar al-Mantsur).

Berdasarkan keterangan ini, maka jilbab yang dimaksud di dalam al-Qur’an ternyata meliputi cadar. Apalagi keterangan tersebut bersumber dari seorang sahabat yang paling mengerti tentang tafsir al-Qur’an, yaitu : Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhuma, sepupu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang memang telah didoakan agar Allah mengajarinya tafsir al-Qur’an. Ditambah lagi, para wanita sahabat Nabi memahami perintah di dalam Surah an-Nur : 31 adalah memakai kain penutup wajah (khimar). Al-Imam al-Bukhari rahimahullah menyebutkan ucapan Sayyidah’Aisyah radhiyallahu’anha : “Semoga Allah merahmati para wanita Muhajirin. Tatkala Allah menurunkan ayat-Nya (artinya) : “…hendaknya mereka menutupkan kain kerudung ke dada mereka…”, maka mereka merobek kain panjang mereka lalu menjadikannya sebagai khimar.” (Shahih al-Bukhari).

al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah (salah seorang ulama besar bermazhab Syafi’iyah) menyatakan bahwa maksud “…lalu menjdikannya sebagai khimar” adalah menutup wajah. (Fathu al-Bari) Jika demikian, pantaskah dikatakan bahwa cadar itu tidak ada di dalam al-Qur’an, tanpa menyebutkan tafsirnya ?! Benarkah sikap seorang muslim ketika memahami ayat al-Qur’an tanpa tafsir yang bersumber dari para ulama yang terpercaya ?! Tidak takutkah dirinya kepada Allah manakala berbicara tentang agama tanpa berdasarkan ilmu ?! Janganlah menjadi manipulator agama !

Benarkah Cadar Itu Salah Satu Ciri Radikalis ?

Tak dipungkiri bahwa ada orang yang berbuat jahat namun ia berbusana atau berpenampilan Islami. Tentu sebagai orang yang masih berakal sehat dan lurus akan mengatakan : Bukan pakaian atau penampilannya yang keliru, namun perbuatannya yang salah. Demikian halnya cadar. Memang ada pelaku teror bom atau sejenisnya ternyata berpenampilan Islami atau memiliki istri bercadar. Akan tetapi ilmiahkah jika kemudian dikatakan : Cadar adalah ciri radikalis atau teroris ?! Bukankah para sahabat Nabi, istri mereka bercadar namun justru mereka adalah generasi pertama dan terdepan dalam memberangus gerakan teroris Khawarij di zaman dahulu. Demikian pula sebagian muslimin yang beragama sesuai jalannya para sahabat Nabi di zaman sekarang. Mereka benar-benar menentang pemikiran sekaligus aksi teror dalam keadaan istri mereka bercadar. Apa yang patut dikhawatirkan dari wanita bercadar ? Benarkah Cadar Itu Bukan Tanda Ketakwaan Seorang Wanita ? Ini sebuah kalimat yang perlu didudukkan maksudnya. Memang benar, tidak setiap wanita bercadar itu bertakwa. Bahkan, betapa banyak wanita yang bercadar berakidah Syi’ah atau Khawarij yang keduanya merupakan sumber teror di berbagai negeri. Jangan heran pula jika kita mendapati seorang wanita bercadar namun menyukai nikah mut’ah yang sejatinya adalah zina. Namun jangan kita lupa, bahwa wanita yang bertakwa tentu akan senantiasa berupaya melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya. Jika Allah dan Rasul-Nya memerintahkan seorang muslimah untuk berjilbab sesuai yang dipraktekkan oleh para wanita sahabat Nabi, maka ia pun akan berusaha melaksanakannya. Bukankah perintah Allah di dalam al-Qur’an tentang jilbab ditujukan kepada para istri, putri Nabi sekaligus seluruh wanita mukminah, sehingga memakai jilbab dengan makna di atas merupakan salah satu wujud keimanan ?!

Nasehat Bagi Wanita Bercadar

Di akhir dari risalah singkat ini, tidak lupa kami sampaikan nasehat agar hijab dan cadar jangan sekedar dijadikan simbol oleh seorang muslimah tanpa diiringi bimbingan ilmu agama yang lengkap. Oleh karena itu, seorang wanita berhijab dan bercadar hendaknya :

  1. Berilmu terlebih dahulu tentang syarat-syarat hijab dan cadar yang syar’i dan itu telah dijelaskan oleh para ulama. Jangan sampai mengedepankan sisi modis atau gaul hingga menerjang ketentuan syar’i. Berhatilah-hatilah dari jenis hijab dan cadar yang justru menarik perhatian pria yang bukan mahram, seperti : berwarna cerah atau bermotif indah. Bukankah fungsi hijab dan cadar yang syar’i adalah menutup aurat dan keindahan yang ada pada pemakainya ?!
  2. Tidak perlu khawatir dengan tuduhan keras, eksklusif, kurang bermasyarakat atau radikalis karena sesungguhnya Islam telah menata kehidupan bermasyarakat dengan lengkap dan sempurna yang hendaknya kita jalankan.
  3. Jangan menepis tuduhan di atas atau semisalnya dengan mengikuti setiap ajakan manusia tanpa menimbang dengan ketentuan syariat. Allah mengingatkan (artinya) : “Dan jika engkau mengikuti kebanyakan orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan
  4. Allah…” (Surah al-An’am : 116)
  5. Tidak sengaja apalagi bangga berpose di media sosial dengan hijab dan cadarnya atau berbuat seperti tingkah laku keumuman wanita di media sosial. Bukankah Allah memerintah para wanita agar tinggal di dalam rumah dan tidak berhias serta bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliah dahulu ?! Allah berfirman (artinya) : “Dan hendaknya kalian tinggal di dalam rumah dan jangan berhias serta bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliah dahulu…” (Surah al-Ahzab : 33) Sehingga perintahnya bukan hanya memakai jilbab atau hijab syar’I, akan tetapi juga menutup diri dari pandangan pria yang bukan mahram.
  6. Tidak ikhthilath (campur baur dengan pria bukan mahram), tidak mengumbar pandangannya kepada pria bukan mahram sekalipun di balik hijab dan cadarnya atau berjabat tangan dengannya. Semestinya dengan hijab dan cadar yang selalu ia kenakan ketika keluar rumah menjadi pengingat bagi dirinya untuk memiliki salah satu sifat yang di zaman ini telah banyak terkikis, yaitu : malu.

Wallahu a’lamu bish-Shawab

Oleh:
Al Ustadz Abdurrahman حفظه الله
Sumber Tulisan:
Menjawab Polemik Cadar