Para pembaca rahimakumullah, sudah merupakan ketetapan dan keinginan Allah Subhanahu Wa Ta`ala untuk memberikan berbagai macam perintah dan larangan kepada umat manusia dan jin, perintah yang harus dikerjakan dan larangan yang harus ditinggalkan, sehingga dengan itu akan terlihat hamba-hamba yang jujur demikian pula yang dusta dalam imannya, hamba-hamba yang benar imannya ataukah hanya pengakuan saja. Lalu Allah Ta`ala kelak akan membalas dengan yang berlipat ganda siapa pun yang bisa mengerjakan syariat dengan ikhlas dan sesuai sunnah Rasul-Nya yang dilandasi dengan keimanan. Allah Ta`ala berfirman (artinya) : ”Barangsiapa yang membawa amalan yang baik maka dia mendapatkan sepuluh kali lipat, dan barangsiapa yang membawa amalan yang jelek maka dia tidak akan dibalas kecuali sesuai dengan perbuatannya” [Al-An`am : 160].
Seluruh umat manusia akan melewati tingkatan atau fase kehidupan, dari setetes air mani kemudian terus berkembang hingga dilahirkan ke alam dunia ini, dari masa kanak-kanak, remaja, dewasa hingga masa tua, yang fase kehidupan dunia ini adalah tempat dan ladang untuk mencari bekal yang akan dibawa menghadap Allah Ta`ala. Kemudian setelah kehidupan di dunia ini, umat manusia akan masuk alam selanjutnya, yaitu : alam kubur. Dengan datangnya maut (kematian), maka tertutuplah kesempatan mereka untuk mencari bekal, menambah amal shaleh dan berhenti pula aliran pahala yang bisa diraih kecuali dari beberapa jalan. Nabi Shallallahu `alaihi Wasallam bersabda :
إذا مات الإنسان انقطع عمله إلا من ثلاث : صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له
(artinya) : ”Ketika seseorang itu wafat, maka akan terputuslah semua amalnya (pahala) kecuali dari 3 jalan : sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yang mendoakan kebaikan orang tuanya” (HR. Muslim no 1631 dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu `anhu).
Subhanallah betapa besar karunia Allah Ta`ala kepada para hamba. Ketika manusia telah terbujur kaku di kubur, tidak mampu berbuat apa-apa, bahkan yang tersisa hanyalah tulang belulang namun masih bisa pahala tetap mengalir untuknya karena dahulu melakukan amal shaleh, sebagaimana tertera dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu `anhu di atas.
SEDEKAH JARIYAH
Sedekah jariyah adalah sedekah yang kemanfataannya terus ada / dirasakan walaupun yang bersedekah telah meninggal dunia, seperti : mewakafkan tanah atau berinfaq untuk membangun masjid, mencetak mushaf Al-Quran, mencetak buku-buku yang bermanfaat, mambangun madrasah / pondok pesantren. Demikian pula jalan-jalan, sumur dan sebagainya yang manfaatnya terus ada dan dirasakan dalam waktu yang lama.
Ketika masih diberi kesempatan dan kemampuan oleh Allah Ta`ala, jangan sampai kita sia-siakan kesempatan dan kemampuan tersebut tanpa kita turut berpartisipasi. Terus meneruslah kita menabung yang nantinya tabungan tersebut digunakan untuk sedekah jariyah. Bukankah banyak diantara kita khawatir dengan masa depan / masa tuanya sehingga dirinya menabung uang untuk ia gunakan di kemudian hari ?! Bukankah justru seharusnya yang kita lebih khawatirkan adalah masa depan yang hakiki, yaitu : hari pembalasan ?! Hari yang kita sangat membutuhkan suatu amalan shaleh sebagai pemberat timbangan dan tameng dari api neraka. Nabi Shallallahu `alaihi Wasallam bersabda (artinya) : “Bentengilah diri-diri kalian dari api neraka sekalipun dengan (sedekah) separuh buah kurma”. (HR. Al-Bukhari no 6023 dan Muslim no. 2346 dari sahabat `Adi bin Hatim radhiyallahu `anhu). Beliau Shallallahu `alaihi Wasallam ketika menasehati kaum wanita dalam khutbah id, menceritakan bahwa kebanyakan penduduk neraka adalah wanita. Lalu beliau memerintahkan kaum wanita untuk memperbanyak sedekah. Memang membiasakan untuk bersedekah dengan harta yang kita miliki bukanlah sesuatu yang mudah