Daarul Ihsan
Daarul Ihsan oleh admin daarulihsan

carilah wajah allah dengan shalatmu

9 tahun yang lalu
baca 9 menit

kaligrafi-bismillahirrahmanirrahim-i3

Carilah Wajah Allah dengan Shalatmu

Para pembaca Qonitah yang semoga Allah rahmati kita semua,

bahasan kita kali ini terkait suatu masalah yang sangat penting dalam ibadah shalat yang agung yaitu :

niat shalat

Pentingnya Niat

Niat ikhlas dalam suatu ibadah merupakan salah satu syarat diterimanya amal seseorang berdasarkan hadits shahih yang terkenal (artinya) : setiap amal pasti disertai niat dan setiap amal tergantung dari apa yang diniatkan. (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Pembagian niat

Tema terkait niat yang dibahas oleh para ulama ada dua macam[1] :

  1. Niat mempersembahkan ibadah hanya untuk Allah ta’ala semata dan ini lazim dikenal dengan ikhlas yaitu seseorang dalam ibadahnya menginginkan pahala dari Allah semata. Niat jenis ini lebih penting dibandingkan jenis kedua namun pembahasan jenis pertama ini lebih terkait dengan ilmu tauhid.
  2. Niat melakukan suatu amal tertentu dan jenis ini ada dua tingkatan :

i)                    Membedakan antara ibadah dengan selain ibadah. Contohnya : aktivitas mandi. Dengan niat akan terbedakan antara mandi yang sekedar menyegarkan badan dengan mandi yang termasuk dari ibadah seperti mandi junub dan mandi Jum’at

ii)                  Membedakan antara suatu ibadah dengan ibadah yang lain. Untuk tingkatan ini ada dua kemungkinan :

a)      Ibadah mutlak seperti niat shalat sunnah mutlak. Dalam hal ini cukup bagi seseorang meniatkan ibadah shalat untuk Allah ta’ala tanpa harus menentukan suatu jenis shalat tertentu.

b)      Ibadah khusus tertentu. Misalkan terkait dengan shalat, dengan niat khusus ini seseorang akan membedakan apakah shalatnya diniatkan shalat Subuh atau sekedar shalat sunnah rawatib misalnya. Jadi, fungsinya adalah membedakan antara suatu ibadah dengan ibadah lainnya.

Posisi niat

Niat terletak di dalam qalbu sehingga tidak perlu melafazhkan/mengucapkan niat karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukannya dan tidak menganjurkan kita melakukannya demikian pula para shahabat beliau radhiyallahu ‘anhum. Artinya, melafazhkan niat termasuk perbuatan bid’ah yang terlarang dalam agama[2].

Para pembaca rahimakumullah, hakikatnya : kapan seseorang mengetahui apa yang dikerjakannya berarti bisa dipastikan dia telah meniatkannya; dengan demikian apa gunanya melafazhkan niat ??

Kaitan niat dengan shalat

Niat merupakan salah satu syarat sah shalat, sehingga

Kapan seseorang mulai niat shalat ?

Bersamaan dengan takbir atau sebelumnya

Beberapa masalah seputar niat shalat[3]

  1. Seorang ketika mendengar adzan shalat ‘Ashr dikumandangkan bergegas mengambil air wudhu untuk shalat ‘Ashr namun kemudian terselingi dengan aktivitas lain sebelum shalat. Ketika memulai shalat dia langsung bertakbir tanpa memperbarui niatnya. Apakah yang demikian sah/boleh ?

Jawabnya : boleh dan sah shalatnya selama dia tidak berniat membatalkan niat awalnya berdasarkan keumuman sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (artinya) : sesungguhnya setiap amal tergantung dari niatnya.

  1. Seseorang di tengah shalatnya berniat dengan pasti untuk memutuskan shalatnya maka shalatnya batal. Contoh : seseorang sedang shalat sunnah kemudian di tengah shalat dia ingat ada kesibukan yang harus segera diselesaikan lalu memutuskan niat shalatnya maka shalatnya batal berdasarkan keumuman hadits di atas.
  2. Seseorang di tengah shalatnya ragu – ragu apakah melanjutkan shalatnya atau tidak, maka keragu – raguan seperti ini tidak membatalkan shalat. Contohnya seperti kasus dalam keadaan no 2) di atas jika orang tersebut di tengah shalatnya teringat dengan suatu kesibukan kemudian dia ragu – ragu apakah perlu membatalkan atau tidak maka shalatnya belum batal sampai dia memutuskan dengan pasti untuk membatalkan/keluar dari shalatnya.
  3. Seseorang di tengah shalatnya berniat melakukan perbuatan yang termasuk pembatal shalat maka niat ini tidak membatalkan shalat sampai dia melakukan perbuatan pembatal shalat tersebut. Contoh : seseorang shalat kemudian di tengah shalat terasa ingin buang angin. Jika dia berniat untuk tidak menahan angin itu keluar maka shalatnya tidak batal sampai angin itu benar – benar keluar.
  4. Tidak boleh/haram bagi seseorang untuk keluar dari shalatnya hanya karena muncul keraguan di tengah shalat apakah dia sudah berniat ketika akan shalat atau belum. Yang demikian terkait dengan apa yang sudah tersebut di atas bahwa seseorang tidak mungkin melakukan sesuatu dalam keadaan sadar melainkan dengan niat[4].

