Daarul Ihsan
Daarul Ihsan oleh admin daarulihsan

hukum menyiarkan kematian lewat pengeras suara di masjid

11 tahun yang lalu
baca 4 menit

kaligrafi-bismillahirrahmanirrahim-i3

Ustadz Abu Faiz Fauzan

Soal : Apakah menyiarkan kematian seseorang di masjid termasuk perbuatan haram?

Jawab : Alhamdulillah, Nabi shalallahu ‘alaihi was salam melarang dari na’i (meratapi mayit). Yang dilarang disini adalah apa yang biasa dilakukan oleh orang jahiliyah, seperti mereka mengutus orang untuk menyiarkan kematian seseorang dengan cara mengangkat suara/berteriak. Oleh karenanya jumhur ulama berpendapat jika na’i (penyiaran kematian seseorang) disertai dengan teriakan maka terlarang hukumnya.

Sebagian pengikut Madzhab Hanafiyah berpendapat tidak makruhnya menyiarkan kematian seseorang di pasar-pasar selama tidak disertai dengan pujian (kepada si mayit). Mereka mengatakan, “Perbuatan ini untuk memperbanyak orang yang mensholatkan dan memintakan ampun bagi mayit; dan tidaklah serupa dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyah. Kebiasaan orang jahiliyah mereka mengutus seseorang kepada kabilah untuk menyiarkan kematian disertai dengan teriakan, tangisan, pujian, dan ratapan.

Yang mengherankan disini bahwa tujuan untuk memperbanyak orang yang mensholatkan dan memintakan ampun untuk si mayit dapat tercapai tanpa disertai teriakan. Sesungguhnya menyiarkan kematian dengan cara berteriak dari sisi tata cara serupa dengan perbuatan orang jahiliyah yang telah dilarang. Lihat Al ‘Inayah Syarah Al Hidayah 3/267, Fathul Qodir 2/128, Al Khurasyi Ala Mukhtashar Khalil 2/139, Al Muhadzab 1/132, Asy Syarhu Al Kabir 6/287, Fathul Bari 3/117.

Berkata Ash Shan’ani (Subulus Salam 1/482), “Dalam perkara Niyahah: Yang masyhur dari kalangan arab kebiasaan mereka jika salah seorang dari pembesar meninggal atau terbunuh mereka mengutus seseorang ke kabilah-kabilah untuk menyiarkan kematiannya. Mereka mengatakan ‘Telah meninggal fulan atau telah meninggal kalangan arab, celakalah fulan atau celakalah arab dengan sebab kematian fulan”. Berkata Ash Shan’ani selanjutnya, “Dan pendapat yang paling dekat bagiku, perbuatan ini adalah perkara yang dilarang. Diantara bentuk na’i adalah menyiarkan kematian seseorang diatas menara-menara sebagaimana diketahui pada waktu ini ketika meninggalnya para pembesar”.

Berkata Asy Syaikh Al Bani—semoga Allah merahmatinya—dalam menjelaskan apa-apa yang diharamkan bagi keluarga mayit:

“Menyiarkan kematian seseorang di atas menara dan semisalnya. Perbuatan ini termasuk na’i. Telah tetap dari Hudzaifah bin Al Yaman jika ada orang yang meninggal ia berkata, ‘Janganlah ada dari kalian yang menyiarkannya karena aku khawatir ini termasuk perbuatan na’i; sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi was salam melarang dari na’i…’

Na’i secara bahasa adalah pengkabaran atas meninggalnya seeorang. Dengan definisi ini berarti masuk didalamnya segala bentuk pengkabaran. Akan tetapi ada hadits-hadits shahih yang menunjukkan bolehnya salah satu bentuk pengkabaran. Dengan hadits-hadits tersebut para ulama memberikan batasan terhadap larangan mutlak ini. Mereka berkata, “Sesungguhnya yang dimaksud dengan na’i (yang dilarang) adalah pengkabaran yang menyerupai kebiasaan orang-orang jahiliyah yang dilakukan dengan cara berteriak (dengan suara keras) didepan pintu rumah dan pasar-pasar….”

          Berkata Al Hafidz, “Faidah dari keterangan ini adanya isyarat bahwa perbuatan na’i tidaklah dilarang secara mutlak semuanya. Yang dilarang adalah apa yang orang jahiliyah biasa melakukannya. Kebiasaan mereka adalah dengan mengutus seseorang untuk mengkabarkan atas meninggalnya seseorang di depan pintu-pintu rumah dan pasar-pasar”

Saya katakan (Al Bani), “Apabila ini bisa diterima, berarti pengkabaran kematian dengan teriakan (suara keras) diatas mimbar-mimbar, lebih pantas untuk dikatakan na’i (yang dilarang). Oleh karenanya kami pastikan hal ini. Kadang perbuatan haram ini diiringi dengan perbuatan lain yang juga haram. Misalnya mengambi upah dari perbuatan teriak-teriak ini. Atau memuji-muji mayit yang jelas-jelas diketahui bahwa tidak demikian keadaan sebenarnya, seperti ucapan , ‘Semoga shalawat terlimpah atas orang besar yang luhur lagi dimuliakan , juga atas para pendahulu yang mulia lagi shalih”. (Ahkamul Janaiz hal 44-46 secara ringkas).

Jawaban ini  jika yang dimaksud oleh penaya adalah na’i diatas menara dengan menggunakan pengeras suara.

Jika yang dimaksud (oleh penaya) hanya sekedar pengumuman bagi orang-orang yang hendak mensholatkan dimasjid tanpa disertai dengan suara/terikan keras, maka tidak mengapa Insya Allah. Perbuatan ini seperti yang dilakukan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi was salam ketika meninggalnya Raja Najasyi, yaitu (Nabi shalallahu ‘alaihi was salam) mengkabarkan kematian Raja Najasyi kepada Shahabat dan menyiarkannya untuk dikerjakan sholat jenazah.

Diriwayatkan oleh Al Bukhari (no 1333) dan Muslim (no 951) dari Abu Hurairah—semoga Allah meridhainya—“Bahwa Rasulullahshalallahu ‘alaihi was salam menyiarkan kematian Raja Najasyi di hari meninggalnya. Nabi keluar menuju mushala dan meluruskan shaf shahabat. Kemudian bertakbir (untuk sholat jenazah) empat kali”.

Dalam riwayat Al Bukhari (no 1328), “Rasulullah shalallahu ‘alihi was salam menyiarkan kematian Najasyi yaitu Raja dari Negeri Habasyah pada hari meninggalnya,nabi bersabda, ‘Mintakanlah ampun untuk saudara kalian”.

Berkata An Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim, “Didalamnya ada anjuran untuk meyiarkan kematian seseorang dengan tata cara bukan seperti yang dilakukan oleh jahiliyah; Akan tetapi hanya sebatas pengkabaran untuk sholat jenazah dan dalam rangka menunaikan haknya. Adapun jenis na’i yang terlarang bukanlah yang dimaksud seperti ini, tetapi yang dimaksud adalah na’i jahiliyah yang didalamnya ada pujian atas mayit dan lain sebagainya.”

 

Fatawa Al Islam nomor 41959