Hadapkanlah Wajahmu ke Masjidil Haram
Wajibnya menghadap kiblat[1] ketika shalat
Para pembaca waffaqonallahu jami’an,
Diantara perkara wajib yang harus dilakukan oleh seorang yang bermunajat kepada Allah ta’ala dengan melakukan shalat ialah menghadap kiblat berdasarkan banyak dalil diantaranya :
v Firman Allah ta’ala فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
Maka palingkanlah wajahmu ke arah al Masjidil Haram . (Al Baqarah 144)
v Juga firman Allah di ayat yang sama وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ
Dan dimanapun kalian berada maka palingkanlah wajah kalian ke arahnya [Masjidil Haram]
Yang semakna dengan ayat di atas tersebut juga di ayat ke-149 dan 150 dari surat Al Baqarah[2].
Masjidil Haram pada ayat – ayat di atas bermakna Ka’bah. Sebagian ahli tafsir menyebutkan diantara hikmah pemilihan lafazh masjidil haram dibandingkan lafazh ka’bah karena terkait dengan turunnya ayat – ayat di atas ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di Madinah yang jauh dari Ka’bah dimana jumhur/mayoritas ulama berpendapat bahwa yang wajib bagi seorang yang jauh dari Ka’bah/ tidak mungkin melihat Ka’bah secara langsung ialah menghadap ke arah Ka’bah dan bukan ke bangunan Ka’bah itu sendiri; sehingga dari sini dipakai lafazh masjidil Haram yang memang lebih umum/luas dibandingkan Ka’bah[3]. Wallahu a’lam.
Catatan :
ü perintah untuk menghadapkan wajah ke arah Ka’bah hanya khusus terkait ibadah shalat, bukan selainnya.
ü Makna wajah pada ayat – ayat di atas maknanya adalah seluruh tubuh bukan khusus wajah yang ada di kepala[4].
v Hadits al musiiu shalatahu yaitu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajari seorang yang tidak mengetahui tata cara shalat yang benar. Diantara yang beliau perintahkan kepada orang tersebut jika hendak mengerjakan shalat ialah untuk menghadap ke kiblat (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Hukum menghadap ke kiblat ketika shalat
Wajib bagi seorang yang shalat untuk menghadap ke kiblat dan bahkan para ulama telah menukil adanya ijma’ atau kesepakatan bahwa menghadap kiblat merupakan syarat sah shalat[5].
Beberapa hikmah dari syariat ini
– Agar seseorang menghadapkan badannya ke tempat yang Allah perintahkan untuk mengagungkannya yaitu Ka’bah sehingga selaras dengan menghadapnya qalbu kepada rabbul ‘alamin ketika shalat
– Menampakkan persatuan umat Islam dimana mereka menghadap ke arah yang sama dalam menegakkan shalat yang merupakan ibadah terbesar setelah tauhidullah
Kewajiban orang yang bisa melihat langsung Ka’bah
Para ulama sepakat bahwa wajib baginya untuk menghadapkan seluruh tubuhnya ke Ka’bah dan tidak boleh sebagian tubuhnya ke arah Ka’bah dan sebagian tubuh lainnya ke samping kanan Ka’bah misalnya[6].
Kewajiban orang yang tidak bisa melihat langsung Ka’bah
Pendapat yang kuat di kalangan para ulama bahwa wajib baginya menghadap ke arah Ka’bah bukan ke bangunan Ka’bah itu sendiri. Diantara dalilnya adalah ayat – ayat yang tersebut di atas dimana disebutkan di dalamnya perintah untuk menghadap ke شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ( arah Masjidil Haram)bukan ke bangunannya secara persis. Selain itu, pemilihan lafazh Masjidil Haram dan bukan Ka’bah juga mengisyaratkan kepada makna ini sebagaimana telah dipaparkan di atas. Di sisi lain, memang secara kenyataan inilah yang mampu dilakukan oleh orang yang jauh dari Ka’bah dan tidak bisa melihat langsung bangunan Ka’bah.
