Segala puji hanya untuk Allah Zat Yang Maha Pemurah. Dengan kemurahan-Nyalah kita kembali berjumpa dengan bulan suci Ramadhan. Seorang muslim sudah semestinya bergembira jika bertemu dengan bulan yang satu ini. Betapa tidak ! Allah telah menjadikan bulan ini memiliki banyak keutamaan. Barangsiapa yang benar-benar memanfaatkan bulan ini dengan sebaik-baiknya, maka ia akan meraih keutamaan yang besar. Bulan yang hanya berjalan 29 atau 30 hari saja sangatlah singkat dan berjalan begitu cepat. Sungguh sangat merugi seseorang, jika bulan ini datang begitu saja dalam keadaan dirinya terus lalai dan tertipu !
Sekalipun pintu al-jannah (surga) dibuka dan tidak ada satu pun yang ditutup, pintu an-nar (neraka) ditutup dan tidak ada satu pun yang dibuka serta syaithan dari kalangan jin pembangkang dibelenggu, namun kita memiliki jiwa yang asalnya benar-benar mengajak kepada kejelekan. Maka jangan heran, jika di bulan penuh kehormatan ini masih saja kita dapati orang yang bermaksiat terlebih di malam hari sekalipun relatif lebih sedikit dibandingkan bulan-bulan lain. Belum lagi godaan dari pelaku maksiat atau penyeru kesesatan yang tidak dibelenggu yang dapat menodai jiwa kita.
Memang jiwa ini harus kita tempa. Berjihad menundukkan jiwa ini merupakan perjuangan yang sangat berat bahkan lebih berat dibandingkan jihad-jihad yang lainnya. Selama ruh masih di badan kita, maka selama itu pula kita berjihad menundukkan jiwa, tak terkecuali di bulan ini.
Menempa Jiwa Di Siang & Malam Hari Ramadhan
Sebuah ucapan indah disampaikan oleh al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah di dalam kitab Lathaif al-Ma’arif. Beliau berkata : “Ketahuilah bahwa seorang mukmin terkumpul padanya di bulan Ramadhan 2 jihad menempa jiwanya : Jihad di siang hari di atas puasa dan jihad di malam hari di atas shalat malam. Barangsiapa mengumpulkan 2 jihad ini, menunaikan hak keduanya dan bersabar di atas keduanya, maka dicukupkan pahalanya tanpa batas”.
Puasa di siang hari dan shalat tarawih di malam hari merupakan 2 perkara yang paling menonjol di bulan Ramadhan. Puasa yang hakikatnya bukan sekedar menahan lapar, dahaga atau pembatal-pembatal lainnya tentu bukan suatu amalan yang mudah ditunaikan. Demikian pula shalat malam yang sejatinya bukan semata-mata gerakan ruku’, sujud dan gerakan yang sifatnya lahiriah lainnya. Inilah yang diisyaratkan Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam melalui sabda beliau (artinya) : “Kerapkali orang yang berpuasa hanya mendapatkan bagian dari puasa berupa rasa lapar dan dahaga. Kerapkali pula orang yang berdiri shalat malam hanya mendapatkan bagian dari shalat malamnya berupa rasa letih”. (Dihasankan oleh asy-Syaikh Muqbil di dalam as-Shahih al-Musnad)
At-Thibi rahimahullah berkata : “Sesungguhnya orang yang berpuasa jika tidak berharap pahala, tidak meninggalkan kekejian-kekejian seperti : ucapan batil, dusta, ghibah (menggunjing) dan semisal itu dari larangan-larangan, maka tidak ada hasil bagi dirinya kecuali rasa lapar dan dahaga sekalipun tidak mengqadha’. Demikian pula seluruh ibadah jika tidak ikhlas bahkan riya’ atau sum’ah, maka tidak mengqadha’ namun tidak beroleh pahala”. (Mir’ah al-Mafatih, Maktabah Syamilah)
Berarti kita dituntut untuk menempa jiwa agar berusaha sekuat tenaga mengikhlaskan niat dan menjauhi segala perkara yang menghapus atau mengurangi pahala ketika berpuasa maupun menunaikan shalat malam (tarawih). Bukankah Nabi sendiri mengaitkan ampunan bagi dosa yang telah lalu dengan iman dan ihtisab (niat meraih pahala) dalam puasa dan shalat malam di bulan Ramadhan ?! Dalam hadits yang sahih dan seringkali kita dengar (artinya) : “Barangsiapa berpuasa Ramadhan dengan iman dan ihtisab, maka diampuni dosanya yang telah lalu”. Dalam hadits lain (artinya) : “…shalat malam di bulan Ramadhan…”
Menunaikan puasa dan shalat malam sebagaimana mestinya membutuhkan kesabaran. Jiwa ditempa untuk bersabar di atas ketaatan manakala ia (jiwa) cenderung membenci ketaatan dan menyukai kejelekan. Allah pun menjanjikan pahala yang tidak terbatas bagi orang yang bersabar, termasuk diantaranya bersabar di atas ketaatan.
Al-Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah mengatakan bahwa kesabaran di atas ketaatan itu ada 3 keadaan :
1) Kesabaran sebelum menunaikan suatu amalan.dengan memperbaiki niat, mengikat tekad dan menjauhi perkara yang mendorong munculnya riya’ atau sum’ah.
2) Kesabaran manakala sedang menunaikan amalan dan menjauhi perkara yang dapat mendorong tindakan asal-asalan beramal.
