Allah subhanahu wa ta’ala telah menjadikan sebagian waktu yang dilalui manusia dalam kehidupannya sebagai waktu yang utama dibandingkan waktu-waktu yang lainnya. Sepertiga malam terakhir sebagai waktu yang utama untuk berdoa dan bermunajat kepada Sang Khaliq dimana ketika itu Allah turun ke langit dunia serta mengabulkan doa, istighfar dan permintaan hamba-hamba-Nya. Hari Jum’at sebagai hari yang utama diantara hari-hari dalam sepekan sebagai hari raya kaum muslimin terlebih di hari itu ada suatu waktu dimana doa seorang hamba lebih mudah untuk dikabulkan/mustajab. Ramadhan sebagai bulan termulia dalam setahun diantara 12 bulan yang ada dimana pintu kebaikan dibuka selebar-lebarnya dan pintu-pintu kejelekan dipersempit. Bulan Sya’ban yang merupakan bulan sebelum Ramadhan termasuk bulan yang memiliki keutamaan walau tentu keutamaannya di bawah bulan Ramadhan.
Keistimewaan Sya’ban
Diantara keistimewaan bulan Sya’ban, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa pada bulan ini akan diangkat amalan seorang hamba ke langit. (HR.Ahmad dan Nasai, Syaikh Al Albani menghasankannya).
Wajarlah jika beliau memperbanyak puasa pada bulan Sya’ban sampai beliau berpuasa bulan Sya’ban secara keseluruhan kecuali beberapa hari saja tidak berpuasa padanya (HR.Bukhari Muslim). Bahkan dalam sebagian riwayat hadits disebutkan bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa Sya’ban seluruhnya. Tentu ini merupakan contoh bagi kita semua untuk mengisi hari-hari kita dengan ibadah kepada-Nya termasuk meningkatkan intensitas puasa di bulan Sya’ban.
Para ulama menyebutkan beberapa hikmah dari diperbanyaknya puasa di bulan Sya’ban diantaranya agar seseorang ketika memasuki Ramadhan dalam keadaan sudah terbiasa dengan puasa sehingga aktivitas keseharian baik tekait dengan ibadah maupun urusan duniawinya tidak terganggu. Di sisi lain, ketika sudah terbiasa dengan puasa, dia akan bisa merasakan manisnya ibadah puasa dan tidak terbebani dengan ibadah puasa. Selain itu, puasa di bulan Sya’ban sebagai bentuk pemuliaan terhadap Ramadhan karena ini seperti pengiring bagi Ramadhan sebagaimana shalat rawatib sebagai pengiring bagi shalat lima waktu.
Nishfu Sya’ban/Pertengahan Sya’ban
Banyak hadits yang beredar di tengah masyarakat tentang kekhususan nishfu sya’ban yang berisi anjuran mengkhususkan malam nishfu sya’ban dengan suatu ibadah tertentu seperti hadits :
– “Jika telah datang malam nishfu sya’ban maka sholatlah di malam itu dan berpuasalah di pagi harinya karena jika telah tenggelam matahari di pertengahan Sya’ban maka Allah akan turun ke langit dunia dan mengatakan ‘Siapa yang meminta ampun maka akan Aku ampuni, siapa yang meminta rizqi maka akan Aku beri rizqi, siapa yang sakit akan Aku sembuhkan…sampai terbit fajar’ ”
Hadits ini dalam sanadnya ada seorang bernama Abu Bakr ibnu Abi Sabroh. Imam Ahmad mengomentari orang ini bahwa dia adalah seorang pemalsu hadits. Demikian pula para ahli hadits yang lain seperti Imam Bukhari, Imam Nasai, Ibnu Ma’in, dll mereka semua memberikan kritikan yang keras kepada perawi ini,yaitu Abu Bakr ibnu Abi Sabroh. Kesimpulannya, hadits tadi adalah hadits maudhu’/palsu.
– “Sungguh Allah tabaraka wa ta’ala akan turun ke langit dunia pada malam nishfu Sya’ban dan mengampuni manusia dengan jumlah melebihi jumlah bulu kambing milik Bani Kalb”
Hadits ini dilemahkan oleh Imam Bukhari karena sanadnya terputus di dua tempat. Imam Daruqutni mengatakan hadits ini mudhthorib/goncang. Hadits ini datang dari jalan/sanad yang lain namun justru lebih lemah sanadnya karena ada padanya dua perawi yang matruk/ditinggalkan haditsnya.
– “Sungguh Allah akan melihat pada malam nishfu Sya’ban dan akan mengampuni seluruh hamba-Nya kecuali seorang musyrik atau seorang yang ada permusuhan dengan saudaranya.”
Hadits ini diriwayatkan dari berbagai jalan/sanad; namun tiap sanadnya ada kelemahan yang sebagiannya dikategorikan sangat lemah. Oleh karena itu, beberapa ulama menegaskan bahwa tidak ada hadits shahih dalam hal ini.
– Hadits tentang sholat Alfiyyah yaitu sholat yang dilakukan pada nishfu Sya’ban sebanyak seratus raka’at dimana tiap raka’at membaca Al Fatihah kemudian membaca Al Ikhlas 11 kali. Hadits tentang sholat Alfiyyah adalah hadits palsu, sebagaimana ditegaskan oleh beberapa ulama, diantaranya Ibnul Jauzy dalam Al Maudhu’at. Adapun mengenai sholat Alfiyyah itu sendiri, An Nawawi-seorang ulama besar madzhab Syafi’i-menegaskan bahwa itu termasuk perkara bid’ah yang terlarang.