Beberapa masalah seputar perubahan niat[5]

  1. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa perubahan niat dari satu jenis shalat ke jenis yang lain terbagi menjadi beberapa macam diantaranya :

©      Dari mutlak ke tertentu : tidak boleh. Misalnya seorang awalnya berniat shalat sunnah mutlak kemudian di tengah shalat ingin mengubahnya menjadi shalat rawatib maka yang demikian tidak boleh

©      Dari tertentu ke tertentu : tidak boleh. Misalnya seorang awalnya berniat shalat rawatib setelah ‘Isya kemudian di tengah shalat ingin mengubahnya menjadi shalat tahajjud maka yang demikian tidak boleh

©      Dar tertentu ke mutlak : boleh. Misalnya seorang Misalnya seorang awalnya berniat shalat rawatib setelah ‘Isya kemudian di tengah shalat ingin mengubahnya menjadi shalat sunnah mutlak maka ini boleh.

  1. Seorang yang sedang shalat-baik sebagai imam, makmum maupun munfarid (shalat sendirian)-tidak boleh baginya mengubah niat shalat dari satu keadaan ke keadaan yang lain tanpa ada alasan yang syar’i/dibenarkan dalam syariat.
  2. Jika ada udzur syar’i , boleh mengubah niat shalat dari satu keadaan ke keadaan lainnya seperti :

ü  Dari imam menjadi makmum sebagaimana pernah terjadi di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau terlambat shalat berjamaah karena mendamaikan suatu kaum sehingga Abu Bakr As Shiddiq radhiyallahu ‘anhu menggantikan beliau sebagai imam. Di tengah shalat berjamaah datanglah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka kemudian Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu mundur dan majulah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai imam. Dalam kejadian ini, Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu mengubah niat beliau dari imam menjadi makmum.

ü  Dari makmum menjadi imam. Ini sangat mungkin terjadi jika di tengah shalat berjamaah sang imam batal shalatnya sehingga salah seorang makmum menjadi imam dengan mengubah niatnya dari makmum menjadi imam.

ü  Dari niat imam atau makmum menjadi niat munfarid seperti jika di tengah shalat jamaah terjadi suatu hal/udzur yang menyibukkan dan membolehkan bagi imam atau makmum untuk keluar dari shalat berjamaah maka dalam hal ini mengubah niatnya menjadi munfarid dan menyempurnakan shalatnya.

Diantara contoh udzur tersebut ialah :

v  Dua orang shalat berjamaah maka jika shalat sang imam batal sang makmum berubah niatnya menjadi shalat sendirian dan sebaliknya jika sang makmum batal maka sang imam mengubah niatnya menjadi shalat sendirian

v  Ketika seorang imam memanjangkan shalat berlebihan yang menyelisihi sunnah nabawiyah maka boleh bagi makmum untuk keluar dari jamaah dan shalat menyempurnakan shalatnya sendirian[6]

ü  Dari munfarid menjadi imam. Ini sangat mungkin terjadi jika seseorang mengawali shalat sendirian lalu d tengah shalat datang orang lain dan menjadikannya sebagai imam. Yang seperti ini pernah terjadi ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat malam sendirian kemudian di tengah shalat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bergabung menjadi makmum beliau.

ü  Dari munfarid menjadi makmum. Ini mungkin terjadi jika seorang mengawali shalat sendirian karena menduga tidak akan datang orang lain. Di tengah shalat datang orang lain shalat tidak jauh darinya. Maka, boleh bagi orang yang shalat lebih dulu untuk menjadikan orang yang baru datang sebagai imam baginya.

