Daarul Ihsan
Daarul Ihsan oleh admin daarulihsan

cinta negara dalam tinjauan agama kita

8 tahun yang lalu
baca 8 menit

Cinta Negara Dalam Tinjauan Agama Kita

            Asy-Syaikh Muhammad Ali Farkus hafizhahullah mengatakan : “Yang semestinya diketahui bahwa cinta negara merupakan fitrah dan tabiat pada manusia.Cinta negara keberadaanya seperti cinta kepada diri sendiri, ayah, harta, makanan, kendaraan dan semisalnya.Bukanlah cinta negara (secara zatnya) termasuk dari keimanan, baik dari sisi kandungan maupun konsekuensi iman.Buktinya adalah berkumpulnya manusia di negara tersebut tanpa ada perbedaan antara orang yang bertakwa dan beriman dengan orang kafir, fasik dan bermaksiat.Padahal konsekuensi iman, justru kita membedakan antara orang yang beriman dengan orang kafir, orang yang bertakwa dengan orang jahat.Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh ayat-ayat Al Qur’an, yaitu firman Allah Ta’ala (artinya) : “Apakah orang yang beriman itu sama dengan orang yang fasik ?! Tentu mereka tidaklah sama”.(As Sajdah : 18)

            Firman-Nya Ta’ala (artinya) : “Apakah patut Kami (Allah) menyamakan antara muslimin dengan orang-orang jahat ?! Bagaimana kalian ini mengambil hukum ?!” (Al Qalam : 35-36)

            Firman Allah Ta’ala (artinya) : “…Apakah patut Kami (Allah) menyamakan orang-orang yang bertakwa dengan orang-orang jahat ?!”(Shad : 28)

            Firman-Nya Ta’ala (artinya) : “Apakah patut orang-orang yang berbuat dosa itu menyangka bahwa Kami (Allah) akan menjadikan mereka dengan orang-orang beriman dan beramal salih, baik ketika hidup maupun mati itu sama ?! Betapa buruknya apa yang mereka sangka”.(Al Jatsiyah : 21)

            Inilah…Sedangkan bersandar kepada hadits (artinya) : “Cinta negara adalah bagian dari iman” untuk beralasan bahwa cinta negara merupakan konsekuensi iman tidaklah tepat dilihat dari sisi makna maupun sanad hadits.Sebab, hadits ini adalah hadits maudhu’ (palsu) yang dibuat-buat atas nama Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam, sebagaimana pernyataan para ulama pakar hadits.

            Adapun pendalilan dengan ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam terkait keutamaan kota Makkah (artinya) : “Demi Allah, sesungguhnya engkau (kota Makkah) benar-benar bumi Allah terbaik dan paling dicintai oleh-Nya.Demi Allah, kalau seandainya aku tidak diminta keluar darimu, niscaya aku tidak akan keluar”, maka hadits ini tidaklah menunjukkan bahwa cinta negara itu bagian dari keimanan.Sebab, kecintaan Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam kepada kota Makkah bukanlah karena zatnya tempat, namun karena Makkah adalah sebaik-sebaik tempat di sisi Allah Ta’ala.Ini jelas ditunjukkan oleh hadits riwayat at-Tirmidzi (artinya) : “…dan bumi Allah yang paling dicintai oleh-Nya”.Ini tampak dengan keberadaan Makkah sebagai tempat ibadah dan haji.Di dalam Makkah ada ketakwaan hati ketika terdapat pengagungan syiar-syiar Allah.Allah berfirman (artinya) : “…dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka itu dari ketakwaan yang ada pada hati”.(Al Hajj : 32)…”

