Daarul Ihsan
Daarul Ihsan oleh admin daarulihsan

hukum seputar sutroh/pembatas shalat

9 tahun yang lalu
baca 10 menit

kaligrafi-bismillahirrahmanirrahim-i3

Hukum Seputar Sutroh/Pembatas Shalat

Definisi Sutroh : sesuatu yang terletak di depan orang yang shalat dan berfungsi mencegah lewatnya orang atau hewan di depannya[1].

Dari definisi di atas nyatalah bahwa fungsi sutroh ini sangat terkait dengan perwujudan khusyu’ yang ini merupakan ruh ibadah shalat itu sendiri. Dengan sutroh, akan mencegah orang lalu lalang di depannya mengganggu shalatnya dan juga seorang yang shalat akan lebih mudah memfokuskan pandangannya sehingga tidak menoleh ke kanan atau ke kiri.

Fungsi lain dari sutroh adalah memberikan kelonggaran bagi orang yang ingin lewat di depan orang yang shalat tanpa khawatir terkena dosa dengan cara lewat di luar sutroh. Namun, jika dia lewat di dalam sutroh ( melewati antara orang yang sedang shalat dengan sutroh ) maka dia berdosa dan terkena ancaman dalam hadits

لَوْ يَعْلَمُ الْمَارُّ بَيْنَ يَدَيْ الْمُصَلِّي مَاذَا عَلَيْهِ لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِينَ خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ

Seandainya orang yang lewat di depan orang yang sedang shalat mengetahui dosa yang ditanggungnya [ dengan lewatnya itu ] maka lebih baik baginya berdiri selama empat puluh (HR. al-Bukhari dan Muslim)

An Nawawi asy-Syafi’i rahimahullah menyatakan menjelaskan bahwa makna dari hadits ini adalah larangan tegas dan ancaman yang sangat keras bagi pelakunya[2].

Al Hafizh mengomentari ucapan an-Nawawi ini : “ Konsekuensinya, perbuatan ini termasuk dosa besar. “

Menjulurkan tangan

Apakah menjulurkan tangan di depan orang yang sedang shalat masuk dalam makna lewat di depannya ?

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berpendapat bahwa yang demikian tidak termasuk lewat di depannya. Hanya saja jika dengan menjulurkan tangan itu mengganggu kekhusyu’an maka tidak boleh kita menjulurkan tangan di depannya. Jika tidak mengganggu dan memang ada kebutuan yang mendesak maka tidak mengapa insyaallah[3].

Dalil Syariat Sutroh

Banyak sekali dalil terkait syariat sutroh seperti hadits yang kami kutip di atas.

Begitu pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

إِذا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلى السُّتْرَةِ وَلْيَدْنُ مِنْها لا يقطع الشيطان عليه صلاته

Jika salah seorang dari kalian shalat hendaklah shalat ke sutroh dan mendekat kepadanya agar syaithon tidak memutus shalatnya[4]

Hukum shalat menghadap ke sutrah

Pendapat yang kuat dalam masalah ini : wajib bagi seorang yang shalat untuk menghadap ke sutroh berdasarkan perintah dalam hadits di atas dan beberapa dalil lainnya[5].

Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah mengatakan bahwa tidak ada hadits shahih yang secara jelas menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat dengan tidak menghadap ke sutroh[6].

Peringatan : banyak dari kaum muslimin yang tidak memerhatikan masalah sutroh ketika melakukan shalat, sebagian dari mereka memang tidak mengerti dan sebagian yang lain bermudah – mudahan menggampangkannya beralasan bahwa hukumnya sekadar sunnah dan tidak wajib.

Alasan yang demikian tidak benar karena beberapa alasan :

ü  Banyak sekali hadits nabawi yang menganjurkan kita shalat menghadap sutroh dan sebagian dari hadits tersebut merupakan perintah yang keluar langsung dari lisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia

ü  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah sekalipun shalat dalam keadaan tidak menghadap ke sutroh

ü  Para shahabat radhiyallahu ‘anhum yang merupakan generasi terbaik umat Islam begitu bersemangat dalam mengamalkan tuntunan ini sebagaimana shahabat Anas ibn Malik menuturkan dalam hadits riwayat Imam al-Bukhari : ketika dikumandangkan adzan Maghrib, para shahabat berlomba menuju tiang – tiang masjid dan menjadikannya sebagai sutroh untuk shalat sunnah sembari menunggu iqomah

Ukuran Sutroh

Beberapa hadits menjelaskan bahwa tinggi sutroh yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jelaskan adalah seperti mu’khiratir rahl (sandaran orang yang naik tunggangan) (HR. Muslim). Para ulama menyebutkan ukurannya sekitar 2/3 hasta. Jika lebih tinggi tidak mengapa insyaallah.