Masalah : bagaimana jika pada shalat Zhuhr orang yang shalat lebih dulu secara munfarid sudah shalat dua raka’at dan dia berada pada raka’at ke-3 lalu baru datang orang yang akan dijadikan sebagai imam ? Jawabnya : pada raka’at ke-4 dari shalatnya makmum (yang ini merupakan raka’at ke-2 bagi sang imam) makmum duduk tasyahud akhir dan ketika sang imam bangkit untuk menyelesaikan shalatnya makmum tetap duduk sembari menunggu imamnya menggenapkan 4 raka’at dan jika sang imam telah tasyahud akhir dan salam maka makmum pun ikut salam. Boleh pula bagi makmum untuk salam sendirian setelah dia bertasyahud akhir tanpa perlu menunggu imamnya menyelesaikan shalatnya.

Untuk melengkapi bahasan, kami bawakan perincian hukum shalat jika niat seseorang dimasuki niat selain mencari wajah Allah seperti riya’[7] sebagai berikut :

i)                    Jika shalat seseorang murni riya’ dan sama sekali tidak ada niat untuk Allah ta’ala; maka yang seperti ini hampir – hampir tidak mungkin terjadi pada diri seorang muslim melainkan pada diri seorang munafik[8]. Yang seperti ini tidak diragukan lagi bahwa amalnya batal, tidak sah dan pelakunya berhak mendapatkan murka Allah.

ii)                  Jika shalat seseorang sebenarnya untuk Allah namun bercampur dengan riya’ dari awalnya maka dalil – dalil yang jelas menunjukkan shalatnya batal[9].

iii)                Jika shalat seseorang awalnya lillahi ta’ala kemudian di tengah shalat bercampur dengan riya’ maka jika riya’ tersebut sekedar terlintas dalam benak dan dia terus berusaha menghilangkannya maka tidak ada khilaf di kalangan para ulama bahwa yang seperti ini tidak mempengaruhi keabsahan shalat

iv)                Seperti keadaan no iii) hanya saja orang tersebut tidak berusaha menghilangkan riya’ dari qalbunya maka para ulama berbeda pendapat tentang keabsahan shalat orang yang seperti ini[10].

v)                  (jenis ini sebenarnya bukan termasuk riya’) jika seseorang beramal ikhlas kemudian Allah ta’ala takdirkan adanya pujian dari manusia terhadap orang tersebut kemudian dia bergembira dengannya maka yang seperti ini tidak mempengaruhi sedikitpun amalnya.

Wallahu a’lamu bishshawab.



[1] Irsyad Ulil Bashair wal Albab karya as Sa’di rahimahullah

[2] Majmu’ Fatawa libni Taimiyah, bahkan Ibnu Taimiyah berkata bahwa melafazhkan niat menunjukkan kurangnya agama dan akal pelakunya.

[3] asy Syarhul Mumti’

[4] Al ikhtiyarat al Fiqhiyyah

[5] Asy Syarhul Mumti’ dan Irsyad Ulil Bashair

[6] Ini pernah terjadi di zaman nabawi dalam kisah shahabat Mu’adz ibn Jabal radhiyallahu ‘anhu dengan sebagian kaumnya dalam hadits yang masyhur.

[7] Seseorang melakukan amal agar dilihat orang lantas dipuji. Pembahasan ini lebih dekat dengan pembahasan tauhid namun kami sisipkan disini sebagai peringatan untuk kita semua agar memerhatikan keikhlasan niat dalam beribadah lillahi ta’ala. Perincian yang kami sebutkan ini bisa dirujuk ke kitab Jami’ul ‘Ulum wal Hikam.

[8] Yang serupa dengan shalat adalah puasa. Adapun jika amal itu nampak dihadapan manusia atau memiliki pengaruh nyata di mata manusia seperti sedekah dan haji maka mungkin terjadi pada diri seorang muslim.

[9] Diantara dalil dalam masalah ini hadits qudsi yang masyhur (artinya) : Aku adalah zat yang paling tidak butuh terhadap sekutu; maka barangsiapa melakukan suatu amal yang disitu dia menyekutukanku dengan selainku Aku tinggalkan dia dan sekutunya (HR.Muslim)

[10] Ibnu Rajab al Hanbaly mengutip dari Ibnu Jarir bahwa khilaf pada jenis no iv) ini pada amal yang berkaitan antara awal dan akhirnya seperti shalat. Adapun jika suatau amal antara bagian – bagiannya berdiri sendiri seperti membaca Al Quran dan mengajarkan ilmu maka amalnya terputus dengan munculnya riya’ dan membutuhkan pemurnian niat kembali. Sebagai missal : seorang membaca Al Quran ½ juz pertama ikhlas kemudian muncul riya’ dan dia tidak berusaha menepisnya. Maka, ½ juz pertama yang dia ikhlas sah dan berpahala; adapun setelah muncul riya’ maka terputus amalnya. Wallahu a’lam.

Oleh:
admin daarulihsan