            Ketika asy-Syaikh Farkus hafizhahullah membawakan sebuah ayat (artinya) : “Katakanlah : “Jika ayah-ayah, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, keluarga kalian, harta yang telah kalian dapatkan, perdagangan yang kalian khawatir kerugiannya dan tempat tinggal, ternyata (itu semua) lebih kalian cintai dibanding Allah, Rasul-Nya dan jihad di jalan-Nya, maka tunggulah hingga Allah mendatangkan urusan-Nya.Allah  tidaklah memberi petunjuk kepada orang-orang fasik”.(At Taubah : 24), maka beliau mengatakan : “Hal-hal yang disebutkan di dalam ayat ini merupakan kecintaan yang merupakan tabiat.Namun kecintaan kepada ayah, anak, saudara, istri, keluarga ternyata disebutkan terlebih dahulu dibandingkan negara.Seseorang dengan tabiatnya justru rela meninggalkan negaranya dalam rangka menjaga dirinya sendiri, ayah, anak, saudara, istri, keluarga, harta dan perniagaannya.Hal ini sebagaimana diperintahkan secara syariat untuk berhijrah dari negara yang ia cintai secara tabiat menuju negara Islam, jika negaranya ternyata negara kafir, selama ia tidak sanggup menegakkan dan menampakkan agamanya.Tetap tinggal di negara kafir tersebut adalah tercela, kecuali bagi orang-orang lemah yang kehilangan daya upaya dan jalan (hijrah).Allah Ta’ala berfirman (artinya) : “Sesungguhnya orang-orang yang dimatikan oleh para malaikat dalam keadaan mereka berbuat zalim, maka para malaikat berkata : “Ada apa kalian ini ?” Mereka beralasan : “Kami adalah orang-orang lemah di muka bumi ini”.Para malaikat menukas : “Bukankah bumi Allah itu luas sehingga kalian dapat berhijrah padanya ?!”Maka tempat kembali mereka adalah neraka jahanam dan ia adalah sejelek-jelek tempat kembali.Kecuali orang-orang lemah dari kalangan pria, wanita dan anak yang memang tidak sanggup memiliki daya upaya dan jalan (hijrah).Mereka ini akan Allah maafkan dan Allah adalah Zat Yang Maha Pemberi Maaf dan Maha Pengampun”. (An Nisa’ : 97-99)

            Demikian pula seseorang diperintah untuk hijrah dari kampung penuh kemaksiatan dan dosa menuju kampung ketaatan dan lurus, sebagaimana kisah seorang ulama yang memerintah seseorang yang telah membunuh 99 jiwa agar berpindah ke kampung ketaatan.(Hal itu) dalam rangka menyempurnakan hijrahnya dia dari perbuata maksiat sekaligus wujud taubat dan kembalinya dia kepada Allah.Dengan itu, kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya menjadi didahulukan dibandingkan segala sesuatu.

            Allah ‘Azza Wa Jalla menyebutkan negeri dan tempat tinggal pada tingkatan akhir dilihat dari sisi keterkaitan hati seseorang dengannya.Ibnul Qayyim rahimahullah mengungkap rahasia penyebutan ini dengan ucapan beliau : “Lantas Allah menyebutkan tempat tinggal pada tingkatan ke-8 yang merupakan akhir tingkatan.Hal ini karena keterkaitan hati dengan negeri itu tingkatannya di bawah seluruh tingkatan sebelumya.Tempat tinggal-tempat tinggal itu keadaannya saling bermiripan.Kadangkala tempat tinggal ke-2 (baru,pen) itu mirip dengan tempat tinggal ke-1 (lama, pen) dari setiap sisi, bahkan lebih baik.Dari sini ada semacam penggantian.Adapun ayah, anak, kerabat dan keluarga tidaklah bisa tergantikan.Hati sekalipun cinta kepada tempat tinggalnya yang pertama, akan tetapi cinta kepada ayah, anak, istri tentu lebih besar…”

            Lalu beliau berkata : “Atas dasar ini, maka tidak boleh mendahulukan kecintaan kepada diri sendiri dengan mengabaikan hak ayah, anak, saudara dan istri.Tidak boleh pula kecintaan kita kepada mereka ternyata menyia-nyiakan hak Allah Ta’ala dan menyelisihi perintah-Nya.Allah Ta’ala berfirman (artinya) : “Dan orang-orang yang beriman itu lebih besar kecintaannya  kepada Allah…” (Al Baqarah : 165)…”

            Beliau juga mengatakan : “… maka persaudaraan nasab, suku, golongan maupun bangsa tidaklah bisa dipegang teguh seiring kuatnya ikatan agama yang merupakan satu-satunya ikatan yang ada antar manusia pada hari kiamat.Adapun ikatan selain itu pasti akan terputus.Allah Ta’ala berfirman (artinya) : “(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti ternyata berlepas diri dari orang-orang yang mengikuti mereka, dan mereka pun melihat azab serta terputuslah segala hubungan antar mereka sama sekali”. (Al Baqarah : 166)…”

            Beliau berkata pula : “Kesimpulannya bahwa mencintai negara karena semata-mata faktor tanah,  tempat kelahiran atau semisal itu adalah kecintaan yang bersifat fitrah dan tabiat.Berkumpul padanya setiap penduduk yang lurus akidah, ibadah dan akhlaknya dengan penduduk yang menyimpang.Sebatas ini maka cinta negara bukanlah sebuah keimanan, kecuali jika mencintai negara karena adanya syiar, penegakan agama dan akhlak secara Islami padanya.Dengan adanya sebab ini, barulah menjadi cinta yang bersifat iman dan akan membentuk kecintaan dan kebencian yang tepat, loyal dan cinta kepada orang-orang yang beriman.(Hal ini) berdasar firman Allah Ta’ala (artinya) : “Dan orang-orang yang beriman laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lainnya…” (At Taubah : 71)