Adapun lebarnya, tidak disebutkan dalam hadits, wallahu a’lam. Namun, lebih lebar lebih baik karena tujuan dari sutroh sebagai batas dan tanda bagi orang yang akan lewat di depan orang shalat.

Apa saja yang bisa dipakai sutroh ?

Segala sesuatu yang memiliki tinggi mencukupi sebagai tanda sutroh seperti :

  • Dinding
  • Tiang
  • Orang yang duduk atau shalat di depan kita
  • Kayu yang ditancapkan
  • Kendaraan atau tunggangan

Faidah : hadits bahwa garis bisa dianggap sutroh adalah hadits dha’if/lemah. Silahkan merujuk ke Dha’if Ibni Majah

Jarak antara tempat berdiri ketika shalat dengan sutroh

Jaraknya sekitar 3 hasta sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencontohkannya ketika beliau shalat di dalam Ka’bah[7].

Jarak antara tempat kepala ketika sujud dan sutroh

Jaraknya selebar untuk lewatnya seekor kambing[8]

Jika ada orang mau lewat diantara kita dan sutroh…

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى شَيْءٍ يَسْتُرُهُ مِنْ النَّاسِ فَأَرَادَ أَحَدٌ أَنْ يَجْتَازَ بَيْنَ يَدَيْهِ فَلْيَدْفَعْهُ فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ فَإِنَّمَا هُوَ شَيْطَانٌ

Jika salah seorang dari kalian shalat menghadap ke suatu sebagai sutroh dari [lewatnya[ manusia lalu ada seorang yang hendak lewat di depannya [diantara dia dengan sutroh] maka hendaklah dia mencegahnya. Jika tetap ngotot maka hendaklah memeranginya karena dia tidak lain syaithon[9] (HR.al-Bukhari dan Muslim)

Al Qurthubi rahimahullah menjelaskan tentang upaya mencegah orang yang akan lewat tersebut : “ mencegahnya dengan isyarat dan dengan lembut. Jika tidak berhasil, dengan upaya yang lebih keras dari sebelumnya. Mereka (para ulama ) sepakat bahwa upaya mencegah ini tidak boleh menggunakan senjata[10].

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah maju mendekati sutroh ketika ada seekor kambing yang hendak lewat di hadapan beliau sehingga kambing untuk tidak bisa lewat di depan beliau[11].

Upaya mencegah orang atau hewan yang hendak lewat tersebut sangat ditekankan jika sesuatu yang lewat itu bisa memutus shalat sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

Akan bisa memutus shalat seseorang-jika di depannya tidak ada [sutroh] seperti mu’khiratir rohl- : seorang wanita, keledai dan anjing hitam[12]. Beliau juga menyatakan bahwa anjing hitan adalah syaithon.

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menjelaskan[13] ketiga hal di atas :

i)                    Keledai : sama saja apakah besar atau kecil dan berwarna apa saja, apakah hitam atau selainnya

ii)                  Anjing hitam : sama saja apakah besar atau kecil, yang penting seluruh tubuhnya hitam. Sebagian ulama menyamakan pula anjing hitam yang di atas matanya ada sedikit warna putih

iii)                Wanita : yang dimaksud adalah wanita dewasa yang sudah mencapai baligh. Adapun anak perempuan kecil tidak masuk dalam makna hadits ini

Adapun shalatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berbaring di depan beliau di atas dipan maka hal ini tidak bertentangan dengan hadits di atas. Yang bisa memutus shalat adlaah lewatnya seorang wanita bukan sekadar berbaringnya dia di hadapan orang shalat[14].

Faidah : pendapat yang kuat dalam memahami makna dari “ memutus shalat “ adalah membatalkan shalat. Diantara yang menguatkan bahwa maknanya adalah membatalkan ialah :

a)      Datang sebagian riwayat dengan teks hadits yang artinya Diulang shalat disebabkan lewatnya keledai, wanita dan anjing hitam[15]. Penyebutan kata “ diulang “ menunjukkan batalnya shalat

b)      Riwayat dari sekelompok ulama salaf yang berpendapat bahwa maknanya adalah membatalkan shalat[16]

Faidah lain : hadits bahwa tidak ada satu pun yang bisa memutus shalat adalah hadits dha’if/lemah. Silahkan merujuk ke Ta’liq ‘alal Misykah dan Dah’if Abi Dawud.

Sutroh pada shalat berjama’ah

Pada shalat jamaah, makmum tidak perlu mengmbil sutroh tersendiri karena sutroh sang imam mencukupi bagi para makmum di belakangnya. Hal ini berdasarkan hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma ketika beliau mengisahkan pernah lewat di depan shaf shalat berjamaah [ di belakang imam ] dan ketika itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi imam dan tidak seorang pun mengingkari perbuatan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma (HR.al-Bukhari dan Muslim)

Sutroh makmum masbuq yang sedang menyempurnakan shalat

Ketika tidak ada sutroh di depan makmum masbuq tersebut, apakah perlu baginya mencari sutroh ?