Kesimpulannya, malam nishfu Sya’ban sebagaimana malam-malam yang lain sehingga kita disunnahkan menghidupkannya sebagaimana kita disunnahkan menghidupkan malam-malam yang lain. Termasuk keyakinan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala akan turun ke langit dunia; maka ini merupakan keyakinan Ahlussunnah wal Jama’ah berdasar banyak hadits shahih dalam riwayat Imam Bukhari, Muslim, dan lainnya dimana ketika itu Allah ta’ala akan mengabulkan doa, permintaan dan istighfar para hamba-Nya yang bermunajat ketika itu. Hal ini bukan hanya terjadi pada malam nishfu Sya’ban tapi pada setiap malam terkhusus pada sepertiga malam terakhir. Yang penting, jangan sampai ada keyakinan tertentu yang bersandar pada hadits-hadits yang lemah atau bahkan palsu. Apalagi kalau sampai diadakan perayaan khusus menyambut malam nishfu Sya’ban maka yang demikian telah ditegaskan para ulama sebagai suatu hal yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salam dan para shahabat radhiyallahu ‘anhum.
Sebagian orang membolehkan perayaan nishfu Sya’ban berdasar riwayat dari sebagian tabi’in dari Syam dimana dikisahkan mereka mengagungkan malam tersebut. Padahal, kalau kita benar-benar mau adil dalam hal ini, ternyata pembesar ulama Syam yaitu Al Auza’i rahimahullah beliau justru membenci berkumpulnya orang untuk merayakan malam tersebut. Selain itu, para tabi’in dari Hijaz (Mekah, Madinah dan sekitarnya) juga membenci perayaan nishfu Sya’ban dan menganggapnya bid’ah. Terlepas dari ini semua, sebenarnya Allah dan Rasul-Nya telah mengajari kita menyikapi masalah seperti ini. Allah mengatakan (artinya) “Kalau kalian berselisih tentang sesuatu masalah, maka kembalikan (penyelesaiannya) kepada Allah dan Rasul-Nya jika kalian memang beriman kepada Allah dan hari akhir.” (An Nisa ayat 59). Maka, diantara ciri keimanan yang benar kepada Allah dan hari akhir adalah kembali kepada Allah-yaitu Al Quran-dan kembali kepada Rasul-Nya-yaitu hadits yang shahih. Maka, sesuatu yang dianggap ibadah namun tidak ada tuntunan dalam Al Quran dan hadits yang shahih maka perlu dikoreksi kembali hal itu. Kalau sekadar bersandar kepada perbuatan sebagian ulama, maka tiap ulama juga manusia yang bisa saja salah dan terpeleset sehingga patokan kita adalah Al Quran dan hadits yang shahih yang dipahami dengan pemahaman yang benar. Wallahu a’lam.
Hukum Puasa Setelah Pertengahan Sya’ban
Disana ada hadits yang dipakai sandaran oleh sebagian kaum muslimin untuk meninggalkan puasa sunnah jika bulan Sya’ban sudah melewati pertengahannya, yaitu hadits (artinya) : “Jika sudah sampai pertengahan bulan Sya’ban maka janganlah kalian berpuasa.” Hadits ini telah dilemahkan dan diingkari oleh para ulama ahli hadits seperti ‘Abdurrahman ibnu Mahdi, Imam Ahmad, Abu Zur’ah Ar Razi, Al Atsram, dan yang lainnya. Bahkan Ibnu Rajab Al Hanbali menukil dari Ath Thahawi Al Hanafi bahwa para ulama telah sepakat/ijma’ untuk meninggalkan amal dengan hadits tadi. Maknanya pun bertentangan dengan hadits-hadits shahih yang disampaikan oleh banyak shahabat seperti dua istri Rasulullah : Aisyah dan Ummu Salamah, juga Anas ibnu Malik dan Usamah ibnu Zaid yang mereka semua menjelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memperbanyak puasa di bulan ini. Bahkan, sebagaimana telah tersebut di atas, dalam sebagian riwayat hadits disebutkan bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa Sya’ban seluruhnya.
Puasa di Akhir Sya’ban
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (artinya) “Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa sehari atau dua hari sebelumnya kecuali jika seseorang memiliki kebiasaan puasanya sebelumnya.” (HR.Bukhari Muslim).
Hadits ini melarang kita untuk sengaja berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan dengan niat berjaga-jaga jangan-jangan sudah masuk Ramadhan. Diperkecualikan bagi seseorang yang memiliki kebiasaan puasa sunnah sebelumnya kemudian hari sebelum Ramadhan bertepatan dengan kebiasaan puasa sunnahnya maka yang demikian tidak mengapa. Misalnya seseorang punya kebiasaan puasa Senin Kamis dan Ramadhan diperkirakan hari Jum’at, maka disini tidak mengapa baginya berpuasa pada hari Kamis. Di sisi lain, larangan ini memberikan isyarat bolehnya untuk berpuasa Sya’ban pada hari-hari sebelum mendekati Ramadhan walaupun sudah lewat pertengahan Sya’ban.
Penutup
Bagi kaum msulimin yang masih memiliki hutang puasa Ramadhan pada tahun-tahun sebelumnya mari ditunaikan/dibayar sebelum bulan Ramadhan datang. Barangsiapa menyengaja tidak membayar atau menunda-nunda sampai datang Ramadhan ini maka dia berdosa.
Semoga Allah ‘azza wa jalla memberi taufik kita semua untuk bisa memperbanyak puasa di bulan Sya’ban sebagaimana telah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tuntunkan terlebih ini adalah bulan diangkatnya amal shalih kita ke langit sekaligus sebagai persiapan kita menyambut bulan Ramadhan yang mulia.