kecuali bagi seseorang yang dimudahkan oleh Allah Ta`ala. Mungkin muncul dalam benak kita : Apakah harta yang aku cari dengan memeras keringat dan membanting tulang, berbagai kesusahan dalam bekerja, panas terik matahari ketika bertani lalu aku lepas begitu saja ? Memang hanya mereka yang yakin terhadap balasan dari Yang Maha Kuasa-lah yang mampu dan mau mengorbankan hartanya. Membaca sejarah pengorbanan para sahabat Nabi radhiyallahu `anhum -sebagai penyemangat dalam beramal shaleh- dapat membuat kita berdecak kagum : Bagaimana mereka rela bersedekah harta walaupun sedang dalam kesusahan, walaupun mereka juga membutuhkannya ?! Itu semua sanggup mereka lakukan karena tingginya iman kepada Allah Ta`la dan Hari Akhir serta kuatnya keyakinan mereka radhiyallahu `anhum bahwa itu semua akan dibalas dengan berlipat ganda. Berbeda halnya dengan kondisi kita yang karena panjangnya angan-angan dan lupa dengan kehidupan akhirat sehingga bersedekah dengan nominal yang sedikit saja -jika dibandingkan dengan apa yang kita miliki- tetaplah berat, takut jatuh miskin dan semisalnya. Wallahul Musta`an.
ILMU YANG BERMANFAAT
Yaitu : ilmu yang bermanfaat yang seseorang ajarkan kepada orang lain, kemudian diajarkan kepada generasi selanjutnya, begitu seterusnya. Pahala akan terus mengalir walaupun orang tersebut telah meninggal dunia. Rasulullah Shallallahu `alaihi Wasallam bersabda (artinya) : “Barangsiapa menunjukkan kepada jalan kebaikan, maka dia juga mendapatkan pahala yang semisal dengan pelakunya, tanpa mengurangi pahala mereka (pelaku) sama sekali” [HR. Muslim dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu `anhu].
Para pembaca rahimakumullah, kita menyaksikan dan juga sering mendengar nama-nama para sahabat Nabi, para tabi`in, para imam (pemimpin agama) kaum muslimin dan para ulama yang memiliki ilmu yang banyak lagi bermanfaat. Nama mereka tetap harum hingga sekarang. Terus-menerus mereka mendapatkan doa dari kaum muslimin yang meriwayatkan hadits mereka, menukil ucapan mereka dalam menjelaskan maksud dari suatu hadits dengan doa radhiyallahu `anhu (semoga Allah meridhainya) atau rahimahullah (semoga Allah merahmatinya). Padahal, mereka telah meninggal dunia pada ratusan atau bahkan ribuan tahun yang lalu. Begitu mulianya mereka ! Alangkah bahagianya mereka ! Itu semua karena pertolongan dari Allah Ta`ala kemudian kesungguhan mereka dalam mencari ilmu agama, mengamalkannya, mengajarkannya serta menyebarkannya di tengah kaum muslimin. Dalam sejarah perjalanan para Nabi radhiyallahu `anhum, tabi`in, imam-imam dan para ulama rahimahumullah, tercatat betapa besar pengorbanannya dalam mencari ilmu. Mereka melakukan perjalanan panjang dan melelahkan hingga 1 bulan untuk mendapatkan 1 hadits. Ketika tak lagi muda, mereka tetap semangat untuk berlomba menambah ilmu. Demikian pula dalam menyebarkannya melalui majelis ilmu ataupun karya tulis dalam bentuk kitab-kitab yang tak terhitung jumlahnya.
ANAK YANG SHALEH
Anak merupakan amanah dan karunia dari Allah Ta`ala. Merupakan tugas kedua orang tua, baik sang ibu maupun sang ayah untuk mendidik mereka, mengajarkan nilai-nilai agama sejak dini, menanamkan dalam diri mereka akhlak yang terpuji, sehingga seorang anak akan tahu untuk apa dia diciptakan di dunia ini dan mengetahui bahwa alam dunia ini adalah tempat mencari bekal amal shaleh dan pahala. Ketika seorang anak telah tertanam dalam diri mereka nilai-nilai agama, maka ia akan berterima kasih kepada kedua orang tuanya, berbakti kepada keduanya semasa hidup. Tidak sampai di situ saja, bahkan setelah sang ayah dan sang ibu telah meninggal dunia, lisan sang anak tak pernah lupa untuk mendoakan kebaikan kedua orang tuanya : ”Rabbighfirlii Wa Liwaalidayya Warhamhumaa Kamaa Rabbayaanii Shaghiraa”. Alangkah bahagianya orang tua yang memiliki anak yang demikian !
Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi`i rahimahullah dalam kitabnya yang berjudul Asy-Syafa`ah, menulis sebuah judul : “Bab tentang anak-anak yang memberikan syafa`at untuk kedua orangtuanya”. Lalu beliau menyebutkan hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah radhiyallahu `anhu, Rasulullah Shallallahu `alaihi Wasallam bersabda (artinya) : “Sungguh Allah Ta`ala akan mengangkat derajat seorang hamba yang shaleh di surga”. Maka ia berkata : “Wahai Rabku, dari mana saya mendapatkan ini ?” Maka dijawab : “Dari permintaan ampun anakmu untukmu.” [HR.Ahmad].
Lantas apakah semua anak tahu dan mau memintakan ampun untuk kedua orang tuanya kepada Allah Ta`ala ? Bukankah kita telah mendengar atau menyaksikan anak-anak yang justru –Wal `iyadzubillah- tidak tahu terima kasih kepada kedua orang tuanya ?! Justru ia durhaka dan berani melawan orang tuanya. Itu semua karena kurangnya ilmu agama pada anak tersebut, kurang mendapatkan siraman ayat-ayat Al-Qur`an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu `alaihi Wasallam. Tidakkah orang tua sadar kemudian berikhtiyar untuk menanamkan Agama Islam dan rasa takut kepada Allah Ta`ala sejak dini kepada anak-anak, memperhatikan masa depan yang hakiki, yaitu : ketika mereka menghadap Allah Ta`ala ?! Wallahul Musta`an.
RENUNGAN
Allah Ta`ala berfirman (artinya) : “Dimana pun kalian berada pasti kematian akan datang menjemput kalian walaupun kalian ada di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh” [An-Nisa` : 78]
Rasulullah Shallallahu `alaihi Wasallam juga mengingatkan dalam sabdanya (artinya) : “Perbanyaklah mengingat sesuatu yang menghancurkan kelezatan (dunia), yaitu : kematian”. [HR. At-Tirmidzi, An-Nasa`i dan Ibnu Majah yang disahihkan al-Albani]. Mengingat kematian menjadi sebab bertambahnya semangat untuk beramal shaleh. Dia (banyak mengingat kematian) akan menjadi penghalang seseorang dari bermaksiat kepada Zat Yang Maha dahsyat siksa-Nya, berkurangnya angan-angan terhadap urusan dunia. Terlebih maut (kematian) itu sendiri datang menjemput seorang manusia secara tiba-tiba, tidak bisa dimajukan maupun diundur.
Al-Imam Ibnul Jauzi rahimahullah mengatakan : “Yang wajib bagi orang yang berakal cerdas adalah bersiap untuk perjalanan panjangnya, karena ia tak tahu kapan tiba-tibanya datang ketetapan Rabbnya (datangnya maut) dan tidak tahu kapan dipanggil ? Sungguh saya menyaksikan banyak manusia yang tertipu dengan masa mudanya, melupakan teman sejawatnya yang telah tiada (padahal masih muda), lalu angan-angan yang panjang menyebabkan mereka lalai” (dengan kematian) !” [Shaidul Khathir]
Maka seorang mukmin tak tertipu dengan umurnya yang masih muda, karena imannya yang kokoh kepada Allah Ta`ala dan Hari Akhir, tertancap kuat dalam hatinya akan datangnya maut dan Allah Ta`ala kelak pasti akan membalas setiap amal perbuatan seluruh manusia. Seorang mukmin akan bersiap diri semaksimal mungkin semasa hidupnya untuk meraup pahala, juga mencari amal shaleh yang terus menerus pahalanya tetap mengalir walau dia telah meninggalkan dunia ini berupa sedekah jariyah, menuntut ilmu yang bermanfaat, mengamalkannya lalu menyebarkannya dan mendidik putra-putrinya dengan pedidikan Islami.
Wallahul Musta` an.