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini sebagian berpendapat tidak perlu mencari sutroh baru dengan alasan :

  • Seorang yang mendapatkan dari shalat imamnya minimal 1 rakaat sudah terhitung mendapatkan jamaah sehingga ketika meyempurnakan shalat tidak mengeluarkannya dari statusnya sebagai makmum dan dia memiliki kaitan erat dengan imamnya sehingga cukup baginya sutroh imam[17]
  • Yang nampak dari perbuatan para shahabat bahwa seorang yang masbuq tidak mengambil sutroh dan menyempurnakan shalat tanpa sutroh[18]

Sebagian yang lain berpendapat perlu baginya mencari sutroh dengan alasan :

v  Seorang masbuq yang sedang menyempurnakan shalat dihukumi seorang munfarid/shalat sendirian[19]

Namun bolehnya bergerak untuk mencari sutroh ini dengan catatan jika sutroh yang dituju tidak jauh[20].

Wallahu a’lam.



[1] Disana ada makna lain dari sutroh yaitu sutroh yang bermakna pakaian sebagai penutup aurat.

[2] Syarh Shahih Muslim, sebagaimana dikutip oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Ashlu Shifatis Shalah.

[3] Contoh yang tidak mengganggu ialah jika yang shalat adalah seorang buta. Fath Dzil Jalal wal Ikram

[4] HR. Abu Dawud dan lainnya dan teks di atas dalam riwayat Ibn Khuzaimah

[5] Pendapat yang lain: menghadap ke sutroh hukumnya sunnah saja dan tidak wajib dengan dasar hadits yang mengisahkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat dengan tidak menghadap ke arah tembok. Namun, kalau kita cermati hadits ini tidak secara jelas menunjukkan bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menghadap ke suatu sutroh, bisa jadi sutroh beliau ketika itu berupa tombak yang ditancapkan ( sebagaimana beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukannya dalam riwayat al-Bukhari dan Muslim ) atau unta yang diposisikan melintang di hadapan beliau ( sebagaimana beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah melakukannya dalam riwayat al-Bukhari dan Muslim) atau berbagai kemungkinan lainnya.

Faidah : al-Muhaddits al-Albani rahimahullah membahas panjang lebar bahwa riwayat hadits bahwa riwayat penyebutan shalat beliau dengan tidak menghadap ke arah tembok adalah riwayat syadz/ganjil alias tidak shahih ( adh-Dha’ifah 5814 )

[6] Adh-Dha’ifah 5814

[7] HR. al-Bukhari dan lainnya. 1 hasta adalah antara ujung siku dan ujung jari tengah.

[8] Mamarru asy syah. HR.al-Bukhari dan Muslim

[9] Ada beberapa penafsiran di kalangan para ulama terkait kalimat dia tidak lain syaithon : i) perbuatannya adalah perbuatan syaithon; ii) yang mendorongnya berbuat demikian adalah syaithon; iii) yang bersamanya adalah syaithon

[10] Taudhihul Ahkam

[11] HR.ath Thabrani dan lainnya, al-Albani menshahihkannya dalam Ashlu Sifatis Shalah

[12] HR. Muslim dan lainnya, dengan teks Abu Dawud.

[13] Fath Dzil Jalal wal Ikram

[14] Yang menguatkan apa yang kami sebutkan : kutipan asy-Syaikh al-Albani dalam Ashlu Sifatis Shalah dari al Hafizh di dalam al-Fath bahwa ‘Aisyah sengaja terus berbaring karena beliau khawatir jika bangkit akan berakibat lewatnya beliau dihadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang shalat.

[15] Ash-Shahihah lil al-Albani 3323

[16] Ma’alimus Sunan, sebagaimana dikutip dari ash-Shahihah

[17] Fatwa Lajnah Daimah no. 19080 dengan tanda tangan Ibnu Baz, Abdul Aziz Alusy Syaikh, al-Fauzan, Ibnu Ghudayyan dan Bakr Abu Zaid

[18] Liqo’ Babil Maftuh libni ‘Utsaimin  234/31

[19] Majmu’ Fatawa Ibni ‘Utsaimin 13/232, 238

[20] Pendapat al-Imam Malik sebagaimana dalam al Mudawwanah dan juga pendapat asy-Syaikh ‘Abdul Muhsin al-‘Abbad sebagaimana dalam Syarh Sunan Abi Dawud

Oleh:
admin daarulihsan