3) Kesabaran setelah usai beramal dengan menjauhi hal-hal yang membatalkan amalan, ujub atau sombong yang ini justru lebih berbahaya bagi seseorang dibandingkan banyak kemaksiatan yang bersifat zhahir, dan juga kesabaran merahasiakan amalan dirinya. Jangan disangka tuntutan kesabaran itu selesai seiring selesainya amalan. (Lihat ‘Uddah as-Shabirin)
Berharap Keutamaan Puasa & Shalat Malam
Senantiasa mengingat keutamaan suatu ibadah merupakan pendorong meraih kesabaran dan memupuk keikhlasan. Puasa dan shalat malam memiliki keutamaan yang disebutkan beberapa haditts Nabi, diantaranya :
1) Puasa pahalanya tidak terbatas dan dapat menjadi perisai.
2) Barangsiapa berpuasa 1 hari di jalan Allah, maka akan dijauhkan dari an-nar (neraka) sejauh 70 tahun.
3) Dirinya akan dimasukkan ke dalam al-jannah melalui pintu khusus ar-Rayyan.
4) Diampuninya dosa yang telah lalu jika puasa atau shalat malam itu ditunaikan dengan iman dan ihtisab.
Berhati-hati Berucap & Menukilkan Ucapan Di Medsos
Seorang muslim yang sedang menjalankan puasa jangan sekali-kali berprasangka bahwa apa yang dia ucapkan atau perbuat itu tidak berpengaruh apa-apa terhadap pahala puasanya. Jangan sekali-kali berprasangka seperti itu ! Ingatlah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam (artinya) : “Barangsiapa tidak meninggalkan ucapan batil, perbuatan batil dan kebodohan, maka Allah tidak butuh terhadap perbuatan dia meninggalkan makanan dan minuman”. (HR.al-Bukhari)
Termasuk diantaranya : Memberikan ujaran atau menukilkan ucapan di medsos untuk bisa diketahui banyak orang. Tidak menutup kemungkinan ucapan tersebut tidak memiliki dasar yang kuat atau bahkan sangat keliru, terlebih jika berkaitan perkara agama. Hendaknya berhati-hati dan jangan bersemangat tapi tidak didasari kapasitas ilmu yang cukup dalam berucap atau menukilkan ucapan tentang agama. Ingatlah kita terhadap beberapa firman Allah Ta’ala yang artinya : “Dan siapakah yang lebih zalim dibandingkan seseorang yang membuat-buat kedustaan atas nama Allah…”
Demikian juga ancaman Nabi melalui sekian banyak hadits beliau (artinya) : “Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka silakan dia mempersiapkan tempat duduknya dari api an-nar (neraka)”.
Bukankah tangan yang kita gunakan ini kelak akan menjadi saksi atas perbuatan kita kelak di hari kiamat ?! Bagaimana pula bila nukilan kita itu ternyata menyesatkan sekian banyak orang ?!
Tidak setiap yang dianggap baik itu benar-benar suatu kebaikan sampai kita menakarnya dengan timbangan Al Qur’an dan Sunnah Nabi. Apabila seseorang tidak memiliki kapasitas ilmu terkhusus dalam agama, hendaknya ia bertanya kepada ahlinya atau jika tidak, menahan diri dari berujar atau menukilkan ucapan untuk diketahui orang lain.
Godaan Itu Ada Di Dekat Kita
Di masa sekarang kehidupan kita sehari-hari seakan-akan tidak bisa lepas dari sarana medsos. Kita tidak menutup peranan yang sangat positif darinya. Namun tidak bisa kita pungkiri pula adanya bahaya sangat besar darinya. Minimalnya (jika layak kita katakan minimal) waktu kita banyak terbuang dengan sarana tersebut, padahal ada perkara-perkara lain yang jauh lebih penting. Disadari maupun tidak, ibadah kepada Allah semata yang merupakan tujuan utama hidup kita sedikit banyak terabaikan karena perhatian berlebih kepada sarana ini. Kenyataannya, inilah godaan dan ia dekat dengan kita. Sudah saatnya kita menyadari dan mengakui kenyataan tersebut. Tidak usah kesombongan membelenggu hati (kalbu) hingga menolak kenyataan tersebut. Kita memohon kepada Allah agar diberi kalbu yang lembut dan lapang menerima nasehat dan teguran karena itu pun demi kebaikan kita juga. Jangan sampai kita dijadikan seperti orang yang Allah katakan (artinya) : “Dan apabila dikatakan kepadanya : “Bertakwalah engkau kepada Allah !”, bangkitlah kesombongannya yang menyebabkan ia berbuat dosa. Maka cukuplah (balasan) baginya berupa neraka jahanam. Sungguh neraka itu adalah seburuk-buruk tempat kembali”. (Al Baqarah : 206)
Jika selama ini kita sanggup misal 1 hingga 2 jam berkutat dengan sarana ini entah untuk “melepas kepenatan” atau memang sebagai alat komunikasi kerja, maka kita mencoba waktu sepanjang itu untuk ibadah kepada Allah yang itu lebih penting. Bukankah kepenatan itu justru hilang dan berubah menjadi ketenangan manakala jiwa ini ditempa untuk dekat dengan Allah Zat Yang Maha Pengasih ?! Bukankah pula masalah dalam kehidupan dan datangnya rizki tanpa disangka-sangka justru dengan takwa kepada Allah ?! Yang jelas, barangsiapa meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan ganti dengan sesuatu yang lebih baik. Demikian sabda manusia yang paling jujur ucapannya.
Semoga bulan Ramadhan kali ini menjadi kesempatan baik bagi kita untuk menempa dan membenahi jiwa hingga menjadi jiwa yang tenang, sebagaimana Allah katakan (artinya) : “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Rabbmu dalam keadaan ridha dan diridhai. Lalu masuklah bersama hamba-hambaKu (yang shalih). Dan masuklah ke surga-Ku”. (Al Fajr : 27-30)
Wallahu a’lamu bish-Shawab