Pengecualian
Beberapa keadaan yang keluar dari hukum di atas (diperbolehkan menghadap ke selain kiblat):
Bertakwalah kepada Allah semampu kalian ( QS. At-Taghabun 16)
Catatan : dalam keadaan ini harus terkumpul tiga syarat : i) dalam keadaan safar, ii) sedang dalam perjalanan, iii) yang dilakukan adalah shalat sunnah. Jika salah satu syarat ini tidak terpenuhi maka tetap wajib menghadap ke kiblat seperti :
Beberapa masalah terkait dengan syariat menghadap kiblat
a) Masjid yang arah kiblatnya tidak tepat ke arah Ka’bah, bagaimana hukum shalat dengan tetap mengikuti arah kiblat masjid yang menyimpang tersebut ? Jawabnya : melencengnya arah kiblat suatu masjid ada dua kemungkinan :
Bagaimana batasan menyimpang yang sedikit atau banyak ?
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menjelaskan bahwa menyimpang yang teranggap banyak seperti jika kiblat di belakangnya atau di samping kiri atau di samping kanannya[8].
Asy-Syaikh Muhammad Ali Firkaus al-Jazairi hafizhahullah memiliki suatu tulisan khusus dalam masalah ini dan pernah dimuat di situs sahab.net maka beliau menyatakan bahwa batasan menyimpang yang banyak tidak dijelaskan dalam dalil secara pasti sehingga dikembalikan kepada kebiasaan manusia. Dalam hal ini beliau menyimpulkan bahwa jika menyimpangnya lebih dari 450 (nishfu zaawiyah qaaimah) maka teranggap sebagai penyimpangan yang besar sehingga Ka’bah teranggap di sisi kiri atau kanannya dan menyebabkan batalnya shalat[9].
b) Seorang yang berada di suatu tempat dan tidak mengerti arah kiblat maka hendaklah berusaha semaksimal mungkin mengetahui arah kiblat seperti :
c) seorang yang tidak tahu arah kiblat kemudian langsung shalat tanpa berusaha secara maksimal mencari petunjuk arah seperti yang kami contohkan di atas kemudian setelah usai shalat ternyata dia telah shalat ke arah yang salah maka dalam hal ini dia harus mengulang shalat karena dia belum melaksanakan apa yang Allah ta’ala wajibkan berupa bertakwa kepada Allah semampunya. Adapun jika sudah berusaha secara maksimal mencari tahu arah ternyata tetap salah arah maka shalatnya sah dan tidak perlu mengulang shalatnya.
d) Seorang yang memulai shalat dengan menghadap ke selain kiblat tanpa disengaja kemudian diingatkan arah kiblat yang benar maka wajib baginya seketika itu juga menghadap ke arah yang benar kemudian melanjutkan shalatnya dan tidak perlu mengulang shalat dari awal. Dalilnya adalah hadits yang mengisahkan sebagian shahabat yang shalat Subuh kea rah Baitul Maqdis dan mereka belum mengetahui perubahan arah kiblat ke Ka’bah. Lalu datanglah seorang yang mengingtakan bahwa arah kiblat sudah berubah ke Ka’bah maka mereka pun langsung mengubah arah shalat mereka dan melanjutkan shalat (HR.al-Bukhari dan Muslim).
e) Wajib bagi kita mengingatkan arah kiblat yang benar ketika tahu ada saudara kita melakukan shalat ke selain kiblat sebagai bentuk ta’awun ‘alal birri wat taqwa. Hendaknya peringatan ini dilakukan sesegera mungkin dan dengan petunjuk arah kiblat yang jelas. Jangan sampai arahan kita mengambang dan tidak jelas seperti ucapan kiblat Anda salah, arah shalatmu tidak benar, dsb karena arahan semisal ini belum menjelaskan arah yang benar. Hendaknya dilengkapi dengan ucapan seperti hadaplah ke kanan, berputarlah ke belakang 1800, dsb.
f) Wajib bagi para penanggung jawab masjid yang arah kiblatnya menyimpang banyak [dengan batasan yang telah kami paparkan di atas] untuk mengubah kiblat masjid ke arah yang benar, tentunya setelah diadakan penelitian yang mendalam dan berdasarkan petunjuk para ahli dalam masalah ini. Adapun jika menyimpang sedikit maka usaha untuk meluruskan kiblat masjid harus memperhatikan maslahat dan mafsadah yang mungkin timbul.