            Juga firman-Nya Ta’ala (artinya) : “Muhammad adalah utusan Allah.Orang-orang yang bersamanya itu tegas terhadap orang-orang kafir dan saling mengasihi antar mereka sendiri…” (Muhammad : 29)

            Demikian pula firman-Nya Ta’ala (artinya) : “Dan barangsiapa menjadikan Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman sebagai penolongnya, maka sesungguhnya pengikut agama Allah itulah yang pasti menang”. (Al Maidah : 56)

            Jika ternyata negaranya adalah negara Islam, maka seorang muslim tidaklah membatasi kecintaannya kepada negara kelahirannya saja.Bahkan semestinya kecintaan dia mencakup setiap negara Islam, baik yang jauh maupun yang dekat.Maka wajib untuk menolongnya, menjaganya dan membelanya.Hal ini dikarenakan faktor kecintaan bersifat keimanan itu lebih luas cakupannya dibandingkan kecintaan bersifat kebangsaan yang sempit.Kaum mukminin adalah saudara di atas agama, saling mencintai, generasi akhir mengikuti generasi awal, saling mendoakan kebaikan, saling memintakan ampun, sejauh apapun negara, nasab keturunan dan zaman mereka.Allah Ta’ala berfirman (artinya) : “Dan orang-orang yang datang setelah mereka (sahabat Muhajirin dan Anshar) berdoa : “Ya Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dalam iman, dan janganlah Engkau jadikan hati kami memiliki kedengkian terhadap orang-orang yang beriman.Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau adalah Zat Yang Maha Penyantun dan Maha Penyayang”. (Al Hasyr : 10)

            Inilah…Barangsiapa yang beriman, maka wajib untuk mendahulukan akidah cinta dan benci sesuai syariat dibanding segala ikatan.Dan agar ia mengetahui bahwa persaudaraan iman itu dibangun di atas kerjasama yang sesuai syariat, jauh dari unsur golongan, arogansi, kebangsaan dan kesukuan.Hal ini berdasar firman Allah Ta’ala (artinya) : “…dan tolong menolonglah kalian di atas kebaikan dan takwa.Janganlah kalian tolong menolong di atas dosa dan permusuhan…” (Al Maidah : 2)

            (Wajib pula ia mengetahui) bahwa solidaritas Islami tidaklah sempurna kecuali berdiri di atas akidah tauhid, yang merupakan dasar pijak perjalanan dakwah seiring penanaman tauhid yang murni (kepada Allah semata) dan ‘ittiba’ (mengikuti Rasul).Sebab, tidak ada persatuan kecuali dengan tauhid dan ‘ittiba’.Inilah makna syahadatain.Allah Ta’ala berfirman (artinya) : “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dengan sebenar-benar takwa dan jangnlah kalian sekali-kali meninggal dunia kecuali dalam keadaan kalian sebagai muslimin.Berpegang teguhlah dengan tali agama Allah seluruhnya dan janganlah berpecah belah.Ingatlah terhadap nikmat Allah atas kalian, yakni ketika kalian dahulu saling bermusuhan, lalu Allah lembutkan hati kalian sehingga kalian menjadi bersaudara dengan kenikmatan dari-Nya.Dahulu kalian berada di tepi jurang neraka lalu Allah selamatkan kalian.Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayatNya kepada kalian agar kalian mendapatkan petunjuk”. (Ali Imran : 102-103)

            Sesungguhnya tauhid dan ‘ittiba’ adalah rahasia jaya dan kokohnya kaum muslimin.Allah Ta’ala tidaklah memuliakan suatu kaum jika mereka menjauhi sebab kemuliaan.Telah diriwayatkan dari Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau berkata : “Sesungguhnya kami adalah suatu kaum yang Allah muliakan dengan Islam.Kami tidak akan dapat meraih kemuliaan dengan selain Islam”.Dalam riwayat lain : “Sesungguhnya kami dahulu adalah kaum yang tertindas.Lalu Allah muliakan kami dengan Islam.Sebesar apapun upaya kita meraih kejayaan dengan selain itu, maka justru Allah akan hinakan kita”…”

  (Dikutip dari sebagian artikel berjudul al-Wala’ al-Wathani Wa Tarsikhi Mabda’i “Hubbu al-Wathan Min al-Iman”, www.ferkous.com)  

             

Oleh:
admin daarulihsan