g) Asy-Shalih al Fauzan hafizhahullah berkata : “ Diantara golongan yang mendapat udzur terkait shalat adalah orang yang naik kendaraan dimana jika dia turun dari kendaraan akan mengalami kerepotan yang sangat seperti hujan atau lumpur, atau jika turun dari kendaraan akan kesulitan untuk naik kendaraan lagi atau khawatir tertinggal oleh rombongannya jika turun atau mengkhawatirkan keselamatan dirinya dari bahaya musuh atau binatang buas; maka dalam keadaan – keadaan ini bia boleh shalat di atas kendaraannya…”
Beliau juga menjelaskan : “ Wajib bagi orang yang melakukan shalat wajib di atas kendaraan karena sebaba – sebab di atas untuk menghadap kiblat semampunya berdasarkan firman Allah ta’ala [kemudian beliau sebutkan ayat ke-144 dari surat Al Baqarah] dan wajib baginya mengerjakan semampunya ruku’, sujud, isyarat kepala [sebagai ganti keduanya] dan thuma’ninah berdasarkan firman Allah ta’ala [kemudian beliau sebutkan ayat ke-16 dari surat At Taghabun]. Gerakan – gerakan yang dia tidak mampu mengerjakannya maka dia tidak terbebani dengannya. Jika dia tidak mampu menghadap kiblat maka tidak wajib baginya menghadap kiblat dan dia shalat sesuai keadaannya itu. Demikian pula penumpang pesawat maka dia shalat sesuai kemampuannya : berdiri atau duduk, ruku’, sujud atau isyarat dengan kepala, sesuai dengan kemmapuannya dengan tetap menghadap kiblat karena perkara ini [menghadap kiblat] memungkinkan[11].
h) Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata : “ Jika ada kebutuhan [untuk menoleh] di dalam shalat maka tidak mengapa seperti jika mendengar suara binatang yang akan menyerangmu atau seorang yang memiliki kebutuhan yang sangat maka tidak mengapa menoleh asalkan yang menoleh hanya kepala saja. Adapun menolehkan badan maka ini bisa membatalkan shalat karena dia telah menyimpang dari kiblat padahal diantara syarat sah shalat adalah mengahdap kiblat…”[12]
Wallahu a’lam bish shawab.
[1] Ka’bah disebut kiblat kaum muslimin karena إقبال (menujunya)manusia ke arahnya dan karena orang yang shalat يقابلها (berhadapan) dengannya. Adapun bangunan Ka’bah dinamakan dengan Ka’bah لتكعبها : bentuk segi empatnya. (Hasyiyah Raudhil Murbi’ libnil Qashim an Najdy rahimahullah)
[2] As Sa’di rahimahullah menjelaskan diantara hikmah pengulangan perintah menghadap ke Masjidil Haram/Ka’bah adalah sebagai penegasan terhadap perintah tersebut karena hal ini terkait dengan pemindahan arah kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah. Pemindahan arah kiblat ini merupakan ujian keimanan yang besar bagi kaum muslimin waktu itu dan musuh – musuh Islam menjadikannya peluang untuk menjatuhkan nama Islam dan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari sinilah Allah ta’ala mengulang perintah ini beberapa kali sebagai penegasan dan penguatan qalbu kaum muslimin. wallahu a’lam.
[3] Tafsir al-Alusi : Ruhul Ma’ani.
[4] Tafsir as-Sa’di
[5] Diantara yang menukil ijma’ adalah Ibnu Hazm, Ibnu ‘Abdil Barr dan Ibnu Taimiyah rahimahumullah.Meski demikian, asy-Syaukani di dalam Nailul Authar berpendapat lain dan menganggap menghadap kiblat bukan syarat sah shalat namun hukumnya sekadar wajib. Wallahu a’lam. ( ats Tsamrul Mustathab)
[6] Asy Syarhul Mumti’
[7] Demikianlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan sebagaimana dalam hadits Anas ibn Malik dalam riwayat Abu Dawud dan asy-Syaikh al-Albani menghasankan hadits ini. Hukum memulai shalat sunnah dengan menghadapkan kendaraan ke kiblat ketika safar adalah sunnah/mustahab bukan wajib karena hadits yang menjelaskan masalah ini adalah berupa perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan berupa perintah dari ucapan beliau. ( asy Syarhul Mumti’ dan Hasyiyah ar Raudh)
[8] Al Liqo asy Syahri 3/482
[9] Al inhiraf al Fahisy ‘an qiblatil muslimin baina al inshaf wa at ta’annut
[10] Arah angin merupakan petunjuk alam yang paling lemah sebagaimana disebutkan oleh an-Nawawi dalam al-Majmu’ (sebagaimana dikutip dari risalah Al inhiraf al Fahisy )
[11] Dinukil dari sahab.net dari situs resmi beliau.
[12] Syarh Riyadhis Shalihin